Agama Menurut Sigmund Freud (1856-1939)
A.
Pendahuluan
Sejarah
perkembangan psikologi mencatat bahwa Sigmund Freud dilahirkan di Cekoslowakia
pada 6 Mei 1856. Ia adalah bangsa Yahudi yang tinggal berpindah-pindah dari
Negara satu ke Negara lain. Di Negara tempat kelahirannya Cekoslowakia, Freud
hanya tinggal selama 4 tahun kemudian pindah ke Wina, Austria. Freud mempunyai
kebiasaan dari kecil, yaitu gemar sekali membaca kitab Injil.
Perjalanan
keilmuan Freud yang kemudian membuatnya dikenal oleh banyak orang dimulai
setelah tamat sarjana muda. Freud giat mempelajari kebudayaan dan hubungan
antarmanusia di dunia ini. Hal tersebut dikaji oleh Freud dengan sangat detail
bahkan ia berani mengungkap keburukan-keburukan selain kebaikan-kebaikan
perilaku manusia. Langkah yang telah ditempuh oleh Freud tersebut kemudian
diketahui oleh orang banyak dan membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi
Freud, yaitu dibenci oleh masyarakat luas pada zamannya.
Meskipun demikian,
Freud tampaknya tidak terlalu memperdulikan penentangan dari mereka. Ia tetap
konsisten melakukan penyelidikan berkaitan dengan manusia dan kejiwaannya. Hal
itu dibuktikan dengan tindakan konkret dalam kehidupannya. Selain mengkaji
secara mendalam tentang kebudayaan dan hubungan antarmanusia, Freud mempelajari
secara serius dan mengkritisi teori evolusi Darwin.
Kemajuan ilmu
pengetahuan ilmiah pada zaman itu tampak begitu pesatnya. Begitu juga dengan
ilmu psikologi. Bidang psikologi mengalami revolusi, terutama dalam wawasan
kehidupan jiwa dan kepribadian manusia. Hal tersebut berkat rintisan Sigmund
Freud seperti diakui oleh banyak orang, seorang dokter sakit jiwa (psikiater)
lulusan Universitas di Wina tahun 1881
dengan spesialisasi psikoterapi. Freud sebagai dokter ahli jiwa, sembari
bekerja menyusun teori kepribadian dan metode terapi untuk metode penelitian
psikologi. Teori terapi tersebut terkenal dengan sebutan analisis asosiasi
bebas. Paham Freud selanjutnya
disebut psikoanalisis, seperti
yang dipelajari oleh banyak orang di zaman sekarang.[1]
B.
Pendapat beberapa tokoh tentang Agama
Agama adalah
kekuatan ghaib yang diyakini berada di atas kekuatan manusia, didorong oleh
kelemahan dan keterbatasannya. Manusia merasa berhajat akan pertolongan dengan cara
menjaga dan membina hubungan baik dengan kekuatan ghaib tersebut. Sebagai relisasinya
adalah sikap patuh terhadap perintah dan larangan kekuatan ghaib tersebut.[2]
a.
A. Vergote
Seluruh agama
pasti didasari secara psikologis oleh psikisme manusia yang paling elementer
dan fundamental. Dan tidak menjadi agama yang sejati sebelum mengalami
bermacam-macam konflik dan ketegangan. Dengan itu orang akan mempunyai
keyakinan religious yang mantap dan matang.
“agama bersifat
komuniter. Maka dari itu agama harus mempersatukan manusia dalam suatu
persaudaraan. Orang sebetulnya baru dapat menghadap Allah secara otentik bila
ia sanggup melibatkan orang lain pula dalam kehidupan pribadinya. Tidak mungkin
menghadap Tuhan sendirian. Oleh karena itu kepekaan seseorang terhadap
kepentingan komunitas merupakan tolak ukur yang baik untuk menilai sikap
beragama seseorang.”[3]
b.
Carl Gustav Jung
Agama untuk
mengetahui kedewasaan seseorang. Maka, kedewasaan seseorang terlihat setelah ia
beragama.
c.
Emile Durkheim
Agama sebagai
suatu “sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan
dengan hal-hal yang kudus kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang
bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal.” Dari definisi ini ada dua
unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu “sifat
kudus” dari agama dan “praktek-praktek ritual” dari agama. Agama tidak harus
melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak
dapat melepaskan kedua unsur di atas.[4]
d.
