Pages

Labels

Rabu, 30 Oktober 2013

Hak Asasi Manusia dalam Islam

Hak asasi manusia dalam perspektif hukum islam
A.    PENDAHULUAN
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dipunyai oleh semua orang sesuai dengan kondisi yang manusiawi.[1] Hak asasi manusia ini selalu dipandang sebagai sesuatu yang mendasar, fundamental dan penting. Oleh karena itu, banyak pendapat yang mengatakan bahwa hak asasi manusia itu adalah “kekuasaan dan keamanan” yang dimiliki oleh setiap individu.[2]
Ide mengenai hak asasi manusia timbul pada abad ke-17 dan ke-18, sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-raja dan kaum feudal di zaman itu terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka pekerjakan, yaitu masyarakat lapisan bawah. Masyarakat lapisan bawah ini tidak mempunyai hak-hak, mereka diperlakukan sewenang-wenang sebagai budak yang dimiliki. Sebagai reaksi terhadap keadaan tersebut, timbul gagasan supaya masyarakat lapisan bawah tersebut diangkat derajatnya dari kedudukannya sebagai budak menjadi sama dengan masyarakat kelas atas, karena pada dasarnya mereka adalah manusia juga. Oleh Karena itu, muncullah ide untuk menegakkan HAM, dengan konsep bahwa semua manusia itu sama, semuanya merdeka dan bersaudara, tidak ada yang berkedudukan lebih tinggi atau lebih rendah. Dengan demikian tidak ada lagi budak.[3]
Sejak masa itu, usaha menegakkan HAM terus berlangsung, mulai dari usaha menghapus perbudakan, perlindungan terhadap kelompok minoritas, sampai pada perlindungan terhadap korban perang. Puncak dari usaha tersebut adalah dikeluarkannya Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948, yang menjelaskan hak-hak asasi fundamental yang disetujui oleh pemerintah untuk dilindungi. Deklarasi tersebut bertujuan untuk melindungi hidup, kemerdekaan dan keamanan pribadi; menjamin kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul secara damai, berserikat dan berkepercayaan agama dan kebebasan bergerak; dan melarang perbudakan , penahanan sewenang-wenang, pemenjaraan tanpa proses peradilan yang jujur lagi adil, dan melanggar hak pribadi seseorang. Di samping itu, deklarasi tersebut juga mengandung jaminan terhadap hak-hak ekonomi, social dan budaya.
Menyusul disetujuinya Deklarasi Universal tesebut, komisi PBB tentang hak-hak asasi manusia telah membuat draft International Bill of Rights berikutnya yaitu : The International Covenant on Civil and Politikal Right (Perjanjian Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosoal dan budaya), dan The Optional Protocol to The Civil and The Political Covenant (Protokol Fakultatif pada Perjanjian Sipil dan Politik).
Hak-hak yang tercantum dalam Deklarasi Universal maupun Internasional Bill of Rights tersebut pada dasarnya berlaku bagi semua warga Negara, tidak peduli apa pun warna kulit mereka, asal-usulnya, keyakinan agamanya, ideology paham politiknya, bahasa yang mereka gunakan maupun jenis kelaminnya.
Ide mengenai HAM juga terdapat dalam islam, yang telah tertuang dalam syari’ah sejak diturunkannya Islam. Hal ini dapat dilihat dalam ajaran tauhid. Tauhid dalam islam mengandung arti bahwa hanya ada satu pencipta bagi alam semesta. Ajaran dasar pertama dalam islam adalah la ilaaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah SWT). Seluruh alam dan semua yang ada dipermukaan bumi adalah ciptaan Allah, semua manusia, hewan, tumbuhan dan benda tak bernyawa berasal dari Allah. Dengan demikian, dalam tauhid terkandung ide persamaan dan persaudaraan seluruh manusia.[4]
Dari ajaran dasar persamaan dan persaudaraan manusia tersebut, timbullah kebebasan-kebebasan manusia, seperti kebebasan dari perbudakan, kebebasan beragama, kebebasan mengeluarkan pendapat dan lain-lain. Dari situ pulalah timbul hak-hak asasi manusia, seperti hak hidup, hak memiliki harta, hak berbicara, hak berpikir dan sebagainya.
