Pages

Labels

Rabu, 30 Oktober 2013

Pesan dan Nasehat Ust. Abdullah Syukri Zarkasyi

Pemimpin, pendidik dan pejuang[1]

Memimpin tidak selalu berarti mendidik, tapi mendidik sudah tentu harus memimpin. Menjadi seorang pendidik, berarti juga harus menjadi pemimpin. Kalau seseorang hanya sekadar memimpin, maka cukup dengan memberikan instruksi-instruksi kepada bawahan. Sebagai contoh, dalam kapasitas saya sebagai pimpinan pondok modern Gontor, jika saya hanya menjadi pemimpin saja, maka secara garis struktur cukup hanya dengan membagi tugas pada Kulliyyatul Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI), pengasuhan santri, Yayasan dan lain-lain. Biar masing-masing ada yang bertanggung jawab. Masa bodoh dengan pendidikan dan pengajaran santri, karena itu sudah menjadi tanggung jawab KMI, yang penting laporan admnistrasi harus tertata rapi.
Begitulah umumnya cara kerja pemimpin birokrasi. Pimpinan pesantren tidak hanya sekadar menjadi pemimpin birokrasi. Sebagai pemimpin, saya ingin menjadi pendidik yang juga pejuang. Berjuang untuk membela, membantu dan mengembangkan kemajuan pondok ini.
Menjadi pendidik saja belum cukup, karena bila orientasinya demikian maka ia akan berhenti pada upaya memberikan layanan pendidikan. Kalau hanya sekadar mendidik, cukup dengan mengikuti alur yang sudah ada. Bertahun-tahun hanya menekuni rutinitas yang bergulir begitu saja. Sekali lagi, dalam kasus gontor, dengan hanya menjadi pendidik, saya tidak perlu bersusah membangun Gontor 2, Gontor 3 dan seterusnya. Tapi dengan menjadi pejuang yang berjuang untuk mendidik, saya ingin meningkatkan citra gontor. Saya ingin meningkatkan kualitas Gontor, baik kualitas KMI, pengasuhan santri, dan seluruh lembaga di Pondok Gontor ini. Saya juga ingin mengembangkan fasilitasnya, bangunannya dan lain sebagainya. Semua itu adalah bagian dari amanah yang tertera dalam panca jangka pengembangan Pondok Modern Gontor.
Mendidik adalah seni. Upaya suci ini menemui banyak sekali halangan dan hentakan. Ada pihak yang kerjaannya hanya mengkritik saja. Tapi saya harus bertahan. Dan, hemat saya, bertahan yang baik adalah menyerang. Bukan orang yang mengkritik yang kita serang, tapi pekerjaan kita yang kita serang. Mengurusi KMI, pengasuhan santri, yayasan, sarana, dana dan lain sebagainya, itulah yang kita serang. Jika anda dikritik, jangan sampai anda diam saja dan terus menerus memikirkan kritikan orang lain itu. Segala pekerjaan, dan segala perbuatan baik tidak akan luput dari kritik. Jangan dengarkan kritikan itu, tapi balaslah dengan “menyerang” permasalahan yang sedang kita hadapi. Kita “serang” pekerjaan kita.
Sekali lagi, mendidik itu juga memimpin. Mendidik itu mengawal, memberikan penugasan, membiasakan bekerja keras. Kenapa seberat itu? Karena kita memiliki cita-cita. Cita-cita hanya bisa dicapai dengan etos kerja yang tinggi. Etos kerja yang tinggi harus dikawal dengan disiplin. Disiplin-disiplin inilah yang menjadi kunci. Disiplin dalam seluruh aktivitas KMI, pengasuhan santri, dan lain-lain, dan yang paling penting adalah disiplin dalam diri kita sendiri. Disiplin-disiplin ini tidak perlu ditulis dan ditempelkan disetiap sudut, akan tetapi harus terpatri dalam nurani (dhamir). Andaikata disiplin-disiplin ini ditulis, justru malah tidak lengkap. Sebgai contoh, “santri dilarang belanja di orang kampong.” Frasa ini berbuntut panjang karena akan menuntut penjelasan. Misalnya, orang kampong itu siapa? Penduduk sekitar.  Belanja itu apa? Kumpul-kumpul di warung. Berarti kalau tidak ada kumpul-kumpul boleh? Akan selalu ada pertnyaan yang muncul sehngga disiplin malah tidak menjadi efektif. Karena itu, disiplin tertulis malah akan membuatnya tidak lengkap.
Dhamir atau nurani inilah yang harus kita asah. Jangan sampai kita bosan menjadi manusia yang baik. Apabila dhamir kita arahkan untuk melahirkan perbuatan baik, akan semakin bagus. Tapi apabila sebaliknya, kita tidak memakai dhamir itu untuk kebaikan, maka ia akan menjadi rusak. Sabda Rasulullah Saw :
ألا في الجسد مضغة، فإن صلحت صلح الجسد كله وإن فسدت فسد الجسد كله، ألا وهي القلب.
“ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh segumpal deging. Apabila ia baik, maka baiklah seluruh tubuh, dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah (segumpal daging) itu adalah hati.”




