THOMAS AQUINAS
Thomas dilahirkan di Roccasecca, dekat Aquino,
Italia tahun 1225. Ayahnya ialah Pangeran Landulf dari Aquino. Orang
tuanya adalah orang Kristen Katolik yang saleh. Itulah sebabnya Thomas, pada
umur lima tahun diserahkan ke biara Benedictus di Monte
Cassino untuk dibina agar kelak menjadi seorang biarawan. Setelah
sepuluh tahun Thomas berada di Monte Cassino, ia dipindahkan ke Naples untuk
menyelesaikan pendidikan bahasanya.
Selama di sana, ia mulai tertarik kepada pekerjaan kerasulan gereja,
dan ia berusaha untuk pindah ke Ordo Dominikan, suatu ordo yang
sangat berperanan pada abad itu. Keinginannya tidak direstui oleh orang tuanya
sehingga ia harus tinggal di Roccasecca setahun lebih lamanya. Namun, tekadnya
sudah bulat sehingga orang tuanya menyerah kepada keinginan anaknya. Pada tahun
1245, Thomas resmi menjadi anggota Ordo Dominikan. Sebagai anggota Ordo
Dominikan, Thomas dikirim belajar pada Universitas Paris, sebuah universitas
yang sangat terkemuka pada masa itu.
Ia belajar di sana selama tiga tahun (1245 – 1248). Di sinilah ia
berkenalan dengan Albertus Magnus yang memperkenalkan filsafat
Aristoteles kepadanya. Ia menemani Albertus Magnus memberikan kuliah di Studium
Generale di Cologne, Perancis, pada tahun 1248 – 1252. Pada tahun 1252, ia
kembali ke Paris dan mulai memberi kuliah Biblika (1252-1254) dan
Sentences, karangan Petrus Abelardus (1254-1256) di Konven St. Jacques, Paris.
Kecakapan Thomas sangat terkenal sehingga ia ditugaskan untuk memberikan
kuliah-kuliah dalam bidang filsafat dan teologia di beberapa kota di Italia,
seperti di Anagni, Orvieto, Roma, dan Viterbo, selama sepuluh tahun lamanya.
Pada tahun 1269, Thomas dipanggil kembali ke Paris. Ia hanya tiga tahun berada
di sana karena pada tahun 1272 ia ditugaskan untuk membuka sebuah sekolah
Dominikan di Naples. Dalam perjalanan menuju ke Konsili Lyons, tiba-tiba Thomas
sakit dan meninggal di biara Fossanuova.
Thomas Aquinas (1225-1274) adalah seorang filsuf dan teolog dari
Italia yang sangat berpengaruh pada abad pertengahan, Ahli
teologi utama orang Kristen, teolog skolastik
yang terbesar. Pandangan-pandangan filsafat Aristoteles diselaraskannya dengan
pandangan-pandangan Alkitab. Ialah yang sangat berhasil menyelaraskan keduanya
sehingga filsafat Aristoteles tidak menjadi unsur yang berbahaya bagi iman
Kristen. Pada tahun 1879, ajaran-ajarannya dijadikan sebagai ajaran yang sah
dalam Gereja Katolik Roma oleh Paus Leo XIII.
Karya teologis
Thomas yang sangat terkenal adalah “Summa Contra Gentiles” dan “Summa Theologia“. Termuat di dalamnya sintesis dari filsafat Aristoteles dan ajaran Gereja Kristen.
tentang Tuhan dan alam
Thomas mengajarkan, Allah sebagai “ada yang tak terbatas” (ipsum esse subsistens).
Allah adalah “dzat yang tertinggi”, yang memunyai keadaan yang paling tinggi.
Allah adalah penggerak yang tidak bergerak. Tampak sekali pengaruh filsafat
Aristoteles dalam pandangannya. Dunia ini dan hidup manusia terbagi atas dua
tingkat, yaitu tingkat adikodrati dan kodrati, tingkat atas dan bawah. Tingkat
bawah (kodrati) hanya dapat dipahami dengan mempergunakan akal. Hidup kodrati
ini kurang sempurna dan ia bisa menjadi sempurna kalau disempurnakan oleh hidup
rahmat (adikodrati). “Tabiat kodrati bukan ditiadakan, melainkan disempurnakan
oleh rahmat,” demikian kata Thomas Aquinas. Mengenai manusia, Thomas
mengajarkan bahwa pada mulanya manusia memunyai hidup kodrati yang sempurna dan
diberi rahmat Allah. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, rahmat Allah (rahmat
adikodrati) itu hilang dan tabiat kodrati manusia menjadi kurang sempurna.
Manusia tidak dapat lagi memenuhi hukum kasih tanpa bantuan rahmat adikodrati.
