Visi Tasawuf sebagai Basis Ilmu Islam: Pandangan S.M.N.
Al-Attas
Pengantar
Makalah ini akan membahas
tentang pandangan S.M.N. al-Attas tentang visi tasawuf sebagai basis ilmu
Islam. Untuk hal itu, terlebih dahulu dipaparkan, secara sepintas, tentang
pandangan al-Attas tentang tasawuf secara umum dan posisinya dalam konteks
Islam dan jawaban al-Attas atas pandangan negatif atas tasawuf. Selanjutnya,
dipaparkan, dengan singkat, pengertian visi tasawuf yang terkait dengan konsep ihsan
dan wahdah al-wujud, dan kemudian hubungannya dengan konseptualisasi dan
formulasi beberapa aspek filsafat ilmu dalam Islam.
Al-Attas dan Tasawuf
Bagi al-Attas,
tasawuf adalah bagian tak terpisahkan dari Islam. Tegasnya—sebagaimana seluruh
realitas dan kebenaran memiliki dimensi zahir dan batin[1]—ia
merupakan dimensi internal Islam yang selaras dan tidak bertentangan dengan
dimensi eksternal Islam; ia merupakan penerapan syariah (baca: dimensi
eksoteris Islam) secara intensif pada martabat ihsan[2].[3]
Lebih jauh, al-Attas menyimpulkan dari hadis ini bahwa ia adalah ibadah yang
diperkuat dan dikukuhkan dengan ketajaman intelektual yang menghasilkan
pemahaman spiritual tentang realitas berdasarkan atas keyakinan berdasarkan hikmah
dan ‘ilm ladunniy (pengetahuan spiritual yang dianugerahkan Allah swt
kepada siapa saja yang Dia kehendaki); merupakan sumber adab yang
sebenarnya berdasarkan pengenalan tentang tingkatan realitas dan kebenaran;
istilah-istilah kuncinya diderivasi dari al-Qur’an sedangkan penjabaran dan
praktiknya didasarkan pada Sunnah Nabi saw; tokoh-tokohnya adalah mereka yang
dekat dengan Allah swt (al-awliya’).[4]
Tuduhan bahwa
tasawuf mengandung potensi kemunduran sebenarnya mengisyaratkan bahwa Sumbernya
juga menyimpan potensi yang sama. Al-Attas menunjukkan bahwa kemunduran dan
distorsi terletak bukan pada tasawuf dan Sumbernya, melainkan pada orang bodoh
yang salah paham, salah terap dan melakukan penyimpangan yang menghasilkan
berbagai macam penyelewengan dan tindakan berlebihan.[5]
Apa yang selama ini dianggap sebagai penyimpangan, jika benar demikian,
haruslah dibedakan dari apa yang benar dan, karena itu, ia sebenarnya bukan
tasawuf.
Penilaian atas
tasawuf, menurut al-Attas, seharusnya tidak didasarkan atas pandangan ”cendikiawan”
yang kurang otoritatif mengenai hal-hal sepele yang menganggap bahwa pandangan
mereka tentang tasawuf adalah keadaan sebenarnya, berdasarkan pandangan keliru
dari orang-orang tanpa otoritas, yang tidak memiliki kesiapan spiritual,
intelektual dan moral.[6]
Pandangan keliru ini kemudian mendorong mereka untuk melakukan apa yang mereka
anggap sebagai pemurnian Islam dari apa saja yang mereka duga sebagai perusak
kemurnian Islam.[7]
Alih-alih menjadi
sesuatu yang asing dan berbeda dari Islam, bagi al-Attas, tasawuf adalah bagian
instrumental dalam Islam, yang penting bukan hanya dalam perolehan ilmu
pengetahuan,[8]
tapi, yang lebih fundamental, adalah fungsinya dalam memberikan gambaran
pandangan-hidup Islam yang utuh dan paripurna.[9]
Dalam konteks filsafat ilmu, al-Attas menegaskan vitalnya peran tasawuf sebagai
basis dalam pengembangan filsafat ilmu dalam Islam.[10]
Visi Tasawuf sebagai Ilmu Islam
Visi tasawuf yang dimaksud
disini adalah visi metafisik mengenai realitas tertinggi yang berasal dari
Wahyu dan di tegaskan oleh pengalaman intuisi langsung para Sufi.[11] Visi
ini tidak didasarkan sekedar pada abstraksi spekulatif, tapi ia merupakan kebenaran
dan realitas (al-Haqq/al-Haqiqah) yang secara langsung dialami oleh
