Pages

Labels

Rabu, 30 Oktober 2013

Laporan SPL fakultas Ushuluddin

Obyek Pertama: INSISTS (Institute for The Study of Islamic Thougth and Civilization).
Ahad, 24 Februari 2013
INSISTS didirikan pada hari kamis, 1 Muharram 1424 (4 Maret 2003), di desa Segambut, Kuala Lumpur, Malaysia. Para pendirinya adalah mahasiswa dan dosen International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) asal Indonesia dan sejumlah dosen di sana.
Ketika itu ada Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, kyai Gontor yang belum lama lulus dengan gelar doktor dari ISTAC (kini direktur INSISTS). Ada pula Adnin Armas, mahasiswa ISTAC yang menulis tesis master di bidang sains islam yang berjudul Fakhruddin al-Razi on Time. Ada Dr. Ugi Suharto, pakar ekonomi islam alumnus ISTAC yang juga mengajar mata kuliah Sejarah dan Metodologi Hadits di kampus tersebut. Ketika itu, Dr Ugi baru saja merampungkan diskusi via email tentang “Al-Qur’an Edisi Kritis” dengan aktivis liberal, Taufik Adnan Amal dari UIN Makassar. Ada lagi Dr. Syamsuddin Arif, doktor dari ISTAC dan kemudian menulis disertasi keduanya di Frankfurt Jerman. Ada pula Dr. Anis Malik Thoha, alumnus universitas Islam Internasional Islamabad Pakistan yang dikenal sebagai pakar pluralisme agama. Kini Dr. Anis adalah dosen di International Islamic University Malaysia (IIUM). Ada pula aktivis lain yang terlibat dalam proses berdirnya INSISTS seperti Dr. Nirwan Syafrin, Muhammad Arifin Ismail, M.A dan lain-lain.
Pada januari 2003 bergabunglah Adian Husaini untuk menempuh program Ph.D di ISTAC. Saat itu Adian Sudah menulis Islam Liberal: Sejarah, konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya (2002).
Para cendekia inilah yang kemudian terlibat diskusi intensif dan kemudian mendirikan Institute for the Study of Islamic Thoght and Civilization atau disingkat menjadi INSISTS. Berdirinya INSISTS kemudian ditandai dengan hadirnya buletin INSISTS yang pertama, terbit pada 1 Muharram 1424. Saat itu semboyan INSISTS ialah: “berpikir besar, berbuatlah dari yang kecil”
Buletin pertama INSISTS dicetak sekitar 150 eksemplar, dengan tebal 10 halaman, memuat tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi berjudul “Cengkraman Barat dalam Pemikiran Islam”. Buletin ini kemudian diedarkan ke Indonesia dengan infaq 2000 rupiah. Edisi kedua menurunkan tulisan Syamsuddin Arif berjudul “Jejak Kristen dalam Islamic Studies”.
Kegiatan lain di masa awal berdirinya INSISTS ialah diskusi Dwi Mingguan untuk para mahasiswa di Kuala Lumpur. Para cendikia yang aktif bergiat di dalam INSISTS secara bergantian mempresentasikan makalah ilmiah karya masing-masing untuk kemudian ditanggapi oleh yang lain.
Pada pertengahan 2003 bapak Edi Setiawan, pemimpin penerbitan Khairul Bayan berkunjung ke Kuala Lumpur dan menziarahi kampus ISTAC, khususnya melihat-lihat koleksi perpustakaan kampus tersebut.
Setelah melihat-lihat ISTAC dan berdiskusi intensif dengan para cendikia INSISTS, pak Edi mendesak agar para pemikir muda ini segera melakukan langkah yang nyata. Setelah diskusi berulang kali, diputuskanlah untuk menerbitkan majalah ISLAMIA. Naskah dan keredeksian ditangani oleh INSISTS. Seluruh redaksi bekerja secara sukarela. Sementara persoalan penerbitan dan pemasaran diserahkan kepada ahlinya. ISLAMIA sebenarnya sebuah jurnal ilmiah dalam bidang pemikiran islam, yang diterbitkan dalam format majalah, untuk memudahkan pemasaran.
Edisi pertama ISLAMIA langsung menggebrak dunia pemikiran Islam di Indonesia dengan mengangkat tema “Tafsir versus Hermeneutika”. Melalui mejalah ini, INSISTS mengeluarkan sikapnya yang jelas dan tegas; menolak penggunaan metode hermeneutika untuk penafsiran al-Qur’an. Pemikiran INSISTS ini kemudian menjadi arus baru dalam studi dan pemikiran Islam di Indonesia.
Sejak didirikan, INSISTS telah melaksanakan ratusan kali seminar, workshop, pelatihan, dalam bidang pemikiran Islam, untuk para dosen, mahasiswa, pimpinan pesantren, kalangan profesional, dan sebagainya. Ribuan orang telah mengikuti workshop-workshop INSISTS di berbagai belahan dunia (Indonesia, Malaysia, Mesir, Saudi).
Para peneliti INSISTS mengembangkan mata kuliah dan kursus-kursus Islamic Worlview. Mata kuliah Islamic Worlview telah diajarkan di sejumlah program pasca sarjana studi Islam. Tahun 2005-2009, saya mengajarkan mata kuliah ini di Pusat Studi Timur Tengah dan Islam-Universitas Indonesia (PSTTI).
Kini mata kuliah ini diajarkan di pasca sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Universitas Islam Az-Zahra, pasca sarjana Institut Studi Islam Darussalam Gontor dan sebagainya.
Secara personal, para peneliti INSISTS terus berkiprah dalam dunia pemikiran, baik melalui penulisan buku dan artikel, aktifitas ceramah, mengajar, diskusi, seminar, dan sebagainya. Di bidang penulisan, sejumlah buku karya peneliti INSISTS juga telah meraih prestasi penting. Buku Wajah Peradaban Barat (Dr. Adian Husaini) dan Tren Pluralisme Agama (Dr. Anis Malik Thoha) mendapat penghargaan sebagai buku terbaik dalam Islamic Book Fair tahun 2006 dan 2007.
Adnin Armas telah menulis sebuah buku yang sangat penting dalam studi al-Qur’an, Metode Bible dalam Studi Al-Qur’an, Hendri Shalahuddin, M.A, peneliti INSISTS yang lain, juga secara khusus memberikan kritik terhadap pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid, melalui bukunya, “al-Qur’an dihujat”. Dr. Syamsuddin Arif pun telah menulis sebuah buku penting: Orientalisme dan Diabolisme Intelektual.
Kini INSISTS bermarkas di jalan Kalibata Utara II No. 84. Jurnal islamia dan diskusi Dwi Pekanan tetap menjadi wajah terdepan INSISTS, seperti mula kehadirannya. Selain itu INSISTS kini telah memiliki penerbit sendiri dan telah menerbitkan dua buah buku. Sejak 2008 pula iNSISTS bekerjasama dengan republika menerbitkan islamia-republika yang hadir satu bulan sekali. Telah pula dilaksanakan berbagai kegiatan dan banyak lagi yang akan dan harus INSISTS lakukan.
Dalam usia ke-10, INSISTS terus berupaya mengembangkan dan memperbaharui ikhtiyar dakwah di bidang pemikiran.




















