Pages

Labels

Rabu, 30 Oktober 2013

Antropologi Agama

Pengaruh Agama Terhadap Kehidupan Individu Dalam Masyarakat

A.    Pendahuluan
Dalam pemaparan berikut tidak khusus hanya mengungkap definisi dan teori. Tujuan utama pembahasan agama adalah untuk memahami kehidupan beragama. Oleh karena itu, uraian ahli tentang agama juga diungkap bersamaan dengan definisi agama. Kedua-duanya, definisi dan penjelasan tentang agama sama-sama bertujuan untuk menjelaskan apa dan bagaimana kehidupan beragama, sama-sama untuk menarik kesimpulan dari fenomena kehidupan beragama.
Antropologi secara sederhana berarti ilmu tentang manusia dalam memahami perilaku manusia dalam beragama, antropologi menyelidiki kenapa dan bagaimana manusia beragama. Kenapa manusia beragama tertuju kepada masalah asal-usul manusia beragama. Sementara itu, bagaimana manusia beragama menjelaskan keadaan, aspek apa saja yang dilibatkan, bagaimana perilaku dan cita rasa manusia menghayati agama. Termasuk hal penting dalam menjawab bagaimana manusia beragama adalah hubungan perilaku dan kondisi psikologis beragama dengan aspek kebudayaan yang lain. Karena luasnya cakupan kehidupan beragama dan bermacam ragam agama yang telah berkembang dalam kehidupan manusia. maka, berkaitan dengan itu ahli antropologi punya berbagai sudut pandang.
B.     Definisi Agama Secara Umum
Edward Burnett Tylor memandang asal mula agama adalah sebagai kepercayaan kepada wujud spiritual. Agama digambarkan sebagai kepercayaan kepada adanya ruh gaib yang berpikir, bertindak dan merasakan sama dengan manusia.
Kemudian kepercayaan kepada ruh itu berevolusi menjadi kepercayaan kepada dewa-dewa alam yang berada di belakang setiap peristiwa alam. Selanjutnya kepercayaan kepada dewa-dewa alam ini berevolusi seiring dengan adanya konsep Negara dalam kehidupan manusia, menjadi berbagai pangkat yang akhirnya ada yang tertinggi, yaitu satu raja dewa, sehingga sampai kepada kepercayaan monoteisme. Akan tetapi, semuanya punya kesamaan, yaitu percaya kepada wujud spiritual. Agama digambarkan sebagai kepercayaan kepada adanya ruh gaib yang berpikir, bertindak dan merasakan seperti manusia.
Radcliffe-Brown mengemukakan definisi agama sebagai ekspresi dalam satu atau lain bentuk tentang kesadaran terhadap ketergantungan kepada suatu kekuatan di luar diri kita yang dapat dinamakan dengan kekuatan spiritual atau moral.[1]
Dan bagi penganut agama yang bersangkutan, yang percaya terhadap ajaran agamanya tentu akan memandang kekuatan gaib itu bukan sekadar gaib, tetapi berkuasa membantu, menyelamatkan, atau mencelakakan mereka. Bagi penganut agama monoteis, Tuhan yang dipercayai itu bersifat maha kuasa. Namun, kepercayaan penganut agama yang begini tentu dipandang hanya sekadar kepercayaan. Kepercayaan itu dinilai tidak rasional dan tidak ada bukti yang cukup kuat secara ilmiah.
Mircea Eliade percaya kepada independensi atau otonomi agama. Agama bukan penampilan dari ekonomi atau lainnya. Agama bukan hasil dari realitas yang lain, agama bukan suatu variable dependen, seperti yang dikemukakan oleh ahli lain. Agama, menurut Eliade, harus dipahami sebagai yang mempengaruhi aspek-aspek kehidupan yang lain, sebagai variable independen. Agama tidak cukup dipahami seperti cara kerja sejarawan, tetapi juga harus dengan pendekatan dari dalam, secara fenomenologis. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa pembicaraan mengenai saling mempengaruhi ini tidaklah spesifik mengungkap definisi agama, tetapi lebih dekat kepada pembahasan tentang teori. Namun, pendapatnya bahwa agama adalah sesuatu yang independen dan otonomi.[2]
Eliade juga memulai menjelaskan agama dengan membedakan antara kehidupan sakral dan kehidupan profan. Yang sakral itu aktifitas kehidupan yang disengaja, yang supranatural, mengesankan, yang substansial dan penting; yang teratur, sempurna, tempat bersama leluhur, para pahlawan dan para dewa. Sebaliknya, yang profan adalah yang biasa-biasa saja dalam kehidupan sehari-hari, yang selalu berubah.
Durkheim mendefinisikan agama sebagai suatu “sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal.” Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu “sifat kudus” dari agama dan “praktek-praktek ritual” dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini terlihat bahwa sesuatu dapat disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tersebut.[3]





