Pemimpin,
pendidik dan pejuang[1]
Memimpin
tidak selalu berarti mendidik, tapi mendidik sudah tentu harus memimpin.
Menjadi seorang pendidik, berarti juga harus menjadi pemimpin. Kalau seseorang
hanya sekadar memimpin, maka cukup dengan memberikan instruksi-instruksi kepada
bawahan. Sebagai contoh, dalam kapasitas saya sebagai pimpinan pondok modern
Gontor, jika saya hanya menjadi pemimpin saja, maka secara garis struktur cukup
hanya dengan membagi tugas pada Kulliyyatul Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI),
pengasuhan santri, Yayasan dan lain-lain. Biar masing-masing ada yang
bertanggung jawab. Masa bodoh dengan pendidikan dan pengajaran santri, karena
itu sudah menjadi tanggung jawab KMI, yang penting laporan admnistrasi harus
tertata rapi.
Begitulah
umumnya cara kerja pemimpin birokrasi. Pimpinan pesantren tidak hanya sekadar
menjadi pemimpin birokrasi. Sebagai pemimpin, saya ingin menjadi pendidik yang
juga pejuang. Berjuang untuk membela, membantu dan mengembangkan kemajuan
pondok ini.
Menjadi
pendidik saja belum cukup, karena bila orientasinya demikian maka ia akan
berhenti pada upaya memberikan layanan pendidikan. Kalau hanya sekadar
mendidik, cukup dengan mengikuti alur yang sudah ada. Bertahun-tahun hanya
menekuni rutinitas yang bergulir begitu saja. Sekali lagi, dalam kasus gontor,
dengan hanya menjadi pendidik, saya tidak perlu bersusah membangun Gontor 2,
Gontor 3 dan seterusnya. Tapi dengan menjadi pejuang yang berjuang untuk
mendidik, saya ingin meningkatkan citra gontor. Saya ingin meningkatkan
kualitas Gontor, baik kualitas KMI, pengasuhan santri, dan seluruh lembaga di
Pondok Gontor ini. Saya juga ingin mengembangkan fasilitasnya, bangunannya dan
lain sebagainya. Semua itu adalah bagian dari amanah yang tertera dalam panca
jangka pengembangan Pondok Modern Gontor.
Mendidik
adalah seni. Upaya suci ini menemui banyak sekali halangan dan hentakan. Ada
pihak yang kerjaannya hanya mengkritik saja. Tapi saya harus bertahan. Dan,
hemat saya, bertahan yang baik adalah menyerang. Bukan orang yang mengkritik
yang kita serang, tapi pekerjaan kita yang kita serang. Mengurusi KMI,
pengasuhan santri, yayasan, sarana, dana dan lain sebagainya, itulah yang kita
serang. Jika anda dikritik, jangan sampai anda diam saja dan terus menerus
memikirkan kritikan orang lain itu. Segala pekerjaan, dan segala perbuatan baik
tidak akan luput dari kritik. Jangan dengarkan kritikan itu, tapi balaslah
dengan “menyerang” permasalahan yang sedang kita hadapi. Kita “serang”
pekerjaan kita.
Sekali lagi,
mendidik itu juga memimpin. Mendidik itu mengawal, memberikan penugasan,
membiasakan bekerja keras. Kenapa seberat itu? Karena kita memiliki cita-cita.
Cita-cita hanya bisa dicapai dengan etos kerja yang tinggi. Etos kerja yang
tinggi harus dikawal dengan disiplin. Disiplin-disiplin inilah yang menjadi
kunci. Disiplin dalam seluruh aktivitas KMI, pengasuhan santri, dan lain-lain,
dan yang paling penting adalah disiplin dalam diri kita sendiri.
Disiplin-disiplin ini tidak perlu ditulis dan ditempelkan disetiap sudut, akan
tetapi harus terpatri dalam nurani (dhamir). Andaikata disiplin-disiplin ini
ditulis, justru malah tidak lengkap. Sebgai contoh, “santri dilarang belanja di
orang kampong.” Frasa ini berbuntut panjang karena akan menuntut penjelasan.
Misalnya, orang kampong itu siapa? Penduduk sekitar. Belanja itu apa? Kumpul-kumpul di warung.
Berarti kalau tidak ada kumpul-kumpul boleh? Akan selalu ada pertnyaan yang
muncul sehngga disiplin malah tidak menjadi efektif. Karena itu, disiplin tertulis
malah akan membuatnya tidak lengkap.
