Pages

Labels

Rabu, 30 Oktober 2013

Metodologi Studi Teologi


METODOLOGI STUDI TEOLOGI

A.    PENDAHULUAN
Sebagaimana yang telah kita ketahui, terdapat banyak macam-macam teologi, di antaranya adalah Teologi Islam,Teologi Kristen, Teologi Budha, dsb. Dalam kesempatan ini, saya akan membahas tentang teologi islam. Dan teologi islam bisa juga kita sebut dengan Ilmu Kalam. teologi atau Ilmu Kalam termasuk salah satu bidang studi islam yang sangat dikenal baik oleh kalangan akademis maupun oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini antara lain terlihat dari keterlibatan ilmu tersebut dalam menjelaskan berbagai masalah yang muncul di masyarakat. Keberuntungan atau kegagalan seseorang dalam kehidupannya sering dilihat dari sisi teologi. Dengan kata lain, berbagai masalah yang terjadi di masyarakat seringkali dilihat dari sudut teologi.
Hal tersebut di atas merupakan fenomena yang cukup menarik untuk diteliti secara lebih saksama. Itulah sebabnya telah banyak karya ilmiah yang ditulis para ahli dengan mengambil tema kajian masalah teologi, dan itu pula yang selanjutnya teologi menjadi salah satu bidang kajian islam mulai dari tingkat pendidikan dasar, sampai dengan pendidikan tinggi.
Pada bagian ini, pembaca akan diajak untuk mengkaji secara saksama model penelitian teologi (ilmu kalam) yang dilakukan para ahli, baik penelitian pemula, maupun penelitian lanjutan yang bersifat deskriptif analitis, dengan terlebih dahulu mengemukakan pengertian teologi (ilmu kalam) tersebut.
Pengertian teologi
Teologi adalah cabang filsafat, yang merupakan bagian dari kajian metafisika. Sepanjang sejarah filsafat, ia cukup menyita perhatian para filsuf, terutama sejak abad pertengahan. Teologi merupakan pemikiran filosofis tentang persoalan ketuhanan. Hal ini sesuai dengan makna dasarnya yang berasal dari dua kata, yaitu theo yang berarti Tuhan dan logi yang berarti ilmu. Jadi teologi adalah ilmu yang mempelajari hal-hal yang dikaitkan dengan Tuhan. Maka dalam perjalanannya, kajian teologi membahas secara filosofis pokok-pokok agama, sebagai hal-hal yang dikaitkan dengan Tuhan.[1]
Menurut Ibnu Khaldun, sebagaimana dikutip A. Hanafi, Ilmu Kalam (teologi) adalah ilmu yang berisi alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan ahli sunnah.[2]
Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan dengan bukti-bukti yang meyakinkan.[3] Di dalam ilmu ini dibahas tentang cara ma’rifat (mengetahui secara mendalam) tentang sifat-sifat Allah dan para Rasul-Nya dengan menggunakan dalil-dalil yang pasti guna mencapai kebahagiaan hidup abadi. Ilmu ini termasuk induk ilmu agama dan paling utama bahkan paling mulia, karena berkaitan dengan zat Allah, zat para Rasul-Nya.
Dalam pada itu Muhammad ‘Abduh berpendapat bahwa Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membicarakan tentang wujud Allah, sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang mesti tidak ada pada-Nya serta sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya, dan membicarakan juga tentang rasul-rasul Allah.
Berdasarkan batasan tersebut tampak terlihat bahwa Teologi adalah ilmu yang pada intinya berhubungan dengan masalah ketuhanan. Hal ini tidaklah salah, karena secara harfiah teologi berasal dari kata teo yang berarti tuhan dan logi yang berarti ilmu.
Namun dalam perkembangan selanjutya ilmu teologi juga berbicara tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan keimanan serta akibat-akibatnya, seperti masalah iman, kufr, musyrik, murtad, Masalah kehidupan akhirat dengan berbagai kenikmatan atau penderitaannya, hal-hal yang membawa pada semakin tebal dan tipisnya iman, hal-hal yang berkaitan dengan Kalamullah yakni al-Qur’an, status orang-orang yang tidak beriman dan sebagainya. Sejalan dengan perkembangan ruang lingkup pembahasan ilmu ini, maka teologi terkadang dinamai juga sebagai Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, Ilmu ‘Aqaid, dan Ilmu Ketuhanan.