Pendidikan Spektakuler

Semua kegiatan di Pondok Modern Gontor saya buat spektakuler. Termasuk kegiatan yang secara sepintas tekesan sepele atau biasa-biasa saja, seperti rutinitas belajar mengajar di kelas dan kepramukaan. Semua kegiatan itu sesungguhnya sangat luar biasa, karena masing-masing memiliki lingkungan komunitas kelas dan komunitas pramuka. Pendidikan yang ideal mesti dilakukan melalui kegiatan dan tugas-tugas yang didasari jiwa dan filsafat hidup. Karena pendidikan yang sesungguhnya adalah mendidik cara menjalani kehidupan.
Karena sifatnya yang spektakuler, maka kegiatan-kegiatan tersebut dapat membangun kebanggaan santri dan seluruh unsure yang ada di pondok. Perhelatan kreasi santri kelas 6 yang disebut panggung gembira, mu’tamar rabithah al-jami’at al-islamiyyah (liga universitas-universitas Islam sedunia), hingga acara buka puasa bersama yang dihadiri oleh 26.000 orang, merupakan kegiatan-kegiatan spektakuler yang diadakan di Gontor. Padahal, dalam skala nasional sekalipun, acara seperti itu tidaklah mudah dilakukan.
Orang-orang di luar lingkungan pondok, barangkali hanya bisa bertanya, bagaimana Gontor dengan sedemikian rupa mampu menyelenggarakan acara sebesar itu? Mereka mungkin kagum, tapi tidak merasakan nilai yang sesungguhnya dari kehebatan kegiatan tersebut. Sedangkan santri-santri dan semua unsure yang ada di dalam Pondok, bisa jadi mengenggapnya biasa-biasa saja. Tapi karena mereka melihat, mendengar, apalagi yang terlibat dalam pelaksanaannya, kegiatan-kegiatan tersebut menjadi unsure pendidikan yang sangat berharga. Mereka menjadi terdidik.
Selain kegiatan-kegiatan seperti di atas, kemandirian Gontor juga menjadi unsure pendidikan yang spektakuler. Semangat kemandirian terpatri dalam diri, pikiran, dan perasaan santri. Dengan kemandirian, santri dididik untuk memiliki izzah (kehormatan) dan kebanggaan. Saya bersyukur karena santri-santri Gontor bangga dengan Gontornya. Mereka bangga dengan kegiatan-kegiatan yang dijalani selama nyantri di Gontor. Mereka bangga dengan apa yang ada di Gontor. Sehingga anak-anak Gontor mengakui kegontorannya.
Melalui kegiatan-kegiatan tersebut, santri didik untuk memiliki etos kerja yang baik. Perhelatan akbar yang berjudul buka puasa bersama 26.000 orang, yang disertai dengan mengahadirkan tamu-tamu undangan penting, terutama presiden dan beberapa menteri, bukanlah pekerjaan mudah untuk dilakukan santri.  Apa yang mendorong masyarakat yang begitu antusias menghadiri acara ini? Bahkan, banyak yang tidak kita undang merasa kecewa. Kalau kita tidak batasi, barangkali 50.000 pun mau datang ke acara tersebut. Semua itu bukan karena semata-mata dorongan materi atau factor aksidental. Melainkan karena jauh sebelumnya kita telah membangun jaringan masjid dan gerakan kemasyarakatan.
Jaringan masjid dan gerakan kemasyarakatan di Ponorogo sangat prima. Acara buka puasa bersama 26.000 orang menjadi salah satu indikatornya. Acara sebesar itu dirapatkan dan dipersiapkan hanya dalam tempo empat hari. Dan , Alhamdulillah, hasilnya sangat memuaskan. Pertanyaannya adalah, apa yang membuat mereka begitu antusias ingin menghadiri acara yang dilakukan Gontor? Jawabannya sederhana, karena mereka percaya kepada Gontor.
Kepercayaan inilah yang mahal dan tidak mudah didapatkan. Alhamdulillah, masyarakat tahu kita bekerja dengan sungguh-sungguh dan jujur. Dalam kamus Gontor, tidak ada istilah obyek. Kegiatan-kegiatan seperti itu bukan obyekan pak kiai Syukri! Kita membangun banyak masjid tanpa mengambil sepeser pun dari dana yang tersedia. Bahkan tidak jarang kita yang mengeluarkan uang untuk menutupi kekurangannya. Dengan jaringan yang ada, alahamdulillah, ada saja dana untuk melunasi hutang-hutang pembangunan masjid. Pendekatan seperti inilah yang melahirkan kepercayaan masyarakat kepada Gontor.
Oleh sebab itu, saya berpesan kepada segenap santri Gontor, kalian harus bersungguh-sungguh, mesti menguasai permasalahan, dan terampil dalam menyelesaikannya. Jika ketiganya sudah dicapai maka kalian menjadi cakap. Dengan begitu, kepercayaan dari masyarkat pun akan didapat.[2]