B.     HAK ASASI MANUSIA MENURUT HUKUM ISLAM

1.      Pengertian Hak Asasi Manusia
            Hak asasi manusia adalah hak manusia yang paling mendasar dan melekat padanya dimanapun ia berada. Tanpa adanya hak ini berarti berkuranglah harkatnya sebagai manusia yang wajar. Hak asasi manusia adalah suatu tuntunan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan, suatu hal yang sewajarnya mendapat perlindungan hukum.
            Dalam muqaddimah Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dijelaskan mengenai hak asasi manusia sebagai :
“pengakuan atas keseluruhan martabat alami manusia dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain dari semua anggota keluarga kemanusiaan adalah dasar kemerdekaan dan keadilan di dunia.”[5]
            Hak asasi manusia dalam islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Dalam islam seluruh hak asasi merupakan kewajiban bagi Negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, Negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak manusia tersebut, melainkan juga mempunyai kewajiban untuk melindungi dan menjamin hak-hak tersebut.[6]
2.      Konsep Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam
Hak asasi manusia dalam islam tertuang secara transenden untuk kepentingan manusia, lewat syari’ah islam yang diturunkan melalui wahyu. Menurut syari’ah, manusia adalah makhluk bebas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab, dan karenanya ia juga mempunyai hak dan kebebasan. Dasarnya adalah keadilan yang ditegakkan atas dasar persamaan atau egaliter, tanpa pandang bulu. Artinya, tugas yang diemban tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan, sementara kebebasan secara eksistensial tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri.[7]
System HAM Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan, kebebasan dan penghormatan terhadap sesama manusia.[8] Persamaan, artinya Islam memandang semua manusia sama dan mempunyai kedudukan yang sama, satu-satunya keunggulan yang dinikmati seorang manusia atas manusia lainnya hanya ditentukan oleh tingkat ketakwaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13, yang artinya sebagai berikut :
“Hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling takwa.”
Sedangkan kebebasan merupakan elemen penting dari ajaran Islam. Kehadiran Islam memberikan jaminan pada kebebasan manusia agar terhindar dari kesia-siaan dan tekanan, baik yang berkaitan dengan masalah agama, politik dan ideology. Namun demikian, pemberian kebebasan terhadap manusia bukan berarti mereka dapat menggunakan kebebasan tersebut mutlak, tetapi dalam kebebasan tersebut terkandung hak dan kepentingan orang lain yang harus dihormati juga.
Mengenai penghormatan terhadap sesama manusia, dalam Islam seluruh ras kebangsaan mendapat kehormatan yang sama. Dasar persamaan tersebut sebenarnya merupakan manifestasi dari wujud kemuliaan manusia yang sangat manusiawi. Sebenarnya citra kehormatan tersebut terletak pada ketunggalan manusia, bukan pada superioritas individual dan ras kesukuan. Kehormatan diterapkan secara global melalui solidaritas persamaan secara mutlak. Semua adalah keturunan Adam, jika Adam tercipta dari tanah, dan mendapat kehormatan di sisi Allah, maka seluruh anak cucunya pun mendapatkan kehormatan yang sama, tanpa terkecuali.
Pada dasarnya HAM dalam islam terpusat pada lima hal pokok yang terangkum dalam al-dloruriyat al-khomsah atau yang disebut juga al-hukuq al-insaniyah fi al-islam (hak-hak asasi manusia dalam Islam). Konsep ini mengandung lima hal pokok yang harus dijaga oleh setiap individu, yaitu hifdzu al-din ( penghormatan atas kebebasan beragama ), hifdzu al-mal ( penghormatan atas harta benda ), hifdzu al-nafs wa al-‘ird ( penghormatan atas jiwa, hak hidup dan kehormatan individu ), hifdzu al-‘aql ( penghormatan atas kebebasan berpikir ) dan hifdzu al-nasl ( keharusan untuk menjaga keturunan ). Kelima hal pokok inilah yang harus dijaga oleh setiap umat Islam supaya menghasilkan tatanan kehidupan yang lebih manusiawi, berdasarkan atas penghormatan individu atas individu, individu dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan Negara dan komunitas agama dengan komunitas agama lainnya.[9]
3.      Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam
            Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber hukum dalam Islam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap hak asasi manusia. Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama bagi umat Islam telah meletakkan dasar-dasar HAM serta kebenaran dan keadilan, jauh sebelum timbul pemikiran mengenai hal tersebut pada masyarakat dunia. Ini dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam al-Qur’an, antara lain :[10]
1.      Dalam al-Qur’an terdapat sekitar 80 ayat tentang hidup, pemeliharaan hidup dan penyediaan sarana kehidupan, misalnya dalam surat al-Maidah ayat 32. Di samping itu, al-Qur’an juga berbicara tentang kehormatan dalam 20 ayat.