Obyek Kedua: Majalah Gontor
Senin, 25 Februari 2013
Alhamdulillah, di obyek yang kedua kita disambut dengan hangat oleh ust. Lukmanul Hakim Arifin[1]dan ust. Akrimul Hakim[2].
Awalnya, merasakan panasnya Jakarta, dan setelah tiba didepan gedung majalah Gontor yang sebelumnya kita tidak menyangka kalau itu adalah gedung Majalah Gontor, karena di depannya banyak pekerja yang sedang menyaring batu-batu alam dan menyusunnya dengan rapi. Tapi ternyata kantor Majalah Gontor berada di lantai atas gedung.
Gedung ini memang dijadikan dua tempat, di lantai bawah untuk usaha batu alam milik Pak Haji Asy’ari, dan lantai atas adalah tempat majalah Gontor. H. Asy’ari adalah pemilik gedung kontrakan yang sedang dipakai Majalah Gontor, dengan kebaikan hati H. Asy’ari, beliau membantu Majalah Gontor dengan mengontrakkan gedung tersebut.
Setelah tiba dalam ruangan, kami mendengarkan arahan-arahan yang disampaikan oleh mereka tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan majalah Gontor, setelah itu, kami sedikit-sedikit tahu tentang permasalahan-permasalahan yang ada di dalamnya.
Memulai perjuangannya sebagai perekat umat dan dakwah syi’ar Gontor, Majalah Gontor terbit pertama kalinya pada tahun 2003 dengan melewati diskusi yang panjang. Di usianya yang sudah tidak bisa dikatakan muda lagi, Majalah Gontor telah melewati berbagai problematika dan cobaan yang bermacam-macam bentuknya. Pada zaman sekarang ini, hampir semua media massa telah dikuasai oleh orang-orang Kapitalis. Contoh, di belakang stasiun-stasiun TV, pasti sudah terpampang nama-nama orang Kapitalis yang selalu menjadikan keperluan financial sebagai tujuan pertama.
Dan banyak juga orang yang tidak mau menulis kalau tanpa bayaran, selalu memperhitungkan untung-ruginya. Inilah virus-virus Kapitalisme yang sudah menyebar dalam kehidupan kita, khususnya pada media massa.
Tapi, dengan kesabaran dan keuletan orang-orangnya yang memang memiliki jiwa besar dan kemauan besar untuk berdakwah dan menyebarkan syiar Gontor melalui media massa.
Melangkah dengan visi dan misi yang jelas adalah salah satu pendukung berkembangnya Majalah Gontor sampai sekarang. Tentunya, visi dan misi yang dibuat harus sesuai dengan modal yang ada. Sehingga bisa seimbang antara satu sama lain.
Berawal dari pemikiran yang ingin menjadikan umat manusia bersatu dalam kedamaian, Majalah Gontor telah tersebar luas ke dalam lingkungan masyarakat. Dengan menjadikan keperluan financial sebagai nomor keseratus dalam tujuannya dan menjadikan syiar Gontor The First Goal yang menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi Gontor dan masyarakat.
Memiliki pelanggan atau pembaca tetap kurang lebih 20.000 orang, Majalah Gontor bisa tetap berdiri dan eksis dalam penerbitannya, juga karena karyawan-karyawannya yang selalu ikhlash dalam menjalankan semua tugas. Untuk memiliki pelanggan yang sangat banyak tidak sulit, asalkan bisa menjaga kepercayaan masyarakat pembaca. Salah satunya adalah tulisan-tulisan yang dimuat pada majalah harus benar-benar bagus dan berkualitas. Sehingga pembaca merasa nyaman dan tertarik dengan itu. Maka konsep dakwahnya harus dengan soft power, tidak profokatif dan tidak bombastis. Juga dengan tidak menghilangkan ketegasan dalam penyampaian.
Sebagai salah satu kepfit market kita sebagai mahasiswa ISID harus bisa mempersembahkan karya yang terbaik untuk berimprovisasi dan bukan dengan sebaliknya, yang membuat Majalah Gontor mundur dan tidak berkembang.
