William James
Agama adalah
keyakinan tertentu yang merupakan tempat paling “hangat” dalam kepribadian
kita. Tempat itulah pusat kepribadian kita, sebab dari padanya kita hidup dan
berkarya. Demi “set” keyakinan itu kita melibatkan diri dengan segenap jiwa
raga kita. Oleh karena itu, dalam bukunya, ia menyebut “set” keyakinan tersebut
“the habitual centre of his personal energy.”[5]
e.
Mircea Eliade
percaya kepada
independensi atau otonomi agama. Agama bukan penampilan dari ekonomi atau
lainnya. Agama bukan hasil dari realitas yang lain, agama bukan suatu variable
dependen, seperti yang dikemukakan oleh ahli lain. Agama, menurut Eliade, harus
dipahami sebagai yang mempengaruhi aspek-aspek kehidupan yang lain, sebagai
variable independen. Agama tidak cukup dipahami seperti cara kerja sejarawan,
tetapi juga harus dengan pendekatan dari dalam, secara fenomenologis.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa pembicaraan mengenai saling
mempengaruhi ini tidaklah spesifik mengungkap definisi agama, tetapi lebih
dekat kepada pembahasan tentang teori. Namun, pendapatnya bahwa agama adalah
sesuatu yang independen dan otonomi.[6]
Eliade juga
memulai menjelaskan agama dengan membedakan antara kehidupan sakral dan
kehidupan profan. Yang sakral itu aktifitas kehidupan yang disengaja, yang supranatural,
mengesankan, yang substansial dan penting; yang teratur, sempurna, tempat
bersama leluhur, para pahlawan dan para dewa. Sebaliknya, yang profan adalah
yang biasa-biasa saja dalam kehidupan sehari-hari, yang selalu berubah.[7]
C.
Agama Menurut Sigmund Freud
Sigmund Freud
menyatakan bahwa agama adalah ilusi, neurosis, menghalangi pemikiran kritis dan
pemenuhan sikap kekanak-kanakan.
Ia memandang
bahwa agama adalah sebagai pemuasan keinginan kekanak-kanakkan. Ini menilik
dari arti nama psikoanalisis itu sendiri yang secara sederhana diartikan
sebagai sebuah perawatan medis bagi orang-orang yang menderita gangguan syaraf.
Lebih jauh lagi Freud dan para pengikutnya yang meyakini agama sebagai sesuatu
hal yang negatif dan neurotis (sakit saraf/jiwa) sekaligus agama sebagai
pemuasan keinginan kekanak-kanakkan. Penyebabnya adalah paling tidak ada dua
faktor yaitu :
Pertama, kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan dalam sosok bapak.
Faktor ini lebih
banyak disebabkan oleh adanya pengalaman hidup yang dilalui orang-orang
beragama pada usia dini/kanak-kanak yang menganggap orang tua, terutama bapak
yang dengan penuh kasih sayang dapat menenteramkan anak yang tidak berdaya dan
ketakutan, dan pada akhirnya terciptalah surga buatan baginya. Dengan demikian
agama adalah sebuah ilusi menurut Freud.
Kedua,
ritus-ritus wajib yang dijalankan secara rumit.
Tidak dapat kita
pungkiri adanya sejumlah aturan-aturan di dalam agama dan upacara-upacara
keagamaan lainnya. Maka tidak heran jika Freud memandang agama adalah gejala
neurosis atau penyakit jiwa dimana ketika manusia yang pada dasarnya adalah
makhluk yang bebas lalu dengan adanya agama manusia menjadi makhluk yang
terbatas dengan banyaknya aturan yang harus ditaati di dalam agama. Baginya
dengan adanya agama malah akan membatasi manusia untuk bertindak sesuai
keinginannya atau dengan kata lain terkekang oleh agama. Maka tidak heran jika
hanya orang gilalah yang mau untuk dikekang oleh aturan agama sedangkan dia
sendiri dapat memutuskan bagi dirinya untuk hidup bebas.
Agama juga
digambarkan berupa kekuatan untuk membela dan bertahan atau mental defense
dalam menghadapi segala musibah seperti bencana alam yakni gempa bumi, banjir,
penyakit, dan lain sebagainya. Manusia beragama ketika dalam masalah seperti
ini dipandang oleh Freud sebagai anak-anak yang kemudian lantas mencari
perlindungan kepada bapaknya. Itulah salah satu alasan dari Freud yang
memandang bahwa agama merupakan pemuasan keinginan kekanak-kanakan.
