KONSEP KENABIAN MENURUT IBNU SINA DAN AL-GHAZALI
A.
Pendahuluan
Bukan merupakan
suatu hal yang aneh lagi jika terdengar tentang penolakan bahkan pengkafiran
al-Ghazali kepada para filosof, diantaranya al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina[1]. Dan
pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas tentang al-Ghazali dan Ibnu
Sina. “bagaimanakah konsep kenabian menurut al-Ghazali dan Ibnu Sina, apakah
al-Ghazali juga menolak konsep kenabian yang dikemukakan oleh Ibnu Sina?[2]”
tapi sebelum itu, kita harus mengetahui tentang kehidupan dari masing-masing
filosof tersebut.
B.
Riwayat Ibnu Sina
Nama lain Ibnu
Sina adalah Abu Ali Al-Hosain ibn Abdullah ibn Sina.[3]Beliau
lahir di sebuah desa Afsyana, di daerah Bukhara pada tahun 340 H/980 M.
kelahiran beliau di tengah masa yang sedang kacau, di mana kekuasaan Abbasiyah
mulai mundur dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaannya kini
mulai melepaskan diri dan berusaha untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad sebagai
pusat pemerintahannya dikuasai oleh golongan Banu Buwaih pada tahun 334 H.
hingga tahun 447 H.
Ibnu Sina
dibesarkan di daerah kelahirannya. Ia belajar al-Qur’an dengan menghafalnya dan
belajar ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu pengetahuan umum, seperti: astronomi,
matematika, fisika, logika, kedokteran dan ilmu metafisika.
Ketika umur beliau
belum mencapai 16 tahun sudah menguasai ilmu kedokteran, sehingga banyak orang
yang datang kepadanya untuk berguru. Kepandaiannya tidak hanya dalam teori
saja, melainkan praktekpun ia menguasai. Pada waktu Nuh bin Mansur, penguasa
Bukhara menderita sakit, dan kebanyakan dokter tidak mampu mengobati, maka
setelah diperiksa dan diobati Ibnu Sina, khalifah itu menjadi sembuh. Sejak
itulah ia mendapat sembutan yang baik sekali dari masyarakat.
Pada waktu usianya
mencapai 22 tahun, ayahnya meninggal dunia, kemudian ia meninggalkan negeri
Bukhara untuk menuju ke Jurjan, dan dari sini ia pergi ke Chawarazm. Di Jurjan
ia mengajar dan mengarang, tetapi karena kekacauan politik, ia tidak lama
tinggal di situ. Kemudian ia hidupnya berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat yang lain, hingga sampai di Hamadan. Di tempat ini beliau dijadikan
menteri oleh Syamsuddaulah untuk beberapa kali, meskipun di sini ia pernah
dipenjarakan beberapa bulan. Kemudian ia pergi ke Isfahan, di bawah pengu asa
Ala Abdaulah, ia disambut baik olehnya. Namun pada kehidupannya ia kembali ke
Hamadan, ketika Ala Addaulah merebut negeri Hamadan. Ia meninggal pada tahun
428 H./1037 M. pada usia 57 tahun.
C.
Riwayat al-Ghazali
Nama lengkapnya
adalah Muammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid Al-Ghazali[4].
Beliau dilahirkan di Thus, suatu kota di Khurasan pada tahun 450 M. ayahnya
seorang sufi yang sangat wara’[5]
yang hanya makan dari usaha tangannya sendiri. kerjaannya membuat pakaian dari
bulu (wol) dan menjualnya di pasar. Setelah ayahnya meninggal, Al-Ghazali
diasuh oleh seorang ahli tasawuf.
Pada masa kecilnya
Ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad
Ar-Rasikani, kemudian belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri Jurjan.
Setelah mempelajari beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Nishabur
dan belajar pada Imam Al-Haromain. Di sinilah mulai kelihatan tanda-tanda
ketajaman otaknya yang luar biasa dan
dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu saperti ilmu
mantiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. karena kecerdasannya itulah
imam Al-Haromain mengatakan bahwa Al-Ghazali adalah “lautan tak bertepi”.
Setelah Imam
Al-Haromain wafat, Al-Ghazali pergi ke Al-Ashar untuk berkunjung kepada menteri
Nizam al-Muluk dari pemerintahan dinasti Saljuk. Ia disambut dengan penuh
kehormatan sebagai seorang ulama besar. Kemudian dipertemukan kepada para alim
ulama dan para ilmuwan. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki
Al-Ghazali. Menteri Nizam al-Muluk akhirnya melantik Al-Ghazali pada tahun 484
H./1091 M. sebagai guru besar (profesor) pada perguruan tinggi Nizamiyah yang
berada di kota Baghdad. Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi selama
empat tahun. Ia mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang
datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri dari
keramaian.