Obyek Ketiga: PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat)
Selasa, 26 Februari 2013
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) adalah lembaga penelitian otonom di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Lembaga ini didirikan pada 1 April 1995 yang bertujuan untuk mengajak sejumlah sarjana dari berbagai macam disiplin ilmu dan latar belakang untuk mengadakan beberapa kegiatan penelitian, pengkajian, pelatihan, dan penyebaran informasi khususnya tentang Islam Indonesia dan Islam Asia Tenggara pada umumnya.
Sebagaimana diungkapkan Anthony Reid, dilihat dari sudut pandang apa pun, Islam di Indonesia dan Asia Tenggara sangat menarik untuk dikaji. Jumlah penduduk Muslim Asia Tenggara yang besar menjadi salah satu kekuatan Islam di wilayah ini.
Secara geografis, Indonesia dan Asia Tenggara, yang berbasis kepulauan dengan tanah yang subur, telah turut mempengaruhi corak keberagamaan masyarakatnya. Kecenderungan masyarakat agraris yang lebih mengutamakan solidaritas kelompok-kelompok sosial menyebabkan mereka lebih toleran atau terbuka dengan perbedaan-perbedaan. Hal itu menyebabkan Islam Indonesia dan Asia Tenggara lebih siap untuk berhadapan dengan perbedaan budaya, etnis, agama, dan gagasan- gagasan baru yang disemaikan.
Perkembangan Islam Indonesia dan Asia Tenggara dengan corak tersendiri dan fase perkembangan yang begitu mengesankan sesungguhnya telah menarik perhatian banyak sarjana. Kebangkitan Islam di wilayah ini yang ditandai dengan semaraknya praktek keagamaan serta menjamurnya tulisan-tulisan sarjana Islam pribumi tentang reaktualisasi maupun transformasi agama ke dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi, ditambah dengan penguatan demokrasi, gender, human rights, dan gagasan tentang Islam dan civil society, menggambarkan wacana Islam yang berkembang secara dinamis.
Kendati demikian, Islam Indonesia dan Asia Tenggara sering kurang dilirik sebagai salah satu bagian penting tak terpisahkan dari dunia Islam secara keseluruhan karena dianggap lepas dari mainstream Islam seperti yang berkembang di Arab, Afrika Utara, Iran bahkan negara- negara sub-continent. Islam Asia Tenggara yang sinkretik, seperti yang dikesankan oleh Clifford Geertz, dianggap sebagai “bukan Islam yang sebenarnya”.
Padahal, ekspresi Islam Indonesia dan Asia Tenggara yang demikian adalah bagian dari karakteristiknya yang penting dikaji karena merupakan hasil usaha masyarakat Muslim setempat untuk menerjemahkan atau reposisi agama dalam tatanan kehidupan lokal. Pergumulan intelektual Muslim Indonesia dan Asia Tenggara dengan ide-ide gender, demokrasi, civil society ataupun human right mempunyai corak tersendiri. Tidak saja ingin mengikuti perkembangan global tersebut, tapi mereka juga mencoba menawarkan ide-ide alternatif.
Ketidakfahaman sebagian masyarakat internasional tentang Islam di Indonesia dan Asia Tenggara sesungguhnya diakibatkan oleh kurangnya informasi yang disuguhkan. Kekurangan informasi tersebut mungkin saja disebabkan oleh, setidaknya, dua: Pertama, kurangnya penelitian- penelitian yang mendalam tentang keberagaman Islam di Indonesia oleh sarjan-sarjana Muslim Indonesia sendiri yang tentu lebih memahami tentang keislaman di wilayahnya. Kedua, mungkin saja sudah banyak studi-studi yang telah dilakukan, namun hasil studi tersebut tidak dipublikasikan dan kemudian dikomunikasikan dengan dunia international.
Karena itu, adalah merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk mengembangkan sebuah lembaga yang mampu melakukan penelitian serta studi intensif dan berkelanjutan tentang fenomena Islam di Indonesia dan Asia Tenggara, dan untuk itulah Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hadir.
Visi
Menjadi pusat penelitian pendidikan secara umum dan pendidikan Islam secara khusus di Indonesia
Menjadi pusat penelitian kebijakan pendidikan secara umum dan pendidikan Islam secara khusus di Indonesia
Misi
Melaksanakan penelitian dan pelatihan, advokasi dan publikasi yang berkenaan dengan kebijakan dan praktek-praktek pendidikan dasar, menengah dan tinggi di Indonesia.[3]









