Obyek Pertama: INSISTS (Institute
for The Study of Islamic Thougth and Civilization).
Ahad, 24 Februari 2013
INSISTS
didirikan pada hari kamis, 1 Muharram 1424 (4 Maret 2003), di desa Segambut,
Kuala Lumpur, Malaysia. Para pendirinya adalah mahasiswa dan dosen
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) asal
Indonesia dan sejumlah dosen di sana.
Ketika itu
ada Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, kyai Gontor yang belum lama lulus dengan gelar
doktor dari ISTAC (kini direktur INSISTS). Ada pula Adnin Armas, mahasiswa
ISTAC yang menulis tesis master di bidang sains islam yang berjudul Fakhruddin
al-Razi on Time. Ada Dr. Ugi Suharto, pakar ekonomi islam alumnus ISTAC yang
juga mengajar mata kuliah Sejarah dan Metodologi Hadits di kampus tersebut. Ketika
itu, Dr Ugi baru saja merampungkan diskusi via email tentang “Al-Qur’an Edisi
Kritis” dengan aktivis liberal, Taufik Adnan Amal dari UIN Makassar. Ada lagi
Dr. Syamsuddin Arif, doktor dari ISTAC dan kemudian menulis disertasi keduanya
di Frankfurt Jerman. Ada pula Dr. Anis Malik Thoha, alumnus universitas Islam
Internasional Islamabad Pakistan yang dikenal sebagai pakar pluralisme agama.
Kini Dr. Anis adalah dosen di International Islamic University Malaysia (IIUM).
Ada pula aktivis lain yang terlibat dalam proses berdirnya INSISTS seperti Dr.
Nirwan Syafrin, Muhammad Arifin Ismail, M.A dan lain-lain.
Pada januari
2003 bergabunglah Adian Husaini untuk menempuh program Ph.D di ISTAC. Saat itu
Adian Sudah menulis Islam Liberal: Sejarah, konsepsi, Penyimpangan dan
Jawabannya (2002).
Para
cendekia inilah yang kemudian terlibat diskusi intensif dan kemudian mendirikan
Institute for the Study of Islamic Thoght and Civilization atau disingkat
menjadi INSISTS. Berdirinya INSISTS kemudian ditandai dengan hadirnya buletin
INSISTS yang pertama, terbit pada 1 Muharram 1424. Saat itu semboyan INSISTS
ialah: “berpikir besar, berbuatlah dari yang kecil”
Buletin
pertama INSISTS dicetak sekitar 150 eksemplar, dengan tebal 10 halaman, memuat
tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi berjudul “Cengkraman Barat dalam Pemikiran Islam”.
Buletin ini kemudian diedarkan ke Indonesia dengan infaq 2000 rupiah. Edisi
kedua menurunkan tulisan Syamsuddin Arif berjudul “Jejak Kristen dalam Islamic
Studies”.
Kegiatan
lain di masa awal berdirinya INSISTS ialah diskusi Dwi Mingguan untuk para
mahasiswa di Kuala Lumpur. Para cendikia yang aktif bergiat di dalam INSISTS
secara bergantian mempresentasikan makalah ilmiah karya masing-masing untuk
kemudian ditanggapi oleh yang lain.
Pada
pertengahan 2003 bapak Edi Setiawan, pemimpin penerbitan Khairul Bayan
berkunjung ke Kuala Lumpur dan menziarahi kampus ISTAC, khususnya melihat-lihat
koleksi perpustakaan kampus tersebut.
Setelah
melihat-lihat ISTAC dan berdiskusi intensif dengan para cendikia INSISTS, pak
Edi mendesak agar para pemikir muda ini segera melakukan langkah yang nyata.
Setelah diskusi berulang kali, diputuskanlah untuk menerbitkan majalah ISLAMIA.
Naskah dan keredeksian ditangani oleh INSISTS. Seluruh redaksi bekerja secara
sukarela. Sementara persoalan penerbitan dan pemasaran diserahkan kepada
ahlinya. ISLAMIA sebenarnya sebuah jurnal ilmiah dalam bidang pemikiran islam,
yang diterbitkan dalam format majalah, untuk memudahkan pemasaran.
Edisi
pertama ISLAMIA langsung menggebrak dunia pemikiran Islam di Indonesia dengan
mengangkat tema “Tafsir versus Hermeneutika”. Melalui mejalah ini, INSISTS
mengeluarkan sikapnya yang jelas dan tegas; menolak penggunaan metode
hermeneutika untuk penafsiran al-Qur’an. Pemikiran INSISTS ini kemudian menjadi
arus baru dalam studi dan pemikiran Islam di Indonesia.
