INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and
Civilizations) dan membangunan Tradisi Keilmuan
Islam
Pendahuluan
Sebelum Nabi Muhammad Saw datang untuk menyebarkan agama Islam,
bangsa Arab tenggelam dalam tradisi dan agama nenek moyang tanpa bimbingan
seorang Nabi pun, yang mana bangsa di jazirah itu sedang ditimpa kemerosotan
agama yang drastis dan tenggelam dalam paganism yang rendah. Penyakit moral dan
penyakit sosial meruntuhkan akhlaq dan menghancurkan masyarakat serta
sendi-sendi kehidupan mereka yang lain, akhirnya bangsa itu terjerumus ke dalam
kehidupan jahiliyah yang paling buruk, jauh dari nilai agama yang benar
Begitulah keadaan bangsa Arab sebelum Islam masuk. Akan tetapi
setelah itu, Rasulullah Saw menjadi revolusioner sejati. Mengikis berbagai
hal-hal jahiliyah dengan ilmu pengetahuan berupa wahyu. Tradisi keilmuan yang
dicetuskan Rasulullah telah menjadikan manusia beradab, mengerti mana yang
benar dan mana yang salah.[1]
Secara historis tradisi keilmuan dalam Islam dimulai dari pemahaman
terhadap al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw, secara
berturut-turut.[2]
Perintah “bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan” mengandung
arti bahwa kita diperintahkan untuk membaca, dalam artian belajar. Dan tidak
sebatas membaca, namun semua yang kita baca atau yang kita lihat harus kita
hubungkan dengan Tuhan.
Dan pada masa Rasulullah, tradisi keilmuan tumbuh dan berkembang
pesat. Salah satunya yang terkenal adalah komunitas ilmiah Ashabu Al-Suffah.
Tradisi intelektual zaman Nabi Muhammad tersebut dapat dibuktikan dengan
wujudnnya madrasah Ashabu al-Suffah yang diikuti oleh sekitar 70 orang sahabat
Nabi Saw. Peran madrasah ini begitu sentral, sebab, dari komunitas kajian ilmu
inilah pandangan hidup Islam (Islamic Worldview) yang berasas al-Qur’an dan
sunah lahir.
Tradisi keilmuan di madrasah Ashabu al-Suffah tersebut diteruskan
dan dikembangkan, sampai akhirnya peradaban Islam mampu menghegemoni dunia yang
berbentuk mental keilmuan seorang muslim.
Sekarang mari kita menoleh ke tradisi keilmuan pada masa kini.
Dimulai dari peradaban membaca dan menulis yang konon sangat diterapkan oleh
Rasulullah dan para sahabatnya. Tampaknya kecintaan manusia terhadap ilmu telah
terkikis sedikit demi sedikit.
Dan karena keadaan inilah yang membuat para mahasiswa ISTAC
Malaysia[3]
mempunyai ide untuk membangun kembali tradisi keilmuan Islam dengan mendirikan
INSISTS di Indonesia.
Dan dalam konteks umat Islam dewasa ini, yang pertama-tama
diperlukan adalah membangun tradisi keilmuan Islam yang serius, baik dalam
bentuk pusat studi atau universitas Islam yang khas.
Tugas utamanya adalah merespon tantangan keilmuan kontemporer dan
menjelaskan ulang konsep-konsep dasar Islam yang relevan untuk kebutuhan umat
masa kini.[4]
Tantangan umat Islam
Sebagai tradisi keilmuan yang akan mengantarkan umat Islam kepada
terwujudnya peradaban Islam, terdapat dua tantangan penting yang sedang
dihadapi dewasa ini, yaitu tantangan eksternal dan internal.
Yang pertama adalah tantangan eksternal, yaitu yang datang
dari peradaban asing khususnya barat. Peradaban barat modern dengan program
globalisasi dan westernisasi menyebarkan paham sekularisme, rasionalisme,
empirisme, dualism, desakralisasi, pragmatism dan sophisme, nasionalisme,
kapitalisme, humanism liberal dan sebagainya[5].
Sementara barat modern ditambah lagi dengan paham barat postmodern
membawa paham-paham baru seperti nihilism, relativisme, pluralism dan persamaan
gender, dan dekonstruksionisme. Paham-paham itu semua dengan sengaja telah dan
sedang dimasukkan ke dalam pikiran dan kehidupan umat Islam dalam bentuk
system, konsep, dan bahkan gerakan ekonomi, politik, pendidikan, budaya, ilmu
pengetahuan dan sebagainya.
Masalahnya di dalam system dan konsep barat itu terdapat hal-hal
yang perlu ditolak, diterima secara kritis atau dimodifikasi secara
epistemologis dan mungkin juga ideologis.
Faham-faham seperti sekularisme, liberalism, hedonism, relativisme
dan sebagainya, harus ditolak. Dalam hal system pendidikan dan pengajaran
misalnya, Barat dapat dikatakan cukup maju. Namun, karena aspek tujuannya
berbeda dengan Islam, maka umat Islam di satu sisi perlu menolak beberapa aspek
dalam system pendidikan barat dan juga pemodifikasinya.