Obyek Keempat: PTIQ (Institut Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an)
Selasa, 26 Februari 2013
Sejarah Berdiri
Institut PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an) merupakan pendidikan tinggi pertama yang mengkhususkan diri di bidang kajian ilmu-ilmu Al-Qur'an didirikan 1 April 1971 oleh Yayasan Ihya 'Ulumiddin yang dipimpin oleh K.H. Moh. Dahlan (Menteri Agama saat itu). Sejak 12 Mei 1973 pengelolaan Institut ini diserahkan kepada Yayasan Pendidikan Al-Qur'an yang didirikan oleh Letjen (Purn.) H. Ibnu Sutowo. Kini diteruskan oleh putranya, H. Ponco Susilo Nugroho.
Pendirian PTIQ dilatari oleh kesadaran akan semakin langkanya ulama ahli Al-Qur'an (terutama para hafizh) sementara sangat didambakan dalam kehidupan masyarakat yang semakin kompleks. Sejak Musabaqah Tilawatil Qur'an Nasional I di Makasar 1968.
Keberadaan para ulama ahli Al-Qur'an ini sangat terasa, sehingga tak kurang Presiden Republik Indonesia dalam amanatnya pada Musabaqah Tilawatil Qur'an Nasional III di Banjarmasin mengingatkan pentingnya untuk meningkatkan upaya penghayatan dan pemahaman kitab suci Al-Qur'an sebagai pedoman hidup manusia.
Sejak berdirinya Institut PTIQ secara berturut-turut dipimpin oleh ulama-ulama terkemuka negeri ini : Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML; K.H. Syukri Ghozali; K.H. Zainal Abidin Ahmad; Prof. Dr. K.H. Bustami A. Ghani; Prof. Dr. K.H. Chatibul Umam.Dan kini Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A.
Visi
Terwujudnya Lembaga Pendidikan Tinggi yang Unggul Dalam Pengkajian, Pengembangan, dan Pengamalan Al-Qur'an
Misi
1.      Mencetak sarjana dan ulama yang ahli Al-Qur'an
2.      Mengkaji ilmu-ilmu Al-Qur'an sebagai khazanah dan sumbangsih bagi pengembangan budaya untuk ketinggian martabat, kemajuan, dan kesejahteraan umat manusia
3.      Mengaktualisasikan pesan-pesan Al-Qur'an dalam upaya menjawab problematika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Tujuan
1.      Mencetak kader-kader ulama yang hafidz Al-Quran.
2.      Menghasilkan sarjana yang mendalami ilmu-ilmu agama Islam (Tafaqquh fid-din) dan bertanggung jawab atas pengembangan agama (iqamat ad-din) serta pembangunan masyarakat.
3.      Mengembangkan kajian ilmu-ilmu Al-Qur'an, pesan-pesan dan nilai-liai yang terkandung didalamnya, untuk dapat diterapkan dalam kehidupan nyata serta sebagai sumbangan untuk mengatasi berbagai problem masyarakat[4].





















