Pages

Labels

Rabu, 30 Oktober 2013

Konsep Nubuwwah Ibnu Sina dan al-Ghazzali

KONSEP KENABIAN MENURUT IBNU SINA DAN AL-GHAZALI
A.    Pendahuluan
            Bukan merupakan suatu hal yang aneh lagi jika terdengar tentang penolakan bahkan pengkafiran al-Ghazali kepada para filosof, diantaranya al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina[1]. Dan pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas tentang al-Ghazali dan Ibnu Sina. “bagaimanakah konsep kenabian menurut al-Ghazali dan Ibnu Sina, apakah al-Ghazali juga menolak konsep kenabian yang dikemukakan oleh Ibnu Sina?[2]” tapi sebelum itu, kita harus mengetahui tentang kehidupan dari masing-masing filosof tersebut.
B.     Riwayat Ibnu Sina
            Nama lain Ibnu Sina adalah Abu Ali Al-Hosain ibn Abdullah ibn Sina.[3]Beliau lahir di sebuah desa Afsyana, di daerah Bukhara pada tahun 340 H/980 M. kelahiran beliau di tengah masa yang sedang kacau, di mana kekuasaan Abbasiyah mulai mundur dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaannya kini mulai melepaskan diri dan berusaha untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad sebagai pusat pemerintahannya dikuasai oleh golongan Banu Buwaih pada tahun 334 H. hingga tahun 447 H.
            Ibnu Sina dibesarkan di daerah kelahirannya. Ia belajar al-Qur’an dengan menghafalnya dan belajar ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu pengetahuan umum, seperti: astronomi, matematika, fisika, logika, kedokteran dan ilmu metafisika.
            Ketika umur beliau belum mencapai 16 tahun sudah menguasai ilmu kedokteran, sehingga banyak orang yang datang kepadanya untuk berguru. Kepandaiannya tidak hanya dalam teori saja, melainkan praktekpun ia menguasai. Pada waktu Nuh bin Mansur, penguasa Bukhara menderita sakit, dan kebanyakan dokter tidak mampu mengobati, maka setelah diperiksa dan diobati Ibnu Sina, khalifah itu menjadi sembuh. Sejak itulah ia mendapat sembutan yang baik sekali dari masyarakat.
            Pada waktu usianya mencapai 22 tahun, ayahnya meninggal dunia, kemudian ia meninggalkan negeri Bukhara untuk menuju ke Jurjan, dan dari sini ia pergi ke Chawarazm. Di Jurjan ia mengajar dan mengarang, tetapi karena kekacauan politik, ia tidak lama tinggal di situ. Kemudian ia hidupnya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, hingga sampai di Hamadan. Di tempat ini beliau dijadikan menteri oleh Syamsuddaulah untuk beberapa kali, meskipun di sini ia pernah dipenjarakan beberapa bulan. Kemudian ia pergi ke Isfahan, di bawah pengu asa Ala Abdaulah, ia disambut baik olehnya. Namun pada kehidupannya ia kembali ke Hamadan, ketika Ala Addaulah merebut negeri Hamadan. Ia meninggal pada tahun 428 H./1037 M. pada usia 57 tahun.
C.    Riwayat al-Ghazali
            Nama lengkapnya adalah Muammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid Al-Ghazali[4]. Beliau dilahirkan di Thus, suatu kota di Khurasan pada tahun 450 M. ayahnya seorang sufi yang sangat wara’[5] yang hanya makan dari usaha tangannya sendiri. kerjaannya membuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar. Setelah ayahnya meninggal, Al-Ghazali diasuh oleh seorang ahli tasawuf.
            Pada masa kecilnya Ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Rasikani, kemudian belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri Jurjan. Setelah mempelajari beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Nishabur dan belajar pada Imam Al-Haromain. Di sinilah mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa  dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu saperti ilmu mantiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. karena kecerdasannya itulah imam Al-Haromain mengatakan bahwa Al-Ghazali adalah “lautan tak bertepi”.
            Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali pergi ke Al-Ashar untuk berkunjung kepada menteri Nizam al-Muluk dari pemerintahan dinasti Saljuk. Ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar. Kemudian dipertemukan kepada para alim ulama dan para ilmuwan. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki Al-Ghazali. Menteri Nizam al-Muluk akhirnya melantik Al-Ghazali pada tahun 484 H./1091 M. sebagai guru besar (profesor) pada perguruan tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad. Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi selama empat tahun. Ia mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri dari keramaian.
            Pada tahun 488 H. Al-Ghazali pergi ke Makkah untuk menunaikan kewajiban rukun Islam yang kelima. Setelah selesai mengerjakan haji, ia terus pergi ke Syiria (Syam) untuk
mengunjungi Baitul Maqdis, kemudian melanjutkan perjalanannya ke Damaskus dan menetap untuk beberapa lama[6].
            Setelah penulisan Ihya Ulumuddin selesai, ia kembali ke Baghdad, kemudian mengadakan majelis pengajaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya itu. Tetapi karena ada desakan dari penguasa waktu itu. Al-Ghazali diminta kembali ke Naishabur dan mengajar di perguruan Nizamiyah. Pekerjaan ini hanya berlangsung dua tahun, untuk akhirnya kembali ke kampong asalnya, thus. Di kampungnya Al-Ghazali mendirikan sebuah sekolah yang berada di samping rumahnya, untuk belajar para fuqaha dan para mutashawwifin. Ia membagi waktunya guna membaca Al-Qur’an, mengadakan pertemuan dengan para fuqaha dan ahli tasawuf, memberikan pelajaran bagi orang yang ingin mengambilnya dan memperbanyak ibadah. Di kota Thus inilah beliau meninggal pada hari senin tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H./1111 M.
D.    Teori Kenabian[7]
            Kata kenabian dapat dipahami dan direfleksikan ke dalam dua arah yang berbeda, meskipun tentu saja tetap saling terkait satu sama lain. Yang pertama adalah kenabian dalam arti prophecy, yaitu pengetahuan akan masa depan dan biasanya diperoleh dari sumber ilahi, atau prediksi yang disampaikan di bawah inspirasi ilahi. Proses kenabian melibatkan komunikasi timbal balik antara nabi dan sumber pemberi pesan ilahi.
            Yang kedua adalah kenabian dalam arti prophethood, yaitu kualitas atau keadaan atau kondisi atau sifat-sifat tertentu yang menjadikan seorang nabi mampu untuk berbicara atau menginterpretasikan kehendak Ilahi, atau juga mampu untuk memberikan bimbingan ke arah masa depan[8].
E.     Teori Kenabian menurut Ibnu Sina
            Ibnu sina adalah orang pertama yang merangkul secara ikhlas dan memaparkannya dalam bentuk yang benar-benar mirip dengan apa yang dikatakan oleh al-Farabi. Bahkan Ibnu Sina meninggalkan sebuah risalah yang bertitel : Fi Itsbat al-Nubuwwat wa Ta’wil Rumuzi him wa Amtsalihim (tentang penetapan beberapa kenabian serta ekspalasi symbol-simbol dan tamsil-tamsil mereka)[9]. Di dalam risalah itu, Ibnu Sina menafsirkan teori kenabian secara psikologis (jiwa) dan mengeksplanasikan sebagai teks-teks agama dengan penakwilan-penakwilan yang sesuai dengan teori-teori filosofinya[10]. Seperti yang telah dijelaskan di atas, dalam risalah Ibnu Sina berisi tentang penjelasan teori Kenabian yang ditafsirkan secara psikologis, maka akan dijelaskan di bawah ini tentang Jiwa menurut Ibnu Sina terlebih dulu.