2.      Al-Qur’an juga menjelaskan dalam sekilas 150 ayat tentang ciptaan dan makhluk-makhluk, serta tentang persamaan dalam penciptaan, misalnya dalam surat al-Hujurat ayat 13.
3.      Al-Qur’an telah mengetengahkan sikap menentang kezaliman dan orang-orang berbuat zalim dalam sekitar 320 ayat, dan memerintahkan berbuat adil dalam 50 ayat yang diungkapkan dengan kata-kata : ‘adl, qisth dan qishash.
4.      Dalam al-Qur’an terdapat sekitar 10 ayat yang berbicara mengenai larangan memaksa untuk menjamin kebebasan berpikir, berkeyakinan dan mengutarakan aspirasi, misalnya yang dikemukakan oleh surat al-Kahfi ayat 29
            Begitu juga halnya dengan sunnah Nabi. Nabi Muhammad saw telah memberikan tuntunan dan  contoh dalam menegakkan dan perlindungan terhadap Ham. Hal ini misalnya terlihat dalam perintah Nabi yang menyuruh untuk memelihara hak-hak manusia dan hak-hak kemuliaan, walaupun terhadap orang yang berbeda agama, melalui sabda beliau :[11]
“barang siapa yang menzalimi seseorang mu’ahid (seorang yang telah dilindungi oleh perjanjian damai) atau mengurangi haknya atau membebaninya di luar batas kesanggupannya atau mengambil sesuatu dari padanya dengan tidak rela hatinya, maka aku lawannya di hari kiamat.”
            Pengaturan lain mengenai HAM dapat juga dilihat dalam piagam Madinah dan khutbah Wada’. Kedua naskah yang berkenaan dengan Nabi ini kemudian menjadi masterpeacenya HAM dalam perspektif Islam.
            Piagam Madinah adalah suatu kesepakatan antara berbagai golongan di Madinah dalam menegakkan ikatan kebersamaan dan kemanusiaan. Adapun golongan masyarakat di Madinah pada masa itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu golongan Islam yang terdiri dari golongan Anshar dan Muhajirin, golongan Yahudi dan para penyembah berhala. Di tengah-tengah pluralitas masyarakat seperti itu Nabi saw berusaha membangun tatanan kehidupan bersama yang dapat menjamin hidup berdampingan secara damai dan sejahtera. Prakteknya, Nabi saw mempererat persaudaraan Muhajirin dan Anshar berdasarkan ikatan aqidah. Sedangkan berhadap mereka yang berlainan agama, beliau mempersatukannya atas ikatan sosial politik dan kemanusiaan. Bukti konkretnya adalah adanya kesepakatan yang tertuang dalam piagam Madinah tersebut.
            Adapun inti dari Piagam Madinah ini meliputi prinsip-prinsip persamaan, persaudaraan, persatuan, kebebasan, toleransi beragama, perdamaian, tolong menolong dan membela yang teraniaya serta mempertahankan  Madinah dari serangan musuh. Berikut adalah substansi ringkasan dari piagam Madinah :[12]
1.      Monotheisme, yaitu mengakui adanya satu Tuhan. Prinsip ini terkandung dalam muqaddimah, pasal 22, 23, 42 dan bagian akhir pasal 42.
2.      Persatuan dan kesatuan (pasal 1, 15, 17, 25 dan 37). Dalam pasal-pasal ini ditegaskan bahwa seluruh penduduk Madianh adalah satu umat. Hamya ada satu perlindungan, bila orang Yahudi telah mengikuti piagam ini, berarti berhak atas perlindungan keamanan dan kehormatan. Selain itu, kaum Yahudi dan orang-orang muslim secara bersama-sama memikul biaya perang.