D.
Catatan Untuk Pemikiran Sigmund Freud
Freud menyatakan
bahwa agama adalah ilusi, neurosis dan menghalangi pemikiran kritis. Padahal
tidak semua agama begitu. Agama khususnya Islam, sangat menghargai kebebasan
berpikir sepanjang tidak keluar dari pemikiran yang menyesatkan. Pemikiran
filsafat pun memiliki rambu-rambu metode berpikir yang ketat. Pemikiran yang
bebas dapat disimak dalam dialog antara Tuhan dengan Ibrahim As. Yang
mempertanyakan bagaimana cara menghidupkan orang mati. Allah tidak menghukum
Nabi Ibrahim atas pertanyaan yang seakan-akan meragukan keagungan-Nya. Allah
bahkan memperkuat keimanan Ibrahim dengan cara menunjukkan kearifan
keagungan-Nya. Empat ekor burung lumat tercencang kemudian diletakkan di atas
bukit yang berbeda arah. Setelah mendapatkan panggilan, burung itu hidup dan terbang
kembali mendatangi Ibrahim As. Peristiwa tersebut bukanlah ilusi dari seorang
penderita neurosis. Peristiwa itu kongkrit, bukan angan-angan, bukan salah
persepsi terhadap stimulus yang biasanya terjadi pada penderita neurosis.
Menggunakan
kebebasan berpikir untuk mencari kebenaran tidaklah sama dengan ilusi dari
seorang pengidap neurosis. Manusia yang sakit mentalnya karena mengalami
neurosis tanpa bantuan pencerahan agama tidak akan mampu mencari kebenaran.
Itulah sebabnya agama memerintahkan untuk memelihara akal dan melarang
mengkonsumsi sesuatu yang dapat merusaknya, sehingga dengan demikian akal dapat
menjalankan fungsinya dengan jalan berpikir secara jernih dan bebas disertai
pilihan bertanggung jawab untuk mengatasi berbagai masalah kehidupan manusia.
Orang yang sering
berilusi dan terkena neurosis adalah orang yang menggunakan dan menyalahgunakan
obat-obat psikoterapika seperti shabu-shabu, ganja, heroin dan semacamnya.
Agama melarang keras penggunaan segala
macam makanan, minuman dan perbuatan yang bisa merusak akal pikiran manusia.
Bahayanya bisa berakibat fatal karena dapat merusak jaringan otak manusia,
sehingga kehidupan pemakainya hanyaakan dipenuhi dengan ilusi. Oleh karena itu,
tidak mungkin orang yang beragama mengidap ilusi dan neurosis karena hal ini
berarti dia sakit dan tidak dapat menjalankan fungsi pengabdiannya kepada ilahi
yang memerlukan kesadaran penuh. Hasil interogasi polisi terhadap pemakai
obat-obat psikoterapika pada umumnya adalah tergolong orang yang kurang
memiliki keyakinan beragama yang kuat.
Kesediaan dan
kesadaran untuk bertobat, ketenangan, ketegaran dan kepasrahan menghadapi suatu
masalah rumit bukan pertanda suatu ilusi. Keadaan kejiwaan ini menunjukkan pula
bahwa agama bukan sia-sia. Akan tetapi, agama merupakan kekuatan penyembuh yang
sangat besar bagi manusia yang mengalami keguncangan emosi yang luar biasa.
Daftar Pustaka
Atmaja Prawira, Purwa, Psikologi Kepribadian: Dengan
Perspektif Baru, (Yogyakarya: Ar-Ruzz media, 2013).
Dister, Niko Syukur, Psikologi Agama, (Yogyakarta:
PENERBIT KANIUS (anggota IKAPI), 1989).
Jalaluddin, Psikologi Agama, (jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004).
Saebani, Beni Ahmad, Pengantar Antropologi, (Bandung:
CV PUSTAKA SETIA, 2012).
Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama,
(Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS (anggota IKAPI), 1995).
[4]
http://bennydaniarsa.blog.fisip.uns.ac.id/2011/03/13/agama-dan-masyarakat/.
E. Durkheim juga menulis tentang agama pada bukunya: The Elementary Forms of
Religious Life, transl. by J.W. Swain, London, hal. 37 dan 41, lihat:
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS
(anggota IKAPI), 1995), hal. 87
mohon ijin untuk jadikan artikel ini sebagai referensi di blog saya.
BalasHapus