            Ilmu Jiwa
             Seperti halnya al-Farabi, Ibnu Sina mulai menjelaskan mimpi secara ilmiah. Jika ia telah memecahkan problematika mimpi tersebut maka dibawanya melintasi menuju ke topik kenabian. Menurut Ibnu Sina, jiwa manusia mampu mengetahui al-majhul (hal-hal yang tidak terlihat) di saat sedang tidur, sehingga tidak sukar baginya untuk menyingkapkan kembali dalam kondisi berjaga. Selain itu, banyak orang yang mencari berita tentang masa yang akan datang dengan perantara mimpi mereka. Adapun secara logis, maka kami bisa menerima bahwa kejadian-kejadian masa lampau dan masa yang akan datang telah ditetapkan di alam atas dan diikat di Lauh Mahfudz. Sehingga jika jiwa manusia bisa naik ke alam ini, mengetahui lauh tersebut, maka ia akan mengetahui apa yang ada di dalamnya dan berarti ia mendapat berita gaib. Ada orang-orang yang bisa mempersepsi hal ini di saat sedang tidur melalui imajinasi, sehingga mereka membawa banyak hal yang seakan merupakan realitas-realitas empiric. Sementara ada orang-orang lain yang berjiwa agung dan berimajinasi kuat, maka ia bisa mempersepsi hal-hal yang ada di alam gaib dalam keadaan sedang berjaga sebagaimana ia mempersepsikannya di saat sedang tidur. Mereka itu adalah para nabi yang telah sampai pada martabat cahaya dan pengetahuan. Ibnu Sina mengatakan:
Eksperimen dan analogi sepakat bahwa jiwa manusia mempunyai kemampuan untuk mendapatkan suatu berita gaib dalam keadaan sedang tidur, sehingga tidak ada yang bisa menghalangi jika penerimaan itu terjadi di saat sedang berjaga kecuali jika ada jalan yang memberikannya kesempatan, dan kemungkinan juga untuk menghilang. Sedangkan eksperimen dan pendengaran sama-sama mengukuhkannya, karena tak seorang manusia pun, kecuali jika ia telah melakukan eksperimen di dalam dirinya yang memberinya ilham yang membenarkan, kecuali jika watak orang itu sudah rusak serta potensi imajinasi dan memorinya tidur.[11]
            Dari penjelasan di atas, perlu juga kita ketahui bahwa sebelum Ibnu Sina, sudah banyak filosof yang telah membahas tentang ilmu jiwa, diantaranya ada Plato, Aristoteles, Galien, Plotinus dan al-Farabi. Dari mereka ia mendapatkan cukup banyak pengertian dan acuan sebagai landasan dalam menguraikan masalah yang sama. Namun dari mereka yang banyak pengaruhnya adalah pemikiran Aristoteles. Dialah yang banyak memberikan sumbangan besar dalam pembentukan pemikiran-pemikiran psikologisnya. Meski demikian, secara detail psikologis Ibnu Sina berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Aristoteles.[12]
            Dalam dunia ini ada hal-hal yang kita percayai wujudnya tanpa diragukan lagi, tetapi kalau kita diminta membuktikannya, maka sukar sekali untuk dilakukan, di antaranya adalah jiwa manusia atau jiwa kita yang ada dalam diri kita ini. Akan tetapi pemikiran filsafat tidak akan berhenti karena kesukaran, karena filsafat memang mencari yang jauh dan ingin memerangi apa yang janggal.
            Dengan begitu Ibnu Sina tampil dengan karakteristiknya sendiri menyelesaikan masalah kejiwaan menurut kehendak hatinya dan hasilnya sebagai suatu yang mengagumkan.
            Bukti-Bukti Wujud Jiwa
            Pembuktian wujud jiwa yang dikemukakan oleh Ibnu Sina merupakan pembuktian yang lebih kuat, bila dibandingkan dengan pembuktian yang telah diusahakan oleh ahli fikir sebelumnya.

Pembuktian wujud jiwa ini Ibnu Sina mengedepankan empat dalil[13], yaitu:
1.      Dalil Psiko-fisik[14]
2.      Dalil Aku dan Kesatuan fenomena kejiawaan
3.      Dalil kelangsungan
4.      Dalil Manusia Terbang atau melayang-layang di udara

1.      Dalil Psiko-fisik
            Ada beberapa kenyataan yang tidak bisa kita tafsirkan, kecuali bila kita mengetahui adanya jiwa. Kenyataan ini yang paling penting ialah gerak dan pengenalan.