Hendro puspito berpendapat, agama adalah suatu jenis sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas umumya. Dalam kamus sosiologi, pengertian agama ada 3 macam yaitu:
1.      Kepercayaan pada hal-hal yang spiritual
2.      Perangkat kepercayaan dan praktek-praktek spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri
3.      Ideologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural
Elizabeth K. Nottingham, agama adalah gejala yang begitu sering “terdapat dimana-mana”, dan agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta. Selain itu agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna, dan juga perasaan takut dan ngeri. Meskipun perhatian tertuju keada adanya suatu dunia yang tak dapat dilihat (akhirat), namun agama melibatkan dirinya dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari di dunia.[4]
Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat Adikordrati (Supernatural) ternyata seakan menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang per orang maupun dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Selain itu agama juga memberi dampak bagi kehidupan sehari-hari.[5]
C.    Ruang Lingkup Agama
Secara garis besar ruang lingkup agama mencakup :
a.       Hubungan manusia dengan tuhannya
Hubungan dengan tuhan disebut ibadah. Ibadah bertujuan untuk mendekatkan diri manusia kepada tuhannya.
b.      Hubungan manusia dengan manusia
Agama memiliki konsep-konsep dasar mengenai kekeluargaan dan kemasyarakatan. Konsep dasar tersebut memberikan gambaran tentang ajaran-ajaran agama mengenai hubungan manusia dengan manusia atau disebut pula sebagai ajaran kemasyarakatan. Sebagai contoh setiap ajaran agama mengajarkan tolong-menolong terhadap sesama manusia.