Sebagai contoh, dalam masalah system pendidikan, Barat sekuler yang
memisahkan ilmu pengetahuan secara dichotomis telah membawa problem besar bagi
umat Islam. Ilmu dibedakan menjadi dua, yaitu ilmu pengetahuan agama dan ilmu
pengetahuan umum, yang tidak saling berhubungan sama sekali antara keduanya.
Konsep ilmu tersebut ketika diterapkan di dunia Islam menghasilkan
system pendidikan Islam yang dichotomis pula, yaitu lembaga pendidikan agama
dan umum. Di Indonesia terdapat pondok pesantren dan madrasah tradisional yang
khusus belajar ilmu-ilmu agama; di sisi lain terdapat SMP, SMA, SMK yang hanya
mengajarkan ilmu-ilmu umum. Di tingkat perguruan tinggi, terdapat universitas
yang hanya mengajarkan studi Islam, dan ada pula universitas sekuler, yang
hanya mengajarkan studi ilmu pengetahuan umum.[6]
Akibat dari system pendidikan yang dichotomik itu maka lembaga pendidikan Islam
menghasilkan dua tipe cendikiawan muslim yang berbeda jenis ilmunya yang dalam
beberapa aspek saling bertentangan. Ini bagaikan lingkaran setan, seperti yang
disimpulkan al-Attas bahwa pendidikan kita yang sekuler itu telah melahirkan
pemimpin yang sekuler, dan pemimpin sekuler itu akan melahirkan kebijakan yang
sekuler pula dan demikian seterusnya.[7]
Begitu juga kalau kita lihat dari segi ekonomi, kita tidak bisa
menjadikan model kapitalis dan sosialis untuk menjadi tipe ideal kita, meskipun
kita akan memanfaatkan semua pengalaman manusia untuk diasimilasikan dan
diintegrasikan dengan framework Islam, agar dapat membantu mencapai tujuan kita
sendiri dengan tanpa mengotori nilai-nilai dan norma kita. Bahkan kita harus
menolak model kapitalisme dan sosialisme. Kedua model pembangunan ini tidak
cocok dengan system nilai kita, keduanya eksploitatif, tidak adil dan gagal
memperlakukan manusia sebagai manusia dan sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Keduanya telah gagal mengatasi tantangan ekonomi, social, politik, moral masa
kini dan memenuhi kebutuhan real umat manusia dan ekonomi yang adil di dunia
mereka sendiri.
Sejatinya, secara keseluruhan konsep-konsep atau faham-faham dalam
pandangan hidup Barat yang sekuler-liberal banyak bertentangan dengan pandangan
hidup Islam (worldview Islam).
Tantangan eksternal itu, berkaitan langsung dengan tantangan
internal umat Islam. Tantangannya adalah bagaimana umat Islam dapat menolak,
mengkritisi, mengasimilasi, atau memodifikasi system dan konsep-konsep asing
yang multidisiplin ilmu itu. Sebab hal ini bukanlah kerja yang bisa dilakukan
sembarang orang. Bahkan kerja ini tidak bisa dilakukan oleh sekelompok
cendikiawan yang hanya menguasai disiplin ilmu-ilmu pengetahuan syari’ah (ulum
naqliyyah) atau cendikiawan yang hanya menguasai sains fisika dan kemanusiaan.
Dalam banyak kasus dosen yang menguasai ilmu ekonomi konvensional, misalnya
tidak mengerti syari’ah, dan sebaliknya dosen bidang syari’ah tidak menguasai
ilmu ekonomi konvensional.
Ringkasnya, tantangan internal umat Islam ada dua. yang pertama, ketidakberdayaan
para cendikiawannya menghadapi faham, epistemology dan ideology asing secara
kritis. Kedua, kelemahan tradisi pengkajian ilmu keislaman yang memenuhi hajat
umat di masa sekarang.
Upaya Ulama Terdahulu Terhadap Tantangan
Kedua tantangan eksternal dan internal di atas telah disadari dan
tokoh-tokoh muslim terdahulu mencoba untuk mencari jalan keluarnya. Sedikitnya
terdapat empat kelompok yang mencoba memberi jalan keluar bagi problematika
umat Islam ini. Kelompok-kelompok itu adalah:
Pertama, kelompok
cendikiawan yang berusaha memperbaharui
bidang social dan politik, yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani
(1838-1897), Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935), Dr. Abdurrazzaq Sanhuri Pasha
(1895-1971)[8],
Abu al-A’la al-Maududi dari Pakistan dan sebagainya.
Kedua, kelompok
cendikiawan yang menitikberatkan pada pendidikan dan pemahaman ulang ajaran
Islam agar sesuai dengan tantangan modern. Termasuk dalam kelompok ini adalah
Muhammad Abduh (1849-1905), Sir Syed Ahmad Khan, Muhammad Iqbal dan sebagainya.
Ketiga, kelompok
cendikiawan yang berusaha membenahi ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam.
Mereka itu adalah Sultan Selim III (1789-1807), Sultan Mahmud II (1807-1839) hingga
ke Pasha Muhammad Ali di Mesir (1803-1849) dan sebagainya. Namun, akhirnya
kelompok ini lebih terfokus pada menekankan bidang militer dan ilmu teknik,
yang kemudian diikuti oleh cabang-cabang ilmu yang lain.
Keempat, adalah
cendikiawan yang menyadari dampak epistemologis dari faham sekularisme Barat
dan menyadari perlunya ilmu yang dibangun dari tradisi intelektual Islam.