Dhamir atau
nurani inilah yang harus kita asah. Jangan sampai kita bosan menjadi manusia
yang baik. Apabila dhamir kita arahkan untuk melahirkan perbuatan baik, akan
semakin bagus. Tapi apabila sebaliknya, kita tidak memakai dhamir itu untuk
kebaikan, maka ia akan menjadi rusak. Sabda Rasulullah Saw :
ألا في الجسد مضغة، فإن صلحت صلح الجسد كله وإن
فسدت فسد الجسد كله، ألا وهي القلب.
“ketahuilah,
sesungguhnya di dalam tubuh segumpal deging. Apabila ia baik, maka baiklah
seluruh tubuh, dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah
(segumpal daging) itu adalah hati.”
Pendidikan Spektakuler
Semua
kegiatan di Pondok Modern Gontor saya buat spektakuler. Termasuk kegiatan yang
secara sepintas tekesan sepele atau biasa-biasa saja, seperti rutinitas belajar
mengajar di kelas dan kepramukaan. Semua kegiatan itu sesungguhnya sangat luar
biasa, karena masing-masing memiliki lingkungan komunitas kelas dan komunitas
pramuka. Pendidikan yang ideal mesti dilakukan melalui kegiatan dan tugas-tugas
yang didasari jiwa dan filsafat hidup. Karena pendidikan yang sesungguhnya
adalah mendidik cara menjalani kehidupan.
Karena
sifatnya yang spektakuler, maka kegiatan-kegiatan tersebut dapat membangun
kebanggaan santri dan seluruh unsure yang ada di pondok. Perhelatan kreasi
santri kelas 6 yang disebut panggung gembira, mu’tamar rabithah al-jami’at
al-islamiyyah (liga universitas-universitas Islam sedunia), hingga acara buka
puasa bersama yang dihadiri oleh 26.000 orang, merupakan kegiatan-kegiatan
spektakuler yang diadakan di Gontor. Padahal, dalam skala nasional sekalipun,
acara seperti itu tidaklah mudah dilakukan.
Orang-orang
di luar lingkungan pondok, barangkali hanya bisa bertanya, bagaimana Gontor
dengan sedemikian rupa mampu menyelenggarakan acara sebesar itu? Mereka mungkin
kagum, tapi tidak merasakan nilai yang sesungguhnya dari kehebatan kegiatan
tersebut. Sedangkan santri-santri dan semua unsure yang ada di dalam Pondok,
bisa jadi mengenggapnya biasa-biasa saja. Tapi karena mereka melihat,
mendengar, apalagi yang terlibat dalam pelaksanaannya, kegiatan-kegiatan
tersebut menjadi unsure pendidikan yang sangat berharga. Mereka menjadi
terdidik.
Selain
kegiatan-kegiatan seperti di atas, kemandirian Gontor juga menjadi unsure
pendidikan yang spektakuler. Semangat kemandirian terpatri dalam diri, pikiran,
dan perasaan santri. Dengan kemandirian, santri dididik untuk memiliki izzah
(kehormatan) dan kebanggaan. Saya bersyukur karena santri-santri Gontor bangga
dengan Gontornya. Mereka bangga dengan kegiatan-kegiatan yang dijalani selama
nyantri di Gontor. Mereka bangga dengan apa yang ada di Gontor. Sehingga
anak-anak Gontor mengakui kegontorannya.
Melalui
kegiatan-kegiatan tersebut, santri didik untuk memiliki etos kerja yang baik.
Perhelatan akbar yang berjudul buka puasa bersama 26.000 orang, yang disertai
dengan mengahadirkan tamu-tamu undangan penting, terutama presiden dan beberapa
menteri, bukanlah pekerjaan mudah untuk dilakukan santri. Apa yang mendorong masyarakat yang begitu
antusias menghadiri acara ini? Bahkan, banyak yang tidak kita undang merasa
kecewa. Kalau kita tidak batasi, barangkali 50.000 pun mau datang ke acara
tersebut. Semua itu bukan karena semata-mata dorongan materi atau factor
aksidental. Melainkan karena jauh sebelumnya kita telah membangun jaringan
masjid dan gerakan kemasyarakatan.
Jaringan
masjid dan gerakan kemasyarakatan di Ponorogo sangat prima. Acara buka puasa
bersama 26.000 orang menjadi salah satu indikatornya. Acara sebesar itu
dirapatkan dan dipersiapkan hanya dalam tempo empat hari. Dan , Alhamdulillah,
hasilnya sangat memuaskan. Pertanyaannya adalah, apa yang membuat mereka begitu
antusias ingin menghadiri acara yang dilakukan Gontor? Jawabannya sederhana,
karena mereka percaya kepada Gontor.
Kepercayaan
inilah yang mahal dan tidak mudah didapatkan. Alhamdulillah, masyarakat tahu
kita bekerja dengan sungguh-sungguh dan jujur. Dalam kamus Gontor, tidak ada
istilah obyek. Kegiatan-kegiatan seperti itu bukan obyekan pak kiai Syukri!
Kita membangun banyak masjid tanpa mengambil sepeser pun dari dana yang
tersedia. Bahkan tidak jarang kita yang mengeluarkan uang untuk menutupi
kekurangannya. Dengan jaringan yang ada, alahamdulillah, ada saja dana untuk
melunasi hutang-hutang pembangunan masjid. Pendekatan seperti inilah yang
melahirkan kepercayaan masyarakat kepada Gontor.
Oleh sebab
itu, saya berpesan kepada segenap santri Gontor, kalian harus
bersungguh-sungguh, mesti menguasai permasalahan, dan terampil dalam
menyelesaikannya. Jika ketiganya sudah dicapai maka kalian menjadi cakap.
Dengan begitu, kepercayaan dari masyarkat pun akan didapat.[2]
Kaliber
Seorang Pemimpin
Yang membuat
kaliber itu adalah:
1.
Disiplin
2.
Pengalaman
3.
Kemauan
4.
Keterpanggilan
Kapasitas dalam memahami pondok tersebut
dapat diukur dari 4 hal:
1.
Pengalaman
2.
Kemauan
3.
Pemahaman terhadap
kepondokmodernan
4.
Keterpanggilan
Maka untuk menumbuhkan keterpanggilan
tersebut dapat diarahkan, diajar, dibiasakan diberi uswah yang baik, seperti:
penampilan, ketertiban, kantor Pimpinan bisa dilihat oleh santri termasuk juga
open manajemen.
Kaliber
seseorang untuk 4 hal: memahami tugas, melaksanakan tugas, menghayati tugas dan
mengembangkan tugas. Semakin tinggi kalibernya, maka semakin tinggi pula nilai
pemahaman, palaksanaan, penghayatan dan pengembangan tugas tersebut.
Perlu diketahui
bahwasanya sistem di lembaga manapun tergantung pelaksananya dan pemimpinnya.
Maka kalau menjadi pemimpin, harus berkaliber tinggi.
Berbicara
masalah kaliber, kaliber seseorang bermacam-macam, ada yang kalibernya tinggi,
ada yang sedang-sedang saja dan ada yang rendah, semua itu diukur dari 4 hal:
1. Pengalamannya dalam melakukan sesuatu.
2. Pemahamannya tentang yang ia lakukan
3. Kemauannya dalam melakukan hal tersebut.
4. Keterpanggilan untuk melakukan hal tersebut.
Keterpanggilan
ini harus ada pada diri seseorang karena untuk motivasi dan pemahaman. Dalam
hal ini ada 3 macam, diantaranya:
1.
Disuruh
mengerjakan tugas mengatakan “insyaallah siap”, tapi hanya untuk mencoba-coba
saja
2.
Disuruh
mengerjakan tugas mengatakan “siap”, karena terpanggil untuk mendapatkan sesuatu.
3.
Disuruh
mengerjakan tugas mengatakan “kalau disuruh siap, kalau tidak, tidak apa-apa”,
sekedar mengerjakan saja.
Dari 3 orang
tersebut, yang paling bagus adalah kriteria yang ke 3. Dia memiliki
keterpanggilan dalam melaksanakan tugas.
Orang yang
mempunyai pola pikir tinggi, etos kerja tinggi tetapi disiplinnya rendah maka
orang tersebut perlu dipaksa.
Dalam
membuat pemimpin, ada 5 teori khusus, yaitu: pengarahan, penugasan, pembiasaan,
pelatihan dan uswah hasanah yang tidak terlepas dari kedisiplinan.
Dalam
mendidik ada 3 macam pendekatan yaitu:
1. Pendekatan ideal
2. Pendekatan program
3. Pendekatan manusiawi
Kemauan itu
harus dibarengi dengan keinginan dan keterpanggilan. Karena motivasi
keterpanggilan sangat mempengaruhi jiwa seorang pemimpin/pengasuh. Kalau
motivasi keterpanggilannya tinggi, daya serap nasehat dan kepondokmodernannya
juga tinggi. Sebaliknya, kalau motivasi keterpanggilan itu rendah, maka daya
serapnya juga rendah.
Dari pada
menjadi ekor kakap, lebih baik menjadi kepala ikan teri. Ini perumpamaan yang
sering K.H. Abdullah Syukri sampaikan kepada alumni yang diminta untuk
meneruskan sebuah Pondok yang hampir jatuh, karena dia itu hanya akan diperalat
saja. Lebih baik membangun Pondok Pesantren sendiri meskipun kecil daripada
meneruskan Pondok yang akan jatuh yang ujung-ujungnya hanya diperalat.
Pendidik itu
lebih baik daripada pemimpin, karena pendidik itu pasti pemimpin tetapi
pemimpin itu belum tentu pendidik. Wibawa seorang pemimpin bukan hanya dari
teknik atau cara memimpin namun juga dari jiwa dan seni kepemimpinannya.
A.
Nyali
Seorang Pemimpin
Kalian itu
nyalinya masih rendah: nyali bertindak, nyali mengambil keputusan dan nyali
mengambil inisiatif.Kalau tidak berbuat atau bertindak karena keterbatasan
kekuasaan, ini tidak jadi masalah. Asal jangan karena keterbatasan inisiatif.
Maka untuk meningkatkan nyali ada 3 cara:
1. Menguasai permasalahan.
2. Menyelesaikan permasalahan.
Terampil
dalam menyelesaikan masalah, meskipun awalnya hanya dengan mencoba-coba
menyelesaikan masalah, lama-lama dia akan terampil dalam menyelesaikannya.
Seorang
pemimpin itu harus: ditakuti, disegani dan diikuti. Kalau tidak demikian, maka
dia akan diremehkan dan tugas yang diperintahkan olehnya bisa jadi tidak
munaffadz. Cuma pelaksanaan tugas oleh bawahannya karena ikhlas atau takut atau
segan? Sekarang tinggal bagaimana pemimpin itu memahamkan bawahannya tentang
tugas yang dikerjakan itu, agar nilai ikhlasnya tinggi.
B.
Transformasi
Kepondokmodernan
Seorang
Pemimpin harus mampu mentransfer nilai-nilai kepada orang lain dengan
memperhatikan 3 hal. Dalam ibarat lain, ketika menyampaikan sesuatu ke orang
lain harus ada 3 hal yang perlu diperhatikan agar apa yang disampaikan itu bisa
diterima dengan baik:
1. Sistematika penyampaian
2. Retorika penyampaian
3. Materi yang disampaikan
Penanaman
kepondokmodernan adalah kunci kesuksesan dan kemajuan Pondok. Makanya pada
waktu kemisan guru-guru Pimpinan Pondok selalu menyampaikan tentang
kepondokmodernan, agar guru-guru itu tahu kemana arah Pondok ini dan agar
semuanya mengerti dan faham terhadap Pondok, beliau tidak membicarakan dirosah
islamiyyah karenadirosah islamiyyah bisa melupakan kesadaran dan kefahaman
seseorang terhadap Pondok. Namun, bisa saja Kepondokmodernan itu sesekali
dihubungkan dengan dirasah Islamiyah (ada dalil dari al-qur’an dan hadits).
Motivasi
dalam diri seseorang bisa menambah dan mengurangi kepondokmodernannya. Maka
untuk menimbulkan motivasi ini, jiwa dan filsafatnya harus sama dengan Pondok.
Kalau tidak sama, dia tidak akan termotivasi dalam melaksanakan tugas di Pondok,
akhirnya kefahaman dan kesadarannya terhadap Pondok pun sangat minim.
Maka
berbicara atau menyampaikan sesuatu itu harus dari dalam jiwa, bukan sekedar
dari mulut saja. Dengan demikian akan masuk omongan kita ke orang tersebut.
Namun setruman terhadap filsafat, nilai dan sistem tergantung kepada:yang
memberi setruman dan siapa yang disetrum itu. Kalau orang yang disetrum tidak
senang dengan kita atau tidak seide dengan Pondok, setruman itu pun tidak akan
masuk.
Salah satu
upaya Pimpinan Pondok membina guru-guru adalah dengan memberika setruman
tentang kepondokmodernan di Masjid Atiq setelah sholat Maghrib, kemisan,
pemanggilan ke rumah pimpinan, di ajak keliling pakai mobil pimpinan dan lain
sebagainya.
Yang sulit
itu adalah membuat pengasuh-pengasuh Pondok cabang yang mengerti Gontor, yang
se-ide dan searah dengan Gontor, serta yang mau dikaderkan menjadi pengasuh
cabang tidak banyak. Kalau Cuma membuat guru/ustadz, mudah saja.
Setiap
kegiatan di Pondok ini diisi dengan visi, misi dan nilai kepondokmodernan,
meskipun dengan ucapan takbir “Allahu akbar” seperti sebelum bekerja atau
sebelum ngecor, kelihatannya remeh tetapi ini penting untuk membangkitkan
semangat santri-santri, mendidik mental dan menanamkan motivasi serta filsafat
hidup yang baik dalam diri mereka.Gontor itu maju karena menganggap penting
hal-hal yang remeh.
Pimpinan
Pondok atau siapapun dalam menyampaikan pengarahan harus memakai i’dad maddiy
dan ma’nawiy (sepenuh hati) supaya masuk ke hati para Guru-guru KMI dan Santri,
seperti menjelaskan tentang kepondokmodernan, falsafah hidup pondok,
kedisiplinan, sunnah pondok (pergi ke masjid harus pakai peci, baju dimasukkan,
dll).
Untuk
memahami pondok secara keseluruhan maka harus menyatu dengan pondok
(integrated), yaitu :
1. Menyatu idenya
2. Menyatu progamnya
3. Menyatu jiwanya
4. Menyatu filsafat hidupnya
C.
Kekuatan
Pondok
Kalau kita
kuat maka kita akan menguatkan orang lain, kalau kita menguatkan orang lain
maka orang lain akan menguatkan kita dan Allah pasti lebih menguatkan kita.
Kekuatan itu kita pakai yang mana akan menjadikan kita semakin kuat sedang yang
membuat kekuatan itu adalah kemauan. Kekuatan kita ini terletak pada:
1. Keikhlasan.
2. Ajaran-ajaran Gontor di KMI.
3. Disiplin pola fikir dan kegiatan.
Segala
sesuatu di Pondok ini harus dengan disiplin yang tinggi, bukan cuma disiplin ke
masjid dan disiplin masuk kelas, tetapi juga disiplin pola pikir, sikap dan
tingkah laku. Kehebatan lembaga manapun di dunia ini tergantung kepada
disiplin. Termasuk di Pondok ini, disiplin adalah salah satu faktor yang
membuat Pondok kuat dan maju.
Salah satu
yang membuat Pondok ini kuat adalah karena Pondok ini mandiri, orang yang
didalamnya pun mandiri. Mandiri disini adalah mandiri dalam kebersamaan, bukan
mandiri pribadi. Seperti Koperasi Pelajar, Percetakan Darussalam, UKK, KUK dan
unit-unit usaha lainnya adalah mandiri, tetapi mandirinya untuk kebersamaan,
salah satu pimpinan tidak ada yang menguasai unit usaha itu untuk kepentingan
pribadinya dengan dalih-dalih mandiri.
Al Qur’an
yang kita baca dan perbuatan baik yang kita laksanakan akan berupa makhluk yang
mana makhluk-makhluk itu akan menolong orang yang melakukanya nanti di kuburan
dan di akhirat, maka gontor dengan sekian banyak santri yang berbuat baik dan
membaca alQur’an akan menimbulkan sebuah kekuatan yang sangat dahsyat. Apabila
ada Santri atau Guru yang melanggar disiplin (mencuri) cepat atau lambat akan
ketahuan.
D.
Perang
Orientasi Pendidikan dan Pengajaran
Di Gontor ini perang orientasi pendidikan dan
pengajaran. Para Pimpinan Pondok sangat memperhatikan pendidikan, akhirnya
beliaulah yang menang. Jadi di pondok ini diperbanyak kegiatan ekstrakurikuler
(Panggung Gembira, Drama Arena, OPPM, Kepramukaan, Rayon, Latihan Pidato,
bahkan di ujianpun ada pendidikan) yang agak mengesampingkan pengajaran.
Kegiatan ini tidak apa-apa mengganggu pelajaran karena pendidikan di Gontor ini
untuk menimbulkan atau mendidik karakter building sehingga menimbulkan sikap,
tingkah laku dan pola pikir yang baik.
