Pengaruh Agama Terhadap Kehidupan Individu Dalam Masyarakat
A.
Pendahuluan
Dalam pemaparan berikut tidak khusus hanya mengungkap definisi dan
teori. Tujuan utama pembahasan agama adalah untuk memahami kehidupan beragama.
Oleh karena itu, uraian ahli tentang agama juga diungkap bersamaan dengan
definisi agama. Kedua-duanya, definisi dan penjelasan tentang agama sama-sama
bertujuan untuk menjelaskan apa dan bagaimana kehidupan beragama, sama-sama
untuk menarik kesimpulan dari fenomena kehidupan beragama.
Antropologi secara sederhana berarti ilmu tentang manusia dalam
memahami perilaku manusia dalam beragama, antropologi menyelidiki kenapa dan
bagaimana manusia beragama. Kenapa manusia beragama tertuju kepada masalah
asal-usul manusia beragama. Sementara itu, bagaimana manusia beragama
menjelaskan keadaan, aspek apa saja yang dilibatkan, bagaimana perilaku dan
cita rasa manusia menghayati agama. Termasuk hal penting dalam menjawab
bagaimana manusia beragama adalah hubungan perilaku dan kondisi psikologis
beragama dengan aspek kebudayaan yang lain. Karena luasnya cakupan kehidupan
beragama dan bermacam ragam agama yang telah berkembang dalam kehidupan manusia.
maka, berkaitan dengan itu ahli antropologi punya berbagai sudut pandang.
B.
Definisi
Agama Secara Umum
Edward Burnett Tylor memandang asal
mula agama adalah sebagai kepercayaan kepada wujud spiritual. Agama digambarkan
sebagai kepercayaan kepada adanya ruh gaib yang berpikir, bertindak dan
merasakan sama dengan manusia.
Kemudian kepercayaan kepada ruh itu berevolusi menjadi kepercayaan
kepada dewa-dewa alam yang berada di belakang setiap peristiwa alam.
Selanjutnya kepercayaan kepada dewa-dewa alam ini berevolusi seiring dengan
adanya konsep Negara dalam kehidupan manusia, menjadi berbagai pangkat yang
akhirnya ada yang tertinggi, yaitu satu raja dewa, sehingga sampai kepada
kepercayaan monoteisme. Akan tetapi, semuanya punya kesamaan, yaitu percaya
kepada wujud spiritual. Agama digambarkan sebagai kepercayaan kepada adanya ruh
gaib yang berpikir, bertindak dan merasakan seperti manusia.
Radcliffe-Brown mengemukakan
definisi agama sebagai ekspresi dalam satu atau lain bentuk tentang kesadaran
terhadap ketergantungan kepada suatu kekuatan di luar diri kita yang dapat
dinamakan dengan kekuatan spiritual atau moral.[1]
Dan bagi penganut agama yang bersangkutan, yang percaya terhadap
ajaran agamanya tentu akan memandang kekuatan gaib itu bukan sekadar gaib,
tetapi berkuasa membantu, menyelamatkan, atau mencelakakan mereka. Bagi
penganut agama monoteis, Tuhan yang dipercayai itu bersifat maha kuasa. Namun,
kepercayaan penganut agama yang begini tentu dipandang hanya sekadar
kepercayaan. Kepercayaan itu dinilai tidak rasional dan tidak ada bukti yang
cukup kuat secara ilmiah.
Mircea Eliade percaya kepada
independensi atau otonomi agama. Agama bukan penampilan dari ekonomi atau
lainnya. Agama bukan hasil dari realitas yang lain, agama bukan suatu variable
dependen, seperti yang dikemukakan oleh ahli lain. Agama, menurut Eliade, harus
dipahami sebagai yang mempengaruhi aspek-aspek kehidupan yang lain, sebagai
variable independen. Agama tidak cukup dipahami seperti cara kerja sejarawan,
tetapi juga harus dengan pendekatan dari dalam, secara fenomenologis.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa pembicaraan mengenai saling
mempengaruhi ini tidaklah spesifik mengungkap definisi agama, tetapi lebih
dekat kepada pembahasan tentang teori. Namun, pendapatnya bahwa agama adalah
sesuatu yang independen dan otonomi.[2]
Eliade juga memulai menjelaskan agama dengan membedakan antara
kehidupan sakral dan kehidupan profan. Yang sakral itu aktifitas kehidupan yang
disengaja, yang supranatural, mengesankan, yang substansial dan penting; yang
teratur, sempurna, tempat bersama leluhur, para pahlawan dan para dewa.