Dilihat dari ruang lingkup pembahasannya yang demikian itu, Teologi tidak bisa tidak, pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subyektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis. Karena sifat dasarnya yang partikularistik, maka dengan mudah kita dapat mengemukakan teologi islam, teologi Kristen katolik, teologi Kristen protestan, dan begitu seterusnya.
Dari beberapa pendapat di atas segara dapat diketahui bahwa teologi adalah ilmu yang secara khusus membahas tentang masalah ketuhanan serta berbagai masalah yang berkaitan dengannya berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan. Dengan demikian, seseorang yang mempelajarinya dapat mengetahui bagaimana cara-cara untuk memiliki keimanan dan bagaimana pula cara menjaga keimanan tersebut agar tidak hilang dan rusak.
B.     SEJARAH TIMBULNYA PERSOALAN TEOLOGI DALAM ISLAM
Kepercayaan suatu agama merupakan pokok dasarnya. Islam sebagai agama yang mengingkari agama Yahudi dan Nasrani serta agama-agama berhala, merasa perlu untuk menjelaskan pokok dasar ajarannya dan segi-segi dakwah yang menjadi tujuannya Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi Muhammad Saw. Banyak berisi pembicaraan tentang wujud Tuhan, keagungan dan keesaan-Nya, al-Qur’an menyebutkan untuk Tuhan sifat-sifat yang banyak sekali, dimana sebagiannya bertalian dengan dzat Tuhan sendiri, dan sebagiannya lagi menyatakan macamnya hubungan dengan makhluk-Nya, seperti mendengar, melihat,  maha adil, menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan dan sebagainya.
Akan tetapi gaya (uslub) bahasa ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-Hadits tersebut lebih mendekati kepada gaya percakapan, memberi nasehat dan petunjuk, dari pada gaya penguraian secara ilmiah. Kita tidak dapat mengatakan bahwa al-Qur’an dan Hadits Nabi berisi uraian yang teratur dan sistematis tentang soal kepercayaan dan meletakkan metode yang lengkap serta mencakup untuk ilmu Tauhid (theology islam). Memang hal ini bukan tugas-tugas Rasul-rasul dan mereka yang bekerja dalam bidang perbaikan umat, dimana perhatian terutama ditujukan kepada penyiaran dakwah. Penyusunan ilmu yang semacam itu menjadi tugas para pengikut dan orang-orang yang datang sesudahnya.
Dengan demikian, maka Theologi islam belum dikenal pada masa Nabi Muhammad Saw dan sahabatnya, melainkan baru dikenal pada masa kemudiannya, setelah ilmu-ilmu keislaman satu persatu mulai muncul dan setelah orang banyak suka membicarakan soal alam-alam ghaib atau metafisika. Dalam pada itu, Theologi islam sekaligus timbul, dan pada masa-masa pertama berdirinya belum jelas dasar-dasarnya. Baru setelah melalui beberapa fase, maka ia mengenal berbagai golongan dan aliran. Dan setelah kaum muslimin selama kurang lebih tiga abad lamanya melakukan berbagai perdebatan, baik antara sesame mereka maupun dengan lawannya dan pemeluk-pemeluk agama lain, maka akhirnya kaum muslimin sampai kepada suatu ilmu yang menjelaskan dasar-dasar ‘aqidahnya dan juga perincian-perinciannya.
C.     MODEL-MODEL PENELITIAN ILMU KALAM (TEOLOGI)
Secara garis besar, penelitian ilmu kalam dapat dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, penelitian yang bersifat dasar dan pemula; dan kedua, penelitian yang bersifat lanjutan atau pengembangan dari penelitian model pertama. Penelitian model pertama ini sifatnya baru pada tahap membangun Ilmu Kalam menjadi suatu disiplin ilmu dengan merujuk pada al-Qur’an dan Hadits serta berbagai pendapat tentang kalam yang telah dikemukakan oleh berbagai aliran teologi. Sedangkan penelitian model kedua sifatnya hanya mendekripsikan tentang adanya kajian Ilmu Kalam dengan menggunakan bahan-bahan rujukan yang dihasilkan oleh penelitian model pertama.