Sejak
didirikan, INSISTS telah melaksanakan ratusan kali seminar, workshop,
pelatihan, dalam bidang pemikiran Islam, untuk para dosen, mahasiswa, pimpinan
pesantren, kalangan profesional, dan sebagainya. Ribuan orang telah mengikuti
workshop-workshop INSISTS di berbagai belahan dunia (Indonesia, Malaysia,
Mesir, Saudi).
Para
peneliti INSISTS mengembangkan mata kuliah dan kursus-kursus Islamic Worlview.
Mata kuliah Islamic Worlview telah diajarkan di sejumlah program pasca sarjana
studi Islam. Tahun 2005-2009, saya mengajarkan mata kuliah ini di Pusat Studi
Timur Tengah dan Islam-Universitas Indonesia (PSTTI).
Kini mata
kuliah ini diajarkan di pasca sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Universitas Islam Az-Zahra, pasca sarjana
Institut Studi Islam Darussalam Gontor dan sebagainya.
Secara
personal, para peneliti INSISTS terus berkiprah dalam dunia pemikiran, baik
melalui penulisan buku dan artikel, aktifitas ceramah, mengajar, diskusi,
seminar, dan sebagainya. Di bidang penulisan, sejumlah buku karya peneliti
INSISTS juga telah meraih prestasi penting. Buku Wajah Peradaban Barat (Dr.
Adian Husaini) dan Tren Pluralisme Agama (Dr. Anis Malik Thoha) mendapat
penghargaan sebagai buku terbaik dalam Islamic Book Fair tahun 2006 dan 2007.
Adnin Armas
telah menulis sebuah buku yang sangat penting dalam studi al-Qur’an, Metode
Bible dalam Studi Al-Qur’an, Hendri Shalahuddin, M.A, peneliti INSISTS yang
lain, juga secara khusus memberikan kritik terhadap pemikiran Nasr Hamid Abu
Zaid, melalui bukunya, “al-Qur’an dihujat”. Dr. Syamsuddin Arif pun telah
menulis sebuah buku penting: Orientalisme dan Diabolisme Intelektual.
Kini INSISTS
bermarkas di jalan Kalibata Utara II No. 84. Jurnal islamia dan diskusi Dwi
Pekanan tetap menjadi wajah terdepan INSISTS, seperti mula kehadirannya. Selain
itu INSISTS kini telah memiliki penerbit sendiri dan telah menerbitkan dua buah
buku. Sejak 2008 pula iNSISTS bekerjasama dengan republika menerbitkan islamia-republika
yang hadir satu bulan sekali. Telah pula dilaksanakan berbagai kegiatan dan
banyak lagi yang akan dan harus INSISTS lakukan.
Dalam usia
ke-10, INSISTS terus berupaya mengembangkan dan memperbaharui ikhtiyar dakwah
di bidang pemikiran.
Obyek Kedua: Majalah Gontor
Senin, 25
Februari 2013
Alhamdulillah,
di obyek yang kedua kita disambut dengan hangat oleh ust. Lukmanul Hakim Arifin[1]dan
ust. Akrimul Hakim[2].
Awalnya,
merasakan panasnya Jakarta, dan setelah tiba didepan gedung majalah Gontor yang
sebelumnya kita tidak menyangka kalau itu adalah gedung Majalah Gontor, karena
di depannya banyak pekerja yang sedang menyaring batu-batu alam dan menyusunnya
dengan rapi. Tapi ternyata kantor Majalah Gontor berada di lantai atas gedung.
Gedung ini
memang dijadikan dua tempat, di lantai bawah untuk usaha batu alam milik Pak
Haji Asy’ari, dan lantai atas adalah tempat majalah Gontor. H. Asy’ari adalah
pemilik gedung kontrakan yang sedang dipakai Majalah Gontor, dengan kebaikan
hati H. Asy’ari, beliau membantu Majalah Gontor dengan mengontrakkan gedung
tersebut.
Setelah tiba
dalam ruangan, kami mendengarkan arahan-arahan yang disampaikan oleh mereka
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan majalah Gontor, setelah itu, kami
sedikit-sedikit tahu tentang permasalahan-permasalahan yang ada di dalamnya.