para Sufi dalam kondisi kesadaran trans-empirik.[12]
Pada kondisi demikianlah, yang merupakan martabat ihsan, yang rasional dan yang
empirik bergabung dan pengetahuan bermakna penyatuan (tawhid), dimana pandangan
mengenai struktur realitas and kesadaran manusia pada tingkat pengalaman rasional-inderawi
tidak ditolak dan tetap valid, hanya ia ditempatkan dalam kerangka validitas
yang lebih tinggi yang berasal dari pengalaman realitas secara intuitif oleh
para Sufi.[13]
Sekalipun realitas puncak dapat dicerap melalui penalaran diskursif dan
empirik, sebagaimana dalam tradisi kalam dan falsafah, namun kepastian
dan keyakinan tentangnya hanya dapat dicapai melalui pengalaman langsung para
Sufi.[14]
Karena itu, pengetahuan yang dihasilkan dari pengalaman demikian adalah
pengetahuan yang paling otentik dan akurat penggambarannya, serta paling
otoritatif dan dapat dipercaya.[15]
Bagi al-Attas, ibadah yang
disebut dalam hadis adalah ibadah yang dibarengi keterjagaan spiritual yang lahir
dari visi mengenai kebenaran dan realitas.[16] Dari
pengetahuan yang muncul darinya, para Sufi mengkonseptualisasikan dan
memformulasikan dimensi internal Islam, yang memancarkan visi metafisika
tentang realitas dan kebenaran, dimana konseptualisasi teologis
merepresentasikan dimensi eksternal Islam; yang terakhir adalah tauhid, sedang
yang pertama wahdah al-wujud.[17]
Mengutip al-Maha’imi dan
al-Qunyawi, al-Attas mendefinisikan wahdah al-wujud sebagai ”sesuatu
yang dengannya segala yang beragam menjadi diri mereka[18]”
atau bahwa ”... realitas segala sesuatu yang merupakan eksistensinya tidak lain
merupakan moda eksistensial dari realitas tunggal Wujud ...”[19],
karena itu, ”sesuatu pada dirinya sendiri—yaitu, dipandang secara terpisah dari
realitas yang dengannya ia mengada—bukanlah sesuatu dalam kondisi ’ber-ada’,
dan karenanya ia tiada; apa yang menjadi ’ada’ adalah realitas yang
mengaktualkan salah satu modanya dibalik sesuatu itu”.[20]
Namun demikian, al-Attas mengklarifikasi bahwa visi sejati tentang realitas
wujud, yang menjadi dasar metafisika wahdah al-wujud, tidak mungkin
dicapai melalui semata proses intelektual-rasional, ia hanya bisa dicapai
dengan intuisi eksistensi secara langsung, dengan penyaksian spiritual (syuhud),
pengecapan spiritual (dzawq) dan penyingkapan spiritual (kasyf).[21]
Formulasi konseptual al-Attas tentang relasi Tuhan-makhluk mengikuti konseptualisasi
Ibn Arabi yang menyistematisasikan pengalaman intuitif para Sufi,[22]
yang harus dibedakan, misalnya, dari konsep emanasi Plotinus.[23]
Hasil konseptualisasi
tasawuf filosofis inilah yang kemudian oleh al-Attas dipandang dapat
dikembangkan dalam konseptualisasi dan formulasi tentang filsafat ilmu Islami.[24] Terkait
beberapa aspek epistemologis—seperti sumber dan metode pengetahuan; perpaduan
realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai dasar kognitif bagi filsafat ilmu;
dan filsafat proses—al-Attas mengakui adanya kemiripan lahiriah antara pandangan
Islam dan tradisi filsafat dan sains Barat, dengan tetap mengingatkan adanya
perbedaan fundamental yang muncul dari perbedaan cara-pandang dan kepercayaan
tentang hakikat Realitas.[25] Afirmasi
terhadap Wahyu, sebagai sumber pengetahuan mengenai realitas dan kebenaran
tentang makhluk dan Tuhan, adalah pembeda pokok struktur bangunan pemikiran Islam
dari sistem-sistem pemikiran Barat.[26]
Mengenai sumber dan metode
pengetahuan, berbeda dengan epistemologi Barat, Islam menegaskan bahwa