c.       Hubungan manusia dengan makhluk lainnya atau lingkungannya.
Di setiap ajaran agama diajarkan bahwa manusia selalu menjaga keharmonisan antara makluk hidup dengan lingkungan sekitar supaya manusia dapat melanjutkan kehidupannya.
Sebuah agama sekurang-kurangnya menyangkut tiga hal pokok yang menjadi ruang lingkup ajarannya, yaitu:
1.      sistem kepercayaan.[6]
2.      sistem peribadatan.[7]
3.      sistem perilaku.[8]
Ketiganya merupakan satu kesatuan yang disebut agama, bahkan menjadi tolak ukur apakah suatu agama layak disebut agama.
D.    Fungsi Agama Dalam Kehidupan Individu
1.    Agama Sebagai Sumber Nilai dalam Menjaga Kesusilaan
Menurut Mc. Guire, diri manusia memiliki bentuk sistem nilai tertentu. Sistem nilai ini merupakan sesuatu yang dianggap bermakna bagi dirinya. Sistem nilai ini dibentuk melalui belajar dan proses sosialisasi. Perangkat sistem nilai ini dipengaruhi oleh keluarga, teman, institusi, pendidikan, dan masyarakat.
Selanjutnya, oleh Mc. Guire, berdasarkan perangkat informasi yang diperoleh seorang dari hasil belajar dan sosialisasi tadi meresap dalam dirinya. Sejak itu perangkat nilai itu menjadi sistem yang menyatu dalam membentuk identitas seseorang. Ciri khas ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana sikap, penampilan maupun untuk tujuan apa yang turut berpartisipasi dalam suatu kegiatan tertentu. Menurut pandangan Mc. Guire, dalam membentuk sistem nilai dalam diri individu adalah agama.
Menurut Mc. Quire system nilai yang berdasarkan agama dapat memberi pedoman bagi individu dan masyarakat. Sistem nilai tersebut dalam bentuk keabsahan dan pembenaran dalam kehidupan individu dan masyarakat.
2.    Agama Sebagai Sarana untuk Mengatasi Prustasi
Manusia mempunyai kebutuhan dalam kehidupan ini, mulai dari Kebutuhan fisik seperti makanan, pakaian, istirahat, dan seksual, sampai kebutuhan psikis, seperti keamanan, ketentraman, persahabatan, penghargaan, dan kasih sayang. Menurut Sarlito Wiraman Sarwono, apabila kebutuhannya itu tidak terpenuhi, terjadi ketidak-seimbangan, yakni antara kebutuhan dan pemenuhan, maka akan menumbuhkan kekecewaan yang tidak menyenangkan, kondisi atau keadaan inilah yang disebut frustasi.
Menurut pengamatan psikolog bahwa keadaan frustasi itu dapat menimbulkan tingkah laku kagamaan. Orang yang mengalami frustasi tidak jarang bertingkah laku religius atau keagamaan, untuk mengatasi frustasinya. Kebutuhan-kebutuhan manusia pada hakikatnya diarahkan kepada kebutuhan duniawi, seperti kebutuhan fisik (pangan, sandang, papan, seks, dan sebagainya) kebutuhan psikis (kehormatan, penghargaan, perlindungan dan sebagainya). Untuk itu ia melakukan pendekatan kepada Tuhan melalui ibadah, dan hal tersebut yang melahirkan tingkah laku keagamaan.
3.    Agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan
Ketakutan yang dimaksud dalam kaitannya dengan agama sebagai sarana untuk mengatasinya, adalah ketakutan yang tidak ada obyeknya. Untuk mengatasi ketakutan sepert diatas, psikologi sebagai ilmu empiris, terbentur masalah kesulitan. Soalnya bentuk ketakutan tanpa obyek hampir tidak bisa diteliti secara positif-empiris, karena ketakutan tersebut biasanya tersembunyi dalam gejala-gejala lain yang merupakan manifestasi terselubung dari ketakutan, misalnya dalam bentuk gejala malu, rasa bersalah, takut kecelakaan, rasa bingung, dan takut mati. Timbulnya motivasi agama salah satunya karena adanya rasa takut. Lihatlah misalnya disaat terjadi musibah gempa bumi, tsunami, dan sebagainya orang berduyun-duyun pergi ke rumah ibadah minta pertolongan dan perlindungan kepada Yang Maha kuasa.
4.    Agama sebagai sarana untuk memuaskan keingintahuan
Agama mampunmemberi jawaban atas kesukaran intelektual kognitif, sejauh kesukaran itu diresapi oleh keinginan eksistensial dan psikologis, yaitu oleh keinginan dan kebutuhan manusia akan orientasi dalam kehidupan, agar dapat menempatkan diri secara berarti dan bermakna di tengah-tengah alam semesta ini. Tanpa agama, manusia tidak mampu menjawab pertanyaan yang sangat mendasar dalam kehidupannya, yaitu dari mana manusia datang, apa tujuan manusia hidup, dan mengapa manusia ada, dan kemana manusia kembalinya setelah mati.
Dipandang dari segi psikologis dapat dikatakan bahwa agama memberi sumbangan istimewa kepada manusia dengan mengarahkannya kepada Tuhan. Dengan demikian, agama dapat menjadikan manusai merasa aman dalam hidupnya. Kesadaran akan keadaan itu jelas melahirkan adanya tingkah laku keagamaan.
5.    Agama sebagai pembentuk kata hati
Kata hati menurut Erich Fromm adalah panggilan kembali manusia kepada dirinya. Shaftesbury mengasumsikan kata hati sebagai suatu rasa moral di dalam diri manusia berupa rasa benar dan salah, suatu reaksi emosional yang didasarkan atas fakta bahwa pikiran manusia pada dirinya sendiri dalam mengatur keharmonisan dirinya dengan tatanan kosmik. Boeh dikatakan, filsafat skolastik (agama) lebih tegas mengatakan kata hati sebgai kesadaran akan prinsip – prinsip moral.
Erich Fromm membagi kata hati menjadi menjadi dua, diantaranya:
a.    Kata hati otoritarian; dibentuk oleh pengaruh luar
b.    Kata hati humanistik; bersumber dari dalam diri sendiri
Pada diri manusia telah ada sejumlah potensi untuk memberi arah dalam kehidupan manusia. Potensi tersebut adalah: hidayat al-Ghariziyyat (naluriah), hidayat al-Hissiyyat (inderawi), hidayat al-Aqliyat (nalar), dan hidayat al-Diniyyat (agama). Melalui pendekatan ini, maka agama sudah menjadi potensi fitrah yang dibawa sejak lahir. Pengaruh lingkungan terhadap seseorang adalah memberi bimbingan kepada potensi yang dimilikinya itu. Dengan demikian, jika potensi fitrah itu dapat dikembangkan sejalan dengan pengaruh lingkungan maka akan terjadi keselarasan. Sebaliknya jika potensi itu dikembangkan dalam kondisi yang dipertentangkan oleh kondisi lingkungan, maka akan terjadi ketidakseimbangan pada diri seseorang. Berdasarkan pendekatan ini, maka pengaruh agama dalam kehidupan individu adalah memberi kemantapan batin, rasa bahagia, rasa terlindung, rasa sukses dan rasa puas.
E.     Fungsi Agama Dalam Masyarakat
Dalam hal fungsi, masyarakat dan agama itu berperan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahakan   secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, diharapkan agama menjalankan fungsinya sehingga masyarakat   merasa   sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya. Agama dalam masyarakat bisa difungsikan sebagai berikut :
1.      Fungsi edukatif.
Agama memberikan bimbingan dan pengajaran dengan perantara petugas-petugasnya (fungsionaris) seperti syaman, dukun, nabi, kiai, pendeta imam, guru agama dan lainnya, baik dalam upacara (perayaan) keagamaan, khotbah, renungan (meditasi) pendalaman rohani, dan sebagainya.[9]