Sebaliknya, yang profan adalah yang biasa-biasa saja dalam kehidupan
sehari-hari, yang selalu berubah.
Durkheim mendefinisikan
agama sebagai suatu “sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan
yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek
yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal.” Dari definisi ini ada
dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu
“sifat kudus” dari agama dan “praktek-praktek ritual” dari agama. Agama tidak
harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama
tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama
lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini terlihat bahwa sesuatu
dapat disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya,
yang melibatkan dua ciri tersebut.[3]
Hendro puspito berpendapat,
agama adalah suatu jenis sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang
berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan
didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas
umumya. Dalam kamus sosiologi, pengertian agama ada 3 macam yaitu:
1. Kepercayaan pada
hal-hal yang spiritual
2. Perangkat kepercayaan
dan praktek-praktek spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri
3. Ideologi mengenai
hal-hal yang bersifat supranatural
Elizabeth K. Nottingham,
agama adalah gejala yang begitu sering “terdapat dimana-mana”, dan agama
berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari
keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta. Selain itu agama dapat
membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna, dan juga perasaan takut
dan ngeri. Meskipun perhatian tertuju keada adanya suatu dunia yang tak dapat
dilihat (akhirat), namun agama melibatkan dirinya dalam masalah-masalah
kehidupan sehari-hari di dunia.[4]
Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang
bersifat Adikordrati (Supernatural) ternyata seakan menyertai manusia dalam
ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan
manusia sebagai orang per orang maupun dalam hubungannya dengan kehidupan
bermasyarakat. Selain itu agama juga memberi dampak bagi kehidupan sehari-hari.[5]
C.
Ruang
Lingkup Agama
Secara garis besar ruang lingkup agama mencakup :
a. Hubungan manusia
dengan tuhannya
Hubungan dengan tuhan disebut ibadah. Ibadah bertujuan untuk
mendekatkan diri manusia kepada tuhannya.
b. Hubungan manusia
dengan manusia
Agama memiliki konsep-konsep dasar mengenai kekeluargaan dan
kemasyarakatan. Konsep dasar tersebut memberikan gambaran tentang ajaran-ajaran
agama mengenai hubungan manusia dengan manusia atau disebut pula sebagai ajaran
kemasyarakatan. Sebagai contoh setiap ajaran agama mengajarkan tolong-menolong
terhadap sesama manusia.
c. Hubungan manusia
dengan makhluk lainnya atau lingkungannya.
Di setiap ajaran agama diajarkan bahwa manusia selalu menjaga
keharmonisan antara makluk hidup dengan lingkungan sekitar supaya manusia dapat
melanjutkan kehidupannya.
Sebuah agama sekurang-kurangnya menyangkut tiga hal pokok yang
menjadi ruang lingkup ajarannya, yaitu:
1.
sistem
kepercayaan.[6]
2.
sistem
peribadatan.[7]
3.
sistem
perilaku.[8]
Ketiganya merupakan satu kesatuan yang disebut agama, bahkan
menjadi tolak ukur apakah suatu agama layak disebut agama.
D.
Fungsi
Agama Dalam Kehidupan Individu
1. Agama Sebagai Sumber
Nilai dalam Menjaga Kesusilaan
Menurut Mc. Guire, diri manusia memiliki bentuk sistem nilai
tertentu. Sistem nilai ini merupakan sesuatu yang dianggap bermakna bagi
dirinya. Sistem nilai ini dibentuk melalui belajar dan proses sosialisasi.