Pada tahun 488 H.
Al-Ghazali pergi ke Makkah untuk menunaikan kewajiban rukun Islam yang kelima.
Setelah selesai mengerjakan haji, ia terus pergi ke Syiria (Syam) untuk
mengunjungi Baitul Maqdis, kemudian melanjutkan perjalanannya ke
Damaskus dan menetap untuk beberapa lama[6].
Setelah penulisan
Ihya Ulumuddin selesai, ia kembali ke Baghdad, kemudian mengadakan majelis
pengajaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya itu. Tetapi karena ada
desakan dari penguasa waktu itu. Al-Ghazali diminta kembali ke Naishabur dan
mengajar di perguruan Nizamiyah. Pekerjaan ini hanya berlangsung dua tahun,
untuk akhirnya kembali ke kampong asalnya, thus. Di kampungnya Al-Ghazali
mendirikan sebuah sekolah yang berada di samping rumahnya, untuk belajar para
fuqaha dan para mutashawwifin. Ia membagi waktunya guna membaca Al-Qur’an,
mengadakan pertemuan dengan para fuqaha dan ahli tasawuf, memberikan pelajaran
bagi orang yang ingin mengambilnya dan memperbanyak ibadah. Di kota Thus inilah
beliau meninggal pada hari senin tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H./1111 M.
D.
Teori Kenabian[7]
Kata kenabian
dapat dipahami dan direfleksikan ke dalam dua arah yang berbeda, meskipun tentu
saja tetap saling terkait satu sama lain. Yang pertama adalah kenabian dalam
arti prophecy, yaitu pengetahuan akan masa depan dan biasanya diperoleh dari
sumber ilahi, atau prediksi yang disampaikan di bawah inspirasi ilahi. Proses
kenabian melibatkan komunikasi timbal balik antara nabi dan sumber pemberi
pesan ilahi.
Yang kedua adalah
kenabian dalam arti prophethood, yaitu kualitas atau keadaan atau kondisi atau sifat-sifat
tertentu yang menjadikan seorang nabi mampu untuk berbicara atau
menginterpretasikan kehendak Ilahi, atau juga mampu untuk memberikan bimbingan
ke arah masa depan[8].
E.
Teori Kenabian menurut Ibnu Sina
Ibnu sina adalah
orang pertama yang merangkul secara ikhlas dan memaparkannya dalam bentuk yang
benar-benar mirip dengan apa yang dikatakan oleh al-Farabi. Bahkan Ibnu Sina
meninggalkan sebuah risalah yang bertitel : Fi Itsbat al-Nubuwwat wa Ta’wil
Rumuzi him wa Amtsalihim (tentang penetapan beberapa kenabian serta
ekspalasi symbol-simbol dan tamsil-tamsil mereka)[9].
Di dalam risalah itu, Ibnu Sina menafsirkan teori kenabian secara psikologis
(jiwa) dan mengeksplanasikan sebagai teks-teks agama dengan
penakwilan-penakwilan yang sesuai dengan teori-teori filosofinya[10]. Seperti
yang telah dijelaskan di atas, dalam risalah Ibnu Sina berisi tentang
penjelasan teori Kenabian yang ditafsirkan secara psikologis, maka akan
dijelaskan di bawah ini tentang Jiwa menurut Ibnu Sina terlebih dulu.
Ilmu Jiwa
Seperti halnya al-Farabi, Ibnu Sina mulai menjelaskan
mimpi secara ilmiah. Jika ia telah memecahkan problematika mimpi tersebut maka
dibawanya melintasi menuju ke topik kenabian.
Menurut Ibnu Sina, jiwa manusia mampu mengetahui al-majhul (hal-hal yang tidak
terlihat) di saat sedang tidur, sehingga tidak sukar baginya untuk menyingkapkan
kembali dalam kondisi berjaga. Selain itu, banyak orang yang mencari berita
tentang masa yang akan datang dengan perantara mimpi mereka. Adapun secara
logis, maka kami bisa menerima bahwa kejadian-kejadian masa lampau dan masa
yang akan datang telah ditetapkan di alam atas dan diikat di Lauh Mahfudz.