            Gerak terbagi menjadi dua macam, gerak terpaksa timbul dari dorongan unsur luar yang mngenai suatu benda tertentu lalu menggerakkannya. Kedua, gerak bukan paksaan, yang terbagi menjadi dua yaitu:
a.       Gerak yang terjadi sesuai dengan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.
b.      Gerak yang menentang hukum alam, seperti manusia yang berjalan di atas bumi sedang berat badannya seharusnya membuat manusia itu tak bergerak. Atau juga burung yang mengepak di udara sehingga ia tidak jatuh ke bumi. Gerak yang menentang hukum alam ini tentu ada penggerak khusus yang ada di luar unsur tubuh manusia yang digerakkan. Penggerak itu tidak lain adalah jiwa.
            Begitulah isi dalil natural-psichologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima (jiwa) dan Physics, kedua-duanya diambil dari Aristoteles.
            Tetapi, dalil Ibnu Sina tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan,[15]dan nampaknya Ibnu Sina sendiri menyadari kelemahan dalil tersebut. Oleh karena itu dalam kitab-kitab yang dikarang pada masa kematangan ilmunya, seperti As-Syifa dan Al-Isyarat, dalil tersebut disebutkan sambil lalu saja, dan ia lebih mengutamakan dalil-dalil yang didasarkan pada segi-segi pikiran dan jiwa, yang merupakan kreativitas dan kegeniusan Ibnu Sina.
2.      Dalil Aku dan Kesatuan fenomena kejiwaan
            Apabila seseorang membicarakan pribadinya atau ketika berbicara dengan orang lain, maka yang dimaksudkan adalah jiwanya bukan tubuhnya. Ketika anda mengatakan: saya akan keluar atau saya akan tidur, maka bukan gerak kaki atau pemejaman mata yang dimaksudkan melainkan seluruh pribadi anda.
            Pandangan semacam ini oleh Ibnu Sina disusun dalam kata-kata sebagai barikut: “bahwa apabila manusia berbicara tentang dirinya mengenai suatu masalah, maka ia akan menghadirkan pribadinya hingga ia mengatakan: saya melakukan ini dan melakukan itu. Dalam keadaan demikian ia tidak teringat semua akan bagian-bagian badannya. Apa yang diketahui dengan nyata (maksudnya jiwa) lain dari suatu yang tidak diingatnya (maksudnya anggota badan). Jadi pribadi seseorang berlainan dengan badannya”[16].
            Pada kata-kata tersebut kita dapati pikiran tentang Aku yang menjadi bahan pembahasan ulama-ulama jiwa modern. Menurut Ibnu Sina, pribadi atau aku bukanlah kadar dan peristiwa-peristiwa yang dimaksudkan, melainkan jiwa dan kekuatan-kekuatannya.
            Juga dalam peristiwa-peristiwa kejiwaan, menurut Ibnu Sina terdapat keserasian dan koordinasi yang mengesankan adanya suatu kekuatan yang menguasai dan mengaturnya. Meskipun peristiwa itu berbeda-beda dan berlainan, bahkan saling berlawanan, namun kesemuanya itu berada di sekitar pusat (poros) yang tetap dan bertalian dengan dasar yang tidak berubah, seolah-olah semuanya dipertalikan dengan tali yang kuat yang dapat menggabungkan bagian-bagiannya yang berjauhan.
            Kita bergembira dan sedih, cinta dan membenci, meniadakan dan menetapkan menganalisa dan menyusun pikiran, peristiwa ini keluar dari pribadi yang satu dan dari kekuatan terbesar yang dapat menggabungkan antara peristiwa-peristiwa yang berlainan, dan kekuatan tersebut tidak lain adalah jiwa. Kalau sekiranya tidak ada kekuatan ini, tentunya peristiwa-peristiwa kejiwaan saling berlawanan dan mengalami kekacauan.