Memulai
perjuangannya sebagai perekat umat dan dakwah syi’ar Gontor, Majalah Gontor
terbit pertama kalinya pada tahun 2003 dengan melewati diskusi yang panjang. Di
usianya yang sudah tidak bisa dikatakan muda lagi, Majalah Gontor telah
melewati berbagai problematika dan cobaan yang bermacam-macam bentuknya. Pada
zaman sekarang ini, hampir semua media massa telah dikuasai oleh orang-orang
Kapitalis. Contoh, di belakang stasiun-stasiun TV, pasti sudah terpampang
nama-nama orang Kapitalis yang selalu menjadikan keperluan financial sebagai
tujuan pertama.
Dan banyak
juga orang yang tidak mau menulis kalau tanpa bayaran, selalu memperhitungkan
untung-ruginya. Inilah virus-virus Kapitalisme yang sudah menyebar dalam
kehidupan kita, khususnya pada media massa.
Tapi, dengan
kesabaran dan keuletan orang-orangnya yang memang memiliki jiwa besar dan
kemauan besar untuk berdakwah dan menyebarkan syiar Gontor melalui media massa.
Melangkah
dengan visi dan misi yang jelas adalah salah satu pendukung berkembangnya
Majalah Gontor sampai sekarang. Tentunya, visi dan misi yang dibuat harus
sesuai dengan modal yang ada. Sehingga bisa seimbang antara satu sama lain.
Berawal dari
pemikiran yang ingin menjadikan umat manusia bersatu dalam kedamaian, Majalah
Gontor telah tersebar luas ke dalam lingkungan masyarakat. Dengan menjadikan
keperluan financial sebagai nomor keseratus dalam tujuannya dan menjadikan
syiar Gontor The First Goal yang menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi
Gontor dan masyarakat.
Memiliki
pelanggan atau pembaca tetap kurang lebih 20.000 orang, Majalah Gontor bisa
tetap berdiri dan eksis dalam penerbitannya, juga karena karyawan-karyawannya
yang selalu ikhlash dalam menjalankan semua tugas. Untuk memiliki pelanggan
yang sangat banyak tidak sulit, asalkan bisa menjaga kepercayaan masyarakat
pembaca. Salah satunya adalah tulisan-tulisan yang dimuat pada majalah harus
benar-benar bagus dan berkualitas. Sehingga pembaca merasa nyaman dan tertarik
dengan itu. Maka konsep dakwahnya harus dengan soft power, tidak profokatif dan
tidak bombastis. Juga dengan tidak menghilangkan ketegasan dalam penyampaian.
Sebagai
salah satu kepfit market kita sebagai mahasiswa ISID harus bisa mempersembahkan
karya yang terbaik untuk berimprovisasi dan bukan dengan sebaliknya, yang
membuat Majalah Gontor mundur dan tidak berkembang.
Obyek Ketiga: PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat)
Selasa, 26 Februari 2013
Pusat
Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) adalah lembaga penelitian otonom di
lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Lembaga ini didirikan pada 1 April
1995 yang bertujuan untuk mengajak sejumlah sarjana dari berbagai macam
disiplin ilmu dan latar belakang untuk mengadakan beberapa kegiatan penelitian,
pengkajian, pelatihan, dan penyebaran informasi khususnya tentang Islam
Indonesia dan Islam Asia Tenggara pada umumnya.
Sebagaimana
diungkapkan Anthony Reid, dilihat dari sudut pandang apa pun, Islam di
Indonesia dan Asia Tenggara sangat menarik untuk dikaji. Jumlah penduduk Muslim
Asia Tenggara yang besar menjadi salah satu kekuatan Islam di wilayah ini.
Secara
geografis, Indonesia dan Asia Tenggara, yang berbasis kepulauan dengan tanah
yang subur, telah turut mempengaruhi corak keberagamaan masyarakatnya.
Kecenderungan masyarakat agraris yang lebih mengutamakan solidaritas
kelompok-kelompok sosial menyebabkan mereka lebih toleran atau terbuka dengan
perbedaan-perbedaan. Hal itu menyebabkan Islam Indonesia dan Asia Tenggara
lebih siap untuk berhadapan dengan perbedaan budaya, etnis, agama, dan gagasan-
gagasan baru yang disemaikan.
Perkembangan
Islam Indonesia dan Asia Tenggara dengan corak tersendiri dan fase perkembangan
yang begitu mengesankan sesungguhnya telah menarik perhatian banyak sarjana.
Kebangkitan Islam di wilayah ini yang ditandai dengan semaraknya praktek
keagamaan serta menjamurnya tulisan-tulisan sarjana Islam pribumi tentang
reaktualisasi maupun transformasi agama ke dalam kehidupan sosial, politik dan
ekonomi, ditambah dengan penguatan demokrasi, gender, human rights, dan gagasan
tentang Islam dan civil society, menggambarkan wacana Islam yang berkembang
secara dinamis.
