METODOLOGI STUDI TEOLOGI
A.
PENDAHULUAN
Sebagaimana yang telah kita ketahui, terdapat banyak macam-macam
teologi, di antaranya adalah Teologi
Islam,Teologi Kristen, Teologi Budha, dsb. Dalam
kesempatan ini, saya akan membahas tentang teologi islam. Dan teologi islam
bisa juga kita sebut dengan Ilmu Kalam. teologi atau Ilmu Kalam termasuk salah
satu bidang studi islam yang sangat dikenal baik oleh kalangan akademis maupun
oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini antara lain terlihat dari keterlibatan
ilmu tersebut dalam menjelaskan berbagai masalah yang muncul di masyarakat.
Keberuntungan atau kegagalan seseorang dalam kehidupannya sering dilihat dari
sisi teologi. Dengan kata lain, berbagai masalah yang terjadi di masyarakat
seringkali dilihat dari sudut teologi.
Hal tersebut di atas merupakan fenomena yang cukup menarik untuk
diteliti secara lebih saksama. Itulah sebabnya telah banyak karya ilmiah yang
ditulis para ahli dengan mengambil tema kajian masalah teologi, dan itu pula
yang selanjutnya teologi menjadi salah satu bidang kajian islam mulai dari
tingkat pendidikan dasar, sampai dengan pendidikan tinggi.
Pada bagian ini, pembaca akan diajak untuk mengkaji secara saksama
model penelitian teologi (ilmu kalam) yang dilakukan para ahli, baik penelitian
pemula, maupun penelitian lanjutan yang bersifat deskriptif analitis, dengan
terlebih dahulu mengemukakan pengertian teologi (ilmu kalam) tersebut.
Pengertian
teologi
Teologi adalah cabang filsafat, yang merupakan bagian dari kajian
metafisika. Sepanjang sejarah filsafat, ia cukup menyita perhatian para filsuf,
terutama sejak abad pertengahan. Teologi merupakan pemikiran filosofis tentang
persoalan ketuhanan. Hal ini sesuai dengan makna dasarnya yang berasal dari dua
kata, yaitu theo yang berarti Tuhan dan logi yang berarti ilmu.
Jadi teologi adalah ilmu yang mempelajari hal-hal yang dikaitkan dengan Tuhan.
Maka dalam perjalanannya, kajian teologi membahas secara filosofis pokok-pokok
agama, sebagai hal-hal yang dikaitkan dengan Tuhan.[1]
Menurut Ibnu Khaldun, sebagaimana dikutip A. Hanafi, Ilmu Kalam
(teologi) adalah ilmu yang berisi alasan-alasan yang mempertahankan
kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi
bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan
aliran golongan salaf dan ahli sunnah.[2]
Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa ilmu kalam adalah ilmu
yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan dengan
bukti-bukti yang meyakinkan.[3] Di
dalam ilmu ini dibahas tentang cara ma’rifat (mengetahui secara mendalam)
tentang sifat-sifat Allah dan para Rasul-Nya dengan menggunakan dalil-dalil
yang pasti guna mencapai kebahagiaan hidup abadi. Ilmu ini termasuk induk ilmu
agama dan paling utama bahkan paling mulia, karena berkaitan dengan zat Allah,
zat para Rasul-Nya.
Dalam pada itu Muhammad ‘Abduh berpendapat bahwa Ilmu Kalam adalah
Ilmu yang membicarakan tentang wujud Allah, sifat-sifat yang mesti ada
pada-Nya, sifat-sifat yang mesti tidak ada pada-Nya serta sifat-sifat yang
mungkin ada pada-Nya, dan membicarakan juga tentang rasul-rasul Allah.
Berdasarkan batasan tersebut tampak
terlihat bahwa Teologi adalah ilmu yang pada intinya berhubungan dengan masalah
ketuhanan. Hal ini tidaklah salah, karena secara harfiah teologi berasal dari
kata teo yang berarti tuhan dan logi yang berarti
ilmu.
Namun dalam perkembangan selanjutya ilmu teologi juga berbicara
tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan keimanan serta akibat-akibatnya,
seperti masalah iman, kufr, musyrik, murtad, Masalah kehidupan akhirat dengan
berbagai kenikmatan atau penderitaannya, hal-hal yang membawa pada semakin
tebal dan tipisnya iman, hal-hal yang berkaitan dengan Kalamullah yakni
al-Qur’an, status orang-orang yang tidak beriman dan sebagainya. Sejalan dengan
perkembangan ruang lingkup pembahasan ilmu ini, maka teologi terkadang dinamai
juga sebagai Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, Ilmu ‘Aqaid, dan Ilmu Ketuhanan.
Dilihat dari ruang lingkup pembahasannya
yang demikian itu, Teologi tidak bisa tidak, pasti mengacu kepada agama
tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang
tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subyektif, yakni bahasa sebagai
pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk
pemikiran teologis. Karena sifat dasarnya yang partikularistik, maka dengan
mudah kita dapat mengemukakan teologi islam, teologi Kristen katolik, teologi
Kristen protestan, dan begitu seterusnya.
Dari beberapa pendapat di atas segara dapat diketahui bahwa teologi
adalah ilmu yang secara khusus membahas tentang masalah ketuhanan serta
berbagai masalah yang berkaitan dengannya berdasarkan dalil-dalil yang
meyakinkan. Dengan demikian, seseorang yang mempelajarinya dapat mengetahui
bagaimana cara-cara untuk memiliki keimanan dan bagaimana pula cara menjaga
keimanan tersebut agar tidak hilang dan rusak.
B. SEJARAH TIMBULNYA PERSOALAN TEOLOGI DALAM ISLAM
Kepercayaan suatu agama merupakan pokok
dasarnya. Islam sebagai agama yang mengingkari agama Yahudi dan Nasrani serta
agama-agama berhala, merasa perlu untuk menjelaskan pokok dasar ajarannya dan
segi-segi dakwah yang menjadi tujuannya Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi Muhammad
Saw. Banyak berisi pembicaraan tentang wujud Tuhan, keagungan dan keesaan-Nya,
al-Qur’an menyebutkan untuk Tuhan sifat-sifat yang banyak sekali, dimana
sebagiannya bertalian dengan dzat Tuhan sendiri, dan sebagiannya lagi
menyatakan macamnya hubungan dengan makhluk-Nya, seperti mendengar, melihat, maha adil, menciptakan, memberi rizki,
menghidupkan, mematikan dan sebagainya.
Akan tetapi gaya (uslub) bahasa ayat-ayat
al-Qur’an dan Hadits-Hadits tersebut lebih mendekati kepada gaya percakapan,
memberi nasehat dan petunjuk, dari pada gaya penguraian secara ilmiah. Kita
tidak dapat mengatakan bahwa al-Qur’an dan Hadits Nabi berisi uraian yang
teratur dan sistematis tentang soal kepercayaan dan meletakkan metode yang
lengkap serta mencakup untuk ilmu Tauhid (theology islam). Memang hal ini bukan
tugas-tugas Rasul-rasul dan mereka yang bekerja dalam bidang perbaikan umat,
dimana perhatian terutama ditujukan kepada penyiaran dakwah. Penyusunan ilmu
yang semacam itu menjadi tugas para pengikut dan orang-orang yang datang
sesudahnya.
Dengan demikian, maka Theologi islam belum
dikenal pada masa Nabi Muhammad Saw dan sahabatnya, melainkan baru dikenal pada
masa kemudiannya, setelah ilmu-ilmu keislaman satu persatu mulai muncul dan
setelah orang banyak suka membicarakan soal alam-alam ghaib atau metafisika. Dalam
pada itu, Theologi islam sekaligus timbul, dan pada masa-masa pertama
berdirinya belum jelas dasar-dasarnya. Baru setelah melalui beberapa fase, maka
ia mengenal berbagai golongan dan aliran. Dan setelah kaum muslimin selama
kurang lebih tiga abad lamanya melakukan berbagai perdebatan, baik antara
sesame mereka maupun dengan lawannya dan pemeluk-pemeluk agama lain, maka
akhirnya kaum muslimin sampai kepada suatu ilmu yang menjelaskan dasar-dasar
‘aqidahnya dan juga perincian-perinciannya.
C. MODEL-MODEL PENELITIAN ILMU KALAM (TEOLOGI)
Secara garis besar, penelitian ilmu kalam
dapat dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, penelitian yang bersifat dasar dan
pemula; dan kedua, penelitian yang bersifat lanjutan atau pengembangan dari
penelitian model pertama. Penelitian model pertama ini sifatnya baru pada tahap
membangun Ilmu Kalam menjadi suatu disiplin ilmu dengan merujuk pada al-Qur’an
dan Hadits serta berbagai pendapat tentang kalam yang telah dikemukakan oleh
berbagai aliran teologi. Sedangkan penelitian model kedua sifatnya hanya
mendekripsikan tentang adanya kajian Ilmu Kalam dengan menggunakan bahan-bahan
rujukan yang dihasilkan oleh penelitian model pertama.
1. Penelitian pemula
Melalui penelitian model pertama dapat kita
jumpai sejumlah referensi yang telah diisusun oleh para ulama selaku peneliti
pertama yang sifat dan keadaannya telah disebutkan di atas. Dalam kaitan ini
kita jumpai beberapa karya hasil penelitian pemula sebagai berikut.
a. Model Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidy Al-Samarqandy
Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin
Mahmud Al-Maturidy Al-Samarqandy telah menulis buku teologi berjudul Kitab al-Tauhid. Buku ini telah ditahkik
oleh Fathullah Khalif, magister dalam bidang sastra pada universitas
Iskandariyah dan Doktor filsafat pada universitas Cambridge. Dalam buku
tersebut, selain dikemukakan riwayat hidup secara singkat dari al-Maturidy,
juga telah dikemukakan berbagai masalah yang detail dan rumit di bidang ilmu
kalam. Di antaranya dibahas tentang cacatnya taqlid dalam hal beriman, serta
kewajiban mengetahui agama dengan dalil al-sama’ (dalil naqli) dan dalil ‘aqli;
pembahasan tentang alam, antrophormisme atau paham jism pada Tuhan, sifat-sifat
Allah, perbedaan paham diantara manusia tentang cara Allah menciptakan makhluk,
perbuatan makhluk, paham qadariyah; qadha dan qadar; masalah keimanan; serta
tidak adanya dispensasi dalam hal islam dan iman.
b. Model Al-Imam Al-Haramain Al-Juwainy (478 H.)
Imam Al-Haramain Al-Juwainy yang dikenal sebagai guru dari imam
Al-Ghazali menulis buku berjudul al-Syamil fi Ushul al-Din yang tebalnya 729
halaman. Buku ini telah ditahkik oleh Ali Sami Al-Nasyr, Fashil Badir Uwan dan
Suhair Muhammad Mukhtar, dan diterbitkan oleh penerbit Al-Ma’arif Iskandariyah
tahun 1969. D dalam buku ini telah dibahas tentang penciptaan alam yang di
dalamnya dibahas tentang hakikat jauhar (substansi), arad (aksiden) menurut
berbagai pendapat para ahli; kitab tauhid yang di dalamnya dibahas tentang
hakikat tauhid, kelemahan kaum Mu’tazilah, penolakan terhadap pendapat yang
menyatakan bahwa Tuhan memiliki jism; pembahasan tentang akidah; kajian tentang
dalil atas kesucian Allah Swt; pembahasan tentang ta’wil; pembahasan tentang
sifat-sifat bagi Allah; masalah illat atau sebab.[4]
Selain itu Imam Al-Haramain juga telah
menulis buku berjudul Kitab al-Irsyad Ila Qawathi’ al-Adillah fi Ushul
al-I’tiqad li Imam al-Haramain al-Juwainy. Buku ini telah ditahkik oleh Doctor
Yusuf Musa, dosen pada fakultas Ushuluddin Mesir, dan Ali abd Al-Mun’im Abd Al-Hamid, diterbitkan oleh
maktabah Al-Halabi Mesir, tanpa menyebutkan tahunnya. Dalam buku ini dibahas
antara lain tentang ketentuan berfikir, hakikat ilmu, barunya alam, sifat-sifat
yang wajib bagi Allah, penentuan sifat ilmu dengan sifat maknawiyah, tentang
dapat dilihatnya Allah di akhirat, penciptaan perbuatan, paham tentang daya,
tentang perbuatan yang baik dan terbaik, penetapan tentang kenabian, tentang
sifat-sifat kehidupan akhirat, tentang taubat dan tentang imam.[5]
c. Model Al-Ghazali (w. 1111 M.)