Rahmat adikodrati itu ditawarkan kepada manusia lewat gereja. Dengan bantuan
rahmat adikodrati itu manusia dikuatkan untuk mengerjakan keselamatannya dan
memungkinkan manusia dimenangkan oleh Kristus.
Mengenai sakramen
ia berpendapat bahwa
terdapat tujuh sakramen yang diperintahkan oleh Kristus, dan sakramen yang
terpenting adalah Ekaristi (sacramentum sacramentorum). Rahmat adikodrati itu
disalurkan kepada orang percaya lewat sakramen. Dengan menerima sakramen, orang
mulai berjalan menuju kepada suatu kehidupan yang baru dan melakukan perbuatan-perbuatan
baik yang menjadikan ia berkenan kepada Allah. Dengan demikian, rahmat
adikodrati sangat penting karena manusia tidak bisa berbuat apa-apa yang baik
tanpa rahmat yang dikaruniakan oleh Allah.
Dosa
Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, rahmat Allah (rahmat
adikodrati) itu hilang dan tabiat kodrati manusia menjadi kurang sempurna.
Manusia tidak dapat lagi memenuhi hukum kasih tanpa bantuan rahmat adikodrati.
Rahmat adikodrati itu ditawarkan kepada manusia lewat gereja. Dengan bantuan
rahmat adikodrati itu manusia dikuatkan untuk mengerjakan keselamatannya dan
memungkinkan manusia dimenangkan oleh Kristus.
Upaya Skolastik Abad Pertengahan
Dalam gambaran historis singkat ini, metode untuk menghubungkan
iman dan rasio yang pertama dibahas adalah filsafat Thomistik Gereja Roma
Katolik. Selain persetujuan (assent) pribadi orang percaya, dalam system ini
iman artinya informasi yang diwahyukan yang ada dalam Alkitab, tradisi, dan
suara hidup dari gereja Roma. Akal budi artinya informasi yang dapat diperoleh
melalui pengamatan inderawi terhadap alam dan diinterpretasi intelek.
Rasionalis abad ketujuhbelas membedakan akal budi (reason) dengan sensasi
[inderawi], Thomas membedakan akal budi (reason) dan wahyu.
Kebenaran akal budi adalah kebenaran yang dapat diperoleh melalui kemampuan
indera dan intelek alamiah manusia tanpa bantuan anugerah supranatural.
Definisi iman dan akal budi ini mengakibatkan wahyu hanya “tidak
masuk akal” (unreasonable) secara verbal; wahyu tidak dapat disebut tidak masuk
akal atau irasional dalam pengertian yang merendahkan. Kadang-kadang kita
curiga kaum sekuler menggunakan verbalisme untuk memberikan kesan yang
menakutkan.
Thomisme memang menekankan ketiadaan kompatibilitas antara iman dan
akal budi, namun ketiadaan kompatibilitas itu bersifat psikologis semata. Kalau
Alkitab mewahyukan bahwa Allah ada dan kita percaya Alkitab, maka kita memiliki
kebenaran iman. Namun demikian, menurut Thomisme adalah memungkinkan untuk
mendemonstrasikan keberadaan Allah melalui pengamatan terhadap alam.
Aristoteles berhasil melakukannya. Namun, kalau seseorang telah secara rasional
mendemonstrasikan proposisi ini, orang itu tidak lagi “percaya”, dia tidak lagi
menerima proposisi itu berdasarkan otoritas; dia “mengetahui” proposisi itu.
Secara psikologis tidak mungkin pada saat yang sama “percaya” dan “mengetahui”
satu proposisi. Seorang guru mungkin memberitahu siswanya bahwa segitiga
memiliki 180o dan sang siswa percaya perkataan sang guru; namun setelah si
siswa mempelajari buktinya, maka dia tidak lagi menerima teorema berdasarkan
kata-kata guru. Si siswa sudah mengetahui sendiri. Tidak semua proposisi wahyu
dapat didemonstrasikan dengan filsafat rasional; tetapi ada kebenaran-kebenaran
yang dapat didemonstrasikan yang juga telah diwahyukan kepada manusia, karena
Allah tahu bahwa tidak semua orang memiliki kemampuan intelektual seperti
Aristotle; karena itu Allah mewahyukan beberapa kebenaran itu, walaupun dapat
didemonstrasikan, demi kebanyakan umat manusia.
Muatan (content) wahyu yang tidak dapat didemonstrasikan (seperti
doktrin Trinitas dan sakramen), walaupun berada di luar jangkauan akal budi
seperti definisi di atas, tidaklah irasional atau nonsensical. Kaum Muhammadean
(Islam) Abad Pertengahan dan kaum humanis modern dapat saja mengklaim bahwa
doktrin Trinitas tidak rasional, namun akal budi cukup mampu untuk
mendemonstrasikan bahwa keberatan yang dikemukakan keliru/salah (fallacious).