Sehingga jika jiwa manusia bisa naik ke alam
ini, mengetahui lauh tersebut, maka ia akan mengetahui apa yang ada di
dalamnya dan berarti ia mendapat berita gaib. Ada orang-orang yang bisa
mempersepsi hal ini di saat sedang tidur melalui imajinasi, sehingga mereka
membawa banyak hal yang seakan merupakan realitas-realitas empiric. Sementara
ada orang-orang lain yang berjiwa agung dan berimajinasi kuat, maka ia bisa
mempersepsi hal-hal yang ada di alam gaib dalam keadaan sedang berjaga
sebagaimana ia mempersepsikannya di saat sedang tidur. Mereka itu adalah para
nabi yang telah sampai pada martabat cahaya dan pengetahuan. Ibnu Sina mengatakan:
“Eksperimen dan analogi sepakat bahwa jiwa manusia mempunyai
kemampuan untuk mendapatkan suatu berita gaib dalam keadaan sedang tidur,
sehingga tidak ada yang bisa menghalangi jika penerimaan itu terjadi di saat
sedang berjaga kecuali jika ada jalan yang memberikannya kesempatan, dan
kemungkinan juga untuk menghilang. Sedangkan eksperimen dan pendengaran
sama-sama mengukuhkannya, karena tak seorang manusia pun, kecuali jika ia telah
melakukan eksperimen di dalam dirinya yang memberinya ilham yang membenarkan,
kecuali jika watak orang itu sudah rusak serta potensi imajinasi dan memorinya
tidur”.[11]
Dari
penjelasan di atas, perlu juga kita ketahui bahwa sebelum Ibnu Sina, sudah
banyak filosof yang telah membahas tentang ilmu jiwa, diantaranya ada Plato,
Aristoteles, Galien, Plotinus dan al-Farabi. Dari mereka ia mendapatkan cukup
banyak pengertian dan acuan sebagai landasan dalam menguraikan masalah yang
sama. Namun dari mereka yang banyak pengaruhnya adalah pemikiran Aristoteles.
Dialah yang banyak memberikan sumbangan besar dalam pembentukan
pemikiran-pemikiran psikologisnya. Meski demikian, secara detail psikologis
Ibnu Sina berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Aristoteles.[12]
Dalam dunia ini ada hal-hal yang kita percayai
wujudnya tanpa diragukan lagi, tetapi kalau kita diminta membuktikannya, maka
sukar sekali untuk dilakukan, di antaranya adalah jiwa manusia atau jiwa
kita yang ada dalam diri kita ini. Akan tetapi pemikiran filsafat tidak akan
berhenti karena kesukaran, karena filsafat memang mencari yang jauh dan ingin
memerangi apa yang janggal.
Dengan begitu Ibnu Sina tampil dengan
karakteristiknya sendiri menyelesaikan masalah kejiwaan menurut kehendak
hatinya dan hasilnya sebagai suatu yang mengagumkan.
Bukti-Bukti Wujud Jiwa
Pembuktian wujud jiwa yang dikemukakan oleh
Ibnu Sina merupakan pembuktian yang lebih kuat, bila dibandingkan dengan pembuktian
yang telah diusahakan oleh ahli fikir sebelumnya.
Pembuktian wujud jiwa ini Ibnu Sina
mengedepankan empat dalil[13],
yaitu:
1. Dalil Psiko-fisik[14]
2. Dalil Aku dan Kesatuan fenomena kejiawaan
3. Dalil kelangsungan
4. Dalil Manusia Terbang atau melayang-layang di
udara
1. Dalil
Psiko-fisik
Ada beberapa kenyataan yang tidak bisa kita
tafsirkan, kecuali bila kita mengetahui adanya jiwa. Kenyataan ini yang paling
penting ialah gerak dan pengenalan.
Gerak terbagi menjadi dua macam, gerak
terpaksa timbul dari dorongan unsur luar yang mngenai suatu benda tertentu lalu
menggerakkannya. Kedua, gerak bukan paksaan, yang terbagi menjadi dua yaitu:
a. Gerak yang terjadi sesuai dengan hukum alam,
seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.
b. Gerak yang menentang hukum alam, seperti
manusia yang berjalan di atas bumi sedang berat badannya seharusnya membuat
manusia itu tak bergerak. Atau juga burung yang mengepak di udara sehingga ia
tidak jatuh ke bumi. Gerak yang menentang hukum alam ini tentu ada penggerak
khusus yang ada di luar unsur tubuh manusia yang digerakkan. Penggerak itu
tidak lain adalah jiwa.