Imam Al-Ghazali yang pernah belajar pada Imam Al-Haramain
sebagaimana telah disebutkan di atas, dan dikenal sebagai Hujjatul Islam telah pula menulis buku berjudul al-Iqtishad fi
al-I’tiqad, dan telah diterbitkan pada tahun 1962 di Mesir. Dalam buku ini dibahas
tentang pembahasan bahwa ilmu sangat diperlukan dalam memahami agama, tentang
perlunya ilmu sebagai fardlu kifayah,
pembahasan tentang zat Allah, tentang qadimnya alam, tentang bahwa pencipta
alam tidak memiliki jism, karena jism memerlukan pada materi dan bentuk; dan
penetapan tentang kenabian Muhammad Saw.[6]
Seluruh penelitian yang dilakukan para
ulama yang hasilnya telah dituangkan dalam berbagai buku tersebut dapat
dikategorikan sebagai penelitian pemula. Dengan demikian, penelitian tersebut
bersifat eksploratif, yakni menggali sejauh mungkin ajaran teologi islam yang
diambil dari al-Qur’an dan Hadits serta berbagai pendapat yang dijumpai dari
para pemikir di bidang teologi islam. Karena sifatnya sebagai penelitian
eksploratif, penelitian tersebut tidak menguji suatu teori atau mencari
pembenaran atas suatu konsep yang ingin dibangun penelitian tersebut murni
bersifat penggalian, mengingat
sebelumnya belum ada penelitian yang dilakukan para ahli. Seluruh penelitian
tersebut tampak menggunakan pendekatan doktriner atau substansi ajaran, karena
yang dicari adalah rumusan ajaran dari berbagai golongan atau aliran yang ada
dalam Ilmu Kalam (teologi).
2. Penelitian lanjutan
Selain penelitian yang bersifat pemula
sebagaimana tersebut di atas, dalam bidang ilmu kalam ini juga dijumpai
penelitian yang bersifat lanjutan. Yaitu penelitian atas sejumlah karya yang
dilakukan oleh para peneliti pemula.
Pada penelitian lanjutan ini, para peneliti mencoba melakukan deskripsi,
analisis, klasifikasi, dan generalisasi. Berbagai hasil penelitian lanjutan ini
dapat dikemukakan sebagai berikut.
a. Model Abu Zahrah
Abu Zahrah mencoba melakukan penelitian terhadap berbagai aliran
dalam bidang politik dan teologi yang dituangkan dalam karyanya berjudul Tarikh
al-Mazahib al-Islamiyah fi al-Siyasah wa al-‘Aqaid. Permasalahan teologi yang diangkat dalam
penelitiannya ini di sekitar masalah objek-objek yang dijadikan pangkal
pertentangan oleh berbagai aliran dalam bidang politik yang berdampak pada
masalah teologi. Selanjutnya, dikemukakan pula tentang berbagai aliran dalam
Mazhab Syi’ah yang mencapai dua belas golongan, di antaranya Al-Sabaiyah,
Al-Ghurabiyah, golongn yang keluar dari Syi’ah, Al-Kisaniyah, Al-Zaidiyah,
Itsna Asy’ariyah, Al-Imamiyah, Isma’iliyah. Selanjutnya dikemukakan pula aliran Khawarij dengan berbagai sektenya
yang jumlahnya mencapai enam aliran; Jabariyah dan Qadariyah, Mu’tazilah dan
Asy’ariyah lengkap dengan berbagai pandangan teologinya.[7]
b. Model Ali Mushthafa Al-Ghurabi
Ali Mushthafa Al-Ghurabi, sebagaimana Abu
Zahrah tersebut, memusatkan penelitiannya pada masalah berbagai aliran yang
terdapat dalam islam serta pertumbuhan
Ilmu Kalam di kalangan masyarakat islam. Hasil penelitiannya itu, ia tuangkan
dalam karyanya berjudul Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasy’atu Ilmu al-Kalam
‘ind al-Muslimin. Dalam hasil penelitiannya itu a mengungkapkan antara lain
sejarah pertumbuhan Ilmu Kalam, keadaan akidah pada zaman Nabi Muhammad, zaman
Khulafaur Rasyidin, zaman Bani Umayyah dengan berbagai permasalahan teologi
yang muncul pada setiap zaman tersebut setelah itu dilanjutkan dengan
pembahasan mengenai aliran Mu’tazilah lengkap dengan tokoh-tokoh dan pemikiran
teologinya; pembahasan tentang aliran Khawarij lengkap dengan tokoh dan
pemikirannya.[8]
c. Model Harun Nasution
Harun Nasution yang dikenal sebagai Guru Besar Filsafat dan Teologi
banyak mencurahkan perhatiannya kepada penelitian di bidang pemikiran teologi
islam. Salah satu hasil penelitiannya yang selanjutnya dituangkan dalam buku Fi
Ilm al-Kalam(Teologi Islam). Dalam buku tersebut selain dikemikakan tentang
sejarah timbulnya persoalan-persoalan teologi dalam islam, juga dikemukakan
tentang berbagai aliran teologi islam lengkap dengan tokoh-tokoh dan
pemikirannya. Setelah itu Harun Nasutionmelakukan analisa dan perbandingan
terhadap maslah akal dan wahyu, free will dan predestination, kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, sifat-sifat
Tuhan dan konsep iman.