Kelompok ini kemudian dikenal dengan program Islamisasi ilmu pengetahuan Barat
kontemporer yang dipelopori oleh prof. Dr, Syed Naquib a-Attas. Termasuk dalam
kelompok ini adalah Sayyed Hossein Nasr, Prof. Dr. Ismail R Faruqi, Ziauddi
Sardar dan sebagainya. Pada tahun-tahun belakangan timbul dampak positifnya
yang berupa Islamisasi Ilmu ekonomi sehingga timbul lembaga-lembaga ekonomi
umat, seperti lembaga keuangan Islam, bank Islam, ekonomi syari’ah dan
sebagainya di antara tokohnya adalah Umer Chapra, Khursyid Ahmad dan
sebagainya.
INSISTS sebagai Jalan keluar dari tantangan di masa ini
Dalam penelitian dan pengkajian lebih lanjut, INSISTS melihat
tantangan berat yang dihadapi oleh umat Islam, kini dan akan datang. Faktanya,
bukan hanya ilmu-ilmu sains dan teknologi yang terhegemoni oleh Barat. Tapi,
ilmu-ilmu keislaman pun sudah terhegemoni. Melalui pusat-pusat studi Islam di
Barat, para orientalis, dulu dan sekarang, sangat aktif melakukan kajian
keislaman dan mendidik sarjana-sarjana Muslim menjadi kader-kader mereka.
Banyak yang mampu bersikap kritis terhadap kajian orientalis. Tetapi, sangat
tidak sedikit yang silau dan terpukau dengan institusi studi Islam dan
kehebatan para orientalis, sehingga seorang kandidat doktor studi Islam di AS
ada yang menyatakan, bahwa studi Islam terbaik di dunia saat ini adalah di
Amerika. Kata dia, studi Islam di Barat didasarkan pada ”kajian kritis”, bukan
”berdasar atas keimanan” (based on faith). Karena itulah, katanya, kajian Islam
di Barat lebih berkembang ketimbang di dunia Islam. Sebab, kajian mereka
bersifat objektif ilmiah.
Maklum, para orientalis yang melakukan studi Islam, sangat jarang
yang kemudian beriman dengan yang mereka kaji. Ilmu dipisahkan dari iman dan
amal. Inilah yang mereka katakan sebagai model kajian objektif ilmiah. Kaum
Muslim yang mengkaji agama-agama lain dalam perspektif al-Quran langsung
dimasukkan kotak: subjektif tidak ilmiah. Begitu juga jika seorang mengkaji
al-Quran, tetapi sudah mengimani dan mensucikan al-Quran, langsung dimasukkan
dalam kategori ”subjektif-ideologis”. Kata mereka, kajian Islam harus netral
dari keberpihakan ideologis. Ketika mengkaji al-Quran, mahasiswa diminta
”melepaskan keimanannya” dan mengkaji al-Quran secara objektif. Itu yang
dikatakan objektif ilmiah dan kajian kritis. Meskipun, biasanya, sikap kritis
itu hanya ditujukan kepada para ulama Islam, bukan kepada ilmuwan-ilmuwan
Barat.
Dengan metode seperti ini, maka tidak heran, jika banyak skripsi,
tesis, disertasi doktor yang diluluskan, meskipun jelas-jelas salah dan bahkan
beberapa diantaranya secara terang-terangan menghujat al-Quran. Inilah proses liberalisasi
atau westernisasi ilmu, yang ironisnya, justru terjadi secara massif dalam
bidang ilmu-ilmu keagamaan (ulumuddin). Proses ini telah terjadi selama puluhan
tahun. Dan kini, semakin berjubel alumni studi Islam dari Barat yang memegang
posisi-posisi penting dalam institusi keagamaan, baik di perguruan tinggi Islam
maupun di organisasi Islam.
Menghadapi serbuan pemikiran semacam ini, secara umum, tampak kaum
Muslim masih belum menyiapkan diri dengan baik. Banyak pakar al-Quran yang
berdiam diri dengan masuknya hermeneutika, metode tafsir Bibel
Yahudi-Kristen, sebagai mata kuliah
wajib di jurusan tafsir-hadits. Padahal, ada diantara mereka yang berteriak
lantang menolak kedatangan delegasi parlemen Israel ke Indonesia. Banyak dosen
dan pakar yang mendiamkan saja buku-buku studi Islam yang isinya merusak
pemikiran mahasiswa, dalam berbagai bidang keilmuan.
Lihatlah, sebuah fenomena yang sudah puluhan tahun dipandang
sebagai hal biasa oleh umat Islam. Hampir di semua universitas yang membawa
label Islam, fakultas yang paling tidak diminati adalah fakultas agama Islam.
Anak-anak pintar jarang yang mau terjun ke bidang studi Islam. Mereka lebih
memilih bidang kedokteran, teknik, komputer, ekonomi, hukum, dan sebagainya.
Dampak dari proses ini sangat fatal. Banyak yang terjun ke bidang-bidang
keagamaan adalah yang kapasitas otaknya pas-pasan. Perasaan minder sering
menjangkiti mereka. Bisa dipahami, jika kemudian muncul fenomena ”cultural
schock” (gegar budaya) saat berhadapan dengan peradaban Barat. Bisa dipahami
jika banyak ilmuwan studi Islam yang kemudian menjadi pemuja Barat. Bahkan,
bisa ditemukan sejumlah tulisan mereka yang lebih brutal dalam menyerang Islam
dibanding kaum orientalis sendiri.