Kendati
demikian, Islam Indonesia dan Asia Tenggara sering kurang dilirik sebagai salah
satu bagian penting tak terpisahkan dari dunia Islam secara keseluruhan karena
dianggap lepas dari mainstream Islam seperti yang berkembang di Arab, Afrika
Utara, Iran bahkan negara- negara sub-continent. Islam Asia Tenggara yang
sinkretik, seperti yang dikesankan oleh Clifford Geertz, dianggap sebagai
“bukan Islam yang sebenarnya”.
Padahal,
ekspresi Islam Indonesia dan Asia Tenggara yang demikian adalah bagian dari
karakteristiknya yang penting dikaji karena merupakan hasil usaha masyarakat
Muslim setempat untuk menerjemahkan atau reposisi agama dalam tatanan kehidupan
lokal. Pergumulan intelektual Muslim Indonesia dan Asia Tenggara dengan ide-ide
gender, demokrasi, civil society ataupun human right mempunyai corak
tersendiri. Tidak saja ingin mengikuti perkembangan global tersebut, tapi
mereka juga mencoba menawarkan ide-ide alternatif.
Ketidakfahaman
sebagian masyarakat internasional tentang Islam di Indonesia dan Asia Tenggara
sesungguhnya diakibatkan oleh kurangnya informasi yang disuguhkan. Kekurangan
informasi tersebut mungkin saja disebabkan oleh, setidaknya, dua: Pertama,
kurangnya penelitian- penelitian yang mendalam tentang keberagaman Islam di
Indonesia oleh sarjan-sarjana Muslim Indonesia sendiri yang tentu lebih
memahami tentang keislaman di wilayahnya. Kedua, mungkin saja sudah banyak
studi-studi yang telah dilakukan, namun hasil studi tersebut tidak
dipublikasikan dan kemudian dikomunikasikan dengan dunia international.
Karena itu,
adalah merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk mengembangkan sebuah
lembaga yang mampu melakukan penelitian serta studi intensif dan berkelanjutan
tentang fenomena Islam di Indonesia dan Asia Tenggara, dan untuk itulah Pusat
Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hadir.
Visi
Menjadi
pusat penelitian pendidikan secara umum dan pendidikan Islam secara khusus di
Indonesia
Menjadi
pusat penelitian kebijakan pendidikan secara umum dan pendidikan Islam secara
khusus di Indonesia
Misi
Melaksanakan
penelitian dan pelatihan, advokasi dan publikasi yang berkenaan dengan
kebijakan dan praktek-praktek pendidikan dasar, menengah dan tinggi di
Indonesia.[3]
Obyek Keempat: PTIQ (Institut Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an)
Selasa, 26 Februari 2013
Sejarah Berdiri
Institut
PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an) merupakan pendidikan tinggi pertama yang
mengkhususkan diri di bidang kajian ilmu-ilmu Al-Qur'an didirikan 1 April 1971
oleh Yayasan Ihya 'Ulumiddin yang dipimpin oleh K.H. Moh. Dahlan (Menteri Agama
saat itu). Sejak 12 Mei 1973 pengelolaan Institut ini diserahkan kepada Yayasan
Pendidikan Al-Qur'an yang didirikan oleh Letjen (Purn.) H. Ibnu Sutowo. Kini
diteruskan oleh putranya, H. Ponco Susilo Nugroho.
Pendirian
PTIQ dilatari oleh kesadaran akan semakin langkanya ulama ahli Al-Qur'an
(terutama para hafizh) sementara sangat didambakan dalam kehidupan masyarakat
yang semakin kompleks. Sejak Musabaqah Tilawatil Qur'an Nasional I di Makasar
1968.
Keberadaan
para ulama ahli Al-Qur'an ini sangat terasa, sehingga tak kurang Presiden
Republik Indonesia dalam amanatnya pada Musabaqah Tilawatil Qur'an Nasional III
di Banjarmasin mengingatkan pentingnya untuk meningkatkan upaya penghayatan dan
pemahaman kitab suci Al-Qur'an sebagai pedoman hidup manusia.
Sejak
berdirinya Institut PTIQ secara berturut-turut dipimpin oleh ulama-ulama
terkemuka negeri ini : Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML; K.H. Syukri Ghozali; K.H.
Zainal Abidin Ahmad; Prof. Dr. K.H. Bustami A. Ghani; Prof. Dr. K.H. Chatibul
Umam.Dan kini Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A.