Dari berbagai penelitian yang sifatnya lanjutan tersebut dapat diketahui
model dan pendekatan penelitian yang dilakukan dengan mengemukakan ciri-cirinya
sebgai berikut. Pertama, penelitian yang dilakukan para peneliti lanjutan
tersebut secara keseluruhan termasuk penelitian kepustakaan, yaitu penelitian
yang mendasarkan pada data yang terdapat dalam berbagai sumber rujukan di
bidang teologi islam. Kedua, secara keseluruhan penelitiannya bercorak
deskriptif, yaitu penelitian yang tekanannya pada kesungguhan dalam
mendeskripsikan data selangkap mungkin. Ketiga, dari segi pendekatan yang
digunakan secara keseluruhan menggunakan pendekatan historis, yakni mengkaji
masalah teologi tersebut berdasarkan data sejarah yang ada dan juga melihatnya
sesuai dengan konteks waktu yang bersangkutan. Keempat, dalam analisisnya,
selain menggunakan analisis doktrin juga analisis perbandingan, yaitu dengan
mengemukakan isi doktrin ajaran dari masing-masing aliran sedemikian rupa, dan
setelah itu barulah dilakukan perbandingan.
Penelitian di atas jelas bermanfaat dalam rangka memberikan informasi
yang mendalam dan komprehensif tentang berbagai aliran teologi islam. Namun
penelitian tersebut kelihatannya belum membantu orang yang membacanya untuk
dapat mengembangkan ilmu tersebut, karena yang ada hanyalah informasi tentang
teologi, dan tidak dikemukakan faktor-faktor yang melatarbelakangi mengapa para
ulama di zaman dahulu mampu meresponi berbagai masalah sosial kemasyarakatan
melalui pendekatan teologis. Karenanya metode dan pendekatan dalam penelitian
teologi ini perlu dikembangkan lebih lanjut.
D. PEMBAHASAN ILMU KALAM MENURUT SISTEM MUTAKALLIMIN
Para Mutakallimin mempunyai cara khusus
dalam membahas Ilmu Kalam, yang berbeda dengan Ulama-Ulama yang lain. Ahmad
Amin menerangkan demikian:
Bahwa
sesungguhnya Mutakallimin itu mempunyai system tersendiri di dalam membahas,
menetapkan dan berdalil, beda dengan system al-Qur’an dan Hadits serta
fatwa-fatwa sahabat. Dari segi lain, berbeda dengan system filsafat dalam
membahas, menetapkan dan berdalil. System mereka berbeda dengan system
orang-orang sebelumnya dan sesudahnya. Untuk itu akan kami jelaskan secara
ringkas. Adapun perbedaan mereka dengan system al-Qur’an ialah karena al-Qur’an
itu mendasarkan seruannya, berpegang pada fitrah manusia. Hamper setiap
manusia, dengan fitrahnya mengakui adanya Tuhan, Tuhan yang menciptakan dan
mengatur alam. Hampir setiap manusia dengan fitrahnya sepakat dengan hal
tersebut, sekalipun berbeda menamakan Tuhan itu dan menyebutkan sifat-sifatnya.
Yang demikian itu baik bagi bangsa yang masih bersahaja(primitive) sampai
kepada yang telah maju kebudayaannya.[9]
Firman Allah:
فأقم وجهك للدين حنيفا. فطرت الله التي فطر الناس عليها
لا تبديل لخلق الله. وذلك الدين القيم ولكنّ أكثر الناس لا يعلمون (الروم : 30).
Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. Tetaaplah atas fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.
Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Al-Rum :
30).
Dalam menunjukkan dalil, Al-Qur’an selalu
menggugah fitrah manusia atau seluruhnya memperhatikan struktur alam dengan
segala keindahannya, dimana ala mini merupakan dalil tentang wujud Allah.
Firman Allah:
ياأيها الناس ضرب مثل فاستمعوا له. إنّ الذين تدعون من
دون الله لن يخلقوا ذبابا ولواجتمعوا له. وإن يسلبهم الذباب شيئا يستنقذوه منه.
ضعف الطالب والمطلوب ( الحجّ : 73 ).
Hai manusia,
telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu.
Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat
menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptkannya. Dan
jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya
kembali dari lalat itu. Amat lelahlah yang menyembah dan juga yang disembah
(berhala-berhala) itu. (Al-Hajji : 73).
Meskipun Mutakallimin menggunakan akal
untuk mencari Tuhan tetapi mereka tidak puas, karena ada hal-hal yang di luar
jangkauan kekuasaan akal manusia, yaitu masalah dogma. Menurut orang-orang
barat, dogma itu berada di bawah akal, agar dogma itu tidak dihukumi oleh akal.
Kalau dogma itu sudah dihukumi oleh akal, maka rahasia dogma itu menjadi tidak
rahasia lagi. Dogma akan menjadi lumpuh, karena bertentangan dengan akal,
kemudian ditolaknya. Tauhid adalah berbeda denga dogma. Sebab dengan akal,
manusia mencari Tuhan, dengan cara memperhatikan alam semesta.
Firman Allah:
تبارك الذي جعل في السماء
بروجا وجعل فيها سراجا وقمرا منيرا ( الفرقان : 61 ).
Maka berkat
Dzat yang menjadikan gugusan –gugusan bintang-bintang di langit, menjadikan
juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya (Al-Furqan : 61).
Al-Qur’an adalah kitab suci yang ditujukan
kepada setiap orang, baik orang awam maupun orang cendikiawan. Orang awam
disuruh melihat dan memperhatikan alam untuk menilai kebesaran Allah. Para
cendikiawan menyelidiki, menilai dengan seksama, akhirnya mereka beriman kepada
Allah. Al-Qur’an memang bukan kitab filsafat, sebab ia tidak hanya
diperuntukkan kepada ahli-ahli filsafat dan ahli mantiq saja. Karena kalau
demikian, maka al-Qur’an itu tidak akan dipahami oleh orang awam.
Di dalam al-Qur’an ada ayat-ayat
mutasyabihat, yaitu ayat-ayat yang arti lahirnya Tuhan itu seperti makhluk-Nya.
Seperti ayat-ayat yang menerangkan tentang determinisme(ijbary)
dan indeterminisme(ikhtiyari), tentang
wajah Allah, cahaya-Nya, tangan-Nya dan dia berada di langit dan sebagainya. Di
antara ayat-ayat mutasyabihat ialah:
قل لن يصيبنا إلا ما كتب الله لنا هو مولانا وعلي الله فليتوكل المؤمنون (
التوبة : 51 ).
Katakanlah,
sekali-kali tidak akan menimpa kami, melainkan apa yang telah ditetapkan Allah
bagi kami. Dialah pelindung kami dan hanya kepada Allah orang-orang yang
beriman harus bertawakal (At-Taubah : 51).
Akal manusia menetapkan bahwa Allah itu
suci dari jism. Sebab Allah bersifat “tidak ada sesuatu yang semisal
dengan-Nya”. Terhadap nash-nash mutasyabihat, kaum muslimin pada masa-masa
pertama percaya sepenuhnya terhadap nash-nash tersebut, tanpa membahas
sedikitpun dan menyerahkannya segala maksudnya kepada Allah. Imam Malik r.a
pernah ditanya tentang ayat:
الرحمن علي العرش استوي ( طه : 5 ).
Allah
bersinggasana di atas arsy (Thoha : 5).
Maka beliau menjawab bahwa arti kata
“istawa” itu tidak asing menurut bahasa, tetapi caranya tidak dapat diterima
oleh akal. Beriman kepadanya adalah wajib, mempersoalkannya adalah bid’ah.
Terhadap nash-nash mutasyabihat ini, ada
beberapa pendapat:
1. Golongan Salaf; mempercayai sepenuhnya kepada nash-nash mutasyabihat.
Tetapi mereka menyerahkan maksud yang sebenarnya kepada Allah, mereka tidak
mengadakan takwil mengenai ayat:
يد الله فوق أيديهم ( الفتح : 10 ).
Tangan Allah itu di atas tangan-tangan mereka
(Al-Fathu : 10).
Mereka percaya pada “tangan Allah”, tetapi
keadaan-Nya berbeda dengan tangan manusia. Maksud sebenarnya mereka serahkan
sepenuhnya kepada Allah.