Melihat fenomena ini, INSISTS mengajak berbagai kalangan untuk
mulai berpikir serius tentang masa depan studi dan pemikiran Islam di
Indonesia. Inilah jantung persoalan umat Islam di Indonesia, yakni problem
keilmuan Islam itu sendiri. Jika ilmu-ilmu agama rusak, maka tidak mungkin
melakukan proses Islamisasi terhadap ilmu-ilmu lain. Barat sepertinya tahu
benar akan nilai strategis studi Islam, sehingga mereka bersedia mengucurkan
dana yang sangat besar untuk memberi beasiswa kepada ribuan sarjana Muslim.
Tidak sembarangan orang diberi beasiswa untuk studi Islam ke Barat. Organisasi
dan lembaga-lembaga Islam pun terus dibuat tergantung hidupnya terhadap
lembaga-lembaga donor Barat. Menghadapi fenomena dan tantangan semacam ini,
untuk mencegah semakin banyaknya ulama, tokoh, dan cendekiawan yang tergelincir
pemikirannya, harusnya kaum Muslim mampu membuat rencana penyelamatan pemikiran
Islam secara serius. Studi dan pemikiran Islam tidak bisa diserahkan begitu
saja ke dalam pelukan Barat dan kroninya. Kaum Muslim, khususnya orang-orang
yang pintar dan benar, harus berani terjun ke dalam arena perang pemikiran ini.
Problemnya saat ini adalah, nyaris belum ada dosen-dosen di kampus-kampus umum
yang menguasai bidang pemikiran Islam dengan baik. Rata-rata dosen-dosen bidang
studi umum yang aktif dalam kegiatan Islam tidak menguasai studi Islam secara
akademis. Untuk itulah, INSISTS telah melakukan rintisan pengembangan studi
Islam di sejumlah kampus dalam bentuk program Pasca Sarjana bidang Pemikiran
Islam. Setiap sarjana muslim yang pintar wajib menguasai ilmu-ilmu yang fardhu
ain, disamping ilmu fardhu kifayah sesuai dengan bidang keilmuannya.
Dengan itu, kita akan melihat doktor-doktor bidang matematika yang
fasih berbahasa Arab dan terampil membaca kitab-kitab klasik tentang sains
Islam. Kita juga akan melihat, Insyaallah, seorang profesor bidang matematika
yang menguasai ilmu hadits dengan baik. Ini sangat tidak mustahil. Coba kita
pikirkan, jika Habibie mau belajar bahasa Arab dan Tafsir al-Quran dengan
serius, maka dalam tempo sekitar 5 tahun saja, Insyaallah, dia sudah dapat
meraih gelar doktor dalam bidang Tafsir al-Quran yang tidak kalah mumpuni dari
Quraish Shihab.[9]
Untuk itu INSISTS sedang berjuang mewujudkan sebuah kampus Islam
Internasional di Indonesia yang mengaplikasikan konsep keilmuan Islam secara
total. Di kampus inilah, diterapkan keilmuan Islam secara integral. Dan di
kampus ini pula, para dosen dan mahasiswa bersama-sama mengaplikasikan ajaran
Islam dalam kehidupan sehari-hari. Kampus ini harus menjadi pusat studi dan
pemikiran Islam internasional, dengan perpustakaan dan dosen-dosen bertaraf
internasional. Insyaallah, di sini akan berdatangan para dosen dan mahasiswa
dari berbagai negeri Islam. Ketika itu sudah terwujud, kita akan berteriak
lantang: ”Tidak perlu lagi mengirim sarjana Muslim untuk belajar Islam pada
kaum Yahudi dan Kristen. Cukup belajar di INSISTS!”[10]
Kerjasama untuk saling menguatkan
Dalam membangun kembali tradisi keilmuan Islam, tidak lain hanya
bertujuan untuk mendapatkan kemerdekaan dan kejayaan peradaban Islam yang telah
lama terkikis sedikit demi sedikit. Dan segala sesuatu yang harus kita lakukan
untuk proyek membangun kembali peradaban Islam tidak terbatas hanya pada satu atau
dua bidang kehidupan saja, tidak bisa pula dikerjakan secara seporadis atau
dengan program temporer. Ia harus digerakkan secara sinergis, simultan dan
konsisten. Untuk itu, maka proyek ini merupakan tanggung jawab yang perlu
dibebankan kepada seluruh anggota masyarakat Muslim dalam profesi apapun,
sebagai seseuatu yang wajib bagi individu (fardhu ‘ain). Ini adalah ibadah
dalam bentuk kepedulian. seperti sabda Nabi “barang siapa tidak perduli dengan
urusan (masalah) ummat Islam maka ia bukan bagian dari pada mereka”
(al-Hadits).