Kaliber Seorang Pemimpin

Yang membuat kaliber itu adalah:
1.      Disiplin
2.      Pengalaman
3.      Kemauan
4.      Keterpanggilan

Kapasitas dalam memahami pondok tersebut dapat diukur dari 4 hal:
1.      Pengalaman
2.      Kemauan
3.      Pemahaman terhadap kepondokmodernan
4.      Keterpanggilan

Maka untuk menumbuhkan keterpanggilan tersebut dapat diarahkan, diajar, dibiasakan diberi uswah yang baik, seperti: penampilan, ketertiban, kantor Pimpinan bisa dilihat oleh santri termasuk juga open manajemen.
Kaliber seseorang untuk 4 hal: memahami tugas, melaksanakan tugas, menghayati tugas dan mengembangkan tugas. Semakin tinggi kalibernya, maka semakin tinggi pula nilai pemahaman, palaksanaan, penghayatan dan pengembangan tugas tersebut.
Perlu diketahui bahwasanya sistem di lembaga manapun tergantung pelaksananya dan pemimpinnya. Maka kalau menjadi pemimpin, harus berkaliber tinggi.
Berbicara masalah kaliber, kaliber seseorang bermacam-macam, ada yang kalibernya tinggi, ada yang sedang-sedang saja dan ada yang rendah, semua itu diukur dari 4 hal:
1.      Pengalamannya dalam melakukan sesuatu.
2.      Pemahamannya tentang yang ia lakukan
3.      Kemauannya dalam melakukan hal tersebut.
4.      Keterpanggilan untuk melakukan hal tersebut.
Keterpanggilan ini harus ada pada diri seseorang karena untuk motivasi dan pemahaman. Dalam hal ini ada 3 macam, diantaranya:
1.                             Disuruh mengerjakan tugas mengatakan “insyaallah siap”, tapi hanya untuk mencoba-coba saja
2.                             Disuruh mengerjakan tugas mengatakan “siap”, karena terpanggil untuk mendapatkan sesuatu.
3.                             Disuruh mengerjakan tugas mengatakan “kalau disuruh siap, kalau tidak, tidak apa-apa”, sekedar mengerjakan saja.
Dari 3 orang tersebut, yang paling bagus adalah kriteria yang ke 3. Dia memiliki keterpanggilan dalam melaksanakan tugas.
Orang yang mempunyai pola pikir tinggi, etos kerja tinggi tetapi disiplinnya rendah maka orang tersebut perlu dipaksa.
Dalam membuat pemimpin, ada 5 teori khusus, yaitu: pengarahan, penugasan, pembiasaan, pelatihan dan uswah hasanah yang tidak terlepas dari kedisiplinan.
Dalam mendidik ada 3 macam pendekatan yaitu:
1.      Pendekatan ideal
2.      Pendekatan program
3.      Pendekatan manusiawi
Kemauan itu harus dibarengi dengan keinginan dan keterpanggilan. Karena motivasi keterpanggilan sangat mempengaruhi jiwa seorang pemimpin/pengasuh. Kalau motivasi keterpanggilannya tinggi, daya serap nasehat dan kepondokmodernannya juga tinggi. Sebaliknya, kalau motivasi keterpanggilan itu rendah, maka daya serapnya juga rendah.
Dari pada menjadi ekor kakap, lebih baik menjadi kepala ikan teri. Ini perumpamaan yang sering K.H. Abdullah Syukri sampaikan kepada alumni yang diminta untuk meneruskan sebuah Pondok yang hampir jatuh, karena dia itu hanya akan diperalat saja. Lebih baik membangun Pondok Pesantren sendiri meskipun kecil daripada meneruskan Pondok yang akan jatuh yang ujung-ujungnya hanya diperalat.
Pendidik itu lebih baik daripada pemimpin, karena pendidik itu pasti pemimpin tetapi pemimpin itu belum tentu pendidik. Wibawa seorang pemimpin bukan hanya dari teknik atau cara memimpin namun juga dari jiwa dan seni kepemimpinannya.
A.     Nyali Seorang Pemimpin
Kalian itu nyalinya masih rendah: nyali bertindak, nyali mengambil keputusan dan nyali mengambil inisiatif.Kalau tidak berbuat atau bertindak karena keterbatasan kekuasaan, ini tidak jadi masalah. Asal jangan karena keterbatasan inisiatif. Maka untuk meningkatkan nyali ada 3 cara:
1.      Menguasai permasalahan.