Perangkat sistem nilai ini dipengaruhi oleh keluarga, teman, institusi, pendidikan,
dan masyarakat.
Selanjutnya, oleh Mc. Guire, berdasarkan perangkat informasi yang
diperoleh seorang dari hasil belajar dan sosialisasi tadi meresap dalam
dirinya. Sejak itu perangkat nilai itu menjadi sistem yang menyatu dalam
membentuk identitas seseorang. Ciri khas ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari,
bagaimana sikap, penampilan maupun untuk tujuan apa yang turut berpartisipasi
dalam suatu kegiatan tertentu. Menurut pandangan Mc. Guire, dalam membentuk
sistem nilai dalam diri individu adalah agama.
Menurut Mc. Quire system nilai yang berdasarkan agama dapat memberi
pedoman bagi individu dan masyarakat. Sistem nilai tersebut dalam bentuk
keabsahan dan pembenaran dalam kehidupan individu dan masyarakat.
2. Agama Sebagai Sarana
untuk Mengatasi Prustasi
Manusia mempunyai kebutuhan dalam kehidupan ini, mulai dari
Kebutuhan fisik seperti makanan, pakaian, istirahat, dan seksual, sampai
kebutuhan psikis, seperti keamanan, ketentraman, persahabatan, penghargaan, dan
kasih sayang. Menurut Sarlito Wiraman Sarwono, apabila kebutuhannya itu tidak
terpenuhi, terjadi ketidak-seimbangan, yakni antara kebutuhan dan pemenuhan,
maka akan menumbuhkan kekecewaan yang tidak menyenangkan, kondisi atau keadaan
inilah yang disebut frustasi.
Menurut pengamatan psikolog bahwa keadaan frustasi itu dapat
menimbulkan tingkah laku kagamaan. Orang yang mengalami frustasi tidak jarang
bertingkah laku religius atau keagamaan, untuk mengatasi frustasinya.
Kebutuhan-kebutuhan manusia pada hakikatnya diarahkan kepada kebutuhan duniawi,
seperti kebutuhan fisik (pangan, sandang, papan, seks, dan sebagainya)
kebutuhan psikis (kehormatan, penghargaan, perlindungan dan sebagainya). Untuk
itu ia melakukan pendekatan kepada Tuhan melalui ibadah, dan hal tersebut yang
melahirkan tingkah laku keagamaan.
3. Agama sebagai sarana
untuk mengatasi ketakutan
Ketakutan yang dimaksud dalam kaitannya dengan agama sebagai sarana
untuk mengatasinya, adalah ketakutan yang tidak ada obyeknya. Untuk mengatasi
ketakutan sepert diatas, psikologi sebagai ilmu empiris, terbentur masalah
kesulitan. Soalnya bentuk ketakutan tanpa obyek hampir tidak bisa diteliti
secara positif-empiris, karena ketakutan tersebut biasanya tersembunyi dalam
gejala-gejala lain yang merupakan manifestasi terselubung dari ketakutan,
misalnya dalam bentuk gejala malu, rasa bersalah, takut kecelakaan, rasa
bingung, dan takut mati. Timbulnya motivasi agama salah satunya karena adanya
rasa takut. Lihatlah misalnya disaat terjadi musibah gempa bumi, tsunami, dan
sebagainya orang berduyun-duyun pergi ke rumah ibadah minta pertolongan dan
perlindungan kepada Yang Maha kuasa.
4. Agama sebagai sarana
untuk memuaskan keingintahuan
Agama mampunmemberi jawaban atas kesukaran intelektual kognitif,
sejauh kesukaran itu diresapi oleh keinginan eksistensial dan psikologis, yaitu
oleh keinginan dan kebutuhan manusia akan orientasi dalam kehidupan, agar dapat
menempatkan diri secara berarti dan bermakna di tengah-tengah alam semesta ini.