1.      Penelitian pemula
Melalui penelitian model pertama dapat kita jumpai sejumlah referensi yang telah diisusun oleh para ulama selaku peneliti pertama yang sifat dan keadaannya telah disebutkan di atas. Dalam kaitan ini kita jumpai beberapa karya hasil penelitian pemula sebagai berikut.
a.       Model Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidy Al-Samarqandy
Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidy Al-Samarqandy telah menulis buku teologi berjudul Kitab al-Tauhid. Buku ini telah ditahkik oleh Fathullah Khalif, magister dalam bidang sastra pada universitas Iskandariyah dan Doktor filsafat pada universitas Cambridge. Dalam buku tersebut, selain dikemukakan riwayat hidup secara singkat dari al-Maturidy, juga telah dikemukakan berbagai masalah yang detail dan rumit di bidang ilmu kalam. Di antaranya dibahas tentang cacatnya taqlid dalam hal beriman, serta kewajiban mengetahui agama dengan dalil al-sama’ (dalil naqli) dan dalil ‘aqli; pembahasan tentang alam, antrophormisme atau paham jism pada Tuhan, sifat-sifat Allah, perbedaan paham diantara manusia tentang cara Allah menciptakan makhluk, perbuatan makhluk, paham qadariyah; qadha dan qadar; masalah keimanan; serta tidak adanya dispensasi dalam hal islam dan iman.
b.      Model Al-Imam Al-Haramain Al-Juwainy (478 H.)
Imam Al-Haramain Al-Juwainy yang dikenal sebagai guru dari imam Al-Ghazali menulis buku berjudul al-Syamil fi Ushul al-Din yang tebalnya 729 halaman. Buku ini telah ditahkik oleh Ali Sami Al-Nasyr, Fashil Badir Uwan dan Suhair Muhammad Mukhtar, dan diterbitkan oleh penerbit Al-Ma’arif Iskandariyah tahun 1969. D dalam buku ini telah dibahas tentang penciptaan alam yang di dalamnya dibahas tentang hakikat jauhar (substansi), arad (aksiden) menurut berbagai pendapat para ahli; kitab tauhid yang di dalamnya dibahas tentang hakikat tauhid, kelemahan kaum Mu’tazilah, penolakan terhadap pendapat yang menyatakan bahwa Tuhan memiliki jism; pembahasan tentang akidah; kajian tentang dalil atas kesucian Allah Swt; pembahasan tentang ta’wil; pembahasan tentang sifat-sifat bagi Allah; masalah illat atau sebab.[4]
Selain itu Imam Al-Haramain juga telah menulis buku berjudul Kitab al-Irsyad Ila Qawathi’ al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad li Imam al-Haramain al-Juwainy. Buku ini telah ditahkik oleh Doctor Yusuf Musa, dosen pada fakultas Ushuluddin Mesir, dan Ali abd  Al-Mun’im Abd Al-Hamid, diterbitkan oleh maktabah Al-Halabi Mesir, tanpa menyebutkan tahunnya. Dalam buku ini dibahas antara lain tentang ketentuan berfikir, hakikat ilmu, barunya alam, sifat-sifat yang wajib bagi Allah, penentuan sifat ilmu dengan sifat maknawiyah, tentang dapat dilihatnya Allah di akhirat, penciptaan perbuatan, paham tentang daya, tentang perbuatan yang baik dan terbaik, penetapan tentang kenabian, tentang sifat-sifat kehidupan akhirat, tentang taubat dan tentang imam.[5]
c.       Model Al-Ghazali (w. 1111 M.)