2.      Menyelesaikan permasalahan.
Terampil dalam menyelesaikan masalah, meskipun awalnya hanya dengan mencoba-coba menyelesaikan masalah, lama-lama dia akan terampil dalam menyelesaikannya.
Seorang pemimpin itu harus: ditakuti, disegani dan diikuti. Kalau tidak demikian, maka dia akan diremehkan dan tugas yang diperintahkan olehnya bisa jadi tidak munaffadz. Cuma pelaksanaan tugas oleh bawahannya karena ikhlas atau takut atau segan? Sekarang tinggal bagaimana pemimpin itu memahamkan bawahannya tentang tugas yang dikerjakan itu, agar nilai ikhlasnya tinggi.
B.     Transformasi Kepondokmodernan
Seorang Pemimpin harus mampu mentransfer nilai-nilai kepada orang lain dengan memperhatikan 3 hal. Dalam ibarat lain, ketika menyampaikan sesuatu ke orang lain harus ada 3 hal yang perlu diperhatikan agar apa yang disampaikan itu bisa diterima dengan baik:
1.      Sistematika penyampaian
2.      Retorika penyampaian
3.      Materi yang disampaikan
Penanaman kepondokmodernan adalah kunci kesuksesan dan kemajuan Pondok. Makanya pada waktu kemisan guru-guru Pimpinan Pondok selalu menyampaikan tentang kepondokmodernan, agar guru-guru itu tahu kemana arah Pondok ini dan agar semuanya mengerti dan faham terhadap Pondok, beliau tidak membicarakan dirosah islamiyyah karenadirosah islamiyyah bisa melupakan kesadaran dan kefahaman seseorang terhadap Pondok. Namun, bisa saja Kepondokmodernan itu sesekali dihubungkan dengan dirasah Islamiyah (ada dalil dari al-qur’an dan hadits).
Motivasi dalam diri seseorang bisa menambah dan mengurangi kepondokmodernannya. Maka untuk menimbulkan motivasi ini, jiwa dan filsafatnya harus sama dengan Pondok. Kalau tidak sama, dia tidak akan termotivasi dalam melaksanakan tugas di Pondok, akhirnya kefahaman dan kesadarannya terhadap Pondok pun sangat minim.
Maka berbicara atau menyampaikan sesuatu itu harus dari dalam jiwa, bukan sekedar dari mulut saja. Dengan demikian akan masuk omongan kita ke orang tersebut. Namun setruman terhadap filsafat, nilai dan sistem tergantung kepada:yang memberi setruman dan siapa yang disetrum itu. Kalau orang yang disetrum tidak senang dengan kita atau tidak seide dengan Pondok, setruman itu pun tidak akan masuk.
Salah satu upaya Pimpinan Pondok membina guru-guru adalah dengan memberika setruman tentang kepondokmodernan di Masjid Atiq setelah sholat Maghrib, kemisan, pemanggilan ke rumah pimpinan, di ajak keliling pakai mobil pimpinan dan lain sebagainya.
Yang sulit itu adalah membuat pengasuh-pengasuh Pondok cabang yang mengerti Gontor, yang se-ide dan searah dengan Gontor, serta yang mau dikaderkan menjadi pengasuh cabang tidak banyak. Kalau Cuma membuat guru/ustadz, mudah saja.
Setiap kegiatan di Pondok ini diisi dengan visi, misi dan nilai kepondokmodernan, meskipun dengan ucapan takbir “Allahu akbar” seperti sebelum bekerja atau sebelum ngecor, kelihatannya remeh tetapi ini penting untuk membangkitkan semangat santri-santri, mendidik mental dan menanamkan motivasi serta filsafat hidup yang baik dalam diri mereka.Gontor itu maju karena menganggap penting hal-hal yang remeh.
Pimpinan Pondok atau siapapun dalam menyampaikan pengarahan harus memakai i’dad maddiy dan ma’nawiy (sepenuh hati) supaya masuk ke hati para Guru-guru KMI dan Santri, seperti menjelaskan tentang kepondokmodernan, falsafah hidup pondok, kedisiplinan, sunnah pondok (pergi ke masjid harus pakai peci, baju dimasukkan, dll).
Untuk memahami pondok secara keseluruhan maka harus menyatu dengan pondok (integrated), yaitu :
1.      Menyatu idenya
2.      Menyatu progamnya
3.      Menyatu jiwanya
4.      Menyatu filsafat hidupnya






