Pages

Labels

Sabtu, 24 Mei 2014

Kritik al-Qusyairi Terhadap Amalan Sufi yang Menympang

Abstrak
semua berawal dari ahli-ahli hakikat dari golongan sufi yang mayoritas telah tiada. Dan generasi muda setelah mereka sangat sedikit yang mengikuti petunjuk dan tradisi mereka para syaikh. Maka yang terjadi adalah menyempitnya cakrawala, menguatnya sikap tamak disebabkan oleh nafsu yang tak terkendali, peremehan dan acuh tak acuh terhadap persoalan agama, sehingga semakin jauh dari syariat. Maka melemahlah thariqat-thariqat para sufi tersebut, bahkan sudah mulai punah dari keasliannya, yaitu keaslian yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Contohnya dalam amalan zuhud. Para sufi berlebih-lebihan dalam mengamalkannya, yaitu meninggalkan semua hal-hal yang bersifat duniawi. Dengan zuhud yang berlebihan mereka banyak meninggalkan apa yang diwajibkan oleh al-Qur’an dan Sunnah, di antaranya adalah jarang makan. Mereka menganggap bahwa makanan hanya bersifat duniawi yang harus ditinggalkan. Maka mereka sengaja tidak makan, puasa dan tidak berbuka. Sehingga mereka terlihat lemas dan tidak berenergi.
Kemudian ada juga yang tidak mempedulikan pakaiannya. Tidak pernah dicuci sampai bau dan kotor. Ada juga para sufi yang tidak mau menikah karena itu hanya akan menjadi penghalang mereka untuk menuju kepada hakikat, Ada juga yang menyendiri dan tidak berhubungan dengan manusia. Dan semuanya itu tidak jauh dari riya’. Mereka ingin dikatakan sebagai orang yang sangat taat dalam beribadah. Maka dari sinilah mereka disebut oleh Imam al-Qusyairi sebagai orang-orang yang meninggalkan syariat dan tidak menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman mereka dalam bertasawuf.
Imam al-Qusyairi adalah salah satu tokoh sufi yang ingin mengembalikan keadaan bertasawuf yang melenceng pada zamannya kepada apa yang diajarkan al-Qur’an dan Sunnah, yaitu apa yang diperintahkan Allah Swt kepada umat manusia. Dan keadaan itulah yang melatarbelakangi Imam al-Qusyairi dalam menulis risalahnya yang monumental, yaitu Risalah Qusyairiyah.
Risalah ini disajikan oleh Imam al-Qusyairy karena dua alasan. Pertama, Risalah ini ditujukan kepada mereka yang memusuhi dunia tasawuf, dengan cara pandang taklid buta, tanpa melacak hakikat dan prinsip-prinsip “thariqat.” Dengan cara mencari celah-celah kesalahan yang ditampilkan sebagian “pengaku tasawuf” atau dari sisi “kata-kata yang tinggi” yang tidak disandarkan pada nash, akal ataupun bukti. Kedua, Risalah ini ditujukan kepada ahli tasawuf agar mengetahui hakikat dari “thariqat” itu sendiri. Untuk menghindari berbagai hal yang disimpangkan dan disesatkan, sehingga mereka bisa berpijak pada jalan yang benar, dan tidak tersesat dan menyesatkan.