Visi
Terwujudnya
Lembaga Pendidikan Tinggi yang Unggul Dalam Pengkajian, Pengembangan, dan
Pengamalan Al-Qur'an
Misi
1.
Mencetak sarjana dan ulama yang
ahli Al-Qur'an
2.
Mengkaji ilmu-ilmu Al-Qur'an
sebagai khazanah dan sumbangsih bagi pengembangan budaya untuk ketinggian
martabat, kemajuan, dan kesejahteraan umat manusia
3.
Mengaktualisasikan pesan-pesan
Al-Qur'an dalam upaya menjawab problematika kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
Tujuan
1.
Mencetak kader-kader ulama yang
hafidz Al-Quran.
2.
Menghasilkan sarjana yang
mendalami ilmu-ilmu agama Islam (Tafaqquh fid-din) dan bertanggung jawab atas
pengembangan agama (iqamat ad-din) serta pembangunan masyarakat.
3.
Mengembangkan kajian ilmu-ilmu
Al-Qur'an, pesan-pesan dan nilai-liai yang terkandung didalamnya, untuk dapat
diterapkan dalam kehidupan nyata serta sebagai sumbangan untuk mengatasi
berbagai problem masyarakat[4].
Obyek Kelima: DISC (Depok Islamic Studies Circle)
Rabu, 27 Februari 2013
Sejarah DISC
Depok Islamic Study Circle (DISC),
atau Halaqah Kajian Islam Depok, adalah forum cerdik-pandai warga Muslim
Universitas Indonesia sebagai laboratorium kajian Islam Mesjid Ukhuwah
Islamiyah Universitas Indonesia untuk mencari titik temu struktur, metode,
teori, tujuan, dan aplikasi berbagai disiplin ilmu, teknologi, dan seni dengan
risalah Islam.
DISC lahir dari keprihatinan atas perkembangan sains, teknologi, dan seni
yang diajarkan dan dikembangkan di berbagai universitas serta aplikasinya di
dalam masyarakat dan terpisahnya ilmu berdasar kebenaran empiris
dengan kebenaran Wahyu yang mutlak.
DISC sebagai gerakan
pemikiran
Sejarah mencatat bahwa peradaban-peradaban besar dunia pernah dibangun
dengan kekuatan politik, kekuatan ekonomi, atau kekuatan tentara, atau gabungan
kekuatan-kekuatan itu. Namun, peradaban yang mampu membangun manusia sehingga
tujuan-tujuan penciptaannya tercapai, yakni sebagai ‘abdi Allah dan khalifah
Allah, adalah yang dibagun dengan ilmu.
Masalah Mahasiwa Muslim
di Perguruan Tinggi
Pertama, ketidakseimbangan kualitas ilmu fardu
‘ain yang dimiliki dengan ilmu-ilmu teknis yang dipelajari.
Kedua, ilmu-ilmu yang dipelajari pun merupakan ilmu yang
sekular sehingga di dalamnya terdapat persoalan epistemologis yang tidak
cukup mampu ditimbang dengan pengetahuan fardu ‘ain yang mereka
miliki.
Bagaimana DISC
Menyebarkan Kajian-Kajiannya?
DISC merupakan lembaga resmi di bawah Mesjid Ukhuwah Islamiyah Universitas
Indonesia. Manajemen DISC berada di bawah Bidang Pengembangan, satu bagian
kepengurusan yang khusus menyelenggarakan program yang tidak termasuk bagian
kegaiatan mesjid.
Semangat membangkitkan gerakan pemikiran Islam di lingkungan UI, berawal
pada generasi Profesor Muhammad Rasjidi, dalam kapasitasnya
sebagai Guru Besar Hukum Islam dan Lembaga-Lembaga Islam Fakultas Hukum UI.
Generasi “murid” Prof. Rasjidi (Abdur Rahman Mochtar, M.Env) bersama Dr.
Ibnu Hamad (sekarang professor) dari FISIP UI
gagasan DISC di bawah masjid UI dimulai dan juga
ada Generasi komunitas NuuN (2009).
Program Unggulan DISC
A. Kajian
Kajian Intensif Pekanan
(KIP)
Seminar/Festival Peradaban Islam
Daurah Pandangan Hidup Islam
B. Media
Penerbitan buletin
at-Tafakur (bulanan) dan Khazanah
Penerbitan ulang buku
Filsafat Agama karya Alm Profesor HM Rasjidi Pengembangan dan peningkatan
website DISC Mesjid UI; dan Aktivasi Social Media web 3.0[5].
0 komentar:
Posting Komentar