Kebenaran iman yang lebih tinggi tidak bertentangan dengan kesimpulan akal budi
manapun; sebaliknya doktrin wahyu melengkapi apa yang tidak dapat dicapai oleh
akal budi. Kedua rangkaian kebenaran ini, atau lebih tepatnya kebenaran yang
diperoleh dari dua metode berbeda ini saling melengkapi. Bukannya menjadi
penghalang bagi akal budi, iman berfungsi memberi peringatan kepada seorang
pemikir bahwa dia melakukan kesalahan. Kita tidak boleh memandang seorang
percaya sebagai seorang yang harus dibebaskan dari penjara imannya; iman hanya
membatasi dari kesalahan. Dengan demikian iman dan akal budi serasi satu dengan
yang lain.
Hanya satu kritik yang akan penulis kemukakan tentang sistem ini,
tetapi kritik ini dipandang sangat penting oleh kaum Thomist dan penentangnya.
Kalau argumune kosmologis bagi keberadaan Allah merupakan kesalahan logika,
maka Thomisme dan pandangannya tentang hubungan antara iman dan akal budi tidak
dapat dipertahankan .
Kesulitan yang dialami argumen kosmologis adalah ketidakmemadaian
wahyu umum seperti dibahas sebelumnya. Kalau diasumsikan bahwa semua
pengetahuan (knowledge) dimulai dengan pengalaman inderawi dan karena itu pada
saat orang memandang alam tanpa pengetahuan tentang Allah, maka segala
kemalangan (calamities) manusia dan keterbatasan serta perubahan di alam
semesta – seberapapun luasnya galaksi-galaksi yang ada – menghalangi kesimpulan
tentang satu pribadi Allah yang Mahakuasa dan juga Baik.
Terhadap keberatan-keberatan ini, yang dikemukakan dengan tajam
oleh David Hume, dapat ditambahkan kritik khusus formulasi Aristotelian Thomas
Aquinas. Tiga keberatan akan dikemukakan. Pertama, Thomisme tidak dapat
bertahan tanpa konsep potentialitas (potentiality) dan aktualitas (actuality),
namun Aristotle tidak pernah berhasil mendefinisikannya. Sebaliknya dia
[Aristotle] mengilustrasikannya dengan perubahan fenomena lalu mendefinisikan perubahan
atau gerak (motion) dalam hal aktualitas (actuality) dan potentialitas
(potentiality). Untuk memberikan justifikasi terhadap keberatan ini, diperlukan
terlalu banyak apparatus teknis yang tidak bisa diakomodasi dalam tulisan ini.
Dan kalau pembaca menghendaki, dia tidak perlu memberi penekakan pada keberatan
pertama.
Kedua, Thomas berargumentasi bahwa kalau kita melacak penyebab
gerak (motion), kita tidak dapat meneruskan berjalan mundur tanpa batas. Alasan
yang secara eksplisit diberikan dalam Summa Theologica untuk menyangkali hal
itu adalah kalau hal itu terjadi maka tidak akan ada Penggerak/Penyebab Pertama
(First Mover). Namun alasan yang digunakan sebagai premis ini jugalah yang
digunakan sebagai kesimpulan di akhir argumen. Argumen ini dimaksudkan untuk
membuktikan keberadaan First Mover, namun First Mover ini diasumsikan dulu
sebagai sesuatu yang ada untuk menolak infinite regress (mundur tidak
terbatas). Karena itu jelas argumen ini adalah sebuah kekeliruan.
Alasan ketiga yang akan kita bahas lebih rumit. Namun karena
terkait dengan hal yang banyak diperdebatkan saat ini, maka pantas diberikan
perhatian lebih.
Bagi Thomas Aquinas, ada dua cara mengenal Allah. Pertama melalui
teologi negatif. Hal itu tidak akan kita bahas di sini. Kedua melalui metode
analogi. Karena Allah adalah pure being, tanpa bagian, yang esensiNya identik
dengan keberadaanNya, maka istilah-istilah yang diterapkan pada Allah tidak
dapat digunakan tepat dengan cara yang sama dengan pada saat diterapkan pada
ciptaan. Kalau dikatakan bahwa seorang manusia bijaksana dan Allah bijaksana,
harus diingat bahwa kebijaksanaan manusia adalah kebijaksanaan yang
diperoleh/dipelajari, sementara itu Allah tidak pernah belajar. Pikiran manusia
tunduk kepada kebenaran; kebenaran adalah pimpinannya. Namun pikiran Allah
adalah penyebab kebenaran karena Allah memikirkannya, atau mungkin lebih baik
diformulasikan, Allah adalah kebenaran. Karena itu istilah pikiran tidak
memiliki arti yang tepat sama pada manusia dan pada Allah. Hal ini tidak hanya
berlaku untuk istilah-istilah di atas, tetapi juga pada gagasan tentang
eksistensi. Karena keberadaan Allah adalah esensiNya – identitas yang tidak
dapat diduplikasikan- maka bahkan kata keberadaan (existence) tidak berlaku
sama (univocal) pada Allah dan pada ciptaan.