            Gema dari pikiran Ibnu Sina tersebut kita dapati pada ahli-ahli kejiwaan aliran spiritualisme yang menyatakan bahwa kesatuan peristiwa-peristiwa kejiwaan mengharuskan adanya sumber yang menjadi tempat keluarnya peristiwa-peristiwa tersebut. Kelemahan kesatuan ini berarti lemahnya kehidupan atau hancurnya kehidupan. Apabila kesatuan fenomena psikologis mengharuskan adanya asal sebagai sumbernya, sudah barang tentu juga mengharuskan adanya jiwa.
3.      Dalil Kelangsungan
            Melalui dalil ini Ibnu Sina menerangkan bahwa pada masa kini terkandung masa lampau dan menyiapkan masa yang akan datang. Kehidupan rohani pada hari ini berkaitan dengan hidup kita di hari kemarin tanpa ada tidur atau kekosongan/terputus dalam rangkaiannya. Hidup ini bergerak dan berubah, maka gerakan-gerakan dan perubahan itu bertalian satu sama lain dan beranti-rantai. Sambung-menyambung dan bertalian ini tiada lain kecuali karena ihwal psikologis itu merupakan limpahan yang mengalir dari sumber yang satu dan beredar pada lingkaran yang mempunyai daya tarik yang tetap.
            Mengenai keadaan ini, Ibnu Sina berkata[17]:
“perhatikan wahai orang yang bijaksana, bahwa engkau sekarang, pada jiwamu, adalah juga orang yang terdapat disepanjang umurmu, sehingga engkau selalu ingat akan peristiwa-peristiwa yang kau alami. Jadi jiwamu tetap dan berjalan terus, tanpa dirsgukan lagi, sedang badanmu beserta bagian-bagiannya tidak tetap dan tidak berjalan terus, melainkan selamanya terurai (terpisah) dan berkurang. Karena itu kalau seorang tidak diberi makan selama waktu tertentu, berat badannya akan berkurang hampir sampai ¼ umpamanya, dan dalam tempo 20 tahun bagian-bagian badanmu akan habis sama sekali. Sedang kau mengetahui bahwa dirimu (jiwamu) akan tetap ada sepanjang tempo tersebut, bahkan sepanjang umurmu. Dengan demikian, maka zatmu (jiwamu) berlainan dengan badan dan bagian-bagiannya, baik lahir maupun batin.”.
            Ibnu Sina dengan dalil kontinuitas ini telah membuka ciri kehidupan yang paling khas dan mencerminkan pengkajian dan penelitian yang cermat dan mendalam. Bahkan boleh diketahui ia telah melampaui masanya beberapa generasi. Namun pendapatnya banyak dijadikan pegangan oleh para ahli ilmu jiwa modern, di abad terakhir ini.
4.      Dalil Manusia Terbang atau melayang-layang di udara
            Dalil ini merupakan dalil pembuktian adanya jiwa yang paling mengagumkan dan menakjubkan. Dalil dibangun berdasarkan perkiraan dan khayalan, meskipun demikian, tidak mengurangi kemampuannya dalam memberikan keyakinan. Secara singkat, dalil ini berbunyi:
“Andaikan ada seorang lahir dengan dibekali kekuatan akal dan jasmani yang sempurna, kemudian ia menutup matanya sehingga tak dapat melihat samasekali apa yang ada di sekelilignya, kemudian ia letakkan di udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota-anggota badannya diatur sedemikian rupa, sehingga tidak saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun semua ini terjadi, namun orang tersebut tidak akan ragu-ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran samasekali tentang badan, sedang wujud yang digambarkannya adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau panjang lebar dan dalam (tiga dimensi). Kalau pada saat tersebut ia menghayalkan (memperkirakan) ada tangan atau kaki, maka ia tidak akan mengira bahwa itu tangannya dan kakinya. Dengan demikian, maka penetapan tentang wujud dirinya tidak timbul dari indera atau melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan, yaitu jiwa”.