3.      Persamaan dan keadilan (pasal 1, 12, 15, 16, 19, 22, 23, 24, 37 dan 40). Pasal-pasal ini mengandung prinsip bahwa seluruh warga Madinah berstatus sama di muka hokum dan harus menegakkan hokum beserta keadilan tanpa pandang bulu.
4.      Kebebasan beragama (pasal 25). Kaum Yahudi bebas menjalankan ajaran agama mereka sebagaimana juga umat Islam bebas menunaikan syari’ah Islam.
5.      Bela Negara (pasal 24, 37, 38 dan 44). Setiap penduduk Madinah, yang mengakui piagam Madinah, mempunyai kewajiban yang sama untuk menjunjung tinggi dan membela Madinah dari serangan musuh, baik serangan dari luar maupun serangan dari dalam.
6.      Pengakuan dan pelestarian adat kebiasaan (pasal 2-10). Dalam pasal-pasal ini disebutkan secara berulang-ulang bahwa seluruh adat kebiasaan yang baik di kalangan Yahudi harus diakui dan dilestarikan.
7.      Supremasi syari’at Islam (pasal 23 dan 24). Inti pokok dari supremasi ini adalah setiap perselisihan harus diselesaikan menurut ketentuan Allah swt dan sesuai dengan keputusan Muhammad saw.
8.      Politik damai dan perlindungan internal serta permasalahan perdamaian eksternal juga mendapat perhatian serius dalam piagam ini (pasal 15, 17, 36, 37, 39, 40, 41 dan 47).
            Khutbah Wada’ sampai sekarang sering dikenal sebagai khutbah atau pidato perpisahan Nabi Muhammad saw dengan umat Islam seluruh dunia dan penegasan kesempurnaan ajaran Islam yang telah disampaikannya. Padahal sebenarnya lebih dari itu, dalam khutbah yang bertepatan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah pada tanggal 19 Dzulhijjah 11 Hijriyah itu, terdapat hal lain yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia di muka bumi, yaitu komitmen Islam yang telah menjunjung tinggi nilai-nilai asasi manusia. Di mana pada saat itu Nabi saw menyerukan :[13]
“saudara-saudara! Bahwasanya darah kamu dan harta benda kamu sekalian adalah suci bagi kamu, seperti hari dan bulan suci ini, sampai datang masanya kamu sekalian di hadapan Allah. Dan kamu menghadap Allah, kamu semua akan dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatan kamu.”
Di samping pengaturan-pengaturan seperti tersebut di atas, dewasa ini terlihat adanya usaha-usaha dari Negara-negara Islam untuk merumuskan suatu dokumen mengenai HAM yang islami, artinya mengacu pada al-Qur’an dan sunnah. Hal ini antara lain dapat dilihat pada :
1.      Deklarasi Islam Universal tentang Hak Asasi Manusia
            Deklarasi ini disusun pada konferensi Islam di Mekkah pada tahun 1981. Deklarasi ini terdiri dari 23 pasal yang menampung dua kekuatan dasar, yaitu keimanan kepada Tuhan dan pembentukan tatanan Islam. Dalam pendahuluan deklarasi ini dikemukakan bahwa hak-hak asasi manusia dalam Islam bersumber dari suatu kepercayaan bahwa Allah swt, dan hanya Allah sebagai hukum dan sumber dari segala HAM.
            Salah satu kelebihan dari deklarasi ini adalah bahwa teksnya memuat acuan-acuan yang gambling dan unik dari totalitas peraturan-peraturan yang berasal dari al-Qur’an dan sunnah serta hokum-hukum lainnya yang ditarik dari kedua sumber tersebut dengan metode-metode yang dianggap sah menurut hukum Islam.[14]
Dalam deklarasi ini antara lain dijelaskan bahwa :
1.      Penguasa dan rakyat adalah subyek yang sama di depan hukum (pasal IV a).
2.      Setiap individu wajib berjuang dengan segala cara yang tersedia untuk melawan pelanggaran dan pencabutan hak ini (pasal IV c dan d).
3.      Setiap orang tidak hanya memiliki hak, melainkan juga mempunyai kewajiban memprotes ketidakadilan (pasal IV b).
4.      Setiap muslim berhak dan berkewajiban menolak untuk menaati setiap perintah yang bertentangan dengan hokum, siapa pun yang memerintahkannya (pasal IV e).
2.      Deklarasi Cairo
            Deklarasi ini dicetuskan oleh menteri-menteri luar negeri dari Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tahun 1990. Peran sentral syari’at Islam sebagai kerangka acuan dan juga medoman interpretasi dari deklarasi cairo ini terwujud pada dokumen itu sendiri, terutama pada dua pasal terakhirnya yang menyatakan bahwa semua hak asasi dan kemerdekaan yang ditetapkan dalam deklarasi ini merupakan subyek dari syari’at Islam, syari’at Islam adalah satu-satunya sumber acuan untuk penjelas dan penjernihan pasal-pasal deklarasi ini (pasal 23 dan 24).[15]
3.      Perlindungan Islam terhadap Hak Asasi Manusia
Adapun hak-hak asasi manusia yang dilindungi oleh hokum Islam antara lain adalah :
1.      Hak hidup
            Hak hidup adalah hak asasi yang paling utama bagi manusia, yang merupakan karunia dari Allah bagi setiap manusia. Perlindungan hukum Islam terhadap hak hidup manusia dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan syari’ah yang melindungi dan menjunjung tinggi darah dan nyawa manusia, melalui larangan membunuh, ketentuan qishash dan larangan bunuh diri.
            Membunuh adalah salah satu dosa besar yang diancam dengan balasan neraka, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 93 yang artinya sebagai berikut :
“dan barang siapa membunuh seorang muslim denga sengaja maka balasannya adalah jahannam, kekal dia di dalamnya dan Allah murka atasnya dan melaknatnya serta menyediakan baginya azab yang berat.”
            Setiap tindakan pembunuhan ataupun perbuatan yang membahayakan orang lain meski memiliki korelasi, secara langsung maupun tidak, dengan keutuhan hidup di muka bumi. Pembunuhan terhadap satu orang saja, sama artinya dengan pembunuhan terhadap seluruh manusia, sebaliknya memelihara kehidupan satu orang saja berarti memelihara kehidupan manusia seluruhnya, sebagaimana terlihat dalam firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 32, yang berarti :
“barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh  seluruh manusia. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan semua manusia.”
            Adanya ketentuan qishash merupakan konsekuensi dari larangan membunuh. Qishash adalah sanksi hokum mengenai kejahatan terhadap diri dan jiwa orang lain. Qishash ini diwajibkan oleh Allah sebagai tindakan pencegahan, untuk memelihara kelangsungan hidup umat manusia yang adil, aman dan tentram. Pengaturan mengenai qishash ini tertuang dalam surat al-Baqarah ayat 178, yang artinya :
“hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu qishash dalam perkara pembunuhan; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan.”
            Islam mengharamkan bunuh diri untuk menjamin hak hidup, sebagaimana sabda Nabi saw yang mengatakan :
“barang siapa menerjunkan dirinya dari suatu bukit, lalu mati, maka dia kekal di dalam neraka jahannam. Dan barang siapa meneguk racun lalu mati, maka racunnya tetap berada di tangannya yang akan diteguknya dalam api jahannam, dia kekal di dalamnya. Dan barang siapa membunuh diri dengan sepotong besi maka besi itu tetap berada di tangannya, dan akan ditusuk-tusuk perutnya dengan besi itu dalam neraka jahannam dan dia kekal di dalamnya.”
            Bahkan Islam tidak membenarkan kita memikirkan soal membunuh diri dan mencita-citakan mati. Mengharap-harap supaya lekas mati tidak dibenarkan dalam Islam, karena kalau kita terus hidup dapat menambah kebaikan dan memperbaiki kesalahan.[16]
2.      Hak kebebasan beragama
            Dalam Islam, kebebasan dan kemerdekaan merupakan HAM, termasuk di dalamnya kebebasan menganut agama sesuai dengan keyakinannya. Oleh karena itu, Islam melarang keras adanya pemaksaan keyakinan agama kepada orang yang telah menganut agama lain. Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 256, yang artinya :
“tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan jalan yang salah.”