Kritik Imam al-Qusyairi Terhadap Amalan Sufi yang Menyimpang

A.    Pendahuluan
Seiring dengan berkembangnya zaman, Tasawuf sudah sangat jauh berkembang dan sudah melebarkan sayapnya ke penjuru dunia. Dalam perkembangannya, ada masa dimana tasawuf mengalami pembelokan yang disebabkan oleh beberapa sufi yang berlebih-lebihan dalam ibadah dan tidak ta’at kepada al-Qur’an dan Sunnah.[1]
Mereka mengisyaratkan pada hakikat-hakikat tertinggi dengan ihwalnya, lalu mengaku bahwa mereka telah bebas dan mereka dari belenggu, mereka telah mewujudkan hakikat bertemu dengan Allah (wishal). Dan mereka merasa bahwa dirinya telah berdiri di atas kebenaran, dengan aturan-aturan hukum sendiri. Allah Swt tidak lagi memberi beban kepada mereka, hal-hal yang diutamakan atau dilarang-Nya, begitupun Allah tidak mencaci dan mengecam mereka. Mereka menyangka ketika dibukakan rahasia-rahasia Ilahiyah, maka segala aturan manusia biasa tidak berlaku. Mereka menganggap orang-orang yang berlainan pendapat dengan mereka, maka ia berbeda dan dianggap tidak sebanding atau setahap dengan mereka.[2]
Melihat kejadian-kejadian ajaran tasawuf yang berbelok dan melenceng dari al-Qur’an dan Sunnah di atas, mengingatkan kita kepada kisah tokoh sufi yang berjuang mati-matian pada zamannya untuk mengembalikan tasawuf kepada jalan yang benar, yang berasaskan al-Qur’an dan Sunnah, dialah Imam al-Qusyairi dengan karya monumentalnya Risalah Qusyairiyah.[3]
B.     Sekilas tentang Imam al-Qusyairi
Imam al-Qusyairi, lahir di Astawa pada bulan rabiul awal tahun 376 H dan wafat pada tahun 465 H di Naisabur.[4]
Imam al-Qusyairi mengkritik kebiasaan para sufi tidak mengamalkan amalannya dengan cara berlebih-lebihan dan tidak menuntun kepada sebagaimana mestinya yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Pendapat Imam al-Qusyairi memberikan gambaran kepada kita bahwa tasawuf pada masanya dianggap telah menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah, maupun dari segi moral dan tingkah laku. Imam al-Qusyairi ingin mengembalikan arah tasawuf pada doktrin Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, yaitu dengan mengikuti para sufi Sunni pada abad ketiga dan keempat hijriyah.
Karena keadaan itulah Imam al-Qusyairi menulis Risalah Qusyairiyah,termotivasi karena dirinya merasa sedih melihat persoalan yang sedang dialami dunia tasawuf pada masanya.
Maka dari itu, sangatlah penting untuk dikaji secara mendalam penelitian ini karena melihat keadaan tasawuf yang sudah mulai melenceng dari tuntunan al-Qur’an dan Sunnah. Termasuk juga untuk mengembalikan ajaran tasawuf yang sebanarnya menurut al-Qur’an dan Sunnah. Dan amalan-amalan mereka yang sesat di antaranya adalah:

C.    Zuhud yang Berlebihan
Dalam amalan para sufi yang dikritik oleh Imam al-Qusyairi, mereka terlalu berlebih-lebihan dalam mengamalkan tasawuf mereka dan terdapat unsur riya’ yang mereka tampilkan dalam amalannya. Yang pertama adalah dalam amalan zuhud.[5] Dengan zuhud yang berlebihan mereka keluar dari arti zuhud yang sebenarnya, yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah. Maka supaya dikatakan mereka adalah orang-orang zuhud, mereka rela meninggalkan semua yang berbau duniawi. Yaitu dengan cara berpuasa terus menerus dan tidak akan pernah berbuka, tidak menikah, tidak akan bersentuhan atau berhubungan dengan apa-apa yang berhubungan dengan dunia mereka melakukannya dengan ‘uzlah, tidak memperhatikan kebersihan pakaian.
Sementara menurut Imam al-Qusyairi, itu tidak dibenarkan dalam Islam karena itu telah menyalahi aturan atau syariat yang dibuat Allah untuk kita melaksanakannya, dan salah satu cara untuk kita adalah dengan berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Risalahnya, al-Qusyairi mengartikan zuhud dengan apa yang dikatakan oleh gurunya, yaitu Abu Ali Daqaq:
"الزهد هو أن تترك الدنيا كما هي، لاتقول أنى بها رباطا أو أعمر مسجدا"[6]
Berdasarkan perkataan di atas, zuhud adalah meninggalkan dunia tapi tidak dengan cara meninggalkannya secara keseluruhan atau mencintai semua yang ada di dunia dan akhirat. menjadikan dunia sebagai perantara untuk memenuhi semua perintah-Nya,[7] karena bagaimana pun Allah Swt telah memerintahkan manusia untuk tidak lupa kepada kehidupan dunia.[8]
Dan pada dasarnya, zuhud juga telah disinggung secara tidak langsung di dalam firman-Nya, “(kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.[9] Sebab sang hamba tidaklah gembira atas apa yang dimilikinya di dunia, dan tidak pula bersedih atas apa yang tidak dimilikinya.
Berkaitan dengan itu, Abu al-Wafa al-Taftazani menyatakan bahwa zuhud bukanlah sesuatu yang menyebabkan terputusnya hubungan dengan kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang mengarahkan pandangan seseorang tentang duniawi secara khusus. Seorang zahid tetap menjalankan aktifitas keduniaannya secara aktif, namun hal itu tidak membelenggu kalbunya, sehingga membuat mereka mengingkari Tuhan.[10]
Kehidupan Rasulullah Saw dan sahabatnya adalah pengejawantahan al-Qur’an. Praktek zuhud pada waktu itu bukan isolasi dan sikap eksklusif terhadap dunia, akan tetapi mempunyai pengertian aktif menggeluti kehidupan dunia dalam rangka menuju kehidupan akhirat. Jadi Rasulullah dan sahabatnya tidak memisahkan secara dikotomik antara dua kehidupan dunia dan akhirat; akan tetapi satu sama lain mempunyai hubungan. Menurut Prof. Quraish Shihab, itu adalah kerena fungsi khalifah yang telah diberikan Allah kepada manusia yang harus tetap berada dalam kerangka yang telah ditentukan oleh Allah.[11]
Dengan tegas Allah memerintahkan mereka untuk mengembara di muka bumi untuk mencari karunia-Nya, untuk menikmati hasil alam, kerja pembangunan, reproduksi dan pendidikan manusia unutk melanjutkan, melestarikan hasil-hasil usahanya sebagai penentu kekhalifahan manusia, dan semua itu dianggap amal shalil dan ibadah kepada-Nya. Manusia harus melakukan usaha-usaha yang diperlukan, karena mereka diberi kebebasan kehendak agar dapat menyempurnakan misinya sebagai khalifah tersebut. Misi inilah perjuangan untuk menciptakan sebuah tata social yang bermoral di atas dunia yang dikatakan oleh al-Qur’an sebagai amanah, yang telah ditawarkan kepada langit dan bumi, tetapi mereka menolak karena takut menerima bebannya, dan amanah ini diterima oleh manusia.[12]
Zuhud adalah maqam terpenting dalam maqam-maqam sufi.[13] Ali bin Abi Thalib ditanya tentang zuhud, ia menjawab, “zuhud adalah hendaklah kamu tidak tepengaruh dan iri hati terhadap orang-orang yang serakah terhadap keduniawian. Menurut Al-Syibli, zuhud adalah membersihkan dirinya dari hawa nafsu, bermurah hati; sehingga ia benar-benar bersifat zuhud dengan meninggalkan sesuatu yang bukan miliknya dengan sebenar-benarnya dan meninggalkan segala sesuatu kecuali yang sah bagi dirinya.[14]
Maka tidaklah dibenarkan apabila kita barzuhud sampai tidak memperdulikan kehidupan dunia karena Islam adalah agama yang tidak membagi kehidupan ke dalam dua bagian yang terpisah: material dan spiritual, dunia dan ukhrawi. Islam tidak mengajak kepada pengingkaran kehidupan duniawi, tetapi mengajak kepada pemenuhan kebutuhan hidup, baik material maupun spiritual. Kemajuan spiritual hanya bisa dicapai melalui hidup shaleh di tengah hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari, bukan dengan mengingkari kehidupan duniawi. Al-Qur’an mengajarkan kita doa, “wahai Tuhan kami! Berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat nanti.”[15]
Allah mencela keras orang yang menolak untuk menikmati karunia-Nya. Allah berfirman:
“katakanlah, siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah Dia keluarkan untuk hamba-hamba-Nya dan (siapakah pula yang mengharamkan) rezeki yang baik?”[16]
Allah berfirman juga:
“makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”[17]
Kita hidup harus memperhatikan kebutuhan hidup yang pokok, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, perkakas, sarana untuk menikah, harta dan kedudukan.[18]
Kita tidak boleh menyiksa diri dengan “tidak makan” karena menganggap makanan hanyalah bersifat duniawi. Karena orang yang zuhud adalah orang yang tetap makan seperti biasanya tetapi dia tidak terlalu berharap kepada makanan banyak. Orang yang zuhud terhadap makanan adalah mereka yang makan hanya untuk sekedar menghilangkan rasa lapar, agar bisa menegakkan badannya, dan tidak dimaksudkan untuk mencari kenikmatan, dan itu juga untuk kesehatan, kesehatan yang harus dijaga oleh semua manusia karena itu adalah nikmat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya.[19]Tentang hal ini Allah berfirman:
“sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya adzab-Ku sangatlah pedih.”[20]
Begitu juga dengan sufi yang sengaja tidak memperdulikan pakaiannya, itu tidak mencerminkan orang zuhud yang sebenarnya. Karena orang yang zuhud pada pakaian adalah mereka tidak harus sampai mengotori bajunya tetapi mencukupkan diri dengan pakaian yang bisa melindungi badannya dari serangan hawa dingin dan panas serta menutupi aurat. Dan seorang yang zuhud  tidak harus meninggalkan pernikahan, karena dengan menikah orang zuhud akan mendapatkan keturunan dan dapat  mendorongnya dalam mencari penghasilan dari yang halal bagi keluarganya, ada juga yang menikah untuk menghimpun hasratnya, untuk menundukkan pandangan matanya, menolak pikiran-pikiran yang kotor yang dapat menjerumuskannya ke dalam kemaksiatan.[21]

D.    Mengkultuskan Mursyid
Agar kaum sufi dapat mewujudkan tujuannya mereka memberikan gelar ma’sum bagi para gurunya. Mursyid mempunyai peran yang luar biasa dengan menjadi perantara manusia biasa kepada Nabi dan Tuhan, Dan harus bersikap seperti mayat di hadapan para petugas yang memandikannya, seperti sebuah lampu yang membuat lampu lainnya menyala. Sehingga tidak boleh menyelisihi gurunya dalam seluruh perkara yang diperintahkan oleh gurunya. Dan mewajibkan murid-murid untuk mencari syaikh agar membimbingnya kepada hakikat.[22]
Inilah sikap berlebihan yang dikritik oleh al-Qusyari kepada para sufi. Para sufi selalu berlebihan dalam menghormati syaikhnya (mursyid), sampai mengantarkan mereka kepada taqlid.[23] Karena apa saja yang diperintahkan seorang syaikh akan mereka laksanakan, apapun itu, dengan tidak memperhatikan baik atau tidak.[24]
Al-Qur’an melarang sikap berlebih-lebihan dalam segala sesuatu, termasuk dalam menghormati syaikh (mursyid).[25] Karena itu dapat menjadi sarana yang mengantarkan seseorang pada perbuatan syirik kepada Allah yang maha tinggi. Dan di antara sikap berlebih-lebihan tersebut adalah mencari berkah terhadap sisa-sisa peninggalan orang-orang shalih, dan bertawassul padanya untuk menarik kebaikan dan menangkal bahaya.[26]
Dengan melakukan taklid, seseorang akan terbelenggu pada hakikatnya, maka haruslah ia berpegang kembali kepada al-Qur’an yang memerdekakan akal manusia dari segala belenggu yang membelitnya, dibebaskannya dari pengaruh taklid yang memperbudaknya, serta dikembalikannya kepada tempat dimana akal itu bertahta. Akal itu dipersilahkan untuk memberikan putusan dengan ilmu dan kebijaksanaannya sendiri di samping harus tunduk hanya kepada Allah Swt yang Maha Tunggal dan berdiri patuh kepada peraturan syariat agama-Nya. Dengan ajaran inilah manusia akan menjadi sempurna dengan fitrahnya, yaitu akal untuk berfikir dan pembeda antaranya dan makhluk-makhluk Allah lainnya.[27]

E.     Syariat dan Hakikat
Itulah pelencengan-pelencengan sufi yang mereka lakukan dalam amalannya. Mereka tidak berjalan di atas manhaj Rasulullah, tidak mengikuti jejak-jejak Rasulullah, tidak berpetunjuk dengan petunjuk Rasulullah, tetapi menambahkan-menambahkan dan menguranginya.[28] Dengan itu, sama dengan melanggar syariat buatan Allah Swt. Karena mengikuti apa-apa yang diperintahkan oleh Rasulullah sama dengan mengikuti apa-apa yang diperintahkan Allah Swt, dan mengingkari atau melanggar apa-apa yang diajarkan oleh Rasulullah sama dengan mengingkari apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Swt. Allah berfirman:
“Barangsiapa yang menaati rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling, maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”[29]
Para sufi yang melenceng dalam amalan-amalannya, mereka seperti orang-orang yang amal usaha mereka sesat di dunia kendati mereka menduga telah berbuat baik. Mereka menentang berbuatan-perbuatan yang dicontohkan oleh Rasulullah dengan menambah dan menguranginya, mereka berlebih-lebihan dan tidak serius dalam banyak hal.
Al-Qusyairi membedakan antara syariat dan haqiqat sebagai berikut. Haqiqat adalah penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ketuhanan dengan mata hatinya. Syariat adalah kepastian hukum dalam ubudiyah, sebagai kewajiban hamba kepada al-Khaliq. Syariat ditunjukkan dalam bentuk kaifiyah lahiriyah antara manusia dengan Allah Swt.[30]
Syariat hanyalah kulit bila dibanding dengan hakikat yang merupakan inti. Dan hakikat adalah puncak kesempurnaan dan derajat dalam tangga ubudiyah islami.[31] Syariat adalah salah satu unsur yang harus dilaksanakan dalam hidup bertasawuf, Syariat dan hakikat adalah saling berhubungan erat dan saling isi-mengisi, Barangsiapa yang meninggalkan syariat dalam bertasawuf dengan alasan apa saja, maka bukan saja ketidaksolehan yang diperolehnya, tetapi lebih parah dari pada itu, yaitu kekafiran.[32]
Inilah jalan menuju kebaikan dunia dan akhirat yang harus dilakukan oleh para sufi. Melalui jalan ini seseorang akan mudah mengawasi ketakwaannya dan menjauhi hawa nafsu. jalan ini secara bersama-sama menjadi sarana bagi orang-orang beriman menuju akhirat tanpa boleh meninggalkan salah satu.
Hakikat tanpa syariat menjadi batal, dan syariat tanpa hakikat menjadi kosong. Dapat dimisalkan disini, bahwa apabila ada orang memerintahkan sahabatnya mendirikan shalat, maka ia akan menjawab: mengapa harus shalat? Bukankah sejak zaman azali dia sudah ditetapkan takdirnya? Apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang beruntung, tentu ia akan masuk surga walaupun tidak shalat. Sebaliknya, apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang celaka maka, ia akan masuk neraka, walaupun mendirikan shalat. Sedangkan syariat tanpa hakikat, adalah orang yang beramal hanya untuk memperoleh surga. Ini adalah syari’at yang kosong, walaupun ia yakin. Baginya ada atau tidak adanya syariat sama saja keadaannya, karena masuk surga adalah semata-mata anugerah Allah.[33]
Maka, siapapun tidak boleh menganggap dirinya terlepas dari syariat, walaupun ia ulama sufi yang besar dan piawai, atau wali sekalipun. Orang yang menganggap dirinya tidak memerlukan syariat untuk mencapai thariqat sangat tersesat dan menyesatkan.[34] Karena dengan mengikuti syariat dia akan mendapatkan kebaikan, dan karena dia tidak mengikuti syariat, maka akan mendapatkan keburukan. Barangsiapa yang tidak menjadikan syariat sebagai temannya dalam segala keadaan, maka dia akan dikumpulkan bersama orang-orang yang celaka.[35]

F.     Penutup
Perlu kita ketahui bahwa beribadah dengan “kebodohan” akan sia-sia karena semua kebodohan itu merusak. Karena beribadah kepada Allah dengan kebodohan akan menimbulkan kerusakan lebih banyak daripada kebaikan.
Para sufi meyakini bahwa akal dan tubuh kita adalah anugerah dari Tuhan. Sebagai ungkapan syukur kita, kita harus berusaha sebaik mungkin untuk memajukan anugerah ini dan mempergunakannya dengan baik. Dan memenuhi tanggung jawab kita sebagai khalifah yang berkewajiban dalam memelihara dunia dengan menggunakan kemampuan yang diberikan Allah dengan sebaik-baiknya, dan bukan justru menghindari tanggung jawab duniawi.
Itulah amalan tasawuf yang sebenarnya, amalan yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, yang berasaskan al-Qur’an dan Sunnah, yang diusahakan oleh Imam al-Qusyairi dalam menghapuskan amalan-amalan sufi yang penyimpang dari al-Qur’an dan Sunnah. Berkaitan dengan itu, Allah Swt telah berfirman yang artinya:
Taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. Ali Imran, ayat 132).
“Berimanlah kamu kepada Allah, Rasul-Nya, dan kepada cahaya (al-Qur’an) yang telah kami turunkan. dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Taghabun, ayat 8).
Sesungguhnya Islam memerintahkan sikap pertengahan dan seimbang dalam segala hal, tidak bersikap berlebihan dan tidak bersikap meremehkan.
Itulah perjuangan Imam al-Qusyairi dalam mengembalikan ajaran tasawuf yang merupakan ciri khas atau kebudayaan islami kepada al-Qur’an dan Sunnah. Dan sudah menjadi keharusan kepada kita yang hidup pada zaman modern ini, zaman yang sudah mulai menjauh dari keidealannya dan keharusannya. Maka, kita sebagai muslim yang taat harus menyandarkan semua perkara yang sedang kita hadapi dengan merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman hidup. 

Referensi
القشيري، الإمام أبو القاسم، الرسالة القشيرية، (القاهرة: دار الشعب، 1989).
بسيونى، إبراهيم، الإمام القشيري: سيؤته- آثاره- مذهبه في التصوف، (القاهرة: مجمع البحوث الإسلامية، 1972).
التفتازاني، أبو الوفا الغنيمي، مدخل إلى التصوف الإسلامي، (القاهرة: دار الثقافة، 1979).
Abduh, Syaikh Muhammad, Risalah Tauhid, terj. Syekh Ibrahim Musa Parabek, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).
Al-Albani, M. Nashiruddin dan Al-‘Ulyani, Ali bin Nafi, Tawassul dan Tabarruk, terj. Aunur Rafiq dan Abdul Rosyad Shiddiq, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003).
Al-Hilaly, Syaikh Salim bin ‘Ied, Jama’ah-jama’ah Islam: Ditimbang Menurut al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Maidani al-Atsari, (Solo: Pustaka Imam Bukhari, 2003).
Arberry, A.J, Pasang-surut Aliran Tasawuf, terj. Bambang Herawan, , (Bandung: Mizan, 1989).
Chalil, Moenawar, Kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991).
Ghazali, Imam, al-Munqidz min adh-Dhalal wa al-Mushil ila Dzil ‘Izzati wa al-Jalal, terj. Nasib Musthafa, (Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2002).
Jailani, Syaikh Abdul Qadir, Petuah-petuah Syaikh ‘Abdul Qadir Jailani, terj. Arief B. Iskandar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002).
Kalabadzi, Abu Bakar M, Ajaran-ajaran Sufi, terj. Drs. Nasir Yusuf, (Bandung: Pustaka, 1985).
Permadi, K, Pengantar ilmu  tasawwuf, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004).
Qaradhawi, Yusuf, Islam Agama Ramah Lingkungan, terj. Abdullah Hakam Shah, Dkk, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002).
Quddamah, Ibnu, Minhajul Qashidin, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000).
Quzwan, M. Chatib, Mengenal Allah: Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh ‘Abdus-Samad al-Palimbani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985).
Syatha, Sayyid Abi Bakar dan Ibnu Muhammad, Missi Suci para Sufi, terj. Djamaluddin al-Buny, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000).



[1] الإمام القشيري، الرسالة القشيرية، (القاهرة: دار الشعب، 1989)، ص. 4
[2] نفس المرجع، الرسالة القشيرية، ص. 20
[3] د. إبراهيم بسيونى، الإمام القشيري: سيؤته- آثاره- مذهبه في التصوف، (القاهرة: مجمع البحوث الإسلامية، 1972)، ص. 15
[4] نفس المرجع، الإمام القشيري: سيؤته- آثاره- مذهبه في التصوف..، ص. 3، وانظر أيضا: الرسالة القشيرية، ص. 13
[5] Menurut al-Ghazali, Zuhud adalah berpaling dari sesuatu. Sedang menurut istilah adalah berpaling dari dunia, lihat: Imam Ghazali, al-Munqidz min adh-Dhalal wa al-Mushil ila Dzil ‘Izzati wa al-Jalal, terj. Nasib Musthafa, (Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2002), p. 136
[6] مرجع السابق، الرسالة القشيرية، ص. 219
[7] Syaikh Abdul Qadir Jailani, Petuah-petuah Syaikh ‘Abdul Qadir Jailani, terj. Arief B. Iskandar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), p. 153
[8] QS. Al-Qashash: 77
[9] QS. Al-Hadid: 23
[10] أبو الوفا الغنيمي التفتازاني، مدخل إلى التصوف الإسلامي، (القاهرة: دار الثقافة، 1979)، ص. 59
[11] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), p. 158-162
[12] QS. Al-Ahzab: 72
[13] Dr. M. Chatib Quzwan, Mengenal Allah: Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh ‘Abdus-Samad al-Palimbani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985) p. 86
[14] Abu Bakar M. Kalabadzi, Ajaran-ajaran Sufi, terj. Drs. Nasir Yusuf, (Bandung: Pustaka, 1985), p. 118
[15] QS. Al-Baqarah: 201
[16] QS. Al-A’raf: 32
[17] QS. Al-A’raf: 31
[18] Ibnu Quddamah, Minhajul Qashidin, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000), p. 417
[19] Yusuf Qaradhawi, Islam Agama Ramah Lingkungan, terj. Abdullah Hakam Shah, Dkk, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002), p. 159, 395
[20] QS. Ibrahim: 7
[21] Ibid, Minhajul Qashidin..., p. 418-420, lihat juga: Dr. M. Chatib Quzwan, Mengenal Allah: Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh ‘Abdus-Samad al-Palimbani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), p. 89, lihat juga: Syaikh Abdul Qadir Jailani, Petuah-petuah Syaikh ‘Abdul Qadir Jailani, terj. Arief B. Iskandar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), p. 155
[22] Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly, Jama’ah-jama’ah Islam: Ditimbang Menurut al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Maidani al-Atsari, (Solo: Pustaka Imam Bukhari, 2003). p, 201
[23] dapat kita ambil kesimpulan bahwa taqlid adalah menerima, mengambil perkataan atau pendapat orang lain yang tidak ada hujjah (alasan)nya dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Lihat: K.H. Moenawar Chalil, Kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991). p, 341, lihat juga: Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terj. Syekh Ibrahim Musa Parabek, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979). p, 200
[24]  مرجع السابق، الإمام القشيري: سيؤته- آثاره- مذهبه في التصوف...، ص. 205، وانظر أيضا: الإمام القشيري، الرسالة القشيرية، ص. 538
[25] QS. Al-Ra’du: 67, QS. Al-Baqarah: 170

[26] M. Nashiruddin Al-Albani dan Dr. Ali bin Nafi Al-‘Ulyani, Tawassul dan Tabarruk, terj. Aunur Rafiq dan Abdul Rosyad Shiddiq, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003). p, 294, lihat juga: A.J. Arberry, terj. Bambang Herawan, Pasang-surut Aliran Tasawuf, (Bandung: Mizan, 1989). p, 154-157
[27] Op, cit. Risalah Tauhid,p, 203
[28] Ihsan Ilahi Dhahir, Darah Hitam Tasawuf: studi kritis kesesatan kaum sufi, terj. Fadhli Bahri, Lc, (Jakarta timur: Darul Falah, 2001), p. 66
[29] QS. an-Nisa': 80
[30] مرجع السابق، الرسالة القشيرية، ص. 168
[31] Op, cit. Jama’ah-jama’ah Islam..., p. 181
[32] Drs. K. Permadi, S.H, Pengantar Ilmu  Tasawwuf, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004). p, 54
[33] مرجع السابق، الرسالة القشيرية..، ص. 168
[34] Sayyid Abi Bakar dan Ibnu Muhammad Syatha, Missi Suci para Sufi, terj. Djamaluddin al-Buny, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000). p, 35
[35]  Syaikh Abdul Qadir Jailani, Petuah-petuah Syaikh ‘Abdul Qadir Jailani, terj. Arief B. Iskandar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002). p, 227
 

Blogger news

Blogroll

About