            Inilah empat dalil yang merupakan usaha kreatif yang ditempuh melalui berbagai cara yang berbeda-beda. Sehingga Ibnu Sina kadang bertumpu pada pengertian umum dan apa yang bisa dikenal orang, dan dari sini ia mengambil pengertian-pengertian yang dapat meyakinkan bahwa di dalam diri kita ada sesuatu yang berbeda dengan badan. Selain itu ia kadang meyakini pernyataan-pernyataan para filosof muslim klasik untuk mendukung agar ia dapat mencapai tujuan yang diinginkannya. Juga apabila hal itu tidak dijumpai, ia menciptakan alasan dan pendapat serta berbagai hipotesa yang sampai mengungguli dari pada psikolog modern dari masa sebelumnya ataupun masa yang akan datang.
F.     Sikap al-Ghazali terhadap teori kenabian
            Orang-orang asy’ariah berpendapat bahwa teori al-Farabi tentang kenabian adalah amat bertentangan dengan cara-cara wahyu yang diterima di dalam al-kitab dan al-sunah. Al-asy’ari adalah salah satu dari sekian orang yang hidup yang sezaman dengan al-Farabi. Ia hidup di dalam suasana mihnah kholq al-Qur’an (inquisisi bahwa al-Qur’an adalah makhluq) dan fitnah atheism yang jahat. Al-asy’ari, walaupun tumbuh sebagai seorang muktazilah, tetapi akhirnya ia cenderung kepada ahli sunnah. Ia berhenti pada banyak nash dan berkeinginan kuat untuk memeganginya. Para pengikutnya yang datang kemudian berjalan di atas metodenya, sebagaimana yang telah kami kemukakan. Al-Ghazzali adalah pembela terbesar bagi kaum Asy;ariah secara umum, dan pertengahan akhir abad ke-5 H secara khusus, di samping tidak melupakan teori kenabian al-Farabi. Al-Farabi menyerang teori tersebut sebagaimana ia menyerang pandangan-pandangan filosofis lain, tetapi di dalam serangannya ini al-Ghazzali tidak bisa menolaknya secara memuaskan atau ia tidak bisa merusakannya secara tegas. Namun al-Ghazzali sendiri, walaupun memusuhi teori kenabian al-Farabi, tidak bisa terlepas dari pengaruhnya, bahkan ia mengatakan beberapa pendapat yang nyaris mendekatinya, yaitu dapat dilihat pada pendapatnya tentang jiwa[18]
G.    Penutup
            Karena teori Ibnu Sina ditafsirkan secara psikologis, maka kita meneliti teori kenabian miliknya melalui pengetahuan tentang jiwa lebih dulu, dan memang pada dasarnya, konsep kenabian didasarkan oleh jiwa dan metafisika. Setelah itu dapat disimpulkan bahwa konsep kenabian Ibnu Sina tidak jauh beda dengan al-Ghazali dilihat dari pendapatnya tentang jiwa, dengan masih dibayang-bayangi oleh keinginan untuk mengkritik pemikiran Ibnu Sina.














Daftar Pustaka
Al-Ahwani, Ahmad Fuad, filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985).
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: PT Karya Unipress, 1986).
Madkour, Ibrahim, Filsafat Islam metode dan penerapan, bagian 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993).
Muhammad, Hasyim, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Walisongo Press, 2002).
Mustofa, A, Filsafat islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997).
Poerwantana, Ahamadi, A, Rosali, M.A, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: CV ROSDA, 1988).


                [1] Al-Ghazali mengkafirkan kaum filosof atas dasar tiga masalah pokok. Pertama, karena kaum filosof berkeyakinan bahwa alam adalah qadim (tidak bermula), kedua, karena mereka berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui yang particular, dan ketiga, mereka mengingkari kebangkitan kembali manusia dengan jasadnya. (lihat buku filsafat Islam, oleh Dr. Ahmad Fuad Al-Ahwani, (Jakarta: Pustaka Firdaus 1985).
                [2] Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya bahwa al-Ghazali sangatlah tidak suka dengan filosof dan filsafatnya, dan ketidaksukaannya ini tertera dengan jelas dalam bukunya yang terkenal yaitu Tahafut al-Falasifah (kesesatan filsafat).