            Kemerdekaan beragama terwujud dalam bentuk-bentuk yang meliputi antara lain :
            Pertama, tidak ada paksaan untuk memeluk suatu agama atau kepercayaan tertentu atau paksaan untuk menanggalkan suatu agama yang diyakininya.
            Kedua, Islam memberikan kekuasaan kepada orang-orang non-Islam (Ahli kitab) untuk melakukan apa yang menjadi hak dan kewajiban atau apa saja yang dibolehkan, asal tidak bertentangan dengan hokum Islam.
            Ketiga. Islam menjaga kehormatan Ahli kitab, bahkan lebih dari itu mereka diberi kemerdekaan untuk mengadakan perdebatan dan bertukar pikiran serta pendapat dalam batasan-batasan etika perdebatan serta menjauhkan kekerasan dan paksaan.
            Islam telah memberikan respon positif terhadap kebebasan beragama yang tercermin dalam bentuk kerukunan dan toleransi antara pemeluk agama. Hal ini tercermin dalam bentuk larangan memaki sembahan penganut agama lain, meskipun menurut pandangan Islam hal itu termasuk syirik atau menyekutukan Allah, sebagaimana dikatakan dalam surat al-An’am ayat 108, yang artinya :
“dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”
            Namun demikian, kerukunan dan toleransi antar pemeluk agama ini hanya terbatas dalam hal-hal yang bersifat mu’amalah atau kemasyarakatan, tidak ada toleransi dalam hal ‘aqidah dan keyakinan, sebagaimana firman Allah dalam surat Yunus ayat 41, yang artinya :
“bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu terlepas dari apa yang aku kerjakan dan aku terlepas dari apa yang kamu kerjakan.”
3.      Hak atas keadilan
            Keadilan adalah dasar dari cita-cita Islam dan merupakan disiplin mutlak untuk menegakkan kehormatan manusia. Dalam hal ini banyak ayat-ayat al-Qur’an maupun sunnah yang mengajak untuk menegakkan keadilan, di antaranya terlihat dalam surat al-Nahl ayat 90, yang artinya :
“sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.”
            Keadilan adalah hak setiap manusia dan menjadi dasar bagi setiap hubungan individu. Oleh karena itu, merupakan hak setiap orang untuk meminta perlindungan kepada penguasa yang sah, dan menjadi kewajiban bagi para pemimpin atau penguasa untuk menegakkan keadilan dan memberikan jaminan keamanan yang cukup bagi warganya.
4.      Hak persamaan
            Islam tidak hanya mengakui prinsip kesamaan derajat mutlak di antara manusia  tanpa memandang warna kulit, ras atau kebangsaan, melainkan menjadikannya realitas yang penting. Ini berarti bahwa pembagian umat manusia ke dalam bangsa-bangsa, ras-ras, kelompok-kelompok dan suku-suku adalah demi untuk adanya pembedaan, sehingga rakyat dari satu ras     atau suku dapat bertemu dan berkenalan dengan rakyat yang berasal dari rasa tau suku lain.
            Al-Qur’an menjelaskan idealisasinya tentang persamaan manusia dalam surat al-Hujurat ayat 13, yang artinya :
“hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kami laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling takwa.”
            Dengan demikian, adanya pembagian ras manusia bukan berarti satu bangsa bisa membanggakan dirinya karena superioritasnya terhadap yang lain, juga bukan dimaksudkan agar satu bangsa bisa melecehkan bangsa yang lain. Karena pada dasarnya keunggulan seseorang atas yang lain hanyalah atas dasar keimanan dan ketakwaannya kepada Allah, bukan warna kulit, ras, bahasa atau kebangsaan. Hal ini juga dijelaskan oleh Nabi saw melalui sabdanya :
“orang Arab tidak memiliki superioritas terhadap non-Arab, juga non-Arab tidak memiliki superioritas atas orang kulit hitam, atau orang kulit hitam tidak superior terhadap orang kulit putih. Kamu semua adalah anak-anak Adam dan Adam diciptakan dari tanah.”