2.      Fungsi Penyelamat
Keselamatan yang meliputi bidang yang luas adalah keselamatan yang diajarkan leh agama. Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada pengautnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu: dunia dan akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu agama mengajarkan para penganutnya untuk mengenal terhadap sesuatu yang sacral yang disebut supernatural.[10]
Berkomunikasi dengan supranatural dlaksanakan dengan berbagai cara sesuai dengan ajaran agama itu sendiri, diantaranya:
a.    Mempersatukan diri dengan Tuhan (pantheisme)
b.    Pembebasan dan pensucian diri (penebusan dosa)
c.    Kelahiran kembali (reinkarnasi)
3.      Fungsi pengawasan sosial (social control)
Fungsi agama sebagai kontrol sosial yaitu :
Agama meneguhkan kaidah-kaidah susila dari adat yang dipandang baik bagi kehidupan moral warga masyarakat.
Agama mengamankan dan melestarikan kaidah-kaidah moral (yang dianggap baik) dari serbuan destruktif dari agama baru dan dari system hokum Negara modern.
4.      Fungsi Pemupuk Rasa Solidaritas
Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan dalam iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan menimbulkan rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahka kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh. Bahkan rasa persaudaraan (solidaritas) itu bahkan dapat mengalahkan rasa kebangsaan.
5.      Fungsi Pendamaian
Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaia batin melalui tuntunan agama. Rasa berdosa dan bersalah akan segera menjadi hilang dari batinnya apabila sesorang yang bersalah telah menebus dosanya melalui: tobat, pensucian jiwa, ataupun penebusan dosa.
6.      Fungsi Sublimatif
Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia bukan saja yag bersifat ukhrawi melainkan juga bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama, bila dilakukan dengan ikhlas karena Tuhan merupakan ibadah.
7.      Fungsi Kreatif
Ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Penganut agama buka saja disuruh bekerja secara rutin dalam pola hidup yag sama, akan tetapi juga dituntut untuk melakukan inovasi dan penemuan baru dalam pekerjaan yang dilakukannya.
8.      Fungsi transformatif.
Fungsi transformatif disini diartikan dengan mengubah bentuk kehidupan baru atau mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru yang lebih bermanfaat.[11]
Agama memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan masyarakat, karena agama memberikan sebuah system nilai yang memiliki derivasi pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam mengatur pola perilaku manusia, baik di level individu dan masyarakat. Agama menjadi sebuah pedoman hidup singkatnya. Dalam memandang nilai, dapat kita lihat dari dua sudut pandang. Pertama, nilai  agama dilihat dari sudut intelektual yang menjadikan nilai agama sebagai norma  atau prinsip. Kedua, nilai agama dirasakan di sudut pandang emosional yang menyebabkan adanya sebuah dorongan rasa dalam diri yang disebut mistisme.