pengetahuan berasal dari Tuhan yang diperoleh melalui indera yang sehat, berita
yang benar berdasarkan otoritas (naql), nalar yang sehat dan intuisi.[27] Yang
dimaksud indera yang sehat adalah kemampuan mempersepsi dan mengobservasi
melalui lima panca indera lahir yang berhubungan dengan panca indera batin yang
berfungsi mencerap representasi gambaran inderawi yang dihasilkan oleh
panca indera lahir, memaknainya, menganalisisnya, dan
mengkonspetualisasikannya.[28] Sedangkan
cakupan makna nalar yang sehat adalah fakultas mental yang mensistematisasi dan
menafsirkan kumpulan fakta yang dihasilkan pengalaman inderawi secara logis;
yang mengekstrak sesuatu yang dapat dicerap (intelligible/ma’qulat)
dari data empirik; dan yang melakukan abstraksi atasnya; yang mana semua
kemampuan ini dipahami sebagai salah satu aspek dari intelek dan berfungsi
bersesuaian dengannya; dimana intelek adalah substansi spiritual yang ada di
dalam organ kognisi spiritual yang disebut hati yang merupakan tempat dari
intuisi.[29]
Berita benar yang berdasarkan
otoritas[30]
terbagi menjadi dua kategori; otoritas absolut yang tidak boleh dipertanyakan—yaitu
al-Quran dan al-Sunnah[31]—dan
otoritas relatif—yaitu otoritas yang didasarkan atas ’kompetensi’[32].
Intuisi yang dimaksud disini mencakup intuisi pada tingkatan rasional-empiris,
yang hanya mampu mencerap aspek tertentu dari hakikat realitas, dan
intuisi pada kesadaran transenden manusia yang dicapai para nabi dan para wali yang
mampu mengantarkan pada pemahaman langsung tentang hakikat realitas sebagai
sebuah keseluruhan.[33]
Karena itu, wilayah
operasi nalar dan intuisi tidak terbatas pada penjelasan dan pengalaman dunia
inderawi, melainkan ia mencakup ”cerapan langsung, mengenai kebenaran relijius,
mengenai wujud dan realitas Tuhan, mengenai realitas eksistensi-eksistensi ...
pada tingkat yang lebih tinggi intuisi adalah intuisi mengenai wujud itu
sendiri”.[34]
Intuisi pada tingkat yang disebut terakhir ini tidak dapat terjadi pada setiap
orang, melainkan mereka yang menjalani kehidupan dengan ketaatan yang tulus
pada Tuhan; yang dengan capaian intelektual memahami hakikat ke-Esa-an Tuhan dan
implikasinya dalam sistem metafisika; yang secara terus-menerus merenung
tentang hakikat realitas; dan yang—selama masa perenungan atas kehendak Tuhan—lepas
dari ke-diri-an dan subjektifitasnya dan memasuki kedirian yang lebih tinggi.[35] Saat
dia kembali kepada kondisi subyektif manusiawinya, dia tidak lagi menemukan
(baca: mengalami) apa yang telah dia rasakan, namun pengetahuan tentang hal itu
tetap tinggal bersamanya.[36]
Dari sinilah kemudian dia mengkonseptualisasi dan memformulasikan sistem
metafisika wujud yang menjadi basis filsafat ilmu dalam Islam.
Penutup
Dari paparan diatas dapat
disimpulkan bahwa, bukan hanya tasawuf merupakan bagian integral dan, karena
itu, tidak bertentangan dengan Islam, tapi juga ia merupakan sesuatu yang
niscaya untuk membangun sebuah konsep filsafat ilmu yang terpancar dari
pandangan-hidup Islam. Wallahu a’lam wa Huwa al-Ghafur al-Rahim.
Daftar Bacaan
Acikgenc, Alparslan. Islamic Science
Towards a Definition. Kuala Lumpur: ISTAC. 1996.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. A Commentary
on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri. Kuala Lumpur: Ministry of
Culture. 1986.
---. Islam and Secularism. Kuala
Lumpur: ISTAC. 1993.
---. Islam, Secularism and the
Philosophy of the Future. London, New York: Mansell Publishing Limited.
1985.