C.      Kekuatan Pondok
Kalau kita kuat maka kita akan menguatkan orang lain, kalau kita menguatkan orang lain maka orang lain akan menguatkan kita dan Allah pasti lebih menguatkan kita. Kekuatan itu kita pakai yang mana akan menjadikan kita semakin kuat sedang yang membuat kekuatan itu adalah kemauan. Kekuatan kita ini terletak pada:
1.      Keikhlasan.
2.      Ajaran-ajaran Gontor di KMI.
3.      Disiplin pola fikir dan kegiatan.
Segala sesuatu di Pondok ini harus dengan disiplin yang tinggi, bukan cuma disiplin ke masjid dan disiplin masuk kelas, tetapi juga disiplin pola pikir, sikap dan tingkah laku. Kehebatan lembaga manapun di dunia ini tergantung kepada disiplin. Termasuk di Pondok ini, disiplin adalah salah satu faktor yang membuat Pondok kuat dan maju.
Salah satu yang membuat Pondok ini kuat adalah karena Pondok ini mandiri, orang yang didalamnya pun mandiri. Mandiri disini adalah mandiri dalam kebersamaan, bukan mandiri pribadi. Seperti Koperasi Pelajar, Percetakan Darussalam, UKK, KUK dan unit-unit usaha lainnya adalah mandiri, tetapi mandirinya untuk kebersamaan, salah satu pimpinan tidak ada yang menguasai unit usaha itu untuk kepentingan pribadinya dengan dalih-dalih mandiri.
Al Qur’an yang kita baca dan perbuatan baik yang kita laksanakan akan berupa makhluk yang mana makhluk-makhluk itu akan menolong orang yang melakukanya nanti di kuburan dan di akhirat, maka gontor dengan sekian banyak santri yang berbuat baik dan membaca alQur’an akan menimbulkan sebuah kekuatan yang sangat dahsyat. Apabila ada Santri atau Guru yang melanggar disiplin (mencuri) cepat atau lambat akan ketahuan.
D.     Perang Orientasi Pendidikan dan Pengajaran
 Di Gontor ini perang orientasi pendidikan dan pengajaran. Para Pimpinan Pondok sangat memperhatikan pendidikan, akhirnya beliaulah yang menang. Jadi di pondok ini diperbanyak kegiatan ekstrakurikuler (Panggung Gembira, Drama Arena, OPPM, Kepramukaan, Rayon, Latihan Pidato, bahkan di ujianpun ada pendidikan) yang agak mengesampingkan pengajaran. Kegiatan ini tidak apa-apa mengganggu pelajaran karena pendidikan di Gontor ini untuk menimbulkan atau mendidik karakter building sehingga menimbulkan sikap, tingkah laku dan pola pikir yang baik.
Di Pondok ini, kita harus menciptakan persaingan yang sehat, baik itu antar santri, antar rayon maupun antar asatidz. Seperti persaingan dalam belajar dan dalam perlombaan-perlombaan. Untuk menciptakan persaingan sehat tersebut kuncinya adalah pengasuh harus mengadakan pendekatan manusiawi, pendekatan program dan pendekatan ideal. Maka cara menggerakkan Pondok ini kadang-kadang pemimpin harus terjun langsung.
Umur 12 tahun sampai 20 tahun adalah masa-masa paling manjur untuk dididik mentalnya. Adapun umur di bawah itu juga tidak cocok untuk pendidikan mental, karena mereka lebih senang bermain. Sedangkan umur mahasiswa ke atas, lebih cenderung kepada pengajaran.
Pendidikan di Gontor harus dengan “Uswatun Hasanah” berupa miliu, sedangkan miliu itu berupa figur, keadaan/lingkungan, ketertiban dan penampilan yang serba prima. Pimpinan menggunakan jas, peci, berpakaian rapi ini adalah uswah hasanah.
Kantor pimpinan terbuka agar:
1.      Guru dan Santri bisa melihat apa yang dikerjakan Pimpinan
2.      Pimpinan bisa melihat apa kegiatan santri
3.      Open manajemen

