Hak asasi manusia dalam perspektif hukum islam
A.
PENDAHULUAN
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dipunyai oleh semua orang
sesuai dengan kondisi yang manusiawi.[1]
Hak asasi manusia ini selalu dipandang sebagai sesuatu yang mendasar,
fundamental dan penting. Oleh karena itu, banyak pendapat yang mengatakan bahwa
hak asasi manusia itu adalah “kekuasaan dan keamanan” yang dimiliki oleh setiap
individu.[2]
Ide mengenai hak asasi manusia timbul pada abad ke-17 dan ke-18,
sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-raja dan kaum feudal di zaman itu
terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka pekerjakan, yaitu
masyarakat lapisan bawah. Masyarakat lapisan bawah ini tidak mempunyai hak-hak,
mereka diperlakukan sewenang-wenang sebagai budak yang dimiliki. Sebagai reaksi
terhadap keadaan tersebut, timbul gagasan supaya masyarakat lapisan bawah
tersebut diangkat derajatnya dari kedudukannya sebagai budak menjadi sama
dengan masyarakat kelas atas, karena pada dasarnya mereka adalah manusia juga.
Oleh Karena itu, muncullah ide untuk menegakkan HAM, dengan konsep bahwa semua
manusia itu sama, semuanya merdeka dan bersaudara, tidak ada yang berkedudukan
lebih tinggi atau lebih rendah. Dengan demikian tidak ada lagi budak.[3]
Sejak masa itu, usaha menegakkan HAM terus berlangsung, mulai dari
usaha menghapus perbudakan, perlindungan terhadap kelompok minoritas, sampai
pada perlindungan terhadap korban perang. Puncak dari usaha tersebut adalah
dikeluarkannya Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration
of Human Right) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948, yang
menjelaskan hak-hak asasi fundamental yang disetujui oleh pemerintah untuk
dilindungi. Deklarasi tersebut bertujuan untuk melindungi hidup, kemerdekaan
dan keamanan pribadi; menjamin kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul secara
damai, berserikat dan berkepercayaan agama dan kebebasan bergerak; dan melarang
perbudakan , penahanan sewenang-wenang, pemenjaraan tanpa proses peradilan yang
jujur lagi adil, dan melanggar hak pribadi seseorang. Di samping itu, deklarasi
tersebut juga mengandung jaminan terhadap hak-hak ekonomi, social dan budaya.
Menyusul disetujuinya Deklarasi Universal tesebut, komisi PBB
tentang hak-hak asasi manusia telah membuat draft International Bill of Rights
berikutnya yaitu : The International Covenant on Civil and Politikal Right
(Perjanjian Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosoal dan budaya), dan The
Optional Protocol to The Civil and The Political Covenant (Protokol Fakultatif
pada Perjanjian Sipil dan Politik).
Hak-hak yang tercantum dalam Deklarasi Universal maupun
Internasional Bill of Rights tersebut pada dasarnya berlaku bagi semua warga
Negara, tidak peduli apa pun warna kulit mereka, asal-usulnya, keyakinan
agamanya, ideology paham politiknya, bahasa yang mereka gunakan maupun jenis
kelaminnya.
Ide mengenai HAM juga terdapat dalam islam, yang telah tertuang
dalam syari’ah sejak diturunkannya Islam. Hal ini dapat dilihat dalam ajaran
tauhid. Tauhid dalam islam mengandung arti bahwa hanya ada satu pencipta bagi
alam semesta. Ajaran dasar pertama dalam islam adalah la ilaaha illa Allah
(tiada Tuhan selain Allah SWT). Seluruh alam dan semua yang ada dipermukaan
bumi adalah ciptaan Allah, semua manusia, hewan, tumbuhan dan benda tak
bernyawa berasal dari Allah. Dengan demikian, dalam tauhid terkandung ide
persamaan dan persaudaraan seluruh manusia.[4]
Dari ajaran dasar persamaan dan persaudaraan manusia tersebut,
timbullah kebebasan-kebebasan manusia, seperti kebebasan dari perbudakan,
kebebasan beragama, kebebasan mengeluarkan pendapat dan lain-lain. Dari situ
pulalah timbul hak-hak asasi manusia, seperti hak hidup, hak memiliki harta,
hak berbicara, hak berpikir dan sebagainya.
B.
HAK ASASI MANUSIA MENURUT HUKUM ISLAM
1.
Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia
adalah hak manusia yang paling mendasar dan melekat padanya dimanapun ia
berada. Tanpa adanya hak ini berarti berkuranglah harkatnya sebagai manusia
yang wajar. Hak asasi manusia adalah suatu tuntunan yang secara moral dapat
dipertanggungjawabkan, suatu hal yang sewajarnya mendapat perlindungan hukum.
Dalam muqaddimah
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Rights) dijelaskan mengenai hak asasi manusia sebagai :
“pengakuan atas keseluruhan martabat alami manusia dan hak-hak yang
sama dan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain dari semua anggota keluarga
kemanusiaan adalah dasar kemerdekaan dan keadilan di dunia.”[5]
Hak asasi manusia
dalam islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal.
Dalam islam seluruh hak asasi merupakan kewajiban bagi Negara maupun individu
yang tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, Negara bukan saja menahan diri
dari menyentuh hak-hak manusia tersebut, melainkan juga mempunyai kewajiban
untuk melindungi dan menjamin hak-hak tersebut.[6]
2.