---. Prolegomena to the Metaphysics of
Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam.
Kuala Lumpur: ISTAC. 1995.
---. the Mysticism of Hamzah Fansuri.
Kuala Lumpur: University of Malaya Press. 1970.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Shahih
al-Bukhari. ed. Mushthafa Dib al-Bugha. Beirut: Dar Ibn Katsir. 1987.
Al-Ghazali, al-Imam. Misykah al-Anwar
wa Mishfah al-Asrar. ed. Abd al-Aziz Izz al-Din al-Sayrawan. Beirut: Alam
al-Kutub. 1986.
Al-Jili, Abd al-Karim bin Ibrahim. al-Insan
al-Kamil fi Ma’rifah al-Awa’il wa al-Awakhir. ed. Abu Abd al-Rahman Shalah
bin Muhammad. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 1997.
Al-Nisaburi, Muslim bin al-Hajjaj. Shahih
Muslim. Beirut: Dar al-Jil dan Dar al-Afaq al-Jadidah. tt.
Setia, Adi. Al-Attas’ Philosophy of
Science An Extended Outline. didownload dari
http://www.findarticles.com/p/search?tb=art&qt="'Adi+Setia"
Underhill, Evelyn. Mysticism: the
Nature and Development of Spiritual Consciousness. Oxford: Oneworld
Publications, 2006.
Wan Daud, Wan Mohd Nor. Filsafat dan
Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. terj. Hamid Fahmy, M. Arifin
Ismail dan Iskandar Amel. Bandung: Mizan, 2003.
[1]
Secara hirarkis aspek eksterior dan
interior biasanya diurutkan sebagai berikut: Syariah-Thariqah-Ma’rifah-Haqiqah,
dimana yang pertama adalah aspek zahir dan tiga yang terakhir aspek batin dari
Wahyu yang sama. Baca Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary on the
Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri, (Kuala Lumpur: Ministry of
Culture, 1986), h. 183.
[2]
Ihsan disini merujuk pada sabda Nabi saw yang
mendefinisikannya sebagai beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya atau
kesadaran bahwa Dia Maha Melihat. Baca misalnya Muhammad bin Ismail al-Bukhari,
Shahih al-Bukhari, ed. Mushthafa Dib al-Bugha, (Beirut: Dar Ibn Katsir,
1987), I/27 dan IV/1793 dan Muslim bin al-Hajjaj al-Nisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Jil dan Dar al-Afaq al-Jadidah, tt), I/28, 30.
[3]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam
and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), h. 121.
[6]
Ibid., h. 122, dan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam,
Secularism and the Philosophy of the Future, (London, New York: Mansell
Publishing Limited, 1985), h. 208. Tentang pentingnya kesiapan (isti’dad)
dalam memahami menghindari pengingkaran hal ini baca pula, Abd al-Karim bin
Ibrahim al-Jili, al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awa’il wa al-Awakhir,
ed. Abu Abd al-Rahman Shalah bin Muhammad, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1997), h. 11-2.
[7]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam,
Islam and Secularism, h. 122.
[8]
Uraian tentang pandangan al-Attas
mengenai hal ini yang dipengaruhi oleh pandangan para Sufi, baca Wan Mohd Nor
Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas,
terj. Hamid Fahmy, M. Arifin Ismail dan Iskandar Amel, (Bandung: Mizan, 2003),
h. 255-316
[9]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, A
Commentary ..., h. 129-30, 183.
[10]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam,
Secularism ..., h. 208, 219.
[11]
Ibid., h. 215-6. Secara lebih rinci al-Attas
menjelaskan bahwa visi tentang kebenaran dan realitas disini merujuk pada
kondisi pra-eksistensi manusia sebagaimana disinggung dalam surah al-A’raf:172.
Kepada kondisi inilah, pada akhirnya, manusia akan kembali jika dia mencapai
martabat ihsan. Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary ...,
h. 184.
[12]
Bandingkan misalnya dengan hadis: إن الله قال من عادى لي وليا فقد آذنته بالحرب وما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي
مما افترضت عليه وما يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه فإذا أحببته كنت سمعه
الذي يسمع به وبصره الذي يبصر به ويده التي يبطش بها ورجله التي يمشي بها وإن
سألني لأعطينه ولئن استعاذني لأعيذنه وما ترددت عن شيء أنا فاعله ترددي عن نفس
المؤمن يكره الموت وأنا أكره مساءته,
Muhammad bin Ismail
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, V/2384.