Begitulah isi dalil natural-psichologi dari
Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima (jiwa) dan Physics,
kedua-duanya diambil dari Aristoteles.
Tetapi, dalil Ibnu
Sina tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan,[15]dan nampaknya Ibnu Sina sendiri menyadari kelemahan dalil tersebut. Oleh karena
itu dalam kitab-kitab yang dikarang pada masa kematangan ilmunya, seperti
As-Syifa dan Al-Isyarat, dalil tersebut disebutkan sambil lalu saja, dan ia
lebih mengutamakan dalil-dalil yang didasarkan pada segi-segi pikiran dan jiwa,
yang merupakan kreativitas dan kegeniusan Ibnu Sina.
2. Dalil Aku dan
Kesatuan fenomena kejiwaan
Apabila seseorang membicarakan pribadinya atau
ketika berbicara dengan orang lain, maka yang dimaksudkan adalah jiwanya bukan
tubuhnya. Ketika anda mengatakan: saya akan keluar atau saya akan tidur, maka
bukan gerak kaki atau pemejaman mata yang dimaksudkan melainkan seluruh pribadi
anda.
Pandangan semacam ini oleh Ibnu Sina disusun
dalam kata-kata sebagai barikut: “bahwa apabila manusia berbicara tentang
dirinya mengenai suatu masalah, maka ia akan menghadirkan pribadinya hingga ia
mengatakan: saya melakukan ini dan melakukan itu. Dalam keadaan demikian ia
tidak teringat semua akan bagian-bagian badannya. Apa yang diketahui dengan
nyata (maksudnya jiwa) lain dari suatu yang tidak diingatnya (maksudnya anggota
badan). Jadi pribadi seseorang berlainan dengan badannya”[16].
Pada kata-kata tersebut kita dapati pikiran
tentang Aku yang menjadi bahan pembahasan ulama-ulama jiwa modern.
Menurut Ibnu Sina, pribadi atau aku bukanlah kadar dan peristiwa-peristiwa yang
dimaksudkan, melainkan jiwa dan kekuatan-kekuatannya.
Juga dalam peristiwa-peristiwa kejiwaan,
menurut Ibnu Sina terdapat keserasian dan koordinasi yang mengesankan adanya
suatu kekuatan yang menguasai dan mengaturnya. Meskipun peristiwa itu
berbeda-beda dan berlainan, bahkan saling berlawanan, namun kesemuanya itu berada
di sekitar pusat (poros) yang tetap dan bertalian dengan dasar yang tidak
berubah, seolah-olah semuanya dipertalikan dengan tali yang kuat yang dapat
menggabungkan bagian-bagiannya yang berjauhan.
Kita bergembira dan sedih, cinta dan membenci,
meniadakan dan menetapkan menganalisa dan menyusun pikiran, peristiwa ini
keluar dari pribadi yang satu dan dari kekuatan terbesar yang dapat menggabungkan
antara peristiwa-peristiwa yang berlainan, dan kekuatan tersebut tidak lain
adalah jiwa. Kalau sekiranya tidak ada kekuatan ini, tentunya
peristiwa-peristiwa kejiwaan saling berlawanan dan mengalami kekacauan.
Gema dari pikiran Ibnu Sina tersebut kita
dapati pada ahli-ahli kejiwaan aliran spiritualisme yang menyatakan bahwa
kesatuan peristiwa-peristiwa kejiwaan mengharuskan adanya sumber yang menjadi
tempat keluarnya peristiwa-peristiwa tersebut. Kelemahan kesatuan ini berarti
lemahnya kehidupan atau hancurnya kehidupan. Apabila kesatuan fenomena
psikologis mengharuskan adanya asal sebagai sumbernya, sudah barang tentu juga
mengharuskan adanya jiwa.
3. Dalil
Kelangsungan
Melalui dalil ini Ibnu Sina menerangkan bahwa
pada masa kini terkandung masa lampau dan menyiapkan masa yang akan datang.
Kehidupan rohani pada hari ini berkaitan dengan hidup kita di hari kemarin
tanpa ada tidur atau kekosongan/terputus dalam rangkaiannya. Hidup ini bergerak
dan berubah, maka gerakan-gerakan dan perubahan itu bertalian satu sama lain
dan beranti-rantai. Sambung-menyambung dan bertalian ini tiada lain kecuali
karena ihwal psikologis itu merupakan limpahan yang mengalir dari sumber yang
satu dan beredar pada lingkaran yang mempunyai daya tarik yang tetap.