Penutup
Sebagaimana telah dijelaskan dari pemaparan diatas, Manusia membutuhkan bantuan untuk menghadapi perkara-perkara seperti kesusilaan, disiplin, penderitaan, kematian, nasib terakhir. Terhadap persoalan tersebut, agama menunjukan kepada manusia jalan dan arah kemana manusia dapat mencari jawabannya. Dan jawaban tersebut hanya dapat diperoleh  jika manusia beserta masyarakatnya mau menerima suatu yang ditunjuk sebagai “sumber” dan “terminal terakhir” dari segala kejadian yang ada di dunia. Terminal terakhir ini berada dalam dunia supra-empiris yang tidak dapat dijangkau tenaga indrawi maupun otak manusiawi, sehingga tidak dapat dibuktikan secara rasional, malainkan harus diterima sebagai kebenaran. Agama juga telah meningkatkan kesadaran yang hidup dalam diri manusia akan kondisi eksistensinya yang berupa ketidakpastian dan ketidakmampuan untuk menjawab problem hidup manusia yang berat.
Adalah kenyataan sejarah bahwa agama mempunyai peranan dan sumbangan yang amat penting dan berharga bagi kehidupan manusia. Agama merupakan sumber daya kreatif dan sublimatif bagi pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan. Bahkan dapat dikatakan hampir setiap kebudayaan besar dan bersejarah telah diilhami, dinafasi dan dilatarbelakangi oleh nilai-nilai dan ide-ide yang berakar pada agama-agama besar.
tanpa dilandasi oleh agama, tentu akan mengundang berbagai akibat, seperti kekosongan batin, keterasingan, kegelisahan dan sebagainya.














Daftar Pustaka

Agus, Bustanuddin, Agama Dalam Kehidupan Manusia: pengantar antropologi agama, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2006).
 Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: KANISIUS, 1995).
Saebani, Beni Ahmad, Pengantar Antropologi, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2012).
Saebani, Beni Ahmad, Sosiologi Agama: Kajian Tentang Perilaku Institusional dalam Beragama Anggota Persis dan Nahdlatul Ulama, (Yogyakarta: KANISIUS, 2007).
Hendropuspito, D, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: KANISIUS, 1983).
Nottingham, Elizabeth K, Agama dan Masyarakat: Pengantar Sosiologi Agama, (Rajawali Press, 1997).
Prof. Dr. H, Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010).
Penelitian dan pengkajian agama di Indonesia (arah, kebijakan, wilayah dan pendekatan), dirangkai dari sambutan menteri agama dalam berbagai pengarahan, terutama berkaitan dengan kegiatan badan litbang agama, (Jakarta: diterbitkan oleh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Agama (PDIA), 1981).




[1] “sekadar mengatakan bahwa beragama adalah kepercayaan kepada wujud spiritual, seperti yang dikemukakan oleh ahli antropologi di atas, juga mengisyaratkan bahwa sesuatu yang dipercayai itu belum tentu merupakan kekuatan gaib yang berkuasa terhadap kehidupan lahiriyah.”
[2] lihat Pengantar Antropologi, oleh Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si
[3] http://bennydaniarsa.blog.fisip.uns.ac.id/2011/03/13/agama-dan-masyarakat/
[4] Elizabeth K. Nottingham, 1985, hal 3-4
[5] Elizabeth K. Nottingham berpendapat bahwa agama bukan sesuatu yang dapat dipahami melalui definisi melainkan melalui deskripsi (penggambaran). Tak ada satu pun definisi tentang agama yang benar-benar memuaskan.
[6] Yang dimaksud dengan kepercayaan ialah suatu keyakinan atau pengakuan terhadap eksistensi Tuhan yang menciptakan dan menguasai manusia beserta seluruh alam semesta. Dengan demikian hanya agamalah yang patut diakui sebagai sumber dari segala sumber pengetahuan tentang ketuhanan, serta kaidah-kaidah kepercayaan yang wajib diyakini oleh pemeluknya. Dalam agama Islam, misalnya, sistem kepercayaan ini disebut aqidah, yang berisi tentang pokok-pokok keimanan (kepercayaan) atau yang lebih dikenal dengan rukun iman yang enam.
[7] Sistem ini merupakan perwujudan dari sistem kepercayaan, karena di dalamnya berisi peraturan dan pedoman tentang tata cara berhubungan dengan Tuhan, seperti peraturan dan tata cara penyembahan, pemujaan atau do’a-do’a kepada-Nya.
[8] Sistem ini mengatur tata hubungan manusia secara horizontal, atau yang lebih dikenal dengan sebutan akhlak. Dalam sistem ini, agama merupakan sumber pendidikan kemanusiaan, yang mengajarkan norma-norma atau nilai-nilai tentang baik dan buruk yang menjadi pedoman dalam bertingkah laku yang luhur, baik terhadap dirinya sendiri, terhadap sesama manusia, terhadap makhluk lain dan seluruh alam semesta.
[9] Ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua unsur suruhan dan larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan pribadi penganutnya menjadi  baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing.
[10] Agama sanggup mendamaikan kembali manusia yang salah terhadap Tuhannya dengan jalan pengampunan dan Penyucian batin.
[11] Ajaran agama dapat merubah kehidupan seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About