[13]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam,
Secularism ..., h. 214, dan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and
Secularism, h. 162. Sebagai perbandingan, dalam konteks rasionalisasi
pengalaman mistik dan ketakmemadaian pengalaman empirik-rasional saja dalam
memahami realitas Evelyn Underhill menulis: ”... there is no trustworthy
standard by which we can separate the “real” from the “unreal” aspects of
phenomena. Such standards as exist are conventional: and correspond to the
convenience, not to truth. ... most men see the world in much the same way,
ant that this “way” is the true standard of reality: though for practical
purposes we have agreed that sanity consists in sharing the hallucinations of
our neighbours. Those who are honest with themselves know that this “sharing”
is at best incomplete.” Italik dari penulis makalah Evelyn Underhill, Mysticism:
the Nature and Development of Spiritual Consciousness, (Oxford: Oneworld
Publications, 2006), h. 10.
[14]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, A
Commentary ..., h. 295-300.
[15] Adi Setia, Al-Attas’ Philosophy
of Science An Extended Outline, didownload dari http://www.findarticles.com/p/search?tb=art&qt="'Adi+Setia".
[16]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam,
Secularism ..., h. 207.
[18] “that by which diverse things are what
they are”, italik dari penulis makalah, Syed Muhammad Naquib al-Attas, A
Commentary ..., h. 406.
[19]
“... realities of things which are
their very existences, is no other than existential modes of the single reality
of Existence ...”, Ibid.
[20]
“... the thing in itself—that is,
considered independently of the reality by whih it is it—is not something in a
state of ‘be-ing’, and so it si nothing; what has come to ‘be’ is the reality
which actualizes one of its modes in the guise of that thing ...”, Ibid.
Pernyataan ini serupa dengan, misalnya, ungkapan al-Ghazali ” ...فإن كل شيئ سواه إذا اعتبر ذاته من
حيث ذاته فهو عدم محض؛ وإذا اعتبرته من الوجه الذي سرى إليه الوجود من الأول الحق
رؤي موجودا لا في ذاته لكن من الوجه الذي يلي موجده
...”, al-Imam al-Ghazali, Misykah
al-Anwar wa Mishfah al-Asrar, ed. Abd al-Aziz Izz al-Din al-Sayrawan,
(Beirut: Alam al-Kutub, 1986), h. 138.
[21]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, A
Commentary ..., h. 244-5.
[22]
Adi Setia, Al-Attas’ Philosophy
of Science.
[23]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, the
Mysticism of Hamzah Fansuri, (Kuala Lumpur: University of Malaya Press,
1970), h. 72-4.
[24]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam,
Secularism ..., h. 208.
[25]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena
to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the
Worldview of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), h. 117-8.
[29]
Ibid., 119. Elaborasi detail tentang hubungan antara
nalar, intelek dan hati dapat ditemukan di Alparslan Acikgenc, Islamic
Science Towards a Definition, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), misalnya h.
45-50.
[30] Otoritas berita yang benar ini
berdasarkan pada pengalaman intuitif realitas inderawi dan transendental. Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena ..., h. 121. Al-Attas juga
menyatakan bahwa penafsiran al-Qur’an yang benar, transmisi hadis yang valid
dan kesepakatan (ijma’) ulama semuanya terkait dengan Nabi saw, dan,
karena itu, mereka absolut. Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary ...,
h. 292-3.
[31] Al-Attas menegaskan bahwa al-Qur'an
dan al-Sunnah, termasuk didalamnya sosok Nabi saw, merupakan otoritas bukan
hanya karena mereka mengomunikasikan kebenaran, tapi juga karena mereka adalah
kebenaran itu sendiri. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena ...,
h. 121.
[32]
Otoritas relatif adalah yang bisa
dipertanyakan dengan nalar dan pengalaman, dalam pengertian realitas inderawi
dan transendental. Ibid. Yang dimaksud ’kompeten’ disini adalah sebagai
kontras dari ’supreme’ dalam penjelasan Michael Polanyi dalam buku Personal
Knowledge h. 164, sebagaimana dikutip dalam Adi Setia, Al-Attas’ Philosophy
of Science.
[33]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena
..., h. 120.