Imam Al-Ghazali yang pernah belajar pada Imam Al-Haramain sebagaimana telah disebutkan di atas, dan dikenal sebagai Hujjatul Islam telah pula menulis buku berjudul al-Iqtishad fi al-I’tiqad, dan telah diterbitkan pada tahun 1962 di Mesir. Dalam buku ini dibahas tentang pembahasan bahwa ilmu sangat diperlukan dalam memahami agama, tentang perlunya ilmu sebagai fardlu kifayah, pembahasan tentang zat Allah, tentang qadimnya alam, tentang bahwa pencipta alam tidak memiliki jism, karena jism memerlukan pada materi dan bentuk; dan penetapan tentang kenabian Muhammad Saw.[6]
Seluruh penelitian yang dilakukan para ulama yang hasilnya telah dituangkan dalam berbagai buku tersebut dapat dikategorikan sebagai penelitian pemula. Dengan demikian, penelitian tersebut bersifat eksploratif, yakni menggali sejauh mungkin ajaran teologi islam yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits serta berbagai pendapat yang dijumpai dari para pemikir di bidang teologi islam. Karena sifatnya sebagai penelitian eksploratif, penelitian tersebut tidak menguji suatu teori atau mencari pembenaran atas suatu konsep yang ingin dibangun penelitian tersebut murni bersifat penggalian,  mengingat sebelumnya belum ada penelitian yang dilakukan para ahli. Seluruh penelitian tersebut tampak menggunakan pendekatan doktriner atau substansi ajaran, karena yang dicari adalah rumusan ajaran dari berbagai golongan atau aliran yang ada dalam Ilmu Kalam (teologi).
2.      Penelitian lanjutan
Selain penelitian yang bersifat pemula sebagaimana tersebut di atas, dalam bidang ilmu kalam ini juga dijumpai penelitian yang bersifat lanjutan. Yaitu penelitian atas sejumlah karya yang dilakukan  oleh para peneliti pemula. Pada penelitian lanjutan ini, para peneliti mencoba melakukan deskripsi, analisis, klasifikasi, dan generalisasi. Berbagai hasil penelitian lanjutan ini dapat dikemukakan sebagai berikut.
a.       Model Abu Zahrah
Abu Zahrah mencoba melakukan penelitian terhadap berbagai aliran dalam bidang politik dan teologi yang dituangkan dalam karyanya berjudul Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi al-Siyasah wa al-‘Aqaid. Permasalahan teologi yang diangkat dalam penelitiannya ini di sekitar masalah objek-objek yang dijadikan pangkal pertentangan oleh berbagai aliran dalam bidang politik yang berdampak pada masalah teologi. Selanjutnya, dikemukakan pula tentang berbagai aliran dalam Mazhab Syi’ah yang mencapai dua belas golongan, di antaranya Al-Sabaiyah, Al-Ghurabiyah, golongn yang keluar dari Syi’ah, Al-Kisaniyah, Al-Zaidiyah, Itsna Asy’ariyah, Al-Imamiyah, Isma’iliyah. Selanjutnya dikemukakan  pula aliran Khawarij dengan berbagai sektenya yang jumlahnya mencapai enam aliran; Jabariyah dan Qadariyah, Mu’tazilah dan Asy’ariyah lengkap dengan berbagai pandangan teologinya.[7]
b.      Model Ali Mushthafa Al-Ghurabi
Ali Mushthafa Al-Ghurabi, sebagaimana Abu Zahrah tersebut, memusatkan penelitiannya pada masalah berbagai aliran yang terdapat dalam  islam serta pertumbuhan Ilmu Kalam di kalangan masyarakat islam. Hasil penelitiannya itu, ia tuangkan dalam karyanya berjudul Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasy’atu Ilmu al-Kalam ‘ind al-Muslimin. Dalam hasil penelitiannya itu a mengungkapkan antara lain sejarah pertumbuhan Ilmu Kalam, keadaan akidah pada zaman Nabi Muhammad, zaman Khulafaur Rasyidin, zaman Bani Umayyah dengan berbagai permasalahan teologi yang muncul pada setiap zaman tersebut setelah itu dilanjutkan dengan pembahasan mengenai aliran Mu’tazilah lengkap dengan tokoh-tokoh dan pemikiran teologinya; pembahasan tentang aliran Khawarij lengkap dengan tokoh dan pemikirannya.[8]
c.       Model Harun Nasution
Harun Nasution yang dikenal sebagai Guru Besar Filsafat dan Teologi banyak mencurahkan perhatiannya kepada penelitian di bidang pemikiran teologi islam. Salah satu hasil penelitiannya yang selanjutnya dituangkan dalam buku Fi Ilm al-Kalam(Teologi Islam). Dalam buku tersebut selain dikemikakan tentang sejarah timbulnya persoalan-persoalan teologi dalam islam, juga dikemukakan tentang berbagai aliran teologi islam lengkap dengan tokoh-tokoh dan pemikirannya. Setelah itu Harun Nasutionmelakukan analisa dan perbandingan terhadap maslah akal dan wahyu, free will dan predestination, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan konsep iman.