Dalam konteks umat Islam dewasa ini, yang pertama-tama diperlukan
adalah membangun tradisi keilmuan Islam dengan serius,[11]
baik dalam bentuk pusat studi atau universitas Islam yang khas. Tugas utamanya
adalah merespon tantangan keilmuan kontemporer dan menjelaskan ulang
konsep-konsep dasar Islam yang relevan untuk kebutuhan umat masa kini. Lembaga
ini diharapkan mampu mencetak indifidu calon pemimpin yang memiliki worldview
Islam, yang berpandangan universal dan memiliki otoritas dalam beberapa bidang
keilmuan yang saling berkaitan. Bukan pemimpin yang spesialis dalam salah satu
bidang keilmuan saja dan buta tentang disiplin ilmu lain.
Dari produk universitas ini diharapkan lahir komunitas keilmuan
yang aktif, yang tidak hanya memperdalam disiplin ilmu keislaman saja, tapi
juga mengasimilasi dan mengislamisasikan ilmu pengetahuan kontemporer, sehingga
menghasilkan disiplin ilmu baru. Jika komunitas keilmuan Islam telah dapat
menghasilkan suatu disiplin ilmu keislaman baru dan mampu menjadi agen
perubahan, maka dari situ diharapkan akan tumbuh system politik, ekonomi,
pendidikan dan social baru yang berdasarkan worldview Islam.
Namun strategi membangun tradisi ilmu seperti dalam desain di atas
memerlukan dukungan strategis dari berbagai pihak seperti intelektual,
penguasa, pengusaha, penerbit, wartawan dan masyarakat luas. Mengingat system
pendidikan di dunia Islam saat ini masih bersifat dichotomis, maka diperlukan
kerjasama antara ilmuwan produk pendidikan sekuler dengan ilmuan produk
pendidikan Islam. Sebab banyak kasus cendikiawan pakar bidang ilmu keislaman
buta akan ilmu-ilmu umum (sekuler) dan sebaliknya cendikiawan pakar bidang ilmu
umum tidak tahu sama sekali ilmu agama, meskipun mereka adalah muslim.
Beda nama tapi satu tujuan[12]
Mengupayakan generasi ulama-intelek yang mampu memadukan
pengetahuan agama Islam dengan pengetahuan kealaman, diperlukan kerja bersama.
Sebab, virus-virus pemikiran sudah tertanam dalam sanubari mayoritas umat
Islam. Virus-virus yang bisa merusak akidah umat Islam ini hanya akan hilang
jika segenap umat Islam bersatu padu menggalang kekuatan untuk memeranginya.
Berikut antara lain beberapa lembaga yang berjuang untuk itu:
INPAS (Institut Pemikiran dan Peradaban Islam) mempunyai visi menjadi lembaga kajian dan penelitian yang unggul
dan mandiri (center of excellent), khususnya dalam bidang pemikiran dan peradaban
Islam. Sedangkan misinya adalah koordinasi dan pelaksanaan berbagai kegiatan
kajian dan penelitian Islam serta publikasinya, dengan prioritas pada kajian
dan penelitian dalam bidang pemikiran dan peradaban Islam, pemecahan masalah
pemikiran dan amaliyah yang menyimpang dari tuntunan Islam, serta publikasi
hasil penelian.
INPAS memiliki tujuan umum yaitu:
1.
Mengembangkan ilmu pengetahuan yang berlandaskan epistemology Islam
2.
Menerapkan dan menyukseskan tercapainya peradan Islam sebagaimana
yang pernah terwujud pada masa lampau, khususnya pada masa kekhalifahan Islam.
Sedangkan tujuan khususnya yaitu:
1.
Mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kejian ilmiah yang berbasis
pada epistemology Islam
2.
Mentransfer sains Islam kepada kaum muslimin dengan menumbuhkan kecintaan
pada sains Islam
3.
Meningkatkan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia).
Sasaran INPAS adalah para santri, pelajar, mahasisiwa,
pengajar/dosen, dai/muballigh, dan masyarakat muslim secara umum.
INPAS antara lain mempunyai program kerja:
1.
Diskusi ilmiah mingguan dan regular
2.
Seminar dan workshop pemikiran Islam, bekerjasama dengan lembaga
dakwah kampus, pondok pesantren, lembaga pendidikan Islam dan lainnya.
3.
Kursus bahasa Arab, Inggris, konsep worldview Islam dan Barat
4.
Koleksi dan menerjemahkan buku-buku ilmiah keislaman
5.
Pusat informasi dan penelusuran literature studi Islam
6.
Pelatihan metodologi dan penyusunan proposal, penelitian keislaman,
penulisan artikel ilmiah popular
7.
Publikasi hasil penelitian, penelitian jurnal ilmiah, penerbitan
bulletin dan buku.
UIKA BOGOR (Universitas Ibn Khaldun Bogor) didirikan oleh para ulama di Bogor dan merupakan universitas Islam
tertua di kota Bogor, jawa barat. Nama universitas Ibn Khaldun diambil dari
nama seorang ilmuwan muslim yang bernama Ibn Khaldun.
Pada tahun 1961 empat fakultas di Bogor memisahkan diri dari UIC
dan menjadi dua universitas yaitu universitas Ibnu Khaldun Bogor dan
Universitas Bogor yang sekarang bernama Universitas Pakulan. Pada tahun 1987
yayasan Pembina universitas Ibn Khaldun
Bogor diubah menjadi Yayasan Pendidikan Islam Ibn Khaldun Bogor. Periode ini
dikenal dengan lahirnya Pesantren Ulil Albab
Pesantren ini dimaksudkan untuk lebih memantapkan gagasan
Islamisasi Sains dan Kampus (ISK). Dalam perkembangannya, Pesantren Ulil Albab
menerima para sarjana dari semua disiplin ilmu. Maka banyak sarjana lulusan
IPB, Universitas Lampung, dan UGM Yogyakarta, menjadi santri pesantren ini.