E.      Sistem di Gontor
Di Pondok ini banyak terdapat sistem. Ada sistem KMI, sistem pembuatan i’dad, penandatanganan i’dad, muroqobatul fushul, tabkir, sistem mengajar, pengarahan direktur KMI, sistem guru, sistem panitia ujian dan lain-lain. Ada juga sistem Pengasuhan Santri, seperti: sistem mengatur kamar guru (penempatan guru yang sudah S1 tidak bisa disamakan dengan guru di bawahnya), pelajaran sore (KMI tidak boleh ikut campur masalah pelajaran sore, karena itu wilayah Pengasuhan). Untuk apa kelas 6 disuruh mengajar pelajaran sore? Agar mereka tahu cara mengajar, belajar yang baik adalah mengajar.
Kalau Pondok-pondok alumni yang ada masih loyal kepada nilai, sistem dan disiplin Gontor, pasti maju.
Suatu hari, Ust. Syukri pernah ditanya oleh seseorang “Ustadz koq selalu kelihatan awet muda? Apa kuncinya?”.Jawaban beliau adalah “Kita harus selalu optimis dan berfikir sederhana, yaitu apa yang mampu dikerjakan kita kerjakan dan yang belum mampu dikerjakan nanti dulu”. Jawaban seperti ini benar-benar direkam oleh orang tersebut dan dia amalkan, akhirnya dia berhasil.
الْبَرَكَةُ فِي الْحَرَكَةِ
Maka kita yang ada di Gontor ini harus terintegrasi (menyatu) dan sejalan dengan Gontor, mengerjakan segala macam kegiatan harus sungguh-sungguh li i’lai kalimatillah sehingga Allah SWT pasti akan memberi ilham dan petunjuk kepada kita.
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا، وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ (العنكبوت: 69(


