Tanpa agama, manusia tidak mampu menjawab pertanyaan yang sangat mendasar dalam
kehidupannya, yaitu dari mana manusia datang, apa tujuan manusia hidup, dan
mengapa manusia ada, dan kemana manusia kembalinya setelah mati.
Dipandang dari segi psikologis dapat dikatakan bahwa agama memberi
sumbangan istimewa kepada manusia dengan mengarahkannya kepada Tuhan. Dengan
demikian, agama dapat menjadikan manusai merasa aman dalam hidupnya. Kesadaran
akan keadaan itu jelas melahirkan adanya tingkah laku keagamaan.
5. Agama sebagai pembentuk
kata hati
Kata hati menurut Erich Fromm adalah panggilan kembali manusia
kepada dirinya. Shaftesbury mengasumsikan kata hati sebagai suatu rasa moral di
dalam diri manusia berupa rasa benar dan salah, suatu reaksi emosional yang
didasarkan atas fakta bahwa pikiran manusia pada dirinya sendiri dalam mengatur
keharmonisan dirinya dengan tatanan kosmik. Boeh dikatakan, filsafat skolastik
(agama) lebih tegas mengatakan kata hati sebgai kesadaran akan prinsip –
prinsip moral.
Erich Fromm membagi kata hati menjadi menjadi dua, diantaranya:
a. Kata hati otoritarian;
dibentuk oleh pengaruh luar
b. Kata hati humanistik;
bersumber dari dalam diri sendiri
Pada diri manusia telah ada sejumlah potensi untuk memberi arah
dalam kehidupan manusia. Potensi tersebut adalah: hidayat al-Ghariziyyat (naluriah),
hidayat al-Hissiyyat (inderawi), hidayat al-Aqliyat (nalar), dan hidayat
al-Diniyyat (agama). Melalui pendekatan ini, maka agama sudah menjadi potensi
fitrah yang dibawa sejak lahir. Pengaruh lingkungan terhadap seseorang adalah
memberi bimbingan kepada potensi yang dimilikinya itu. Dengan demikian, jika
potensi fitrah itu dapat dikembangkan sejalan dengan pengaruh lingkungan maka
akan terjadi keselarasan. Sebaliknya jika potensi itu dikembangkan dalam
kondisi yang dipertentangkan oleh kondisi lingkungan, maka akan terjadi
ketidakseimbangan pada diri seseorang. Berdasarkan pendekatan ini, maka
pengaruh agama dalam kehidupan individu adalah memberi kemantapan batin, rasa
bahagia, rasa terlindung, rasa sukses dan rasa puas.
E.
Fungsi
Agama Dalam Masyarakat
Dalam hal fungsi, masyarakat dan agama itu berperan dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahakan secara empiris karena adanya keterbatasan
kemampuan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, diharapkan agama menjalankan
fungsinya sehingga masyarakat
merasa sejahtera, aman, stabil,
dan sebagainya. Agama dalam masyarakat bisa difungsikan sebagai berikut :
1.
Fungsi
edukatif.
Agama memberikan bimbingan dan pengajaran dengan perantara
petugas-petugasnya (fungsionaris) seperti syaman, dukun, nabi, kiai, pendeta
imam, guru agama dan lainnya, baik dalam upacara (perayaan) keagamaan, khotbah,
renungan (meditasi) pendalaman rohani, dan sebagainya.[9]
2.
Fungsi
Penyelamat
Keselamatan yang meliputi bidang yang luas adalah keselamatan yang
diajarkan leh agama. Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada pengautnya
adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu: dunia dan akhirat. Dalam
mencapai keselamatan itu agama mengajarkan para penganutnya untuk mengenal
terhadap sesuatu yang sacral yang disebut supernatural.[10]
Berkomunikasi dengan supranatural dlaksanakan dengan berbagai cara
sesuai dengan ajaran agama itu sendiri, diantaranya:
a. Mempersatukan diri
dengan Tuhan (pantheisme)
b. Pembebasan dan pensucian
diri (penebusan dosa)
c. Kelahiran kembali (reinkarnasi)
3.
