Abstrak
semua berawal dari ahli-ahli hakikat dari
golongan sufi yang mayoritas telah tiada. Dan generasi muda setelah mereka
sangat sedikit yang mengikuti petunjuk dan tradisi mereka para syaikh. Maka
yang terjadi adalah menyempitnya cakrawala, menguatnya sikap tamak disebabkan
oleh nafsu yang tak terkendali, peremehan dan acuh tak acuh terhadap persoalan
agama, sehingga semakin jauh dari syariat. Maka melemahlah thariqat-thariqat
para sufi tersebut, bahkan sudah mulai punah dari keasliannya, yaitu keaslian
yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Contohnya dalam amalan zuhud. Para sufi
berlebih-lebihan dalam mengamalkannya, yaitu meninggalkan semua hal-hal yang
bersifat duniawi. Dengan zuhud yang berlebihan mereka banyak meninggalkan apa
yang diwajibkan oleh al-Qur’an dan Sunnah, di antaranya adalah jarang makan.
Mereka menganggap bahwa makanan hanya bersifat duniawi yang harus ditinggalkan.
Maka mereka sengaja tidak makan, puasa dan tidak berbuka. Sehingga mereka
terlihat lemas dan tidak berenergi.
Kemudian ada juga yang tidak mempedulikan pakaiannya. Tidak pernah dicuci sampai bau dan kotor.
Ada juga para sufi yang tidak mau menikah karena itu hanya akan menjadi
penghalang mereka untuk menuju kepada hakikat, Ada juga yang menyendiri dan
tidak berhubungan dengan manusia. Dan semuanya itu tidak jauh dari riya’.
Mereka ingin dikatakan sebagai orang yang sangat taat dalam beribadah. Maka
dari sinilah mereka disebut oleh Imam al-Qusyairi sebagai orang-orang yang
meninggalkan syariat dan tidak menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman
mereka dalam bertasawuf.
Imam al-Qusyairi adalah salah satu tokoh
sufi yang ingin mengembalikan keadaan bertasawuf yang melenceng pada zamannya
kepada apa yang diajarkan al-Qur’an dan Sunnah, yaitu apa yang diperintahkan
Allah Swt kepada umat manusia. Dan keadaan itulah yang melatarbelakangi Imam
al-Qusyairi dalam menulis risalahnya yang monumental, yaitu Risalah
Qusyairiyah.
Risalah
ini disajikan oleh Imam al-Qusyairy karena dua alasan. Pertama, Risalah ini ditujukan kepada
mereka yang memusuhi dunia tasawuf, dengan cara pandang taklid buta, tanpa
melacak hakikat dan prinsip-prinsip “thariqat.” Dengan cara mencari celah-celah
kesalahan yang ditampilkan sebagian “pengaku tasawuf” atau dari sisi “kata-kata
yang tinggi” yang tidak disandarkan pada nash, akal ataupun bukti. Kedua, Risalah ini ditujukan kepada ahli tasawuf agar mengetahui hakikat dari “thariqat”
itu sendiri. Untuk menghindari berbagai hal yang disimpangkan dan disesatkan,
sehingga mereka bisa berpijak pada jalan yang benar, dan tidak tersesat dan
menyesatkan.
Kritik Imam al-Qusyairi
Terhadap Amalan Sufi yang
Menyimpang
A.
Pendahuluan
Seiring dengan berkembangnya zaman, Tasawuf sudah sangat jauh
berkembang dan sudah melebarkan sayapnya ke penjuru dunia. Dalam
perkembangannya, ada masa dimana tasawuf mengalami pembelokan yang disebabkan
oleh beberapa sufi yang berlebih-lebihan dalam ibadah dan tidak ta’at kepada
al-Qur’an dan Sunnah.
Mereka mengisyaratkan pada hakikat-hakikat tertinggi dengan
ihwalnya, lalu mengaku bahwa mereka telah bebas dan mereka dari belenggu,
mereka telah mewujudkan hakikat bertemu dengan Allah (wishal). Dan mereka
merasa bahwa dirinya telah berdiri di atas kebenaran, dengan aturan-aturan
hukum sendiri. Allah Swt tidak lagi memberi beban kepada mereka, hal-hal yang
diutamakan atau dilarang-Nya, begitupun Allah tidak mencaci dan mengecam
mereka. Mereka menyangka ketika dibukakan rahasia-rahasia Ilahiyah, maka segala
aturan manusia biasa tidak berlaku. Mereka menganggap orang-orang yang
berlainan pendapat dengan mereka, maka ia berbeda dan dianggap tidak sebanding
atau setahap dengan mereka.
Melihat kejadian-kejadian ajaran tasawuf yang berbelok dan melenceng
dari al-Qur’an dan Sunnah di atas, mengingatkan kita kepada kisah tokoh sufi
yang berjuang mati-matian pada zamannya untuk mengembalikan tasawuf kepada
jalan yang benar, yang berasaskan al-Qur’an dan Sunnah, dialah Imam al-Qusyairi dengan karya monumentalnya Risalah Qusyairiyah.
B.
Sekilas tentang Imam al-Qusyairi
Imam al-Qusyairi, lahir di Astawa pada bulan rabiul awal tahun 376
H dan wafat pada tahun 465 H di Naisabur.
Imam al-Qusyairi mengkritik kebiasaan para sufi tidak mengamalkan
amalannya dengan cara berlebih-lebihan dan tidak menuntun kepada sebagaimana
mestinya yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Pendapat Imam
al-Qusyairi memberikan gambaran kepada kita bahwa tasawuf pada masanya dianggap
telah menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah,
maupun dari segi moral dan tingkah laku. Imam al-Qusyairi ingin mengembalikan
arah tasawuf pada doktrin Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, yaitu dengan
mengikuti para sufi Sunni pada abad ketiga dan keempat hijriyah.
Karena keadaan itulah Imam al-Qusyairi menulis Risalah
Qusyairiyah,termotivasi karena dirinya merasa sedih melihat persoalan yang
sedang dialami dunia tasawuf pada masanya.
Maka dari itu, sangatlah penting untuk
dikaji secara mendalam penelitian ini karena melihat keadaan tasawuf yang sudah
mulai melenceng dari tuntunan al-Qur’an dan Sunnah. Termasuk juga untuk
mengembalikan ajaran tasawuf yang sebanarnya menurut al-Qur’an dan Sunnah. Dan
amalan-amalan mereka yang sesat di antaranya adalah:
C.
Zuhud yang Berlebihan
Dalam amalan para sufi yang dikritik oleh Imam al-Qusyairi, mereka terlalu
berlebih-lebihan dalam mengamalkan tasawuf mereka dan terdapat unsur riya’ yang
mereka tampilkan dalam amalannya. Yang pertama adalah dalam amalan zuhud.
Dengan zuhud yang berlebihan mereka keluar dari arti zuhud yang sebenarnya,
yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah. Maka supaya dikatakan mereka adalah
orang-orang zuhud, mereka rela meninggalkan semua yang berbau duniawi. Yaitu
dengan cara berpuasa terus menerus dan tidak akan pernah berbuka, tidak
menikah, tidak akan bersentuhan atau berhubungan dengan apa-apa yang
berhubungan dengan dunia mereka melakukannya dengan ‘uzlah, tidak
memperhatikan kebersihan pakaian.
Sementara menurut Imam al-Qusyairi, itu tidak
dibenarkan dalam Islam karena itu telah menyalahi aturan atau syariat yang
dibuat Allah untuk kita melaksanakannya, dan salah satu cara untuk kita adalah
dengan berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Risalahnya,
al-Qusyairi mengartikan zuhud dengan apa yang dikatakan oleh gurunya, yaitu Abu
Ali Daqaq:
"الزهد هو أن تترك الدنيا كما هي،
لاتقول أنى بها رباطا أو أعمر مسجدا"
Berdasarkan perkataan di atas, zuhud adalah meninggalkan dunia tapi
tidak dengan cara meninggalkannya secara keseluruhan atau mencintai semua yang
ada di dunia dan akhirat. menjadikan dunia sebagai perantara untuk memenuhi
semua perintah-Nya,
karena bagaimana pun Allah Swt telah memerintahkan manusia untuk tidak lupa
kepada kehidupan dunia.
Dan pada dasarnya, zuhud juga telah
disinggung secara tidak langsung di dalam firman-Nya, “(kami jelaskan yang
demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari
kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya
kepadamu.” Sebab sang hamba tidaklah gembira atas apa
yang dimilikinya di dunia, dan tidak pula bersedih atas apa yang tidak
dimilikinya.
Berkaitan dengan itu, Abu al-Wafa al-Taftazani menyatakan bahwa zuhud bukanlah sesuatu
yang menyebabkan terputusnya hubungan dengan kehidupan duniawi, akan tetapi
merupakan hikmah pemahaman yang mengarahkan pandangan seseorang tentang duniawi
secara khusus. Seorang zahid tetap menjalankan aktifitas keduniaannya secara
aktif, namun hal itu tidak membelenggu kalbunya, sehingga membuat mereka mengingkari
Tuhan.
Kehidupan Rasulullah Saw dan sahabatnya adalah pengejawantahan
al-Qur’an. Praktek zuhud pada waktu itu bukan isolasi dan sikap eksklusif
terhadap dunia, akan tetapi mempunyai pengertian aktif menggeluti kehidupan
dunia dalam rangka menuju kehidupan akhirat. Jadi Rasulullah dan sahabatnya
tidak memisahkan secara dikotomik antara dua kehidupan dunia dan akhirat; akan
tetapi satu sama lain mempunyai hubungan. Menurut Prof. Quraish Shihab, itu
adalah kerena fungsi khalifah yang telah diberikan Allah kepada manusia yang harus
tetap berada dalam kerangka yang telah ditentukan oleh Allah.
Dengan tegas Allah memerintahkan mereka untuk mengembara di muka
bumi untuk mencari karunia-Nya, untuk menikmati hasil alam, kerja pembangunan,
reproduksi dan pendidikan manusia unutk melanjutkan, melestarikan hasil-hasil
usahanya sebagai penentu kekhalifahan manusia, dan semua itu dianggap amal
shalil dan ibadah kepada-Nya. Manusia harus melakukan usaha-usaha yang
diperlukan, karena mereka diberi kebebasan kehendak agar dapat menyempurnakan
misinya sebagai khalifah tersebut. Misi inilah perjuangan untuk menciptakan
sebuah tata social yang bermoral di atas dunia yang dikatakan oleh al-Qur’an
sebagai amanah, yang telah ditawarkan kepada langit dan bumi, tetapi mereka
menolak karena takut menerima bebannya, dan amanah ini diterima oleh manusia.
Zuhud adalah maqam terpenting dalam maqam-maqam sufi. Ali
bin Abi Thalib ditanya tentang zuhud, ia menjawab, “zuhud adalah hendaklah kamu
tidak tepengaruh dan iri hati terhadap orang-orang yang serakah terhadap
keduniawian. Menurut Al-Syibli, zuhud adalah membersihkan dirinya dari hawa
nafsu, bermurah hati; sehingga ia benar-benar bersifat zuhud dengan
meninggalkan sesuatu yang bukan miliknya dengan sebenar-benarnya dan
meninggalkan segala sesuatu kecuali yang sah bagi dirinya.
Maka tidaklah dibenarkan apabila kita barzuhud sampai tidak
memperdulikan kehidupan dunia karena Islam adalah agama yang tidak membagi
kehidupan ke dalam dua bagian yang terpisah: material dan spiritual, dunia dan
ukhrawi. Islam tidak mengajak kepada pengingkaran kehidupan duniawi, tetapi
mengajak kepada pemenuhan kebutuhan hidup, baik material maupun spiritual.
Kemajuan spiritual hanya bisa dicapai melalui hidup shaleh di tengah
hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari, bukan dengan mengingkari kehidupan duniawi.
Al-Qur’an mengajarkan kita doa, “wahai Tuhan kami! Berilah kami kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat nanti.”
Allah mencela keras orang yang menolak
untuk menikmati karunia-Nya. Allah berfirman:
“katakanlah, siapakah yang mengharamkan perhiasan dari
Allah yang telah Dia keluarkan untuk hamba-hamba-Nya dan (siapakah pula yang
mengharamkan) rezeki yang baik?”
Allah berfirman juga:
“makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Kita hidup harus memperhatikan kebutuhan
hidup yang pokok, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, perkakas, sarana
untuk menikah, harta dan kedudukan.
Kita tidak boleh menyiksa diri dengan
“tidak makan” karena menganggap makanan hanyalah bersifat duniawi. Karena orang
yang zuhud adalah orang yang tetap makan seperti biasanya tetapi dia tidak
terlalu berharap kepada makanan banyak. Orang yang zuhud terhadap makanan
adalah mereka yang makan hanya untuk sekedar menghilangkan rasa lapar, agar bisa menegakkan badannya, dan tidak dimaksudkan untuk mencari
kenikmatan, dan itu juga untuk kesehatan, kesehatan yang harus dijaga oleh
semua manusia karena itu adalah nikmat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya.Tentang hal ini Allah berfirman:
“sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu
mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya adzab-Ku sangatlah pedih.”
Begitu juga dengan sufi yang sengaja tidak memperdulikan pakaiannya,
itu tidak mencerminkan orang zuhud yang sebenarnya. Karena orang yang zuhud pada
pakaian adalah mereka tidak harus sampai mengotori bajunya tetapi mencukupkan
diri dengan pakaian yang bisa melindungi badannya dari serangan hawa dingin dan
panas serta menutupi aurat. Dan seorang yang zuhud tidak harus meninggalkan pernikahan, karena
dengan menikah orang zuhud akan mendapatkan keturunan dan dapat mendorongnya dalam mencari penghasilan dari yang
halal bagi keluarganya, ada juga yang menikah untuk menghimpun hasratnya, untuk
menundukkan pandangan matanya, menolak pikiran-pikiran yang kotor yang dapat
menjerumuskannya ke dalam kemaksiatan.
D.
Mengkultuskan Mursyid
Agar kaum sufi dapat mewujudkan tujuannya
mereka memberikan gelar ma’sum bagi para gurunya. Mursyid mempunyai peran yang
luar biasa dengan menjadi perantara manusia biasa kepada Nabi dan Tuhan, Dan harus
bersikap seperti mayat di hadapan para petugas yang memandikannya, seperti
sebuah lampu yang membuat lampu lainnya menyala. Sehingga tidak boleh
menyelisihi gurunya dalam seluruh perkara yang diperintahkan oleh gurunya. Dan
mewajibkan murid-murid untuk mencari syaikh agar membimbingnya kepada hakikat.
Inilah sikap berlebihan yang dikritik oleh
al-Qusyari kepada para sufi. Para sufi selalu
berlebihan dalam menghormati syaikhnya (mursyid),
sampai mengantarkan mereka kepada taqlid. Karena
apa saja yang diperintahkan seorang syaikh akan mereka laksanakan, apapun itu,
dengan tidak memperhatikan baik atau tidak.
Al-Qur’an melarang sikap berlebih-lebihan dalam segala sesuatu,
termasuk dalam menghormati syaikh (mursyid).
Karena itu dapat menjadi sarana yang mengantarkan seseorang pada perbuatan
syirik kepada Allah yang maha tinggi. Dan di antara sikap berlebih-lebihan
tersebut adalah mencari berkah terhadap sisa-sisa peninggalan orang-orang
shalih, dan bertawassul padanya untuk menarik kebaikan dan menangkal bahaya.
Dengan melakukan taklid, seseorang akan terbelenggu pada
hakikatnya, maka haruslah ia berpegang kembali kepada al-Qur’an yang
memerdekakan akal manusia dari segala belenggu yang membelitnya, dibebaskannya
dari pengaruh taklid yang memperbudaknya, serta dikembalikannya kepada tempat
dimana akal itu bertahta. Akal itu dipersilahkan untuk memberikan putusan
dengan ilmu dan kebijaksanaannya sendiri di samping harus tunduk hanya kepada
Allah Swt yang Maha Tunggal dan berdiri patuh kepada peraturan syariat
agama-Nya. Dengan ajaran inilah manusia akan menjadi sempurna dengan fitrahnya,
yaitu akal untuk berfikir dan pembeda antaranya dan makhluk-makhluk Allah
lainnya.
E.
Syariat dan Hakikat
Itulah pelencengan-pelencengan sufi yang mereka lakukan dalam
amalannya. Mereka tidak berjalan di atas manhaj Rasulullah, tidak mengikuti
jejak-jejak Rasulullah, tidak berpetunjuk dengan petunjuk Rasulullah, tetapi
menambahkan-menambahkan dan menguranginya. Dengan
itu, sama dengan melanggar syariat buatan Allah Swt. Karena mengikuti apa-apa
yang diperintahkan oleh Rasulullah sama dengan mengikuti apa-apa yang
diperintahkan Allah Swt, dan mengingkari atau melanggar apa-apa yang diajarkan
oleh Rasulullah sama dengan mengingkari apa-apa yang diperintahkan oleh Allah
Swt. Allah berfirman:
“Barangsiapa
yang menaati rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa
yang berpaling, maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi
mereka.”
Para sufi yang melenceng dalam amalan-amalannya, mereka seperti orang-orang
yang amal usaha mereka sesat di dunia kendati mereka menduga telah berbuat baik.
Mereka menentang berbuatan-perbuatan yang dicontohkan oleh
Rasulullah dengan menambah dan menguranginya, mereka berlebih-lebihan dan tidak
serius dalam banyak hal.
Al-Qusyairi membedakan antara syariat dan haqiqat sebagai berikut.
Haqiqat adalah penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ketuhanan dengan mata
hatinya. Syariat adalah kepastian hukum dalam ubudiyah, sebagai kewajiban hamba
kepada al-Khaliq. Syariat ditunjukkan dalam bentuk kaifiyah lahiriyah antara
manusia dengan Allah Swt.
Syariat hanyalah kulit bila dibanding
dengan hakikat yang merupakan inti. Dan hakikat adalah puncak kesempurnaan dan derajat
dalam tangga ubudiyah islami. Syariat adalah salah satu unsur yang harus dilaksanakan dalam hidup
bertasawuf, Syariat dan hakikat adalah saling berhubungan erat dan saling
isi-mengisi, Barangsiapa yang meninggalkan syariat dalam bertasawuf dengan alasan
apa saja, maka bukan saja ketidaksolehan yang diperolehnya, tetapi lebih parah
dari pada itu, yaitu kekafiran.
Inilah jalan menuju kebaikan dunia dan akhirat yang harus dilakukan
oleh para sufi. Melalui jalan ini seseorang akan mudah mengawasi ketakwaannya
dan menjauhi hawa nafsu. jalan ini secara bersama-sama menjadi sarana bagi
orang-orang beriman menuju akhirat tanpa boleh meninggalkan salah satu.
Hakikat tanpa syariat menjadi batal, dan syariat tanpa hakikat
menjadi kosong. Dapat dimisalkan disini, bahwa apabila ada orang memerintahkan
sahabatnya mendirikan shalat, maka ia akan menjawab: mengapa harus shalat?
Bukankah sejak zaman azali dia sudah ditetapkan takdirnya? Apabila ia telah
ditetapkan sebagai orang yang beruntung, tentu ia akan masuk surga walaupun
tidak shalat. Sebaliknya, apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang celaka
maka, ia akan masuk neraka, walaupun mendirikan shalat. Sedangkan
syariat tanpa hakikat, adalah orang yang beramal hanya untuk memperoleh surga.
Ini adalah syari’at yang kosong, walaupun ia yakin. Baginya ada atau tidak
adanya syariat sama saja keadaannya, karena masuk surga adalah semata-mata
anugerah Allah.
Maka, siapapun
tidak boleh menganggap dirinya terlepas dari syariat, walaupun ia ulama sufi
yang besar dan piawai, atau wali sekalipun. Orang yang menganggap dirinya tidak
memerlukan syariat untuk mencapai thariqat sangat tersesat dan menyesatkan. Karena
dengan mengikuti syariat dia akan mendapatkan kebaikan, dan karena dia tidak
mengikuti syariat, maka akan mendapatkan keburukan. Barangsiapa yang tidak
menjadikan syariat sebagai temannya dalam segala keadaan, maka dia akan
dikumpulkan bersama orang-orang yang celaka.
F. Penutup
Perlu kita ketahui bahwa beribadah dengan “kebodohan” akan sia-sia karena semua kebodohan itu
merusak. Karena beribadah kepada Allah dengan kebodohan akan menimbulkan
kerusakan lebih banyak daripada kebaikan.
Para sufi meyakini bahwa akal dan tubuh kita adalah anugerah dari
Tuhan. Sebagai ungkapan syukur kita, kita harus berusaha sebaik mungkin untuk
memajukan anugerah ini dan mempergunakannya dengan baik. Dan memenuhi tanggung
jawab kita sebagai khalifah yang berkewajiban dalam memelihara dunia dengan
menggunakan kemampuan yang diberikan Allah dengan sebaik-baiknya, dan bukan
justru menghindari tanggung jawab duniawi.
Itulah amalan tasawuf yang sebenarnya, amalan yang dilakukan oleh
Rasulullah dan para sahabatnya, yang berasaskan al-Qur’an dan Sunnah, yang
diusahakan oleh Imam al-Qusyairi dalam menghapuskan amalan-amalan sufi yang
penyimpang dari al-Qur’an dan Sunnah. Berkaitan dengan itu, Allah Swt telah berfirman yang artinya:
“Taatilah Allah
dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. Ali Imran, ayat 132).
“Berimanlah
kamu kepada Allah, Rasul-Nya, dan kepada cahaya (al-Qur’an) yang telah kami
turunkan. dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Taghabun,
ayat 8).
Sesungguhnya Islam memerintahkan sikap
pertengahan dan seimbang dalam segala hal, tidak bersikap berlebihan dan tidak
bersikap meremehkan.
Itulah perjuangan Imam al-Qusyairi dalam
mengembalikan ajaran tasawuf yang merupakan ciri khas atau kebudayaan islami
kepada al-Qur’an dan Sunnah. Dan sudah menjadi keharusan kepada kita yang hidup
pada zaman modern ini, zaman yang sudah mulai menjauh dari keidealannya dan
keharusannya. Maka, kita sebagai muslim yang taat harus menyandarkan semua
perkara yang sedang kita hadapi dengan merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah
sebagai pedoman hidup.
Referensi
القشيري، الإمام أبو القاسم، الرسالة القشيرية، (القاهرة: دار الشعب، 1989).
بسيونى، إبراهيم، الإمام القشيري: سيؤته- آثاره-
مذهبه في التصوف، (القاهرة: مجمع البحوث الإسلامية، 1972).
التفتازاني،
أبو الوفا الغنيمي، مدخل إلى التصوف الإسلامي، (القاهرة: دار الثقافة، 1979).
Abduh, Syaikh Muhammad, Risalah Tauhid,
terj. Syekh Ibrahim Musa Parabek, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).
Al-Albani, M. Nashiruddin
dan Al-‘Ulyani, Ali bin Nafi, Tawassul dan Tabarruk, terj. Aunur Rafiq dan
Abdul Rosyad Shiddiq, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003).
Al-Hilaly,
Syaikh Salim bin ‘Ied, Jama’ah-jama’ah Islam: Ditimbang Menurut al-Qur’an
dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Maidani al-Atsari, (Solo: Pustaka Imam Bukhari, 2003).
Arberry, A.J, Pasang-surut Aliran Tasawuf, terj. Bambang Herawan, ,
(Bandung: Mizan, 1989).
Chalil,
Moenawar, Kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1991).
Ghazali, Imam, al-Munqidz min adh-Dhalal wa al-Mushil ila Dzil ‘Izzati
wa al-Jalal, terj. Nasib Musthafa, (Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim,
2002).
Jailani, Syaikh Abdul Qadir, Petuah-petuah Syaikh ‘Abdul Qadir
Jailani, terj. Arief B. Iskandar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002).
Kalabadzi, Abu Bakar M, Ajaran-ajaran Sufi, terj. Drs. Nasir Yusuf, (Bandung:
Pustaka, 1985).
Permadi, K, Pengantar ilmu
tasawwuf, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004).
Qaradhawi, Yusuf, Islam
Agama Ramah Lingkungan, terj. Abdullah Hakam Shah, Dkk, (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2002).
Quddamah, Ibnu, Minhajul Qashidin, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2000).
Quzwan, M. Chatib, Mengenal Allah: Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf
Syaikh ‘Abdus-Samad al-Palimbani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985).
Syatha, Sayyid Abi Bakar dan Ibnu Muhammad, Missi Suci para Sufi,
terj. Djamaluddin al-Buny, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000).
Dr. M. Chatib Quzwan, Mengenal Allah: Suatu
Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh ‘Abdus-Samad al-Palimbani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985) p. 86
Ibid, Minhajul Qashidin..., p. 418-420, lihat juga: Dr.
M. Chatib Quzwan, Mengenal Allah: Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh
‘Abdus-Samad al-Palimbani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), p. 89, lihat
juga: Syaikh
Abdul Qadir Jailani, Petuah-petuah Syaikh ‘Abdul Qadir Jailani, terj.
Arief B. Iskandar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), p. 155
dapat kita ambil kesimpulan bahwa taqlid adalah menerima,
mengambil perkataan atau pendapat orang lain yang tidak ada hujjah (alasan)nya
dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Lihat: K.H. Moenawar Chalil, Kembali
kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991). p, 341,
lihat juga: Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terj. Syekh Ibrahim
Musa Parabek, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979). p, 200
Op, cit. Jama’ah-jama’ah Islam..., p. 181