2. Golongan Mu’atthilah; berpendapat bahwa kalimat-kaliamat yang mengandung
sifat-sifat Allah yang tampaknya serupa dengan sifat-sifat makhluk-Nya yang
terdapat pada nash-nash mutasyabihat, harus dinafikan (ditiadakan) dari Allah
bersifat semacam itu. Agar dengan demikian dapat dengan sungguh-sungguh
mentaqdiskan atau mensucikan Allah dari serupa dengan makhluk-Nya.
Ibnu Taimiyah menerangkan:
Mereka
(golongan Mu’atthilah) menafikan Allah tidak mendengar, tidak berfirman dan
tidak melihat. Karena yang demikian itu tidak bias terjadi, melainkan dengan
anggota badan. Mereka menafikan madlulnya nash-nash mutasyabihat dan
menghapuskan makna-maknanya dari segala seginya.[10]
Golongan Mu’atthilah ini timbul pada akhir
pemerintahan Bani Umayyah, dipimpin oleh Jaham bin Sofwan At-Turmudzy. Dia mati
dibunuh pada tahun 128 H. faham-fahamnya bercampur dengan faham-fahamnya Ja’ad
bin Dirham yang juga mati terbunuh pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik.
3. Golongan Mujassimah atau Musyabbihah. Golongan ini dipimpin oleh Dawud
Al-Jawariby dan Hisyam bin Hakam Ar-Rafidly. Mereka berpendapat bahwa ayat-ayat
Al-Qur’an dan Hadits Nabi mengenai nash-nash mutasyabihat harus diartikan
menurut lahirnya (letterlek) saja. Jadi Allah itu benar-benar mempunyai sifat-sifat
seperti sifat-sifat makhluk-Nya. Selanjutnya Ibnu Taimiyah menerangkan:
Golongan Mujassimah adalah golongan yang menentang
golongan Mua’tthilah. Mereka menetapkan adanya sifat-sifat Allah. Hanya saja
mereka menjadikan(menganggap)bahwa sifat-sifat Allah itu seperti sifat-sifat
makhluk-Nya. Maka mereka berkata: Allah itu mempunyai tangan seperti tanganku
dan pendengaran seperti pendengaranku. Maha suci Allah, maha tinggi Allah dan
maha benar dari hal-hal yang mereka katakan[11]
4. Golongan Khalaf; mempercayai bahwa nash-nash Mutasyabihat itu
menerangkan tentang sifat-sifat Allah yang tampaknya menyerupai dengan
makhluk-Nya itu, adalah kalimat-kalimat majaz. Oleh karena itu harus
ditakwilkan sesuai dengan sifat keagungan dan kesempurnaan-Nya. Seperti:
Yadullah, diartikan dengan kekuasaan Allah
Wajhullah, diartikan dengan dzat Allah,
dsb.
Adapun sebab-sebab golongan salaf tidak
mengadakan takwil itu ialah:
a. Pembahasan nash-nash mutasyabihat itu tidak memberi manfaat bagi orang
awam.
b. Segala yang berhubungan dengan dzat dan sifat Allah, adalah di luar akal
yang tidak mungkin manusia dapat mencapainya, kecuali dengan jalan mengqiyaskan
Allah pada sesuatu. Ini adalah kesalahan yang sangat besar.
Adapun system mutakallimin ialah beriman
kepada Allah dan segala apa yang dibawa oleh Rasul-Nya. Akan tetapi mereka
perkuat denga dalil-dalil akal yang disusun secara ilmu mantiq. Mereka beralih
dari segi fitrah menuju kea rah lingkungan akal fikiran.
Firman Allah:
قالت رسلهم أفي الله شك
فاطر السموات والأرض ( إبراهيم : 10 ).
Rasul-rasul
mereka berkata: apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, pencipta langit dan
bumi?(Ibrahim : 10).
Dari ayat tersebut mutakallimin berpindah
dalil dengan barunya alam untuk menetapkan wujudnya Allah. Mengenai nash-nash
mutasyabihat, para mutakallimin tidak merasa puas denga beriman secara ijmaly
saja, tanpa mengadakan takwil. Maka mereka mengumpulkan nash-nash yang pada
lahirnya bertentangan, seperti nash-nash yang diterministis, indeterministis
dan anteropomorphistis.
Mereka mentakwilkan nash-nash tersebut dan
takwilan itu adalah cirri-ciri khusus dari pada mutakallimin. Mentakwilkan
nash-nash ini memberikan kebebasan pada akal untuk membahas dan memikirkannya.