Pada saat yang sama, Thomas tidak mengakui bahwa istilah-istilah
itu juga memiliki arti berbeda sama sekali (equivocal). Pada saat dikatakan
bahwa playboys lead fast lives, while ascetics fast, kata [fast] dalam kedua
anak kalimat itu tidak memiliki arti yang sama. Walaupun huruf-huruf dan
pengucapannya sama, kandungan intelektual dalam kedua anak kalimat itu berbeda
sama sekali. Thomas memilih jalan tengah antara perbedaan makna (equivocation)
dan kesatuan makna ketat (strict univocity) dengan mengatakan bahwa kata-kata
bisa digunakan secara analogis; dan dalam hal Allah dan manusia, predikat yang
digunakan diterapkan secara analogis.
Jika makna analogis dari bijaksana atau keberadaan memiliki bidang
arti yang sama [bagi manusia dan Allah], maka bidang arti ini pasti dapat
dikemukakan dengan menggunakan satu istilah yang berlaku untuk keduanya.
Istilah ini dapat digunakan untuk Allah dan untuk manusia. Namun Thomas
menekankan bahwa tidak ada istilah yang dapat diterapkan demikian. Implikasinya
adalah semua sisa kemungkinan makna identik di antara keadaan terhapus. Namun
kalau memang demikian adanya, bagaimanasebuah argument – argument kosmologis –
secara formal syah kalau premis menggunakan satu istilah dengan pengertian
tertentu dan dalam kesimpulannya menggunakan istilah yang sama dengan arti yang
berbeda sama sekali? Premis argument kosmologis berbicara tentang eksistensi
penggerak/penyebab (mover) dalam kisaran pengalaman manusia; kesimpulannya
terkait dengan keberadaan Penggerak/Penyebab Pertama. Namun, jika istilah ini
tidak dapat dipahami dengan pengertian yang sama, maka argument tersebut
keliru/salah (fallacious).
Karena itu, upaya untuk secara Thomistik menghubungkan iman dan
akal budi gagal – lebih karena pandangannya tentang akal budi dari pada
terhadap iman-; perlu ada upaya lain untuk membela rasionalitas wahyu.
tentang Mu’jizat
Thomas Aquinas menyebut mukjizat itu
sebagai suatu kejadian teratur yang bersifat supranatural dan disebabkan oleh
faktor-faktor Ilahi. Ia beranggapan bahwa di alam semesta ini terdapat dua
bentuk keteraturan yang berjenjang dan bertingkat, antara lain: Pertama,
keteraturan alami yang terdapat pada benda-benda dimana berasal dari kehendak
dan keinginan Tuhan dan bukan dari kemestian esensi dan alami dari benda-benda
tersebut.
Thomas Aquinas berkata bahwa Tuhan
meletakkan keteraturan yang bersifat kausalitas tersebut pada semua benda di
alam; jika tidak ada faktor-faktor eksternal yang berpengaruh pada benda-benda
tersebut maka benda-benda tersebut berjalan di atas keteraturan esensial dan
alaminya masing-masing. Tetapi keteraturan esensial tersebut bukan menjadi
penghalang akan campur tangan Tuhan, karena keteraturan alami tersebut juga
mengikuti kehendak dan irâdah Tuhan dan Dia pulalah yang meletakkan suatu potensi
dalam hakikat benda-benda tersebut sehingga dengan perantaraan potensi tersebut
segala kehendak Tuhan dapat terimplementasi walaupun kehendak-Nya
"bertentangan" dengan keteraturan alami benda-benda.
Pandangan Thomas tersebut bukan berarti
bahwa kejadian (baca: mukjizat) itu telah keluar dari keteraturan, karena ia
juga berpendapat adanya sebuah keteraturan di atas keteraturan alami yang ia
sebut sebagai keteraturan mutlak Tuhan (baca: keteraturan kedua) dimana berasal
dari ilmu dan kehendak Tuhan. Oleh karena itu, walaupun realitas mukjizat
"bertentangan" dengan keteraturan dan tatanan alam tapi tak bertolak
belakang dan bahkan sesuai dengan keteraturan mutlak dan kehendak Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar