Pages

Labels

Senin, 31 Desember 2012


Visi Tasawuf sebagai Basis Ilmu Islam: Pandangan S.M.N. Al-Attas

Pengantar
            Makalah ini akan membahas tentang pandangan S.M.N. al-Attas tentang visi tasawuf sebagai basis ilmu Islam. Untuk hal itu, terlebih dahulu dipaparkan, secara sepintas, tentang pandangan al-Attas tentang tasawuf secara umum dan posisinya dalam konteks Islam dan jawaban al-Attas atas pandangan negatif atas tasawuf. Selanjutnya, dipaparkan, dengan singkat, pengertian visi tasawuf yang terkait dengan konsep ihsan dan wahdah al-wujud, dan kemudian hubungannya dengan konseptualisasi dan formulasi beberapa aspek filsafat ilmu dalam Islam.

Al-Attas dan Tasawuf
Bagi al-Attas, tasawuf adalah bagian tak terpisahkan dari Islam. Tegasnya—sebagaimana seluruh realitas dan kebenaran memiliki dimensi zahir dan batin[1]—ia merupakan dimensi internal Islam yang selaras dan tidak bertentangan dengan dimensi eksternal Islam; ia merupakan penerapan syariah (baca: dimensi eksoteris Islam) secara intensif pada martabat ihsan[2].[3] Lebih jauh, al-Attas menyimpulkan dari hadis ini bahwa ia adalah ibadah yang diperkuat dan dikukuhkan dengan ketajaman intelektual yang menghasilkan pemahaman spiritual tentang realitas berdasarkan atas keyakinan berdasarkan hikmah dan ‘ilm ladunniy (pengetahuan spiritual yang dianugerahkan Allah swt kepada siapa saja yang Dia kehendaki); merupakan sumber adab yang sebenarnya berdasarkan pengenalan tentang tingkatan realitas dan kebenaran; istilah-istilah kuncinya diderivasi dari al-Qur’an sedangkan penjabaran dan praktiknya didasarkan pada Sunnah Nabi saw; tokoh-tokohnya adalah mereka yang dekat dengan Allah swt (al-awliya’).[4]
Tuduhan bahwa tasawuf mengandung potensi kemunduran sebenarnya mengisyaratkan bahwa Sumbernya juga menyimpan potensi yang sama. Al-Attas menunjukkan bahwa kemunduran dan distorsi terletak bukan pada tasawuf dan Sumbernya, melainkan pada orang bodoh yang salah paham, salah terap dan melakukan penyimpangan yang menghasilkan berbagai macam penyelewengan dan tindakan berlebihan.[5] Apa yang selama ini dianggap sebagai penyimpangan, jika benar demikian, haruslah dibedakan dari apa yang benar dan, karena itu, ia sebenarnya bukan tasawuf.
Penilaian atas tasawuf, menurut al-Attas, seharusnya tidak didasarkan atas pandangan ”cendikiawan” yang kurang otoritatif mengenai hal-hal sepele yang menganggap bahwa pandangan mereka tentang tasawuf adalah keadaan sebenarnya, berdasarkan pandangan keliru dari orang-orang tanpa otoritas, yang tidak memiliki kesiapan spiritual, intelektual dan moral.[6] Pandangan keliru ini kemudian mendorong mereka untuk melakukan apa yang mereka anggap sebagai pemurnian Islam dari apa saja yang mereka duga sebagai perusak kemurnian Islam.[7]
Alih-alih menjadi sesuatu yang asing dan berbeda dari Islam, bagi al-Attas, tasawuf adalah bagian instrumental dalam Islam, yang penting bukan hanya dalam perolehan ilmu pengetahuan,[8] tapi, yang lebih fundamental, adalah fungsinya dalam memberikan gambaran pandangan-hidup Islam yang utuh dan paripurna.[9] Dalam konteks filsafat ilmu, al-Attas menegaskan vitalnya peran tasawuf sebagai basis dalam pengembangan filsafat ilmu dalam Islam.[10]

Visi Tasawuf sebagai Ilmu Islam
            Visi tasawuf yang dimaksud disini adalah visi metafisik mengenai realitas tertinggi yang berasal dari Wahyu dan di tegaskan oleh pengalaman intuisi langsung para Sufi.[11] Visi ini tidak didasarkan sekedar pada abstraksi spekulatif, tapi ia merupakan kebenaran dan realitas (al-Haqq/al-Haqiqah) yang secara langsung dialami oleh para Sufi dalam kondisi kesadaran trans-empirik.[12] Pada kondisi demikianlah, yang merupakan martabat ihsan, yang rasional dan yang empirik bergabung dan pengetahuan bermakna penyatuan (tawhid), dimana pandangan mengenai struktur realitas and kesadaran manusia pada tingkat pengalaman rasional-inderawi tidak ditolak dan tetap valid, hanya ia ditempatkan dalam kerangka validitas yang lebih tinggi yang berasal dari pengalaman realitas secara intuitif oleh para Sufi.[13] Sekalipun realitas puncak dapat dicerap melalui penalaran diskursif dan empirik, sebagaimana dalam tradisi kalam dan falsafah, namun kepastian dan keyakinan tentangnya hanya dapat dicapai melalui pengalaman langsung para Sufi.[14] Karena itu, pengetahuan yang dihasilkan dari pengalaman demikian adalah pengetahuan yang paling otentik dan akurat penggambarannya, serta paling otoritatif dan dapat dipercaya.[15]
            Bagi al-Attas, ibadah yang disebut dalam hadis adalah ibadah yang dibarengi keterjagaan spiritual yang lahir dari visi mengenai kebenaran dan realitas.[16] Dari pengetahuan yang muncul darinya, para Sufi mengkonseptualisasikan dan memformulasikan dimensi internal Islam, yang memancarkan visi metafisika tentang realitas dan kebenaran, dimana konseptualisasi teologis merepresentasikan dimensi eksternal Islam; yang terakhir adalah tauhid, sedang yang pertama wahdah al-wujud.[17]
            Mengutip al-Maha’imi dan al-Qunyawi, al-Attas mendefinisikan wahdah al-wujud sebagai ”sesuatu yang dengannya segala yang beragam menjadi diri mereka[18]” atau bahwa ”... realitas segala sesuatu yang merupakan eksistensinya tidak lain merupakan moda eksistensial dari realitas tunggal Wujud ...”[19], karena itu, ”sesuatu pada dirinya sendiri—yaitu, dipandang secara terpisah dari realitas yang dengannya ia mengada—bukanlah sesuatu dalam kondisi ’ber-ada’, dan karenanya ia tiada; apa yang menjadi ’ada’ adalah realitas yang mengaktualkan salah satu modanya dibalik sesuatu itu”.[20] Namun demikian, al-Attas mengklarifikasi bahwa visi sejati tentang realitas wujud, yang menjadi dasar metafisika wahdah al-wujud, tidak mungkin dicapai melalui semata proses intelektual-rasional, ia hanya bisa dicapai dengan intuisi eksistensi secara langsung, dengan penyaksian spiritual (syuhud), pengecapan spiritual (dzawq) dan penyingkapan spiritual (kasyf).[21] Formulasi konseptual al-Attas tentang relasi Tuhan-makhluk mengikuti konseptualisasi Ibn Arabi yang menyistematisasikan pengalaman intuitif para Sufi,[22] yang harus dibedakan, misalnya, dari konsep emanasi Plotinus.[23]
            Hasil konseptualisasi tasawuf filosofis inilah yang kemudian oleh al-Attas dipandang dapat dikembangkan dalam konseptualisasi dan formulasi tentang filsafat ilmu Islami.[24] Terkait beberapa aspek epistemologis—seperti sumber dan metode pengetahuan; perpaduan realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai dasar kognitif bagi filsafat ilmu; dan filsafat proses—al-Attas mengakui adanya kemiripan lahiriah antara pandangan Islam dan tradisi filsafat dan sains Barat, dengan tetap mengingatkan adanya perbedaan fundamental yang muncul dari perbedaan cara-pandang dan kepercayaan tentang hakikat Realitas.[25] Afirmasi terhadap Wahyu, sebagai sumber pengetahuan mengenai realitas dan kebenaran tentang makhluk dan Tuhan, adalah pembeda pokok struktur bangunan pemikiran Islam dari sistem-sistem pemikiran Barat.[26]
            Mengenai sumber dan metode pengetahuan, berbeda dengan epistemologi Barat, Islam menegaskan bahwa pengetahuan berasal dari Tuhan yang diperoleh melalui indera yang sehat, berita yang benar berdasarkan otoritas (naql), nalar yang sehat dan intuisi.[27] Yang dimaksud indera yang sehat adalah kemampuan mempersepsi dan mengobservasi melalui lima panca indera lahir yang berhubungan dengan panca indera batin yang berfungsi mencerap representasi gambaran inderawi yang dihasilkan oleh panca indera lahir, memaknainya, menganalisisnya, dan mengkonspetualisasikannya.[28] Sedangkan cakupan makna nalar yang sehat adalah fakultas mental yang mensistematisasi dan menafsirkan kumpulan fakta yang dihasilkan pengalaman inderawi secara logis; yang mengekstrak sesuatu yang dapat dicerap (intelligible/maqulat) dari data empirik; dan yang melakukan abstraksi atasnya; yang mana semua kemampuan ini dipahami sebagai salah satu aspek dari intelek dan berfungsi bersesuaian dengannya; dimana intelek adalah substansi spiritual yang ada di dalam organ kognisi spiritual yang disebut hati yang merupakan tempat dari intuisi.[29]
            Berita benar yang berdasarkan otoritas[30] terbagi menjadi dua kategori; otoritas absolut yang tidak boleh dipertanyakan—yaitu al-Quran dan al-Sunnah[31]—dan otoritas relatif—yaitu otoritas yang didasarkan atas ’kompetensi’[32]. Intuisi yang dimaksud disini mencakup intuisi pada tingkatan rasional-empiris, yang hanya mampu mencerap aspek tertentu dari hakikat realitas, dan intuisi pada kesadaran transenden manusia yang dicapai para nabi dan para wali yang mampu mengantarkan pada pemahaman langsung tentang hakikat realitas sebagai sebuah keseluruhan.[33]
            Karena itu, wilayah operasi nalar dan intuisi tidak terbatas pada penjelasan dan pengalaman dunia inderawi, melainkan ia mencakup ”cerapan langsung, mengenai kebenaran relijius, mengenai wujud dan realitas Tuhan, mengenai realitas eksistensi-eksistensi ... pada tingkat yang lebih tinggi intuisi adalah intuisi mengenai wujud itu sendiri”.[34] Intuisi pada tingkat yang disebut terakhir ini tidak dapat terjadi pada setiap orang, melainkan mereka yang menjalani kehidupan dengan ketaatan yang tulus pada Tuhan; yang dengan capaian intelektual memahami hakikat ke-Esa-an Tuhan dan implikasinya dalam sistem metafisika; yang secara terus-menerus merenung tentang hakikat realitas; dan yang—selama masa perenungan atas kehendak Tuhan—lepas dari ke-diri-an dan subjektifitasnya dan memasuki kedirian yang lebih tinggi.[35] Saat dia kembali kepada kondisi subyektif manusiawinya, dia tidak lagi menemukan (baca: mengalami) apa yang telah dia rasakan, namun pengetahuan tentang hal itu tetap tinggal bersamanya.[36] Dari sinilah kemudian dia mengkonseptualisasi dan memformulasikan sistem metafisika wujud yang menjadi basis filsafat ilmu dalam Islam.

Penutup
            Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa, bukan hanya tasawuf merupakan bagian integral dan, karena itu, tidak bertentangan dengan Islam, tapi juga ia merupakan sesuatu yang niscaya untuk membangun sebuah konsep filsafat ilmu yang terpancar dari pandangan-hidup Islam. Wallahu a’lam wa Huwa al-Ghafur al-Rahim.


Daftar Bacaan
Acikgenc, Alparslan. Islamic Science Towards a Definition. Kuala Lumpur: ISTAC. 1996.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. A Commentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri. Kuala Lumpur: Ministry of Culture. 1986.
---. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC. 1993.
---. Islam, Secularism and the Philosophy of the Future. London, New York: Mansell Publishing Limited. 1985.
---. Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC. 1995.
---. the Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur: University of Malaya Press. 1970.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari. ed. Mushthafa Dib al-Bugha. Beirut: Dar Ibn Katsir. 1987.
Al-Ghazali, al-Imam. Misykah al-Anwar wa Mishfah al-Asrar. ed. Abd al-Aziz Izz al-Din al-Sayrawan. Beirut: Alam al-Kutub. 1986.
Al-Jili, Abd al-Karim bin Ibrahim. al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awa’il wa al-Awakhir. ed. Abu Abd al-Rahman Shalah bin Muhammad. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 1997.
Al-Nisaburi, Muslim bin al-Hajjaj. Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Jil dan Dar al-Afaq al-Jadidah. tt.
Setia, Adi. Al-Attas’ Philosophy of Science An Extended Outline. didownload dari http://www.findarticles.com/p/search?tb=art&qt="'Adi+Setia"
Underhill, Evelyn. Mysticism: the Nature and Development of Spiritual Consciousness. Oxford: Oneworld Publications, 2006.
Wan Daud, Wan Mohd Nor. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. terj. Hamid Fahmy, M. Arifin Ismail dan Iskandar Amel. Bandung: Mizan, 2003.



[1] Secara hirarkis aspek eksterior dan interior biasanya diurutkan sebagai berikut: Syariah-Thariqah-Ma’rifah-Haqiqah, dimana yang pertama adalah aspek zahir dan tiga yang terakhir aspek batin dari Wahyu yang sama. Baca Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri, (Kuala Lumpur: Ministry of Culture, 1986), h. 183.
[2] Ihsan disini merujuk pada sabda Nabi saw yang mendefinisikannya sebagai beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya atau kesadaran bahwa Dia Maha Melihat. Baca misalnya Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, ed. Mushthafa Dib al-Bugha, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), I/27 dan IV/1793 dan Muslim bin al-Hajjaj al-Nisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jil dan Dar al-Afaq al-Jadidah, tt), I/28, 30.
[3] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), h. 121.
[4] Ibid., h. 121-2.
[5] Ibid.
[6] Ibid., h. 122, dan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the Future, (London, New York: Mansell Publishing Limited, 1985), h. 208. Tentang pentingnya kesiapan (isti’dad) dalam memahami menghindari pengingkaran hal ini baca pula, Abd al-Karim bin Ibrahim al-Jili, al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awa’il wa al-Awakhir, ed. Abu Abd al-Rahman Shalah bin Muhammad, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1997), h. 11-2.
[7] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Islam and Secularism, h. 122.
[8] Uraian tentang pandangan al-Attas mengenai hal ini yang dipengaruhi oleh pandangan para Sufi, baca Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, terj. Hamid Fahmy, M. Arifin Ismail dan Iskandar Amel, (Bandung: Mizan, 2003), h. 255-316
[9] Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary ..., h. 129-30, 183.
[10] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism ..., h. 208, 219.
[11] Ibid., h. 215-6. Secara lebih rinci al-Attas menjelaskan bahwa visi tentang kebenaran dan realitas disini merujuk pada kondisi pra-eksistensi manusia sebagaimana disinggung dalam surah al-A’raf:172. Kepada kondisi inilah, pada akhirnya, manusia akan kembali jika dia mencapai martabat ihsan. Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary ..., h. 184.
[12] Bandingkan misalnya dengan hadis: إن الله قال من عادى لي وليا فقد آذنته بالحرب وما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضت عليه وما يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه فإذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع به وبصره الذي يبصر به ويده التي يبطش بها ورجله التي يمشي بها وإن سألني لأعطينه ولئن استعاذني لأعيذنه وما ترددت عن شيء أنا فاعله ترددي عن نفس المؤمن يكره الموت وأنا أكره مساءته, Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, V/2384.
[13] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism ..., h. 214, dan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, h. 162. Sebagai perbandingan, dalam konteks rasionalisasi pengalaman mistik dan ketakmemadaian pengalaman empirik-rasional saja dalam memahami realitas Evelyn Underhill menulis: ”... there is no trustworthy standard by which we can separate the “real” from the “unreal” aspects of phenomena. Such standards as exist are conventional: and correspond to the convenience, not to truth. ... most men see the world in much the same way, ant that this “way” is the true standard of reality: though for practical purposes we have agreed that sanity consists in sharing the hallucinations of our neighbours. Those who are honest with themselves know that this “sharing” is at best incomplete.” Italik dari penulis makalah Evelyn Underhill, Mysticism: the Nature and Development of Spiritual Consciousness, (Oxford: Oneworld Publications, 2006), h. 10.
[14] Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary ..., h. 295-300.
[15] Adi Setia, Al-Attas’ Philosophy of Science An Extended Outline, didownload dari http://www.findarticles.com/p/search?tb=art&qt="'Adi+Setia".
[16] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism ..., h. 207.
[17] Ibid.
[18] “that by which diverse things are what they are”, italik dari penulis makalah, Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary ..., h. 406.
[19] “... realities of things which are their very existences, is no other than existential modes of the single reality of Existence ...”, Ibid.
[20] “... the thing in itself—that is, considered independently of the reality by whih it is it—is not something in a state of ‘be-ing’, and so it si nothing; what has come to ‘be’ is the reality which actualizes one of its modes in the guise of that thing ...”, Ibid. Pernyataan ini serupa dengan, misalnya, ungkapan al-Ghazali ” ...فإن كل شيئ سواه إذا اعتبر ذاته من حيث ذاته فهو عدم محض؛ وإذا اعتبرته من الوجه الذي سرى إليه الوجود من الأول الحق رؤي موجودا لا في ذاته لكن من الوجه الذي يلي موجده ...”, al-Imam al-Ghazali, Misykah al-Anwar wa Mishfah al-Asrar, ed. Abd al-Aziz Izz al-Din al-Sayrawan, (Beirut: Alam al-Kutub, 1986), h. 138.
[21] Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary ..., h. 244-5.
[22] Adi Setia, Al-Attas’ Philosophy of Science.
[23] Syed Muhammad Naquib al-Attas, the Mysticism of Hamzah Fansuri, (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970), h. 72-4.
[24] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism ..., h. 208.
[25] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), h. 117-8.
[26] Ibid.
[27] Ibid., 118.
[28] Ibid.
[29] Ibid., 119. Elaborasi detail tentang hubungan antara nalar, intelek dan hati dapat ditemukan di Alparslan Acikgenc, Islamic Science Towards a Definition, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), misalnya h. 45-50.
[30] Otoritas berita yang benar ini berdasarkan pada pengalaman intuitif realitas inderawi dan transendental. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena ..., h. 121. Al-Attas juga menyatakan bahwa penafsiran al-Qur’an yang benar, transmisi hadis yang valid dan kesepakatan (ijma’) ulama semuanya terkait dengan Nabi saw, dan, karena itu, mereka absolut. Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary ..., h. 292-3.
[31] Al-Attas menegaskan bahwa al-Qur'an dan al-Sunnah, termasuk didalamnya sosok Nabi saw, merupakan otoritas bukan hanya karena mereka mengomunikasikan kebenaran, tapi juga karena mereka adalah kebenaran itu sendiri. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena ..., h. 121.
[32] Otoritas relatif adalah yang bisa dipertanyakan dengan nalar dan pengalaman, dalam pengertian realitas inderawi dan transendental. Ibid. Yang dimaksud ’kompeten’ disini adalah sebagai kontras dari ’supreme’ dalam penjelasan Michael Polanyi dalam buku Personal Knowledge h. 164, sebagaimana dikutip dalam Adi Setia, Al-Attas’ Philosophy of Science.
[33] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena ..., h. 120.
[34] Ibid., h. 119.
[35] Ibid., h. 119-20.
[36] Ibid., h. 120. Bandingkan dengan 

Rabu, 26 Desember 2012

filsafat Ilmu


KRITISISME IMMANUEL KANT
A.  Pendahuluan
       Filsafat sebagai’’induk segala ilmu pengetahuan’’ dalam hal ini adalah ilmu yang mendasari untuk mengembangkan ilmu pengetahuan maupun penemuan-penemuan baru. Pada dasarnya filsafat adalah suatu usaha untuk mensistimatisir pemikiran dan menerapkan pemikiran-pemikiran itu pada segala bidang ilmu pengetahuan.
       Makalh ini membahas tentang filsafat dibarat pada zaman pertengahan atau zaman setelah abad pertengahan yaitu filsafat modern, dan khususnya membahas tentang filsafat kritisisme Immanuel Kant. Yang mana pemikiran Immanuel Kant yakni penggabungan dua ajaran yang saling bertentangan yakni Rasionalisme Jerman dengan Empirisisme Inggris.
      Pada masa itu (abad 17) cenderung menganggap sumber pengetahuan salah satunya atau memberi tekanan pada akal(rasio) atau hanya melalui pengalaman(empiris) saja, sesuai dengan paha yang mereka anut.
B.     Akar-akar Pemikiran Kant
     Immanuel kant adalah filsuf yang hidup pada puncak perkembangan “Pencerahan”, yaitu suatu masa dimana corak pemikiran yang menekankan kedalaman unsur rasionalitas berkembang dengan pesatnya. Pasa masa itu lahir berbagai temuan dan paradigma baru dibidang ilmu, dan terutama paradigma ilmu fisika alam. Heliosentris temuan Nicolaus Copernicus (1473 – 1543) di bidang ilmu astronomi yang membutuhkan paradigma geosentris, mengharuskan manusia mereinterpretasikan pandangan duniannya, tidak hanya pandangan dunia ilmu tetapi juga keagamaan.
     Selanjutnya ciri kedua adalah apa yang dikenal dengan deisme, yaitu suatu paham yang kemudian melahirkan apa yang disebut Natural Religion (Agama alam) atau agama akal. Deisme adalah suatu ajaran yang mengakui adanya yang menciptakan alam semesta ini. Akan tetapi setelah dunia diciptakan, Tuhan menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri. Sebab ia telah memasukkan hukum-hukum dunia itu ke dalamnya. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan hukum-hukumnya. Manusia dapat menunaikan tugasnya dalam berbakti kepada Tuhan dengan hidup sesuai dengan hukum-hukum akalnya. Maksud paham ini adalah menaklukkan wahyu ilahi beserta degan kesaksian-kesaksiannya, yaitu buku-buku Alkitab, mukjizat, dan lain-lain kepada kritik akal serta menjabarkan agama dari pengetahuan yang alamiah, bebas dari pada segala ajaran Gereja. Singkatnya, yang dipandang sebagai satu-satunya sumber dan patokan kebenaran adalah akal.
     Kant berusaha mencari prinsip-prinsip yang ada dalam tingkah laku dan kecenderungan manusia. Inilah yang kemudian menjadi kekhasan pemikiran filsafat Kant, dan terutama metafisikanya yang – dianggap – benar-benar berbeda sama sekali dengan metafisikan pra kant.
C.    Pengaruh Leibniz dan Hume
     Leibniz-Wolf dan Hume merupakan wakil dari dua aliran pemikiran filosofis yang kuat melanda Eropa pada masa Pencerahan. Leibniz tampil sebagai tokoh penting dari aliran empirisisme.
     Di sini jelas, bahwa epistemologi ‘ala Leibniz bertentangan dengan epistemologi Hume. Leibniz berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasionya saja, dan bukan pengalaman. Dari sumber sejati inilah bisa diturunkan kebenaran yang umum dan mutlak. Sedangkan Hume megnajarkan bahwa pengalamanlah sumber pengetahuan itu. Pengetahuan rasional mengenai sesuatu terjadi setelah itu dialami terlebih dahulu.
D.    Epistemologi Kant, Membangun dari Bawah
     Filsafat Kant berusaha mengatasi dua aliran tersebut dengan menunjukkan unsur-unsur mana dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang terdapat dalam akal. Kant menyebut perdebatan itu antinomy, seakan kedua belah pihak merasa benar sendiri, sehingga tidak sempat memberi peluang untuk munculnya alternatif ketiga yang barangkali lebih menyejukkan dan konstruktif.
     Mendapatkan inspirasi dari “Copernican Revolution”, Kant mengubah wajah filsafat secara radikal, dimana ia memberikan filsafatnya, Kant tidak mulai dengan penyeledikan atas benda-benda yang memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai objek. Lahirnya pengetahuan karena manusia dengan akalnya aktif mengkonstruksi gejala-gejala yang dapat ia tangkap. Kant mengatakan:
     Akal tidak boleh bertindak seperti seroang mahasiswa yang Cuma puas dengan mendengarkan keterangan-keterangan yang telah dipilihkan oleh dosennnya, tapi hendaknya ia bertindak seperti hakim yang bertugas menyelidiki perkara dan memaksa para saksi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia sendiri telah rumuskan dan persiapkan sebelumnya.
     Upaya Kant ini dikenal dengan kritisisme atau filsafat kritis, suatu nama yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan kritik atas rasio murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan terakhir adalah kritik atas daya pertimbangan.
E.     Karya-Karya Immanuel Kant
     Karya utama Kant selama periode kritis meliputi Critique of Pure Reason, di mana dia menguji akal manusia dan menyimpulkan bahwa manusia mampu membangun ilmu pengetahuan, dan bukan metafisika. Pada tahun 1783 ia menerbitkan Prolegomenaatau Prologues to any Future Metaphysics, di mana dia menguji hal yang sama dari sudut pandang yang berbeda. Pada 1785 terbitlah karyanya berjudul Foundation for the Metaphysics of Ethics, di mana ia mendiskusikan masalah moral berdasarkan prinsip-prinsip kritik transendental. Dalam bukunya Critique of Judgment, ia menguji finalitas dalam alam dan masalah estetika. Ketiga Critique inilah yang menjadi maha karya serta eksposisi definitif pemikiran seorang Immanuel Kant. 
1.      Kritik atas Rasio Murni
            Dalam kritik ini, atara lain kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih dulu membedakan adanya tiga macam putusan, yaitu:
      a. Putusan analitis apriori; dimana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (msialnya, setiap benda menempati ruang).
      b. Putusan sintesis aposteriori, misalnya pernyataan “meja itu bagus” di sini predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah (=post, bhs latin) mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui.
      c. Putusan sintesis apriori; disini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis, namun bersifat apriori juga. Misalnya, putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan mutlak, namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori. Sebab di dalam pengertian “sebab”. Maka di sini baik akal maupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika dan ilmu pengetahuan alam disusu atas putusan sintetis yang bersifat apriori ini.
            Rasionalisme dan empirisisme mengambil alih penyelesaian problem: “Nilai apa yang dikandung oleh pengetahuan (ide atau impresi) yang aku dapatkan tentang dunia fisikal (material) dan hubungannya dengan apa yang harus aku lakukan?” Pertanyaan ini mengandung sekaligus masalah epistemologis dan etis. Untuk mengatasi kesulitan,rasionalisme—dari Descartes sampai Leibniz—telah mulai dengan asumsi bahwa pikiran manusia dianugerahi dengan ide-ide bawaan. Memulainya dengan melakukan deduksi dari ide-ide bawaan ini, rasionalisme membangun pengetahuan yang dilengkapi dengan universalitas (karena ide-ide bawaan bersifat umum bagi semua pikiran) dan sesuatu yang dibutuhkan (kualitas yang harus dimiliki semua pengetahuan ilmiah dan filsafat). Tetapi rasionalisme gagal menunjukkan keabsahan atau validitas jenis pengetahuan ini dalam rujukannya kepada dunia alam tanpa jatuh ke panteisme. Selanjutnya, dalam setiap pertimbangan mengenai Allah yang transenden, orde atau susunan ide-ide tetap terpisah dan berbeda dari orde atau susunan benda-benda.
Di lain pihak, empirisme berusaha menjawab pertanyaan yang sama dan memulainya dengan impresi inderawi. Dengan cara ini empirisme mengklaim telah “menemukan” salinan atau kopi objek yang ditangkap melalui impresi indrawi tersebut. Meskipun demikian, cara ini tidak mampu menunjukkan aspek universalitas dari dan keniscayaan pengetahuan tersebut. Empirisme lupa bahwa setiap persepsi, meskipun bersifat tak-terbatas (ad infinitum), tetap saja partikular. Kritisisme semacam ini tentu telah terlebih dahulu digagas dan dikemukakan David Hume dan tak-terbantahkan. Untuk menghindari kesulitan sebagaimana dihadapi empirisme ini, Hume mengemukakan unsure psikologis yang lain yang disebut sebagai kebiasaan mengasosiasi (the habit of association) yang menghubungkan impresi yang satu dengan impresi lainnya dan kemudian memberikan mereka unsur universalitas dan keniscayaan.    Apakah jalan keluar ini memuaskan? Harus diingat di sini, jika intelek bisa menghubungkan fenomena yang satu dengan fenomena lainnya dan kemudian menegaskan dimensi universalitas dan keniscayaan mereka, intelek semacam itu tentu bukanlah “tabula rasa”. Intelek dengan kemampuan semacam ini pasti memiliki konsep-konsep tertentu dalam dirinya (innate concept) mengenai universalitas dan keniscayaan, yang kemudian mengatributkannya kepada fenomena partikular ketika fenomena-fenomena itu dihubungkan satu sama lain dalam kelompok atau kelas tertentu.
            Lihatlah bahwa gagasan yang sangat tidak memuaskan yang ditawarkan empirisme maupun jalan keluar yang disodorkan Hume sungguh-sungguh “memaksa” Kant  untuk memikirkan cara terbaik memahami realitas. Kant tertantang untuk menemukan unsur objektif dan nilai etis dari pengetahuan kita [dua pertanyaan penting yang dijawab Kant adalah (1) what can I know? yang berhubungan dengan teori pengetahuan dan (2) what should I do? yang berhubungan dengan masalah etika]. Dalam usahanya menawarkan sebuah solusi yang konklusif, Kant menulis karya Critiques (disebut demikian karena dimaksudkan untuk mengkritik dalam pengertian mendiskusikan dan menimbang). Demikianlah, seluruh karya Immanuel Kant dapat sebut sebagai usaha serius menguji secara saksama rasionalisme dan empirisme, tentu bukan untuk memberangus sama sekali keduanya, tetapi untuk menemukan kelemahan-kelemahan mereka seraya tetap mempertahankan hal-hal esensial dari keduanya.
            Menurut Kant, rasionalisme termasuk jenis “putusan analitis. Disebut demikian  karena jenis putusan ini mengkonstruksi sebuah sistem pengetahuan yang dilengkapi dengan aspek atau dimensi universalitas dan keniscayaan, tetapi bagi Kant, jenis pengetahuan semacam ini bersifat tautologis. Jenis pengetahuan ini tidak mampu membantu kita memahami realitas. Pengetahuan jenis ini tentu tidak andal, karena itu pengetahuan harus maju selangkah lagi, dan menurut Kant, pengetahuan harus bersifat “sintetis”. Yang dimaksud adalah jenis pengetahuan yang predikatnya memperluas pengetahuan kita mengenai subjek. Empirisme tentu bukanlah jenis putusan “sintetis”, tetapi lebih merupakan putusan a posteriori, di mana predikatnya tidak lebih dari fakta pengalaman, dan tentu saja mengakibatkan putusan ini kehilangan unsur universalitas dan keniscayaannya. Jenis putusan apapun yang tidak memiliki unsur universalitas dan keniscayaan tentu bukanlah jenis pengetahuan filosofis yang cukup meyakinkan.
            Kant mengajarkan bahwa ada jenis putusan lain yang disebut putusan sintetis apriori. Bagi Kant, jenis putusan ini akan mengarah kepada pengetahuan ilmiah yang benar. Jenis putusan ini disebut sintetis karena memiliki karakter universalitas dan memenuhi criteria keniscayaan (necessity) tanpa menjadi tautologis. Selain itu, jenis putusan ini pun memiliki fekunditas putusan aposteriori tanpa dibatasi pada pengada tertentu yang ada di dunia empiris. Syarat pembentukan setiap putusan sintetis apriori adalah perlunya putusan memiliki forma (form) dan materi (matter). (1) Forma diberikan oleh intelek, independen dari semua pengalaman, a priori, dan menandakan fungsi, cara dan hukum mengetahui dan bertindak yang eksistensinya mendahului seluruh pengalaman. (2) Materi tidak lain adalah sensasi subjektif yang kita terima dari dunia luar.
            Melalui kedua unsur inilah manfaat dari rasionalisme dan empirisme dipersatukan dalam putusan yang sama: forma mewakili unsur universal dan niscaya, sedangkan materi mewakili data empiris. Putusan yang dihasilkan (sintetis apriori) adalah universal dan niscaya karena forma, dan absah bagi dunia empiris karena materi. Perlu dicatat bahwa kedua elemen ini harus ada dalam setiap pembentukan putusan sintetis apriori: forma tanpa materi adalah hampa; materi tanpa bentuk adalah buta.
            Jelas, pengetahuan diperoleh melalui putusan apriorinya Kant adalah jenis pengetahuan yang memiliki hanya nilai fenomenal. Jenis pengetahuan ini tidak memberikan pemahaman yang valid mengenai obyek “in se” atau sebagaimana merekaa eksis di alam (noumena), tetapi hanya sejauh mereka dipikirkan oleh subjek.  Ego berpikir Kant tidak mengasimilasi obyek, sebagaimana dipertahankan filsafat tradisional, tetapi konstruksinya. Kenyataannya, baik materi dan bentuk (sensasi) adalah elemen subjektif dan tidak memperlihatkan kenyataan; bahkan tetap terpisah dan berbeda dari subjek.
Kant menyajikan studinya mengenai putusan sintetis apriori dalam Critique of Pure Reason. Karya ini dibagi menjadi tiga bagian:
 •       Dalam Transcendental Aesthetic (Estetika Transendental), Kant menyelidiki unsur-unsur pengetahuan yang masuk akal mengacu pada suatu bentuk apriori ruang dan waktu. Objek penelitian ini adalah untuk membuktikan matematika sebagai ilmu yang sempurna.
 •       Karya Transcendental Analytic  (Analitika Transendental) adalah sebuah penyelidikan ke dalam pengetahuan intelektual. Obyeknya adalah dunia fisik, dan ruang lingkupnya adalah membuktikan “fisika murni” (mekanik) sebagai ilmu yang sempurna.
 •       Objek penelitian dari Transcendental Dialectic (Dialektika Transendental) adalah realitas yang melampaui pengalaman kita; yaitu esensi Allah, manusia dan dunia. Kant mereduksikan objek-objek dari metafisika tradisional ini kepada “ide-ide,” yang tentangnya berputar-putar secara sia-sia, tanpa harapan untuk bisa tiba pada sebuah hasil yang pasti. Tiga tingkatan pengetahuan manusia, yaitu:
           a. Tingkat Pencerapan Indrawi (Sinneswahrnehmung)
        Unsur apriori, pada taraf ini, disebut Kant dengan ruang dan waktu. Dengan unsur apriori ini membuat benda-benda objek pencerapan ini menjadi ‘meruang’ dan ‘mewaktu’. Pengertian kant mengenai ruang dan waktu ini berbeda dengan ruang dan waktu dalam pandangan Newton.
        Kalau Newton menempatkan ruang dan waktu ‘di luar’ manusia, kant megnatakan bahwa keduanya adalah apriori sensibilitas. Maksud Kant, keduanya sudah berakar di dalam struktur subjek. Ruang bukanlah ruang kosong, ke dalamnya suatu benda bisa ditempatkan; ruang bukan merupakan “ruang pada dirinya sendiri” (Raum an sich). Dan waktu bukanlah arus tetap, dimana pengindraan-pengindraan berlangsung, tetapi ia merupakan kndisi formal dari fenomena apapun, dan bersifat apriori.
        Yang bisa diamati dan diselidiki hanyalah fenomena-fenomena atau penampakan-penampakannya saja, yang tak lain merupakan sintesis antara unsur-unsur yang datang dari luar sebagai materi dengan bentuk-bentuk apriori ruang dan waktu di dalam struktur pemikiran manusia. 
      b. Tingkat Akal Budi (Verstand)
        Bersamaan dengan pengamatan indrawi, bekerjalah akal budi secara spontan. Tugas akal budi adalah menyusun dan menghubungkan data-data indrawi, sehingga menghasilkan putusan-putusan. Dalam hal ini akal budi bekerja dengan bantuan fantasinya (Einbildungskarft). 
        Pengetahuan akal budi baru diperoleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi tadi dengan bentuk-bentuk apriori yang dinamai Kant dengan ‘kategori’,  yakni ide-ide bawaan yang mempunyai fungsi epistemologis dalam diri manusia.
        Kant mengatakan bahwa kegiatan akal budi (Verstand) muncul dalam putusan. Akal budi itu sendiri adalah kemampuan membuat putusan. Dalam putusan ini terjadi sintesis antara data-indrawi dan unsur-unsur a priori akal budi. Unsur-unsur a priori akal budi ini disebut Kant sebagai ”kategori-kategori”. Tanpa sintesis ini, kita bisa mengindrai penampakan, tapi tidak bisa mengetahuinya. Atau dapat dikatakan, kategori-kategori itu merupakan syarat a priori pengetahuan kita.
Menurut Kant, ada 12 kategori, yaitu:
Kuantitas
1.      Kesatuan / Unitas
2.      Kemajemukan / Pluralitas
3.      Keseluruhan / Totalitas
Kualitas
1.      Realitas
2.      Negasi
3.      Limitasi

Relasi
1.      Substansi
2.      Kausalitas
3.      Komunitas
Modalitas
1.      Kemungkinan-kemustahilan
2.      Eksistensi-Non-eksistensi
3.      Keniscayaan-Kotingensi
      c. Tingkat intelek / Rasio (Versnunft)
        Ide ini sifatnya semacam ‘indikasi-indikasi kabur’, petunjuk-petunjuk buat pemikiran (seperti juga kata ‘barat’ dan ‘timur’ merupakan petunjuk-petunjuk; ‘timur’ an sich tidak pernah bisa diamati). Tugas intelek adalah menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada tingkat dibawahnya, yakni akal budi(Verstand) dan tingkat pencerapan indrawi (Senneswahnehmung). Dengan kata lain, intelek dengan idea-idea argumentatif.
        Kendati Kant menerima ketiga ide itu, ia berpendapat bahwa mereka tidak bisa diketahui lewat pengalaman. Karena pengalaman itu, menurut kant, hanya terjadi di dalam dunia fenomenal, padahal ketiga Idea itu berada di dunia noumenal (dari noumenan = “yang dipikirkan”, “yang tidak tampak”, bhs. Yunani), dunia gagasan, dunia batiniah. Idea mengenai jiwa, dunia dan Tuhan bukanlah pengertian-pengertian tentang kenyataan indrawi, bukan “benda pada dirinya sendiri” (das Ding an Sich). Ketiganya merupakan postulat atau aksioma-aksioma epistemologis yang berada di luar jangkauan pembuktian teoretis-empiris.
       2.  Kritik atas Rasio Praktis
          Maxime (aturan pokok) adalah pedoman subyektif bagi perbuatan orang perseorangan (individu), sedangkan imperative (perintah) merupakan azas kesadaran obyektif yang mendorong kehendak untuk melakukan perbuatan. Imperatif berlaku umum dan niscaya, meskipun ia dapat berlaku dengan bersyarat (hypothetical)atau dapat juga tanpa syarat (categorical). Imperatif kategorik tidak mempunyai isi tertentu apapun, ia merupakan kelayakan formal (=solen). Menurut kant, perbuatan susila adalah perbuatan yang bersumber paa kewajiban dengan penuh keinsyafan. Keinsyafan terhadap kewajiban merupakan sikap hormat (achtung).Sikap inilah penggerak sesungguhnya perbuatan manusia.
          Kant, ada akhirnya ingin menunjukkan bahwa kenyataan adanya kesadaran susila mengandung adanya praanggapan dasar. Praanggapan dasar ini oleh Kant disebut “postulat rasio praktis”, yaitu kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan adanya Tuhan.
          Pemikiran etika ini, menjadikan Kant dikenal sebagai pelopor lahirnya apa yang disebut dengan “argumen moral” tentang adanya Tuhan. Sebenarnya, Tuhan dimaksudkan sebagai postulat. Sama dengan pada rasio murni, dengan Tuhan, rasio praktis ‘bekerja’ melahirkan perbuatan susila.
        3.  Kritik atas Daya Pertimbangan
          Kritik atas daya pertimbangan, dimaksudkan oleh Kant adalah mengerti persesuaian kedua kawasan itu. Hal itu terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.
        Idealisme Transedental : Sebuah Konsekuensi
          Tidak mudah memahami kant, terutama ketika sampai pada teorinya: realisme empirikal (Empirical realism)dan Idealisme transendental (transendental idealism), apalagi jika mencoba mempertemukan bagian-bagian dari teorinya itu. Istilah “transenden” berhadapan dengan istilah ‘empiris’, dimana keduanya sama-sama merupakan term epistemologis, namun sudah tentu mengandung maksud yang berbeda; yang pertama berartiindependent dari pengalaman (dalam arti transenden), sedang yang terakhir disebut berarti imanen dalam pengalaman. Begitu saja “realisme” yang berlawanan dengan “idealisme”, adalah dua istilah ontologis yang masing-masing bermakna: “lepas dari eksistensi subyek” (independet of my existance) dan “bergantung pada eksistensi subyek” (dependent of my existence). Teori Kant ini mengingatkan kita kepada filsuf Berkeley dan Descartes. Berkeley sduah tentu seorang empirisis, tetapi ia sekaligus muncul sebagai seroang idealis. Sementara Descartes bisa disebut seorang realis karena ia percaya bahwa eksistensi obyek itu, secara umum, independen dari kita, tetapi ia juga memahami bahwa kita hanya mengetahui esensinya melalui idea bawaaninnate ideas) secara “clear and distinct”, bukan melalui pengalaman. Inilah yang kemudian membuat Descartes sebagai seorang “realis transendental”.

F.     Penutup
            Filsafat Immanuel Kant yakni kritisisme adalah penggabungan antara aliran filsafat sebelumnya yakni Rasionalisme yng dipelopori oleh Rene Descrates-Leibniz dan empirisime  yang dipelopori oleh David Hume. Kant mempunyai tiga karya yang sangat penting yakni kritik atas rasio murni, kritik atas rasio praktis, dan kritik atas pertimbangan. Ketiga karyanya inilah yang sangat mempengaruhi pemikiran filosof sesudahnya, yang mau  tak mau menggunakan pemikiran kant. Karena pemikiran kritisisme mengandung patikan-patokan berfikir yang rasional dan empiris. 

DAFTAR PUSTAKA
Muslih, Mohammad.2008.’’Filsafat ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma  
         . dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan’’, Cetakan kelima.  
         Yogyakarta:Belukar
Mudhofir,Ali.2001.’’ Kamus Filsafat Barat’’,cetakan 1, Yogyakarta: Pustaka
         Pelajar.
Bagus,Lorenz. 2005.’’Kamus Filsafat’’. Cetakan keempat, Jakarta: Gramedia
         Pustaka Utama

 

Blogger news

Blogroll

About