Di Pondok
ini, kita harus menciptakan persaingan yang sehat, baik itu antar santri, antar
rayon maupun antar asatidz. Seperti persaingan dalam belajar dan dalam
perlombaan-perlombaan. Untuk menciptakan persaingan sehat tersebut kuncinya
adalah pengasuh harus mengadakan pendekatan manusiawi, pendekatan program dan
pendekatan ideal. Maka cara menggerakkan Pondok ini kadang-kadang pemimpin
harus terjun langsung.
Umur 12
tahun sampai 20 tahun adalah masa-masa paling manjur untuk dididik mentalnya.
Adapun umur di bawah itu juga tidak cocok untuk pendidikan mental, karena
mereka lebih senang bermain. Sedangkan umur mahasiswa ke atas, lebih cenderung
kepada pengajaran.
Pendidikan
di Gontor harus dengan “Uswatun Hasanah” berupa miliu, sedangkan miliu itu
berupa figur, keadaan/lingkungan, ketertiban dan penampilan yang serba prima.
Pimpinan menggunakan jas, peci, berpakaian rapi ini adalah uswah hasanah.
Kantor
pimpinan terbuka agar:
1. Guru dan Santri bisa melihat apa yang dikerjakan Pimpinan
2. Pimpinan bisa melihat apa kegiatan santri
3. Open manajemen
E.
Sistem di
Gontor
Di Pondok
ini banyak terdapat sistem. Ada sistem KMI, sistem pembuatan i’dad,
penandatanganan i’dad, muroqobatul fushul, tabkir, sistem mengajar, pengarahan
direktur KMI, sistem guru, sistem panitia ujian dan lain-lain. Ada juga sistem
Pengasuhan Santri, seperti: sistem mengatur kamar guru (penempatan guru yang
sudah S1 tidak bisa disamakan dengan guru di bawahnya), pelajaran sore (KMI
tidak boleh ikut campur masalah pelajaran sore, karena itu wilayah Pengasuhan).
Untuk apa kelas 6 disuruh mengajar pelajaran sore? Agar mereka tahu cara
mengajar, belajar yang baik adalah mengajar.
Kalau
Pondok-pondok alumni yang ada masih loyal kepada nilai, sistem dan disiplin
Gontor, pasti maju.
Suatu hari,
Ust. Syukri pernah ditanya oleh seseorang “Ustadz koq selalu kelihatan awet
muda? Apa kuncinya?”.Jawaban beliau adalah “Kita harus selalu optimis dan
berfikir sederhana, yaitu apa yang mampu dikerjakan kita kerjakan dan yang
belum mampu dikerjakan nanti dulu”. Jawaban seperti ini benar-benar direkam
oleh orang tersebut dan dia amalkan, akhirnya dia berhasil.
الْبَرَكَةُ فِي الْحَرَكَةِ
Maka kita
yang ada di Gontor ini harus terintegrasi (menyatu) dan sejalan dengan Gontor,
mengerjakan segala macam kegiatan harus sungguh-sungguh li i’lai kalimatillah
sehingga Allah SWT pasti akan memberi ilham dan petunjuk kepada kita.
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ
سُبُلَنَا، وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ (العنكبوت: 69(
Memotivasi
Diri
Kita harus
berani mengubah nasib. Nasib yang lebih baik tentunya. Man kana yaumuhu khairan
min amsihi fahuwa rabih, siapa yang hari ini lebih baik dengan hari kemarin
maka ia beruntung. Jika harinya sama dengan hari kemarin fahuwa khasir, maka ia
merugi.
Itulah cara
kita memberikan motivasi. Ubahlah dirimu menjadi lebih baik. Misalnya dengan
berkata, “Saya harus mempunyai wawasan yang luas,” “Saya harus selesai membaca
buku ini dalam satu pekan,” dan seterusnya. Sehingga, banyak buku yang
berhasil Anda baca.
Untuk
meningkatkan diri, pertama, belajarlah dari pengalaman, harus mau belajar dari
pengalaman. Kedua, harus mau belajar, mau berkorban, dan mau bersabar, karen
semua itu diperlukan guna mencapai sebuah cita-cita. Jika tidak memiliki
cita-cita, maka dalam hidupnya, ia asal ikut saja. Bahkan, sebagai guru, dalam mengajar
pun, ia asal mengajar. Ritme hidupnya cuma minal hujrah ilal fasl wa ilal
masjid wal ghayr, keluar dari kamar menuju kelas, lalu ke masjid dan tempat
lainnya. Jika seperti ini maka hidupnya menjadi repot dan tidak banyak manfaat.