Setelah lulus dari Pesantren Ulil Albab ini mereka diharapkan dapat
melaksanakan profesinya dengan senantiasa berpegang teguh kepada akidah
islamiyah, berpedoman kepada syariat Islamiyah dan berakhlakul karimah.
Motto UIKA adalah Iman, Ilmu dan amal. Ketiga unsur ini ditekankan
kepada semua civitas akademika UIKA.
UIKA didirikan dengan tujuan:
1.
Mengembangkan program pendidikan yang sudah ada agar semakin mampu
menghasilkan lulusan yang professional dan berakhlakul karimah
2.
Mengembangkan sarana dan prasarana pendidikan serta teknologi
informasi yang berkualitas internasional
3.
Mengembangkan dan membina masyarakat akademik melalui system
pendidikan tinggi yang professional
4.
Mengembangkan penelitian dan inovasi teknologi guna memanfaatkan
semer daya secara optimal dan berkelanjutan sehingga dapat mempercepat proses
pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
5.
Mengembangkan kegiatan ekstrakulikuler yang dinamis
6.
Mengembangkan kerjasama kemitraan nasional dan internasional.
KPM (Klinik Pendidikan MIPA) merupakan lembaga bimbingan belajar yang menerapkan Sistem Metode
Seikhlasnya (SMS).[13]
KPM didirikan di Bogor, 16 April 2001. KPM bergerak di bidang pendidikan,
matematika dan IPA. KPM memfokuskan diri pada pembelajaran Matematika Nalaria
Realistik (MNR). Pembelajaran MNR mulai diterapkan secara resmi di KPM sejak
tahun 2005.
SMS (Sistem Metode Seikhlasnya) bukan hanya perkara tidak
menentukan tariff. Tapi lebih dari itu, berdasarkan pengalaman, SMS terbukti
mampu memperbaiki akhlak manusia. “pendidikan yang dilakukan di KPM telah
membuat guru, siswa, dan orang tua siswa menjadi manusia-manusia yang lebih
baik”, terang pendiri dan direktur KPM Ir. Ridwan Hasan Saputra, M. Si
KPM mempunyai visi meninggikan derajat manusia. Sedangkan misinya
adalah menciptakan orang-orang beriman dan berilmu pengetahuan.
KPM didirikan dengan tujuan:
1.
Menjadikan Sistem Metode Seikhlasnya dan matematika nalaria
realistic sebagai sarana agar manusia selalu meningkatkan keimaan dan mudah
memperoleh pengetahuan.
2.
Menyebarkan system metode seikhlasnya dan matematika nalaria
realistic dalam setiap denyut nadi kehidupan dan setiap lapisan masyarakat
dimanapun berada.
FRC dan FESMA (Fakhruddin
ar-Razi Competition dan Festifal Studi Islam dan Matematika Anak Muslim)
merupakan ajang kompetisi siswa/siswi Muslim dalam bidang studi Islam dan
matematika. Kedua acara ini terselenggara sejak tahun 2011 dan insyaAllah akan
diadakan setiap tahun. FRC diadakan oleh majalah Gontor bekerjasama dengan
klinik pendidikan MIPA (KPM). Sedangkan FESMA diadakan oleh majalah gontor
bekerjasama dengan KPM dan panitia Islamic Book Fair.
Majalah gontor menggelar FRC dan FESMA sebagai ikhtiar membangun
kesadaran anak-anak Muslim Indonesia agar mau dan mampu mengembangkan diri dalam pengetahuan agama Islam dan
matematika. ”kedua kompetisi ini perlu disatukan untuk melahirkan generasi
ulama-intelek”. Kesadaran akan pentingnya penguasaan kedua kompetensi ini perlu
ditanamkan sejak dini agar generasi selanjutnya dapat mewarisi sifat keulamaan
para pendahulunya. Ulama yang tak hanya menguasai ilmu agama seperti tafsir,
hadits, dan fiqh, tapi juga mumpuni di bidang ilmu kealaman seperti fisika,
biologi, kimia, dan astronomi.
Dengan menerapkan biaya pendaftaran seikhlasnya, kedua cara ini
telah menyongsong beberapa tujuan mulia, diantaranya:
1.
Menumbuhkan kesadaran siswa untuk mengembangkan diri dalam studi
islam dan Matematika.
2.
Meningkatkan kemampuan, kreatifitas serta minat siswa dalam studi
Islam dan Matematika.
3.
Menumbuhkan suasana kompetisi yang positif-konstruktif di kalangan
siswa
4.
Mencari bibit-bibit ulama-intelek sejak dini
5.