Dari berbagai penelitian yang sifatnya lanjutan tersebut dapat diketahui model dan pendekatan penelitian yang dilakukan dengan mengemukakan ciri-cirinya sebgai berikut. Pertama, penelitian yang dilakukan para peneliti lanjutan tersebut secara keseluruhan termasuk penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang mendasarkan pada data yang terdapat dalam berbagai sumber rujukan di bidang teologi islam. Kedua, secara keseluruhan penelitiannya bercorak deskriptif, yaitu penelitian yang tekanannya pada kesungguhan dalam mendeskripsikan data selangkap mungkin. Ketiga, dari segi pendekatan yang digunakan secara keseluruhan menggunakan pendekatan historis, yakni mengkaji masalah teologi tersebut berdasarkan data sejarah yang ada dan juga melihatnya sesuai dengan konteks waktu yang bersangkutan. Keempat, dalam analisisnya, selain menggunakan analisis doktrin juga analisis perbandingan, yaitu dengan mengemukakan isi doktrin ajaran dari masing-masing aliran sedemikian rupa, dan setelah itu barulah dilakukan perbandingan.
Penelitian di atas jelas bermanfaat dalam rangka memberikan informasi yang mendalam dan komprehensif tentang berbagai aliran teologi islam. Namun penelitian tersebut kelihatannya belum membantu orang yang membacanya untuk dapat mengembangkan ilmu tersebut, karena yang ada hanyalah informasi tentang teologi, dan tidak dikemukakan faktor-faktor yang melatarbelakangi mengapa para ulama di zaman dahulu mampu meresponi berbagai masalah sosial kemasyarakatan melalui pendekatan teologis. Karenanya metode dan pendekatan dalam penelitian teologi ini perlu dikembangkan lebih lanjut.
D.    PEMBAHASAN ILMU KALAM MENURUT SISTEM MUTAKALLIMIN
Para Mutakallimin mempunyai cara khusus dalam membahas Ilmu Kalam, yang berbeda dengan Ulama-Ulama yang lain. Ahmad Amin menerangkan demikian:
Bahwa sesungguhnya Mutakallimin itu mempunyai system tersendiri di dalam membahas, menetapkan dan berdalil, beda dengan system al-Qur’an dan Hadits serta fatwa-fatwa sahabat. Dari segi lain, berbeda dengan system filsafat dalam membahas, menetapkan dan berdalil. System mereka berbeda dengan system orang-orang sebelumnya dan sesudahnya. Untuk itu akan kami jelaskan secara ringkas. Adapun perbedaan mereka dengan system al-Qur’an ialah karena al-Qur’an itu mendasarkan seruannya, berpegang pada fitrah manusia. Hamper setiap manusia, dengan fitrahnya mengakui adanya Tuhan, Tuhan yang menciptakan dan mengatur alam. Hampir setiap manusia dengan fitrahnya sepakat dengan hal tersebut, sekalipun berbeda menamakan Tuhan itu dan menyebutkan sifat-sifatnya. Yang demikian itu baik bagi bangsa yang masih bersahaja(primitive) sampai kepada yang telah maju kebudayaannya.[9]
Firman Allah:
فأقم وجهك للدين حنيفا. فطرت الله التي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله. وذلك الدين القيم ولكنّ أكثر الناس لا يعلمون (الروم : 30).
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. Tetaaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Al-Rum : 30).
Dalam menunjukkan dalil, Al-Qur’an selalu menggugah fitrah manusia atau seluruhnya memperhatikan struktur alam dengan segala keindahannya, dimana ala mini merupakan dalil tentang wujud Allah.




Firman Allah:
ياأيها الناس ضرب مثل فاستمعوا له. إنّ الذين تدعون من دون الله لن يخلقوا ذبابا ولواجتمعوا له. وإن يسلبهم الذباب شيئا يستنقذوه منه. ضعف الطالب والمطلوب ( الحجّ : 73 ).
Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptkannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lelahlah yang menyembah dan juga yang disembah (berhala-berhala) itu. (Al-Hajji : 73).
Meskipun Mutakallimin menggunakan akal untuk mencari Tuhan tetapi mereka tidak puas, karena ada hal-hal yang di luar jangkauan kekuasaan akal manusia, yaitu masalah dogma. Menurut orang-orang barat, dogma itu berada di bawah akal, agar dogma itu tidak dihukumi oleh akal. Kalau dogma itu sudah dihukumi oleh akal, maka rahasia dogma itu menjadi tidak rahasia lagi. Dogma akan menjadi lumpuh, karena bertentangan dengan akal, kemudian ditolaknya. Tauhid adalah berbeda denga dogma. Sebab dengan akal, manusia mencari Tuhan, dengan cara memperhatikan alam semesta.
Firman Allah:
تبارك الذي جعل في السماء بروجا وجعل فيها سراجا وقمرا منيرا ( الفرقان : 61 ).
Maka berkat Dzat yang menjadikan gugusan –gugusan bintang-bintang di langit, menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya (Al-Furqan : 61).
Al-Qur’an adalah kitab suci yang ditujukan kepada setiap orang, baik orang awam maupun orang cendikiawan. Orang awam disuruh melihat dan memperhatikan alam untuk menilai kebesaran Allah. Para cendikiawan menyelidiki, menilai dengan seksama, akhirnya mereka beriman kepada Allah. Al-Qur’an memang bukan kitab filsafat, sebab ia tidak hanya diperuntukkan kepada ahli-ahli filsafat dan ahli mantiq saja. Karena kalau demikian, maka al-Qur’an itu tidak akan dipahami oleh orang awam.
Di dalam al-Qur’an ada ayat-ayat mutasyabihat, yaitu ayat-ayat yang arti lahirnya Tuhan itu seperti makhluk-Nya. Seperti ayat-ayat yang menerangkan tentang determinisme(ijbary) dan indeterminisme(ikhtiyari), tentang wajah Allah, cahaya-Nya, tangan-Nya dan dia berada di langit dan sebagainya. Di antara ayat-ayat mutasyabihat ialah:
قل لن يصيبنا إلا ما كتب الله لنا هو مولانا وعلي الله فليتوكل المؤمنون ( التوبة : 51 ).
Katakanlah, sekali-kali tidak akan menimpa kami, melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal (At-Taubah : 51).
Akal manusia menetapkan bahwa Allah itu suci dari jism. Sebab Allah bersifat “tidak ada sesuatu yang semisal dengan-Nya”. Terhadap nash-nash mutasyabihat, kaum muslimin pada masa-masa pertama percaya sepenuhnya terhadap nash-nash tersebut, tanpa membahas sedikitpun dan menyerahkannya segala maksudnya kepada Allah. Imam Malik r.a pernah ditanya tentang ayat:
الرحمن علي العرش استوي ( طه : 5 ).
Allah bersinggasana di atas arsy (Thoha : 5).
Maka beliau menjawab bahwa arti kata “istawa” itu tidak asing menurut bahasa, tetapi caranya tidak dapat diterima oleh akal. Beriman kepadanya adalah wajib, mempersoalkannya adalah bid’ah.
Terhadap nash-nash mutasyabihat ini, ada beberapa pendapat:
1.      Golongan Salaf; mempercayai sepenuhnya kepada nash-nash mutasyabihat. Tetapi mereka menyerahkan maksud yang sebenarnya kepada Allah, mereka tidak mengadakan takwil mengenai ayat:
يد الله فوق أيديهم ( الفتح : 10 ).
Tangan Allah itu di atas tangan-tangan mereka (Al-Fathu : 10).
Mereka percaya pada “tangan Allah”, tetapi keadaan-Nya berbeda dengan tangan manusia. Maksud sebenarnya mereka serahkan sepenuhnya kepada Allah.