Obyek Kelima: DISC (Depok Islamic Studies Circle)
Rabu, 27 Februari 2013
Sejarah DISC
            Depok Islamic Study Circle (DISC), atau Halaqah Kajian Islam Depok, adalah forum cerdik-pandai warga Muslim Universitas Indonesia sebagai laboratorium kajian Islam Mesjid Ukhuwah Islamiyah Universitas Indonesia untuk mencari titik temu struktur, metode, teori, tujuan, dan aplikasi berbagai disiplin ilmu, teknologi, dan seni dengan risalah Islam.
DISC lahir dari keprihatinan atas perkembangan sains, teknologi, dan seni yang diajarkan dan dikembangkan di berbagai universitas serta aplikasinya di dalam masyarakat dan terpisahnya ilmu berdasar kebenaran empiris dengan kebenaran Wahyu yang mutlak.
DISC sebagai gerakan pemikiran
Sejarah mencatat bahwa peradaban-peradaban besar dunia pernah dibangun dengan kekuatan politik, kekuatan ekonomi, atau kekuatan tentara, atau gabungan kekuatan-kekuatan itu. Namun, peradaban yang mampu membangun manusia sehingga tujuan-tujuan penciptaan­nya tercapai, yakni sebagai ‘abdi Allah dan khalifah Allah, adalah yang dibagun dengan ilmu.
Masalah Mahasiwa Muslim di Perguruan Tinggi
Pertama, ketidak­seimbangan kuali­tas ilmu fardu ‘ain yang dimi­liki dengan ilmu-ilmu teknis yang dipelajari.
Kedua, ilmu-ilmu yang di­pelajari pun merupa­kan ilmu yang sekular sehingga di dalamnya terdapat per­so­alan episte­mo­logis yang tidak cukup mam­pu ditimbang dengan pengetahuan fardu ‘ain yang me­reka miliki.
Bagaimana DISC Menyebarkan Kajian-Kajiannya?
DISC merupakan lembaga resmi di bawah Mesjid Ukhuwah Islamiyah Universitas Indonesia. Manajemen DISC berada di bawah Bidang Pengembangan, satu bagian kepengurusan yang khusus menyelenggarakan program yang tidak termasuk ba­gian kegaiatan mesjid.
Semangat membangkitkan gerakan pemikiran Islam di lingkungan UI, berawal pada generasi Profesor Muhammad Rasjidi, dalam kapasitasnya se­bagai Guru Besar Hukum Islam dan Lembaga-Lembaga Islam Fakultas Hukum UI.
Generasi “murid” Prof. Rasjidi (Abdur Rahman Mochtar, M.Env) bersama Dr. Ibnu Hamad (sekarang professor) dari FISIP UI gagasan DISC di bawah masjid UI dimulai dan juga ada Generasi komunitas NuuN (2009).
Program Unggulan DISC
A. Kajian
Kajian Intensif Pekanan (KIP)
Seminar/Festival Peradaban Islam
Daurah Pandangan Hidup Islam
B. Media
Penerbitan buletin at-Tafakur (bulanan) dan Khazanah
Penerbitan ulang buku Filsafat Agama karya Alm Profesor HM Rasjidi Pengembangan dan peningkatan website DISC Mesjid UI; dan Aktivasi Social Media web 3.0[5].









[1] Redaktur Majalah Gontor dan juga alumni Gontor tahun 1996
[2] Pimpinan majalah Gontor, alumni tahun 1997
[3] Pemaparan ini saya ambil dari situs internet yang membahas tentang PPIM (www.PPIM.com)
[4] www.PTIQ.com
[5] Dari Slide yang dibuat oleh teman-teman DISC

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About