Dengan sendirinya menimbulkan perbedaan takwilan yang tidak dikenal semasa
hidupnya Rasulullah. Dapat disimpukan bahwa perpindahan dari periode salaf ke
periode khalaf ini disebabkan:
1. Adanya agama-agama yang sudah memfilsafatkan ajaran-ajarannya. Mereka
tidak puas dengan hanya disebutkan nash-nash agama saja. Hal ini memaksa
mutakallimin menyelidiki cara-cara itu. Maka tersusunlah dalil-dalil akal
tentang Allah dan kebenaran Nabi Muhammad Saw.
2. Bahwa pemeluk-pemeluk agama itu dibagi menjadi dua golongan:
a. Golongan yang berpegang teguh pada nash-nash kitab suci, tanpa
mengadakan penafsiran.
b. Golongan yang bebas mempergunakan akal fikiran untuk menafsirkan
nash-nash kitab sucinya.
E.
PENUTUP
Setelah banyaknya penjelasan di atas
tentang teologi, kita bisa menarik kesimpulan bahwa Teologi adalah ilmu yang
pada intinya berhubungan dengan masalah ketuhanan. Hal ini tidaklah salah,
karena secara harfiah teologi berasal dari kata teo yang berarti
tuhan dan logi yang berarti ilmu.
Selain itu, dalam melakukan pendekatan atau
penelitian terhadap studi Teologi, terdapat dua bagian, yaitu:
Pertama, penelitian yang bersifat dasar dan
pemula; dan kedua, penelitian yang bersifat lanjutan atau pengembangan dari
penelitian model pertama. Penelitian model pertama ini sifatnya baru pada tahap
membangun Ilmu Kalam menjadi suatu disiplin ilmu dengan merujuk pada al-Qur’an
dan Hadits serta berbagai pendapat tentang kalam yang telah dikemukakan oleh
berbagai aliran teologi. Sedangkan penelitian model kedua sifatnya hanya
mendekripsikan tentang adanya kajian Ilmu Kalam dengan menggunakan bahan-bahan
rujukan yang dihasilkan oleh penelitian model pertama.
DAFTAR PUSTAKA
Muslih,
Mohammad, Pengantar Ilmu Filsafat, (Ponorogo: Darussalam University
Press, 2008), cet. Ke-1
Nata, Prof. Dr.
H. Abuddin, M.A, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press,
2009).
Nasir, Drs. H. Salihun A, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1994).
Hanafi, A,
M.A, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 1992).
[1] Mohammad
Muslih, Pengantar Ilmu Filsafat, (Ponorogo: Darussalam University Press,
2008), cet. I, hal. 48.
[2] A.
Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),
cet. III, hal. 10
[3] Husain
bin Muhammad al-Jassar, Al-Husbun al-Hamidiyah li al-Muhafadzah ‘Ala
al-‘Aqaid al-Islamiyah, (Bandung: Syirkah al-Ma’arif),hal. 7.
[4] Imam
Al-Haramain, al-Syamil fi Ushul al-Din li Imam al-Haramain al-Juwainy, ditahkik
oleh Ali Sami’ Al-Nasyr, Fashil Badir Uwan dan Sahir Muhammad Mukhtar,
(Iskandariyah: Al-Ma’arif, 1969).
[5] Imam
Al-Haramain Al-Juwainy, Kitab al-Irsyad Ila Qawathi al-Adillah fi Ushul
al-I’tiqad li Imam al-Haramain al-Juwainy, ditahkik oleh Muhammad Yusuf
Musa dan Ali Abd Al-Mun’im Abd Al-Hamid, (Mesir: Maktabah Al-Halaby, t.t.).
[6] Hujjatul
Islam Al-Imam Muhammad Abi Hamid Al-Ghazaly, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, (Mesir:
Maktabah Al-Halaby, 1962).
[7] Abu
Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi al-Siyasah wa al-‘Aqaid, (Mesir:
Dar al-Fikr al-Araby, t.t.).
[8] Ali
Mushthafa Al-Ghuraby, Tarikh al-Firaq al- Islamiyah wa Nasy’atu Ilmu
al-Kalam ‘Ind al-Muslimin, (Mesir: Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali
Shabib wa Auladuhu, t.t.).
[9]
Nasir, Drs. H.
Salihun A, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 17
[10] Nasir, Drs. H. Salihun A, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994),
hal. 24
[11] Nasir, Drs. H. Salihun A, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994),
hal. 25
0 komentar:
Posting Komentar