2.      Golongan Mu’atthilah; berpendapat bahwa kalimat-kaliamat yang mengandung sifat-sifat Allah yang tampaknya serupa dengan sifat-sifat makhluk-Nya yang terdapat pada nash-nash mutasyabihat, harus dinafikan (ditiadakan) dari Allah bersifat semacam itu. Agar dengan demikian dapat dengan sungguh-sungguh mentaqdiskan atau mensucikan Allah dari serupa dengan makhluk-Nya.
Ibnu Taimiyah menerangkan:
Mereka (golongan Mu’atthilah) menafikan Allah tidak mendengar, tidak berfirman dan tidak melihat. Karena yang demikian itu tidak bias terjadi, melainkan dengan anggota badan. Mereka menafikan madlulnya nash-nash mutasyabihat dan menghapuskan makna-maknanya dari segala seginya.[10]
Golongan Mu’atthilah ini timbul pada akhir pemerintahan Bani Umayyah, dipimpin oleh Jaham bin Sofwan At-Turmudzy. Dia mati dibunuh pada tahun 128 H. faham-fahamnya bercampur dengan faham-fahamnya Ja’ad bin Dirham yang juga mati terbunuh pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik.
3.      Golongan Mujassimah atau Musyabbihah. Golongan ini dipimpin oleh Dawud Al-Jawariby dan Hisyam bin Hakam Ar-Rafidly. Mereka berpendapat bahwa ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi mengenai nash-nash mutasyabihat harus diartikan menurut lahirnya (letterlek) saja. Jadi Allah itu benar-benar mempunyai sifat-sifat seperti sifat-sifat makhluk-Nya. Selanjutnya Ibnu Taimiyah menerangkan:
Golongan Mujassimah adalah golongan yang menentang golongan Mua’tthilah. Mereka menetapkan adanya sifat-sifat Allah. Hanya saja mereka menjadikan(menganggap)bahwa sifat-sifat Allah itu seperti sifat-sifat makhluk-Nya. Maka mereka berkata: Allah itu mempunyai tangan seperti tanganku dan pendengaran seperti pendengaranku. Maha suci Allah, maha tinggi Allah dan maha benar dari hal-hal yang mereka katakan[11]
4.      Golongan Khalaf; mempercayai bahwa nash-nash Mutasyabihat itu menerangkan tentang sifat-sifat Allah yang tampaknya menyerupai dengan makhluk-Nya itu, adalah kalimat-kalimat majaz. Oleh karena itu harus ditakwilkan sesuai dengan sifat keagungan dan kesempurnaan-Nya. Seperti:
Yadullah, diartikan dengan kekuasaan Allah
Wajhullah, diartikan dengan dzat Allah, dsb.
Adapun sebab-sebab golongan salaf tidak mengadakan takwil itu ialah:
a.       Pembahasan nash-nash mutasyabihat itu tidak memberi manfaat bagi orang awam.
b.      Segala yang berhubungan dengan dzat dan sifat Allah, adalah di luar akal yang tidak mungkin manusia dapat mencapainya, kecuali dengan jalan mengqiyaskan Allah pada sesuatu. Ini adalah kesalahan yang sangat besar.
Adapun system mutakallimin ialah beriman kepada Allah dan segala apa yang dibawa oleh Rasul-Nya. Akan tetapi mereka perkuat denga dalil-dalil akal yang disusun secara ilmu mantiq. Mereka beralih dari segi fitrah menuju kea rah lingkungan akal fikiran.
Firman Allah:
قالت رسلهم أفي الله شك فاطر السموات والأرض ( إبراهيم : 10 ).
Rasul-rasul mereka berkata: apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, pencipta langit dan bumi?(Ibrahim : 10).
Dari ayat tersebut mutakallimin berpindah dalil dengan barunya alam untuk menetapkan wujudnya Allah. Mengenai nash-nash mutasyabihat, para mutakallimin tidak merasa puas denga beriman secara ijmaly saja, tanpa mengadakan takwil. Maka mereka mengumpulkan nash-nash yang pada lahirnya bertentangan, seperti nash-nash yang diterministis, indeterministis dan anteropomorphistis.