Fungsi
pengawasan sosial (social control)
Fungsi agama sebagai kontrol sosial yaitu :
Agama meneguhkan kaidah-kaidah susila dari adat yang dipandang baik
bagi kehidupan moral warga masyarakat.
Agama mengamankan dan melestarikan kaidah-kaidah moral (yang
dianggap baik) dari serbuan destruktif dari agama baru dan dari system hokum
Negara modern.
4.
Fungsi
Pemupuk Rasa Solidaritas
Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa
memiliki kesamaan dalam satu kesatuan dalam iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan
ini akan menimbulkan rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahka
kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh. Bahkan rasa
persaudaraan (solidaritas) itu bahkan dapat mengalahkan rasa kebangsaan.
5.
Fungsi
Pendamaian
Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai
kedamaia batin melalui tuntunan agama. Rasa berdosa dan bersalah akan segera
menjadi hilang dari batinnya apabila sesorang yang bersalah telah menebus
dosanya melalui: tobat, pensucian jiwa, ataupun penebusan dosa.
6.
Fungsi
Sublimatif
Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia bukan saja yag
bersifat ukhrawi melainkan juga bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama
tidak bertentangan dengan norma-norma agama, bila dilakukan dengan ikhlas
karena Tuhan merupakan ibadah.
7.
Fungsi
Kreatif
Ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja
produktif bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk
kepentingan orang lain. Penganut agama buka saja disuruh bekerja secara rutin
dalam pola hidup yag sama, akan tetapi juga dituntut untuk melakukan inovasi
dan penemuan baru dalam pekerjaan yang dilakukannya.
8.
Fungsi
transformatif.
Fungsi transformatif disini diartikan dengan mengubah bentuk
kehidupan baru atau mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai
baru yang lebih bermanfaat.[11]
Agama memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia
dan masyarakat, karena agama memberikan sebuah system nilai yang memiliki
derivasi pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan
pembenaran dalam mengatur pola perilaku manusia, baik di level individu dan
masyarakat. Agama menjadi sebuah pedoman hidup singkatnya. Dalam memandang
nilai, dapat kita lihat dari dua sudut pandang. Pertama, nilai agama dilihat dari sudut intelektual yang
menjadikan nilai agama sebagai norma
atau prinsip. Kedua, nilai agama dirasakan di sudut pandang emosional
yang menyebabkan adanya sebuah dorongan rasa dalam diri yang disebut mistisme.
Penutup
Sebagaimana telah dijelaskan dari pemaparan diatas, Manusia
membutuhkan bantuan untuk menghadapi perkara-perkara seperti kesusilaan,
disiplin, penderitaan, kematian, nasib terakhir. Terhadap persoalan tersebut,
agama menunjukan kepada manusia jalan dan arah kemana manusia dapat mencari
jawabannya. Dan jawaban tersebut hanya dapat diperoleh jika manusia beserta masyarakatnya mau
menerima suatu yang ditunjuk sebagai “sumber” dan “terminal terakhir” dari
segala kejadian yang ada di dunia. Terminal terakhir ini berada dalam dunia
supra-empiris yang tidak dapat dijangkau tenaga indrawi maupun otak manusiawi,
sehingga tidak dapat dibuktikan secara rasional, malainkan harus diterima
sebagai kebenaran. Agama juga telah meningkatkan kesadaran yang hidup dalam
diri manusia akan kondisi eksistensinya yang berupa ketidakpastian dan
ketidakmampuan untuk menjawab problem hidup manusia yang berat.
Adalah kenyataan sejarah bahwa agama mempunyai peranan dan
sumbangan yang amat penting dan berharga bagi kehidupan manusia. Agama
merupakan sumber daya kreatif dan sublimatif bagi pertumbuhan dan perkembangan
kebudayaan. Bahkan dapat dikatakan hampir setiap kebudayaan besar dan
bersejarah telah diilhami, dinafasi dan dilatarbelakangi oleh nilai-nilai dan
ide-ide yang berakar pada agama-agama besar.
tanpa dilandasi oleh agama, tentu akan mengundang berbagai akibat,
seperti kekosongan batin, keterasingan, kegelisahan dan sebagainya.