            Adanya pengakuan terhadap persamaan dalam Islam juga mencakup persamaan kedudukan di depan hokum. Islam memberikan kepada umatnya hak atas kedudukan yang  di mana seorang pencuri, baik dia laki-laki maupun perempuan, dikenai hukuman yang sama, yaitu potong tangan, sebagai balasan dari apa yang telah mereka perbuat. Contoh lainnya dapat dilihat dalam sabda Nabi saw, yang menyatakan :
“bangsa yang terdahulu menjadi binasa, karena hukum mereka memilih tempat berlakunya. Apabila bangsawan yang memiliki kedudukan yang bersalah, maka mereka itu tidaklah menjalankan yang dituntut oleh hokum, tapi apabila rakyat biasa yang melakukan kesalahan, maka mereka lalu menghukumnya. Demi Allah! Kaulah anakku, Fatimah yang mencuri, niscaya akan kupotong tangannya.”
5.      Hak mendapatkan pendidikan
            Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan sesuai dengan kesanggupan alaminya. Dalam Islam, mendapat pendidikan bukan hanya merupakan hak, tapi juga merupakan kewajiban bagi setiap manusia, sebagaimana yang dinyatakan oleh hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhari :
“menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.”
            Pentingnya pendidikan ini, karena melalui pendidikan orang akan menyadari harga dirinya dan martabatnya sebagai manusia, dengan pendidikan dapat membuka akal pikiran manusia terhadap kenyataan hidup dalam alam semesta ini dan terhadap hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesame manusia, dan dengan pendidikan pula orang dapat menyadari dan memperjuangkan hak-haknya.
            Di samping itu, Allah juga memberikan penghargaan terhadap orang yang berilmu, di mana dalam surat al-Mujadilah ayat 11 dinyatakan bahwa Allah meninggikan derajat orang-orang beriman dan orang-orang yang berilmu.
6.      Hak kebebasan berpendapat
            Setiap orang mempunyai hak untuk berpendapat dan menyatakan pendapatnya dalam batas-batas yang ditentukan hokum dan norma-norma lainnya. Artinya tidak seorangpun diperbolehkan menyebarkan fitnah dan berita-berita yang mengganggu ketertiban umum dan mencemarkan nama baik orang lain. Dalam mengemukakan pendapat hendaklah mengemukakan idea tau gagasan yang dapat menciptakan kebaikan dan mencegah kemungkaran.   
Sejak semula, kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat telah dikenal dalam Islam. Sudah merupakan tradisi di kalangan sahabat untuk bertanya kepada Nabi saw tentang beberapa masalah berkenaan dengan perintah Allah yang diwahyukan kepadanya. Apabila Nabi saw menyatakan bahwa dirinya tidak mendapat petunjuk dari Allah, maka para sahabat boleh menyatakan pendapatnya dengan bebas. Hal ini misalnya terlihat dalam peristiwa perang Badar, di mana Nabi saw memilih suatu tempat khusus yang dianggapnya pantas untuk menyerang musuh, namun sahabat menyarankan mengambil tempat lain, dan Nabi saw menyetujuinya, karena tempat tersebut lebih strategis.
Kebebasan berpendapat dan mengeluarkan pendapat juga dijamin dengan lembaga syura, lembaga musyawarah dengan rakyat, yang dijelaskan Allah dalam surat Asy-Syura ayat 38, yang artinya :
“dan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka.”
Prinsip musyawarah ini sangat penting dalam Islam, karena menurut al-Qur’an, setiap orang diperintahkan untuk mengadakan musyawarah dalam menyelesaikan berbagai urusan duniawi yang dihadapinya.

7.      Hak kepemilikan
Islam menjamin hak kepemilikan yang sah dan mengharamkan penggunaan cara apapun untuk mendapatkan harta orang lain yang bukan haknya, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 188, yang artinya :
“dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan bathil dan janganlah kamu bawa urusan harta itu kepada hakim agar kamu dapat memakan harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa padahal kamu mengetahuinya.”
Oleh karena itu, Islam melarang riba dan setiap usaha yang merugikan hajat manusia. Islam juga melarang penipuan dalam perniagaan. Di samping itu, Islam juga melarang pencabutan hak milik yang didapatkan dari usaha yang halal, kecuali untuk kemashlahatan umum dan mewajibkan pembayaran ganti rugi yang setimpal bagi pemiliknya.