Mereka mentakwilkan nash-nash tersebut dan takwilan itu adalah cirri-ciri khusus dari pada mutakallimin. Mentakwilkan nash-nash ini memberikan kebebasan pada akal untuk membahas dan memikirkannya. Dengan sendirinya menimbulkan perbedaan takwilan yang tidak dikenal semasa hidupnya Rasulullah. Dapat disimpukan bahwa perpindahan dari periode salaf ke periode khalaf ini disebabkan:
1.      Adanya agama-agama yang sudah memfilsafatkan ajaran-ajarannya. Mereka tidak puas dengan hanya disebutkan nash-nash agama saja. Hal ini memaksa mutakallimin menyelidiki cara-cara itu. Maka tersusunlah dalil-dalil akal tentang Allah dan kebenaran Nabi Muhammad Saw.
2.      Bahwa pemeluk-pemeluk agama itu dibagi menjadi dua golongan:
a.       Golongan yang berpegang teguh pada nash-nash kitab suci, tanpa mengadakan penafsiran.
b.      Golongan yang bebas mempergunakan akal fikiran untuk menafsirkan nash-nash kitab sucinya.



E.     PENUTUP
Setelah banyaknya penjelasan di atas tentang teologi, kita bisa menarik kesimpulan bahwa Teologi adalah ilmu yang pada intinya berhubungan dengan masalah ketuhanan. Hal ini tidaklah salah, karena secara harfiah teologi berasal dari kata teo yang berarti tuhan dan logi yang berarti ilmu.
Selain itu, dalam melakukan pendekatan atau penelitian terhadap studi Teologi, terdapat dua bagian, yaitu:
Pertama, penelitian yang bersifat dasar dan pemula; dan kedua, penelitian yang bersifat lanjutan atau pengembangan dari penelitian model pertama. Penelitian model pertama ini sifatnya baru pada tahap membangun Ilmu Kalam menjadi suatu disiplin ilmu dengan merujuk pada al-Qur’an dan Hadits serta berbagai pendapat tentang kalam yang telah dikemukakan oleh berbagai aliran teologi. Sedangkan penelitian model kedua sifatnya hanya mendekripsikan tentang adanya kajian Ilmu Kalam dengan menggunakan bahan-bahan rujukan yang dihasilkan oleh penelitian model pertama.



DAFTAR PUSTAKA

Muslih, Mohammad, Pengantar Ilmu Filsafat, (Ponorogo: Darussalam University Press, 2008), cet. Ke-1
Nata, Prof. Dr. H. Abuddin, M.A, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2009).
 Nasir, Drs. H. Salihun A, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994).
Hanafi, A, M.A, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992).



[1] Mohammad Muslih, Pengantar Ilmu Filsafat, (Ponorogo: Darussalam University Press, 2008), cet. I, hal. 48.
[2] A. Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), cet. III, hal. 10
[3] Husain bin Muhammad al-Jassar, Al-Husbun al-Hamidiyah li al-Muhafadzah ‘Ala al-‘Aqaid al-Islamiyah, (Bandung: Syirkah al-Ma’arif),hal. 7.
[4] Imam Al-Haramain, al-Syamil fi Ushul al-Din li Imam al-Haramain al-Juwainy, ditahkik oleh Ali Sami’ Al-Nasyr, Fashil Badir Uwan dan Sahir Muhammad Mukhtar, (Iskandariyah: Al-Ma’arif, 1969).
[5] Imam Al-Haramain Al-Juwainy, Kitab al-Irsyad Ila Qawathi al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad li Imam al-Haramain al-Juwainy, ditahkik oleh Muhammad Yusuf Musa dan Ali Abd Al-Mun’im Abd Al-Hamid, (Mesir: Maktabah Al-Halaby, t.t.).
[6] Hujjatul Islam Al-Imam Muhammad Abi Hamid Al-Ghazaly, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, (Mesir: Maktabah Al-Halaby, 1962).
[7] Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi al-Siyasah wa al-‘Aqaid, (Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, t.t.).
[8] Ali Mushthafa Al-Ghuraby, Tarikh al-Firaq al- Islamiyah wa Nasy’atu Ilmu al-Kalam ‘Ind al-Muslimin, (Mesir: Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali Shabib wa Auladuhu, t.t.).
[9] Nasir, Drs. H. Salihun A, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 17

[10] Nasir, Drs. H. Salihun A, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 24
[11] Nasir, Drs. H. Salihun A, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 25

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About