Daftar Pustaka
Agus,
Bustanuddin, Agama Dalam Kehidupan Manusia: pengantar antropologi agama,
(Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2006).
Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi
Agama, (Yogyakarta: KANISIUS, 1995).
Saebani, Beni
Ahmad, Pengantar Antropologi, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2012).
Saebani, Beni
Ahmad, Sosiologi Agama: Kajian Tentang Perilaku Institusional dalam
Beragama Anggota Persis dan Nahdlatul Ulama, (Yogyakarta: KANISIUS,
2007).
Hendropuspito,
D, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: KANISIUS, 1983).
Nottingham,
Elizabeth K, Agama dan Masyarakat: Pengantar Sosiologi Agama,
(Rajawali Press, 1997).
Prof. Dr. H, Jalaluddin,
Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010).
Penelitian dan
pengkajian agama di Indonesia (arah, kebijakan, wilayah dan pendekatan), dirangkai dari sambutan menteri agama dalam berbagai pengarahan,
terutama berkaitan dengan kegiatan badan litbang agama, (Jakarta: diterbitkan
oleh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Agama (PDIA), 1981).
[1] “sekadar mengatakan bahwa beragama adalah kepercayaan kepada wujud
spiritual, seperti yang dikemukakan oleh ahli antropologi di atas, juga
mengisyaratkan bahwa sesuatu yang dipercayai itu belum tentu merupakan kekuatan
gaib yang berkuasa terhadap kehidupan lahiriyah.”
[2] lihat Pengantar Antropologi, oleh Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si
[3] http://bennydaniarsa.blog.fisip.uns.ac.id/2011/03/13/agama-dan-masyarakat/
[4] Elizabeth K. Nottingham, 1985, hal 3-4
[5] Elizabeth K. Nottingham berpendapat bahwa agama bukan sesuatu yang
dapat dipahami melalui definisi melainkan melalui deskripsi (penggambaran). Tak
ada satu pun definisi tentang agama yang benar-benar memuaskan.
[6] Yang dimaksud dengan kepercayaan ialah suatu keyakinan atau
pengakuan terhadap eksistensi Tuhan yang menciptakan dan menguasai manusia
beserta seluruh alam semesta. Dengan demikian hanya agamalah yang patut diakui
sebagai sumber dari segala sumber pengetahuan tentang ketuhanan, serta
kaidah-kaidah kepercayaan yang wajib diyakini oleh pemeluknya. Dalam agama
Islam, misalnya, sistem kepercayaan ini disebut aqidah, yang berisi tentang
pokok-pokok keimanan (kepercayaan) atau yang lebih dikenal dengan rukun iman
yang enam.
[7] Sistem ini merupakan perwujudan dari sistem kepercayaan, karena di
dalamnya berisi peraturan dan pedoman tentang tata cara berhubungan dengan
Tuhan, seperti peraturan dan tata cara penyembahan, pemujaan atau do’a-do’a
kepada-Nya.
[8] Sistem ini mengatur tata hubungan manusia secara horizontal, atau
yang lebih dikenal dengan sebutan akhlak. Dalam sistem ini, agama merupakan
sumber pendidikan kemanusiaan, yang mengajarkan norma-norma atau nilai-nilai
tentang baik dan buruk yang menjadi pedoman dalam bertingkah laku yang luhur,
baik terhadap dirinya sendiri, terhadap sesama manusia, terhadap makhluk lain
dan seluruh alam semesta.
[9] Ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua
unsur suruhan dan larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan
pribadi penganutnya menjadi baik dan
terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing.
[10] Agama sanggup mendamaikan kembali manusia yang salah terhadap Tuhannya
dengan jalan pengampunan dan Penyucian batin.
[11] Ajaran agama dapat merubah kehidupan seseorang atau kelompok
menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
0 komentar:
Posting Komentar