8.      Hak mendapatkan pekerjaan
Islam tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak, tetapi juga sebagai kewajiban. Bekerja merupakan kehormatan yang perlu dijamin, sebagaimana sabda Nabi saw :
“tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang dari pada makanan yang dihasilkan dari tangannya sendiri.” (HR. Ibnu Majah)
Adapun konsepsi Islam tentang hak bekerja adalah :[17]
Pertama, bekerja dan berusaha dalam Islam adalah wajib, maka setiap orang muslim dituntut bekerja dan berusaha dalam memakmurkan hidupnya. Sebaliknya Islam tidak menyukai orang yang malas bekerja (pengangguran). Islam juga memandang rendah kepada orang yang mengemis, yang menggantungkan hidupnya kepada orang lain dengan meminta-minta. 
Kedua, Islam menganjurkan kebebasan dalam mencari rezeki dan kebebasan untuk mengumpulkan kekayaan, dan setiap muslim bebas memilih pekerjaan yang hendak dikerjakannya, sepanjang pekerjaan itu dalam jalan yang diridhai oleh syari’at Islam.
Ketiga, Islam menetapkan bahwa tiap-tiap pekerjaan itu adalah ibadah
C.     PENUTUP
Dari pembahasan mengenai HAM di atas dapatlah kita tarik kesimpukan bahwa Islam itu adalah agama yang asy-Syumul (lengkap). Ajaran Islam meliputi seluruh aspek dan sisi kehidupan manusa. Islam memberikan pengaturan dan tuntunan pada manusia, mulai dari urusan yang paling kecil hingga urusan manusia yang berskala besar. Dan tentu saja telah tercakup di dalamnya aturan dan penghargaan yang tinggi terhadap HAM. Memang tidak dalam suatu dokumen yang terstruktur, tetapi tersebar dalam ayat suci al-Qur’an dan sunnah Nabi saw.







Daftar Pustaka
T. Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Islam dan Hak Asasi Manusia, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1999
Harun Nasution dan Bahtiar Effendi (ed), Hak Asasi Manusia dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1987
Abdan Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Jilid 1, Rajawali Pers, Jakarta, 2000
Abdul Azis Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Ictiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1996
Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia menurut Al-Qur’an, PT. Al-Husna Zikra, Jakarta, 1995
Eggi Sujana, HAM dalam Perspektif Islam,Nuansa Madani, Jakarta, 2002
M. Luqman Hakim (ed), Deklarasi Islam tentang HAM, Risalah Gusti, Surabaya, 1993
Hak Asasi Manusia dalam Islam, http://www.angelfire.com
Wacana, Edisi 8, Tahun II/2001
Buletin Jum’at, No. 14/28 Juli 2000



                [1] Adam Kuper dan Jessica Kuper. Ensiklopedia Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Rajawali Pers, Jakarta, 2000, Hal 464
                [2] Harun Nasution dan Bahtiar Effendi (ed), Hak Asasi Manusia dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1987, Hal 14
                [3] Adul Azis Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Ictiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1996, Hal 495
                [4] Ibid
                [5] Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia menurut Al-Qur’an, PT Al-Husna Zikra, Jakarta, 1995, Hal 32
                [6] Hak Asasi Manusia dalam Islam, http://www.angelfire.com
                [7] M. Luqman Hakim (ed), Deklarasi Islam tentang HAM, Risalah Gusti, Surabaya, 1993, Hal 12
                [8] Harun Nasution dan Batshir Effendi (ed), Op. Cip., Hal 124
                [9] Buletin Jum’at, No. 12/28 Juli 2000
                [10] Hak Asasi Manusia Dalam Islam, http://www.angelfire.com
                 [11]  T. Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Islam dan Hak Asasi Manusia, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1999, Hal 23              
                [12] Eggi Sudjana, HAM dalam Perspektif Islam, Nuansa Madani, Jakarta, 2002, Hal 89
                [13] Ibid., Hal 90
                [14] Abdul Azis Dahlan (ed), Op. Cit., Hal 498
                [15] Wacana, Edisi 8, tahun II/2001, Hal 34
                [16] T. Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Op. Cit., Hal 40-41
                [17] Dalizar Putra, Op. Cit., Hal 64-65

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About