“perhatikan wahai orang yang bijaksana, bahwa
engkau sekarang, pada jiwamu, adalah juga orang yang terdapat disepanjang
umurmu, sehingga engkau selalu ingat akan peristiwa-peristiwa yang kau alami.
Jadi jiwamu tetap dan berjalan terus, tanpa dirsgukan lagi, sedang badanmu
beserta bagian-bagiannya tidak tetap dan tidak berjalan terus, melainkan
selamanya terurai (terpisah) dan berkurang. Karena itu kalau seorang tidak
diberi makan selama waktu tertentu, berat badannya akan berkurang hampir sampai
¼ umpamanya, dan dalam tempo 20 tahun bagian-bagian badanmu akan habis sama
sekali. Sedang kau mengetahui bahwa dirimu (jiwamu)
akan tetap ada sepanjang tempo tersebut, bahkan sepanjang umurmu. Dengan
demikian, maka zatmu (jiwamu) berlainan dengan badan dan bagian-bagiannya, baik
lahir maupun batin.”.
Ibnu Sina dengan dalil kontinuitas ini telah
membuka ciri kehidupan yang paling khas dan mencerminkan
pengkajian dan penelitian yang cermat dan mendalam. Bahkan boleh diketahui ia
telah melampaui masanya beberapa generasi. Namun pendapatnya banyak dijadikan
pegangan oleh para ahli ilmu jiwa modern, di abad terakhir ini.
4. Dalil Manusia
Terbang atau melayang-layang di udara
Dalil ini merupakan dalil pembuktian adanya
jiwa yang paling mengagumkan dan menakjubkan. Dalil dibangun berdasarkan
perkiraan dan khayalan, meskipun demikian, tidak mengurangi kemampuannya dalam
memberikan keyakinan. Secara singkat, dalil ini berbunyi:
“Andaikan ada seorang lahir dengan dibekali
kekuatan akal dan jasmani yang sempurna, kemudian ia menutup matanya sehingga
tak dapat melihat samasekali apa yang ada di sekelilignya, kemudian ia letakkan
di udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan
atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota-anggota badannya diatur sedemikian
rupa, sehingga tidak saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun semua ini terjadi,
namun orang tersebut tidak akan ragu-ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia
sukar dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi
tidak mempunyai pikiran samasekali tentang badan, sedang wujud yang
digambarkannya adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau panjang lebar dan
dalam (tiga dimensi). Kalau pada saat tersebut ia menghayalkan (memperkirakan)
ada tangan atau kaki, maka ia tidak akan mengira bahwa itu tangannya dan
kakinya. Dengan demikian, maka penetapan tentang wujud dirinya tidak timbul
dari indera atau melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang
berbeda sama sekali dengan badan, yaitu jiwa”.
Inilah empat dalil yang merupakan usaha
kreatif yang ditempuh melalui berbagai cara yang berbeda-beda. Sehingga Ibnu
Sina kadang bertumpu pada pengertian umum dan apa yang bisa dikenal orang, dan
dari sini ia mengambil pengertian-pengertian yang dapat meyakinkan bahwa di
dalam diri kita ada sesuatu yang berbeda dengan badan. Selain itu ia kadang
meyakini pernyataan-pernyataan para filosof muslim klasik untuk mendukung agar
ia dapat mencapai tujuan yang diinginkannya. Juga apabila hal itu tidak
dijumpai, ia menciptakan alasan dan pendapat serta berbagai hipotesa yang
sampai mengungguli dari pada psikolog modern dari masa sebelumnya ataupun masa
yang akan datang.
F.
Sikap al-Ghazali terhadap teori kenabian
Orang-orang
asy’ariah berpendapat bahwa teori
al-Farabi tentang kenabian adalah amat bertentangan dengan cara-cara wahyu yang
diterima di dalam al-kitab dan al-sunah. Al-asy’ari adalah salah satu dari
sekian orang yang hidup yang sezaman dengan al-Farabi. Ia hidup di dalam
suasana mihnah kholq al-Qur’an (inquisisi bahwa al-Qur’an adalah makhluq) dan
fitnah atheism yang jahat. Al-asy’ari, walaupun tumbuh sebagai seorang muktazilah,
tetapi akhirnya ia cenderung kepada ahli sunnah. Ia berhenti pada banyak nash
dan berkeinginan kuat untuk memeganginya. Para pengikutnya yang datang kemudian
berjalan di atas metodenya, sebagaimana yang telah kami kemukakan. Al-Ghazzali
adalah pembela terbesar bagi kaum Asy;ariah secara umum, dan pertengahan akhir
abad ke-5 H secara khusus, di samping tidak melupakan teori kenabian al-Farabi.