Memotivasi Diri

Kita harus berani mengubah nasib. Nasib yang lebih baik tentunya. Man kana yaumuhu khairan min amsihi fahuwa rabih, siapa yang hari ini lebih baik dengan hari kemarin maka ia beruntung. Jika harinya sama dengan hari kemarin fahuwa khasir, maka ia merugi.
Itulah cara kita memberikan mo­tivasi. Ubahlah dirimu menjadi lebih baik. Misalnya dengan berkata, “Saya harus mempunyai wawas­an yang luas,” “Saya harus selesai membaca buku ini dalam satu pekan,” dan seterusnya. Se­hingga, banyak buku yang berhasil Anda baca.
Untuk meningkatkan diri, pertama, belajarlah dari pengalaman, harus mau belajar dari pengalaman. Ke­dua, harus mau belajar, mau berkorban, dan mau bersabar, karen semua itu diperlukan guna mencapai sebuah cita-cita. Jika tidak memiliki cita-cita, maka dalam hidupnya, ia asal ikut saja. Bahkan, sebagai guru, dalam mengajar pun, ia asal mengajar. Ritme hidupnya cuma minal hujrah ilal fasl wa ilal masjid wal ghayr, keluar dari kamar menuju kelas, lalu ke masjid dan tempat lainnya. Jika seperti ini maka hidupnya menjadi repot dan tidak banyak manfaat.
Bacalah, karena dengan membaca wawasan kita akan menjadi luas. Saya masih membawa buku dan membacanya ketika naik pesawat terbang. Ini lebih baik dari pada mengantuk. Orang Jepang kalau naik kereta atau bus biasa baca buku. Apalagi jika memakan waktu setengah jam, satu jam atau lebih. Tidak heran di setiap stasiun kereta atau bus terdapat penjual buku dan keranjang sampah untuk buku. Setelah diperkirakan akan selesai membaca buku dalam waktu sekian maka setelah selesai ia akan membuangnya di tempat sampah buku. Kemudian membeli buku lagi. Begitulah orang Jepang yang senang membaca buku. Selalu ada yang menjual buku dan tempat untuk membuang buku di setiap stasiunnya. Demikian juga orang Perancis, Belanda, dan lain sebagainya. Tapi konon katanya tidak ada masyarakat yang punya budaya membaca sehebat orang Jepang.
Memotivasi diri sebetulnya bisa dilakukan dengan fokus kepada cita-cita kita. Maka merugilah orang yang tidak memiliki cita-cita dalam hidupnya. Cita-cita itu ada yang idealis dan ada pula yang pragmatis. Contohnya, “Habis lulus Gontor, saya mau ke Malaysia,” “Setelah lulus S1 saya mau melanjutkan ke Pakistan atau e Mesir,”atau “Setelah lulus S1 saya mau kawin.” Boleh tidak bercita-cita seperti itu? Boleh saja. Setelah menghabiskan masa pengabdian mengajar dan lulus S1 mau kawin, misalnya. Boleh saja dan aturlah semuanya.
Tapi, selain itu harus memantapkan dalam diri, “Saya harus lulus S1 dengan predikat sangat baik,” atau “Saya harus mempunyai pengalaman yang dahsyat, berwawasan luas, keterampilan mengajar yang hebat dan skil ke­pemimpinan yang prima,” dan lain sebagainya. Jangan sampai seperti kapas yang diterpa angin. Untuk itu diperlukan kesabaran dan ketekunan dalam meniti karir. Ingatlah tujuan semula meski tujuan itu bisa berubah dan berkembang. Jadi cita-cita itu ada yang idealis dan ada juga yang pragmatis. Maka pintar-pintarlah kita memotivasi diri supaya kita berkembang, berubah, dan mempunyai prestasi.
Beberapa waktu lalu saya ketemu Mun’im di Pekalogan. Saat di Gontor dulu, dia mengurus bagian ad­­minis­trasi. Saat ini di Pekalongan dia sudah menjadi wakil kepala sebuah sekolah. “Sha`ab (susah) Ustadz, apalagi –mengatur- mudabbir-mudabbirnya (pengurus),” keluh­­nya kepada saya. Ya memang susah, tidak seperti di Gontor. Tapi saya berpesan dan menyemangatinya bahwa, itulah perjuangan di masyarakat.
Sebetulnya anak Gontor punya potensi dan mampu berbuat banyak hal. Mampu berbuat yang baik-baik. Keterampilan demi keterampilan sudah kita bekali selama dia nyantri di sini. Keterampilan hidup, ber­organi­sasi dan macam-macam keterampilan lainnya. Maka tinggal pintar-pintarlah memotivasi diri.