Bacalah,
karena dengan membaca wawasan kita akan menjadi luas. Saya masih membawa buku
dan membacanya ketika naik pesawat terbang. Ini lebih baik dari pada mengantuk.
Orang Jepang kalau naik kereta atau bus biasa baca buku. Apalagi jika memakan
waktu setengah jam, satu jam atau lebih. Tidak heran di setiap stasiun kereta
atau bus terdapat penjual buku dan keranjang sampah untuk buku. Setelah
diperkirakan akan selesai membaca buku dalam waktu sekian maka setelah selesai
ia akan membuangnya di tempat sampah buku. Kemudian membeli buku lagi.
Begitulah orang Jepang yang senang membaca buku. Selalu ada yang menjual buku
dan tempat untuk membuang buku di setiap stasiunnya. Demikian juga orang
Perancis, Belanda, dan lain sebagainya. Tapi konon katanya tidak ada masyarakat
yang punya budaya membaca sehebat orang Jepang.
Memotivasi
diri sebetulnya bisa dilakukan dengan fokus kepada cita-cita kita. Maka
merugilah orang yang tidak memiliki cita-cita dalam hidupnya. Cita-cita itu ada
yang idealis dan ada pula yang pragmatis. Contohnya, “Habis lulus Gontor, saya
mau ke Malaysia,” “Setelah lulus S1 saya mau melanjutkan ke Pakistan atau e
Mesir,”atau “Setelah lulus S1 saya mau kawin.” Boleh tidak bercita-cita seperti
itu? Boleh saja. Setelah menghabiskan masa pengabdian mengajar dan lulus S1 mau
kawin, misalnya. Boleh saja dan aturlah semuanya.
Tapi, selain
itu harus memantapkan dalam diri, “Saya harus lulus S1 dengan predikat sangat
baik,” atau “Saya harus mempunyai pengalaman yang dahsyat, berwawasan luas,
keterampilan mengajar yang hebat dan skil kepemimpinan yang prima,” dan lain
sebagainya. Jangan sampai seperti kapas yang diterpa angin. Untuk itu
diperlukan kesabaran dan ketekunan dalam meniti karir. Ingatlah tujuan semula
meski tujuan itu bisa berubah dan berkembang. Jadi cita-cita itu ada yang
idealis dan ada juga yang pragmatis. Maka pintar-pintarlah kita memotivasi diri
supaya kita berkembang, berubah, dan mempunyai prestasi.
Beberapa
waktu lalu saya ketemu Mun’im di Pekalogan. Saat di Gontor dulu, dia mengurus
bagian administrasi. Saat ini di Pekalongan dia sudah menjadi wakil kepala
sebuah sekolah. “Sha`ab (susah) Ustadz, apalagi –mengatur- mudabbir-mudabbirnya
(pengurus),” keluhnya kepada saya. Ya memang susah, tidak seperti di Gontor.
Tapi saya berpesan dan menyemangatinya bahwa, itulah perjuangan di masyarakat.
Sebetulnya
anak Gontor punya potensi dan mampu berbuat banyak hal. Mampu berbuat yang
baik-baik. Keterampilan demi keterampilan sudah kita bekali selama dia nyantri
di sini. Keterampilan hidup, berorganisasi dan macam-macam keterampilan
lainnya. Maka tinggal pintar-pintarlah memotivasi diri.
Menghargai
Pengalaman
Pengalaman
adalah guru yang baik. Ungkapan sarat makna ini membuka cakrawala kita agar
menimba sebanyak-banyaknya pengalaman dalam hidup ini. Ketika kita menginginkan
guru-guru yang baik dan memiliki kualitas mendidik yang mumpuni, maka kita
harus menempa dan mengembangkan kemampuan mereka dengan pengalaman-pengalaman
tingkat tinggi. Itulah yang selama ini kita lakukan di Gontor. Kita di sini
mendidik guru-guru dengan pengalaman memimpin, mendidik, mengajar, dan pelbagai
pengalaman lainnya yang luar biasa.