Menjalin ukhuwah islamiyah
Pinpin Bandung (Institut Pemikiran Islam dan pembangunan insan) mempunyai visi menjadi lembaga yang berperan aktif dalam
pengkajian dan penyebaran pandangan hidup Islam dan penerapannya dalam berbagai
bidang kehidupan. Hal ini dilatarbelakangi keprihatinan tidak diterapkannya
pandangan hidup Islam dalam kehidupan muslim di Indonesia, meskipun hamper 90%
penduduknya beragam Islam. “Pimpin bermaksud menyebarluaskan gagasan Islamisasi
dalam berbagai aspek kehidupan, diantaranya yang paling penting adalah
Islamisasi ilmu dan Islamisasi dunia pendidikan.
Sebagian besar kegiatan Pinpin adalah kegiatan intelektual seperti
daurah berkala (mingguan dan bulanan), penelitian, dan menerbitkan buku.[14]
INSISTS Sebagai Tradisi Keilmuan Membetuk Ilmuwan intelek masa kini
Imam Ghazzali pernah berkata bahwa rusaknya umat karena rusaknya
pemimpin dan rusaknya pemimpin karena rusaknya ulama. Jadi, perbaikan pertama
untuk mencerdaskan umat ini harus dimulai dari perbaikan atau pembetulan ulama.
Kontribusi ilmuwan Muslim abad ke-14 M. memang bukan isapan jempol
belaka, namun sayang, masyarakat lebih familiar dengan ilmuwan Barat seperti
Albert Einstein, Charles Darwin, dan lain sebagainya dari pada ilmuwan Muslim
seperti Ibnu Rusyd, ar-Razi, al-Khuarizmi, dan lain sebagainya.
Seakan-akan hanya dunia Baratlah yang patut disoroti sehingga tren
keilmuan di Indonesia lebih banyak berkiblat ke Barat. Hal itu terjadi karena
para siswa tidak pernah dikenalkan dengan penemuan-penemuan ilmuwan muslim. Di
sisi lain, kemungkinan besar para tenaga pendidik juga tidak mengenal mereka.
Akhirnya, orientasi berlajar kebanyakan mahasiswa cenderung ke
Barat. Jika yang dikejar ilmu teknologi dan metodologi sebenarnya itdak ada
masalah. Namun faktanya, mereka justru mendalami Islam di Barat. Tentu saja ini
menjadi pertanyaan besar, apa yang mereka cari?
Menurut Dr. Adian Husaini, cendikiawan Muslim, banyak mahasiswa
Indonesia yang belajar ke Barat ketika pulang malah menjadi ragu dengan Islam.
“tak sedikit pemahaman aneh dan nyeleneh muncul dari alumni perguruan tinggi
ternama di Barat.
Fenomena ini terjadi karena kekaguman berlebihan umat Islam
Indonesia terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Barat. Padahal, Barat lebih
banyak dipengaruhi orientalis yang melihat netral, dengan semangat mereka
meninggalkan peradaban dan agama.
Lebih dari itu, system pendidikan di Indonesia secara tegas
memisahkan antara pendidikan umum dan pendidikan agama (dualism pendidikan).
Bagi sebagian orang, agama hanya mengatur cara ibadah kepada Tuhan. Sedangkan
pendidikan merupakan sarana mendapatkan ilmu. Keduanya seakan terpisah dan
tidak dapat digabungkan.
Contoh sederhana, madrasah dipandang sebelah mata dan dianggap
kampungan dari pada sekolah negeri. Lagi-lagi karena madrasah berbasis Islam.
Tak sedikit siswa yang memilih madrasah hanya menjadi pilihan terakhir lantaran
tidak lulus ujian masuk sekolah favoritnya.
Contoh lain, fakultas yang mengutamakan pendidikan agama, seperti
Ushuluddin dan Syari’ah di perguruan tinggi Islam, semakins urut peminat.
Mahasiswa lebih memilih fakultas berbasis umum, seperti psikologi, ekonomi,
teknologi, dan hokum agar tidak sulit saat terjun mencari lapangan kerja.
Mereka beranggapan, pendidikan berbau agama masa depannya suram
karena sulit mencari pekerjaan selain menjadi ustadz. Sekarang kita banyak
mempunyai anak yang pintar, tapi saying enggan memilih institusi berbasis
Islam. Mereka lebih tertarik dengan memilih jurusan yang mendatangkan materi.
Belum lagi derasnya arus westernisasi yang berdampak luar biasa
terhadapa budaya tanah air. Semua itu mengikis budaya Indonesia yang dasarnya
berkiblat pada Islam, karena sebagian besar penduduknya beragama islam. Budaya
Indonesia yang awalnya senang bergotong-royong, ramah, dan santun, kini
bergeser menjadi individualis dan materialistis. Bahkan tren yang datang dari
barat selalu dipandang modern dan keren. Jika tidak mengikuti arusnya, dianggap
tidak gaul, kampungan, dan ketinggalan zaman. Dengan begitu, banyak generasi
muda yang terjangkit penyakit kurang percaya diri, kebarat-baratan, dan
terjebak dalam pergaulan bebas.
Dampaknya, banyak orang menganggap pendidikan tidak lebih penting
dari pada pergaulan. Pendidikan hanya diorientasikan dengan dunia kerja.
Kenyataan ini membuat mereka malas untuk belajar, minim pengetahuan, sedikit
berkarya, serta lebih banyak bermain.[15]
Salah satu cara untuk membangun kembali peradaban Islam adalah
menggunakan ilmu dengan cara yang benar. Menjauh dari ilmu-ilmu sekuler yang
diusung kaum barat. Menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai landasan utama ilmu
pengetahuan. Karena pada dasarnya, ilmu pengetahuan dalam Islam bersumber pada
keduanya itu.