Menghargai Pengalaman

Pengalaman adalah guru yang baik. Ungkapan sarat makna ini membuka cakrawala kita agar menimba sebanyak-banyaknya pengalaman dalam hidup ini. Ketika kita menginginkan guru-guru yang baik dan memiliki kualitas mendidik yang mumpuni, maka kita harus menempa dan mengembangkan kemampuan mereka dengan pengalaman-pengalaman tingkat tinggi. Itulah yang selama ini kita lakukan di Gontor. Kita di sini mendidik guru-guru dengan pengalaman memimpin, mendidik, mengajar, dan pelbagai pengalaman lainnya yang luar biasa.
Dalam prosesnya, pendidikan pengalaman ini mutlak memerlukan al-`idad (persiapan), baik i`dad zady (bekal terbaik) maupun i`dad maddy (materi). Di sini, para guru diajarkan agar setiap hendak keluar rumah selalu mengawali dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim. Guru mesti membaca doa. Meski tampak sederhana, fenomena ini jarang berlaku di lembaga pendidikan umum. Kebanyakan guru di lembaga-lembaga umum hanya merasa melaksanakan tugas untuk mendapatkan gaji, sehingga aspek materialismenya kental sekali.
Di Gontor, guru-guru mengajar dengan dua persiapan; pertama, i’dad zady, yaitu sebaik-baik bekal adalah takwa. Kedua, i’dad maddy, yakni menguasai materi yang akan diajarkan, menguasai keadaan murid di kelas, dan mata guru awas dalam mengajar.
Pengalaman demi pengalaman akan dirasakan. Ada murid nakal dan ada juga murid yang tidak mengerti pelajaran yang diajarkan. Semua itu akan membentuk pengalaman tersendiri bagi guru. Kenapa murid tidak masuk kelas? Kenapa pelajaran tidak dimengerti oleh murid? Apa saya salah? Apakah murid tersebut butuh motivasi?
Guru memotivasi murid yang seperti itu agar dia punya motivasi yang kuat dalam belajar. Sehingga, dia mau mendengarkan dengan baik dan belajar dengan sungguh-sungguh. Di sini dapat ditarik kesimpulan sederhana, bahwa sebetulnya jika suatu pendidikan tidak berjalan dengan benar, berarti yang salah adalah guru. Guru tidak dibenarkan berkata tidak mampu mengajar dan mendidik. Karena yang tidak mampu adalah pengecut, tidak berani menangani, tidak punya keinginan menangani dan bersikap masa bodoh.
Mendidik itu membiasakan. Mendidik itu mengajar, memberikan tugas, dan membiasakan diri melatih. Melatih belajar dan cara belajar dengan penuh kesabaran. Jika ada murid yang sulit menghafal dan tidak faham, maka guru mesti mengajarinya sedikit demi sedikit. Guru mesti memberi tahu murid tersebut agar membaca yang ingin dihafal sebanyak mungkin, meski sampai 40 kali, niscaya dia akan hafal. Begitu juga memahami pelajaran, Muthala’ah misalnya, dengan membaca hingga 40 kali maka niscaya ia faham. Kadang-kadang pemahaman didapat dengan sering membaca. Ketika masih belajar di Mesir, saya menemukan sebuah kata yang awalnya tidak saya fahami, namun karena sering membacanya akhirnya saya faham arti kata itu.
Mendidik adalah ‘menyetrum’. Saya berbicara dengan hati bukan dengan mulut. ‘Menyetrum’ guru supaya memahami pondok, memahami pimpinan, memahami apa yang dibicarakan pimipinan, dan kalau bisa mengamalkannya. Efek ’struman’ ini tidak sama, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Sebab, manusia itu bermacam-macam. Ada yang seperti batu keras dan tidak mau mengerti. Ada juga yang laksana tanah subur kemudian faham apa yang diajarkan kepadanya, sehingga ia menumbuhkan pohon dan menghasilkan buah. Dan ada pula yang seperti pohon tertentu yang sulit dimana baru puluhan tahun baru faham.
Sebagai pimpinan Pondok, saya menentukan dan memilih guru. Mudah-mudahan saya tidak salah pilih. Mereka yang terpilih menjadi guru di Gontor bukan karena semata-mata lulus dengan predikat mumtaz (memuaskan). Belum tentu yang mumtaz saya pilih. Kadang yang mumtaz egonya tinggi sekali. Tapi yang saya pilih adalah mereka yang memiliki jiwa kemasyarakatan, bisa mendidik, bisa menimbang kawan, dan tidak egois. Sebab, dalam mendidik diperlukan banyak pengorbanan, banyak kesabaran, dan ketekunan. Jadi saya mencari santri-santri yang tekun dan guru-guru yang tekun. Dari sinilah sebuah pengalaman dan pendidikan kemasyarakatan, serta pendidikan hidup, kita didikkan kepada santri-santri dan guru-guru. Dengan harapan agar mereka menjadi guru yang hebat, sehingga terjadilah proses kaderisasi yang sesungguhnya.



[1] Nasehat Ust. Syukri Zarkasyi, M.A di majalah Gontor edisi juli 2012/sya’ban-Ramadhan 1433, hal 30

[2] Nasehat Ust. Syukri Zarkasyi, M.A di majalah gontor edisi April 2012/jumadil awal-jumadil akhir 1433, hal 30

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About