Al-Farabi menyerang teori tersebut sebagaimana ia menyerang pandangan-pandangan
filosofis lain, tetapi di dalam serangannya ini al-Ghazzali tidak bisa
menolaknya secara memuaskan atau ia tidak bisa merusakannya secara tegas. Namun
al-Ghazzali sendiri, walaupun memusuhi teori kenabian al-Farabi, tidak bisa
terlepas dari pengaruhnya, bahkan ia mengatakan beberapa pendapat yang nyaris
mendekatinya, yaitu dapat dilihat pada pendapatnya tentang jiwa[18]
G.
Penutup
Karena teori Ibnu
Sina ditafsirkan secara psikologis, maka kita meneliti teori kenabian miliknya
melalui pengetahuan tentang jiwa lebih dulu, dan memang pada dasarnya, konsep
kenabian didasarkan oleh jiwa dan metafisika. Setelah itu dapat disimpulkan
bahwa konsep kenabian Ibnu Sina tidak jauh beda dengan al-Ghazali dilihat dari
pendapatnya tentang jiwa, dengan masih dibayang-bayangi oleh keinginan untuk mengkritik
pemikiran Ibnu Sina.
Daftar Pustaka
Al-Ahwani, Ahmad Fuad, filsafat Islam, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1985).
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: PT Karya Unipress, 1986).
Madkour, Ibrahim, Filsafat Islam metode
dan penerapan, bagian 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993).
Muhammad, Hasyim, Dialog Antara Tasawuf dan
Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Walisongo Press, 2002).
Mustofa, A, Filsafat islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997).
Poerwantana, Ahamadi, A, Rosali, M.A, Seluk Beluk Filsafat
Islam, (Bandung: CV ROSDA, 1988).
[1]
Al-Ghazali mengkafirkan kaum filosof atas dasar tiga masalah pokok. Pertama,
karena kaum filosof berkeyakinan bahwa alam adalah qadim (tidak bermula),
kedua, karena mereka berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui yang particular,
dan ketiga, mereka mengingkari kebangkitan kembali manusia dengan jasadnya. (lihat
buku filsafat Islam, oleh Dr. Ahmad Fuad Al-Ahwani, (Jakarta: Pustaka Firdaus
1985).
[5] Dalam tradisi sufi, yang dimaksud wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu
yang tidak jelas atau belum jelas hukumnya (Subhat). Hal ini berlaku
pada segala hal atau aktifitas kehidupan manusia, baik yang berupa benda maupun
perilaku seperti makanan, minuman, pakaian, pembicaraan, perjalanan, duduk,
berdiri, bersantai, berkerja dan lain-lain. Lihat buku Dialog Antara Tasawuf
dan Psikologi, oleh Hasyim Muhammad (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan
Walisongo Press, 2002). Hal. 31
[6] Di
sini ia beribadah di masjid al-Umawi pada suatu sudut hingga terkenal sampai
sekarang dengan nama Al-Ghazaliyah, dan pada saat itulah ia sempat mengarang
sebuah kitab yang sampai kini kitab tersebut sangat terkenal yaitu Ihya
Ulumuddin. Dan dalam waktu kurang lebih 10 tahun ia hidup dengan amat
sederhana, berpakaian seadanya, sedikit makan dan minum, mengunjungi
masjid-masjid, memperbanyak ibadah atau berbuat yang dapat mendekatkan diri
kepada Allah SWT dan berkhalwat. Lihat buku Filsafat Islam, oleh Drs. H. A. Mustofa.
Hal. 216
[12] Perbedaan pengertian jiwa antara Aristoteles dan Ibnu Sina, jiwa dibagi ke
dalam dua aspek. Aspek fisik (psikologi fisik Ibnu Sina diwarnai dengan
orientasi eksperimental dan lebih banyak dipengaruhi oleh teori kedokteran),
Aspek Metafisik (Psikologi Metafisik terdapat pendalaman dan pembaharuan yang
hampir sama dengan filosof modern), dan yang lebih menonjol dalam pembahasannya
adalah dari segi metafisiknya.
0 komentar:
Posting Komentar