Penutup
Berdasarkan pada rationale diatas maka didirikanlah INSISTS
(Institute for the Study of Islamic Thought & Civilizations), yang berusaha
untuk menghadirkan wajah pemikiran Islam yang lebih bersifat konseptual dengan
berpijak pada pandangan hidup Islam, berpegang pada tradisi intelektual dan
otoritas para ulama serta committed pada kebenaran dengan tetap memperhatikan
masalah-masalah kontemporer.
INSISTS melihat tantangan berat yang dihadapi oleh umat Islam, kini
dan akan datang. Faktanya, bukan hanya ilmu-ilmu sains dan teknologi yang
terhegemoni oleh Barat. Tapi, ilmu-ilmu keislaman pun sudah terhegemoni.
Melalui pusat-pusat studi Islam di Barat, para orientalis, dulu dan sekarang,
sangat aktif melakukan kajian keislaman dan mendidik sarjana-sarjana Muslim
menjadi kader-kader mereka.
Dengan
itu, INSISTS sebagai lembaga yang selalu gencar untuk mempromosikan gagasan dan
gerakan “membangun tradisi ilmu menuju Peradaban Islam”, melalui berbagai aktivitas
workshop dan penerbitannya. Dengan berusaha
turut andil dalam sebuah proses pembangunan peradaban Islam, dengan memulai
menghidupkan tradisi ilmu Islam dalam masyarakat Islam.
Daftar Pustaka
LENTERA (menuju
kesadaran intelektual), edisi kedua, bulan juni 2012.
BUKU 10 TAHUN INSISTS
(Sinergi Membangun Peradaban Islam).
MAJALAH GONTOR, edisi
Shafar-Rabiul awal 1434/januari 2013.
MAJALAH GONTOR, edisi Rabiul
Akhir-Jumadil Ula 1434/Maret 2013.
[1] Tradisi Keilmuan Sebagai Asas Bangkitnya Peradaban Islam, oleh
Ahmad Kali Akbar, Lentera (menuju kesadaran intelektual), edisi kedua, bulan
juni 2012
[2] Kuliah bersama Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi di kampus pusat ISID Siman
dalam mata kulian Filsafat Islam tentang asal-usul ilmu pengetahuan
[3] Dengan jumlah 8 orang, mereka adalah: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi,
M.A, M. Phil, Dr. Adian Husaini, Dr. Adnin Armas, Dr. Ugi Suharto, Dr.
Syamsuddin Arif, Dr. Anis Malik Thoha, Dr. Nirwan Syafrin, Muhammad Arifin
Ismail, M.A.
[4] Buku 10 tahun INSISTS (Sinergi Membangun Peradaban Islam), oleh Dr.
H. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A, Ed, M. Phil.
[5] Kuliah bersama Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A, M. Phil, pelajaran
qadiyah falsafiyah mu’ashirah dan issu-issu kontemporer.
[6] Kuliah perdana semester gasal bersama Ust. Khoirul Umam, M. Ec di
masjid Jami’ ISID tentang tradisi keilmuan Islam
[7] Buku 10 tahun INSISTS (Sinergi Membangun Peradaban Islam), oleh Dr.
H. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A, Ed, M. Phil.
[8] Ketiga-tiganya adalah cendikiawan dari Mesir
[9] Islam tidak pernah mengajarkan untuk meninggalkan dunia sepenuhnya,
dan juga tenggelam dalam kelezatan dunia yang hanya sementara. Tapi Islam
mengajarkan untuk menggabungkan antara keduanya terhadap satu tujuan yaitu
ridha Allah Swt.
[10] Saya kutip dari perkataan Dr. Adnin Armas dalam sebuah artikelnya
[11] Karena Ilmu merupakan asas terbangunnya peradaban. Dan tidak ada
satu bangsa pun yang bangkit tanpa didahului oleh bangkitnya tradisi ilmu,
tanpa terkecuali peradaban Islam sendiri (Buku 10 tahun INSISTS).
[12] Dalam beristiqamah untuk membendung arus liberalisasi, banyak macam
“INSISTS” di Indonesia ini. Hanya sedikit perbedaan yaitu namanya. Walaupun
dengan nama yang berbeda-beda, mereka memiliki satu tujuan yang sama.
(disampaikan oleh Dr. Adnin Armas pada acara studi pengayaan lapangan semester
6 ISID Gontor).
[13] Untuk biaya penunjang kegiatan mereka tidak ditentukan, sehingga
dikatakan “menggunakan (Sistem Metode Seikhlasnya).”
[14] Dengan lembaga-lembaga tersebut, INSISTS berusaha untuk
mengembalikan kembali peradaban Islam. Segala macam cara ditempuh untuk menuju
kemenangan atas jajahan Barat yang sudah menyebar dalam lingkup agama Islam.
(lihat Majalah Gontor edisi Rabiul Akhir-Jumadil Ula 1434/Maret 2013).
[15] Lihat judul INSISTS di Majalah Gontor edisi shafar-rabiul awal
1434/januari 2013
0 komentar:
Posting Komentar