Dalam
prosesnya, pendidikan pengalaman ini mutlak memerlukan al-`idad (persiapan),
baik i`dad zady (bekal terbaik) maupun i`dad maddy (materi). Di sini, para guru
diajarkan agar setiap hendak keluar rumah selalu mengawali dengan mengucap
bismillahirrahmanirrahim. Guru mesti membaca doa. Meski tampak sederhana,
fenomena ini jarang berlaku di lembaga pendidikan umum. Kebanyakan guru di
lembaga-lembaga umum hanya merasa melaksanakan tugas untuk mendapatkan gaji,
sehingga aspek materialismenya kental sekali.
Di Gontor,
guru-guru mengajar dengan dua persiapan; pertama, i’dad zady, yaitu sebaik-baik
bekal adalah takwa. Kedua, i’dad maddy, yakni menguasai materi yang akan
diajarkan, menguasai keadaan murid di kelas, dan mata guru awas dalam mengajar.
Pengalaman
demi pengalaman akan dirasakan. Ada murid nakal dan ada juga murid yang tidak
mengerti pelajaran yang diajarkan. Semua itu akan membentuk pengalaman tersendiri
bagi guru. Kenapa murid tidak masuk kelas? Kenapa pelajaran tidak dimengerti
oleh murid? Apa saya salah? Apakah murid tersebut butuh motivasi?
Guru
memotivasi murid yang seperti itu agar dia punya motivasi yang kuat dalam
belajar. Sehingga, dia mau mendengarkan dengan baik dan belajar dengan
sungguh-sungguh. Di sini dapat ditarik kesimpulan sederhana, bahwa sebetulnya
jika suatu pendidikan tidak berjalan dengan benar, berarti yang salah adalah
guru. Guru tidak dibenarkan berkata tidak mampu mengajar dan mendidik. Karena
yang tidak mampu adalah pengecut, tidak berani menangani, tidak punya keinginan
menangani dan bersikap masa bodoh.
Mendidik itu
membiasakan. Mendidik itu mengajar, memberikan tugas, dan membiasakan diri
melatih. Melatih belajar dan cara belajar dengan penuh kesabaran. Jika ada
murid yang sulit menghafal dan tidak faham, maka guru mesti mengajarinya
sedikit demi sedikit. Guru mesti memberi tahu murid tersebut agar membaca yang
ingin dihafal sebanyak mungkin, meski sampai 40 kali, niscaya dia akan hafal.
Begitu juga memahami pelajaran, Muthala’ah misalnya, dengan membaca hingga 40
kali maka niscaya ia faham. Kadang-kadang pemahaman didapat dengan sering
membaca. Ketika masih belajar di Mesir, saya menemukan sebuah kata yang awalnya
tidak saya fahami, namun karena sering membacanya akhirnya saya faham arti kata
itu.
Mendidik
adalah ‘menyetrum’. Saya berbicara dengan hati bukan dengan mulut. ‘Menyetrum’
guru supaya memahami pondok, memahami pimpinan, memahami apa yang dibicarakan
pimipinan, dan kalau bisa mengamalkannya. Efek ’struman’ ini tidak sama, ada
yang kuat dan ada pula yang lemah. Sebab, manusia itu bermacam-macam. Ada yang
seperti batu keras dan tidak mau mengerti. Ada juga yang laksana tanah subur
kemudian faham apa yang diajarkan kepadanya, sehingga ia menumbuhkan pohon dan
menghasilkan buah. Dan ada pula yang seperti pohon tertentu yang sulit dimana
baru puluhan tahun baru faham.
Sebagai
pimpinan Pondok, saya menentukan dan memilih guru. Mudah-mudahan saya tidak
salah pilih. Mereka yang terpilih menjadi guru di Gontor bukan karena
semata-mata lulus dengan predikat mumtaz (memuaskan). Belum tentu yang mumtaz
saya pilih. Kadang yang mumtaz egonya tinggi sekali. Tapi yang saya pilih
adalah mereka yang memiliki jiwa kemasyarakatan, bisa mendidik, bisa menimbang
kawan, dan tidak egois. Sebab, dalam mendidik diperlukan banyak pengorbanan,
banyak kesabaran, dan ketekunan. Jadi saya mencari santri-santri yang tekun dan
guru-guru yang tekun. Dari sinilah sebuah pengalaman dan pendidikan kemasyarakatan,
serta pendidikan hidup, kita didikkan kepada santri-santri dan guru-guru.
Dengan harapan agar mereka menjadi guru yang hebat, sehingga terjadilah proses
kaderisasi yang sesungguhnya.
0 komentar:
Posting Komentar