                [3] Selain terkenal sebagai filosof besar yang diberi gelar Syaikh ar-Rais, Ibnu Sina juga terkenal dengan nama Avicenna di eropa. lihat buku Kuliah Filsafat Islam, oleh Dr. Ahmad Daudy, (Jakarta: PT Karya Unipress 1986), hal. 66
                [4] Merupakan salah satu pemikir besar Islam yang bergelar Hujjatul Islam (bukti kebenaran Islam) dan Zainuddin (hiasan agama). Lihat buku kuliah filsafat Islam, Hal. 97
                [5] Dalam tradisi sufi, yang dimaksud wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas atau belum jelas hukumnya (Subhat). Hal ini berlaku pada segala hal atau aktifitas kehidupan manusia, baik yang berupa benda maupun perilaku seperti makanan, minuman, pakaian, pembicaraan, perjalanan, duduk, berdiri, bersantai, berkerja dan lain-lain. Lihat buku Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, oleh Hasyim Muhammad (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Walisongo Press, 2002). Hal. 31
                [6] Di sini ia beribadah di masjid al-Umawi pada suatu sudut hingga terkenal sampai sekarang dengan nama Al-Ghazaliyah, dan pada saat itulah ia sempat mengarang sebuah kitab yang sampai kini kitab tersebut sangat terkenal yaitu Ihya Ulumuddin. Dan dalam waktu kurang lebih 10 tahun ia hidup dengan amat sederhana, berpakaian seadanya, sedikit makan dan minum, mengunjungi masjid-masjid, memperbanyak ibadah atau berbuat yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT dan berkhalwat. Lihat buku Filsafat Islam, oleh Drs. H. A. Mustofa. Hal. 216
                [7] Teori ini didasarkan atas pijakan kejiwaan dan metafisika. Lihat Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: PT Karya Unipress, 1986). Hal. 54
                [8] http://www.slideshare.net/giovannipromesso/kenabian-dan-teori-interpretasi-islam
                [9] Ibnu sina, Tis’u Rosail fi al-hikmah, halaman 13. Saya kutip dari buku Filsafat Islam metode dan penerapan, bagian 1, Dr. Ibrahim Madkour, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 138
                [10] Dr. Ibrahim Madkour, Filsafat Islam metode dan penerapan, bagian 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993).
                [11] Dr. Ibrahim Madkour, Filsafat Islam metode dan penerapan, bagian 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993). Hal. 139
                [12] Perbedaan pengertian jiwa antara Aristoteles dan Ibnu Sina, jiwa dibagi ke dalam dua aspek. Aspek fisik (psikologi fisik Ibnu Sina diwarnai dengan orientasi eksperimental dan lebih banyak dipengaruhi oleh teori kedokteran), Aspek Metafisik (Psikologi Metafisik terdapat pendalaman dan pembaharuan yang hampir sama dengan filosof modern), dan yang lebih menonjol dalam pembahasannya adalah dari segi metafisiknya.
                [13] Lihat buku Filsafat Islam, oleh Drs. H. A. Mustofa, bukti-bukti wujud jiwa.
                [14] Atau dalil alam kejiwaan. Lihat buku Seluk beluk Filsafat Islam, oleh Drs. Poerwantana, Drs. A. Ahmadi, M.A. Rosali, (Bandung: CV ROSDA 1988), hal. 157
                [15] bahwa segi natural (phisik) pada dalil tersebut baru mempunyai nilai kalau sekiranya benda-benda tersebut hanya berdiri dari unsur-unsur yang satu macam, sedang benda-benda tersebut sebenarnya berbeda susunannya (unsur-unsurnya).
                [16] Lihat buku Filsafat Islam, oleh Drs. H. A. Mustofa, hal. 205
                [17] pada Risalah fi Makrifah al-Nafs al-Natiqah, hal. 9, saya kutip dari buku Seluk Beluk Filsafat Islam, oleh Drs. Poerwantana, Drs. A. Ahamadi, M.A. Rosali, hal. 160
                [18] Pendapatnya tidak berbeda dengan Ibnu Sina tentang dalil dan hakikat jiwa. Lihat Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: PT Karya Unipress, 1986). Hal 118.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About