Konsep Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam
Hak asasi manusia dalam islam tertuang secara transenden untuk
kepentingan manusia, lewat syari’ah islam yang diturunkan melalui wahyu.
Menurut syari’ah, manusia adalah makhluk bebas yang mempunyai tugas dan
tanggung jawab, dan karenanya ia juga mempunyai hak dan kebebasan. Dasarnya
adalah keadilan yang ditegakkan atas dasar persamaan atau egaliter, tanpa
pandang bulu. Artinya, tugas yang diemban tidak akan terwujud tanpa adanya
kebebasan, sementara kebebasan secara eksistensial tidak terwujud tanpa adanya
tanggung jawab itu sendiri.[7]
System HAM Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan,
kebebasan dan penghormatan terhadap sesama manusia.[8]
Persamaan, artinya Islam memandang semua manusia sama dan mempunyai kedudukan
yang sama, satu-satunya keunggulan yang dinikmati seorang manusia atas manusia
lainnya hanya ditentukan oleh tingkat ketakwaannya. Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13, yang artinya sebagai berikut :
“Hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kamu dari laki-laki dan
perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang
paling takwa.”
Sedangkan kebebasan merupakan elemen penting dari ajaran Islam.
Kehadiran Islam memberikan jaminan pada kebebasan manusia agar terhindar dari
kesia-siaan dan tekanan, baik yang berkaitan dengan masalah agama, politik dan
ideology. Namun demikian, pemberian kebebasan terhadap manusia bukan berarti
mereka dapat menggunakan kebebasan tersebut mutlak, tetapi dalam kebebasan
tersebut terkandung hak dan kepentingan orang lain yang harus dihormati juga.
Mengenai penghormatan terhadap sesama manusia, dalam Islam seluruh
ras kebangsaan mendapat kehormatan yang sama. Dasar persamaan tersebut
sebenarnya merupakan manifestasi dari wujud kemuliaan manusia yang sangat
manusiawi. Sebenarnya citra kehormatan tersebut terletak pada ketunggalan
manusia, bukan pada superioritas individual dan ras kesukuan. Kehormatan
diterapkan secara global melalui solidaritas persamaan secara mutlak. Semua
adalah keturunan Adam, jika Adam tercipta dari tanah, dan mendapat kehormatan
di sisi Allah, maka seluruh anak cucunya pun mendapatkan kehormatan yang sama,
tanpa terkecuali.
Pada dasarnya HAM dalam islam terpusat pada lima hal pokok yang
terangkum dalam al-dloruriyat al-khomsah atau yang disebut juga al-hukuq
al-insaniyah fi al-islam (hak-hak asasi manusia dalam Islam). Konsep ini
mengandung lima hal pokok yang harus dijaga oleh setiap individu, yaitu hifdzu
al-din ( penghormatan atas kebebasan beragama ), hifdzu al-mal ( penghormatan
atas harta benda ), hifdzu al-nafs wa al-‘ird ( penghormatan atas jiwa, hak
hidup dan kehormatan individu ), hifdzu al-‘aql ( penghormatan atas kebebasan
berpikir ) dan hifdzu al-nasl ( keharusan untuk menjaga keturunan ). Kelima hal
pokok inilah yang harus dijaga oleh setiap umat Islam supaya menghasilkan
tatanan kehidupan yang lebih manusiawi, berdasarkan atas penghormatan individu
atas individu, individu dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, masyarakat
dengan Negara dan komunitas agama dengan komunitas agama lainnya.[9]
3.
Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam
Al-Qur’an dan
sunnah sebagai sumber hukum dalam Islam memberikan penghargaan yang tinggi
terhadap hak asasi manusia. Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama bagi umat
Islam telah meletakkan dasar-dasar HAM serta kebenaran dan keadilan, jauh
sebelum timbul pemikiran mengenai hal tersebut pada masyarakat dunia. Ini dapat
dilihat pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam al-Qur’an, antara lain :[10]
1.
Dalam al-Qur’an terdapat sekitar 80 ayat tentang hidup,
pemeliharaan hidup dan penyediaan sarana kehidupan, misalnya dalam surat
al-Maidah ayat 32. Di samping itu, al-Qur’an juga berbicara tentang kehormatan
dalam 20 ayat.
2.
Al-Qur’an juga menjelaskan dalam sekilas 150 ayat tentang ciptaan
dan makhluk-makhluk, serta tentang persamaan dalam penciptaan, misalnya dalam
surat al-Hujurat ayat 13.
3.
Al-Qur’an telah mengetengahkan sikap menentang kezaliman dan
orang-orang berbuat zalim dalam sekitar 320 ayat, dan memerintahkan berbuat
adil dalam 50 ayat yang diungkapkan dengan kata-kata : ‘adl, qisth dan qishash.
4.
Dalam al-Qur’an terdapat sekitar 10 ayat yang berbicara mengenai
larangan memaksa untuk menjamin kebebasan berpikir, berkeyakinan dan
mengutarakan aspirasi, misalnya yang dikemukakan oleh surat al-Kahfi ayat 29
Begitu juga halnya
dengan sunnah Nabi. Nabi Muhammad saw telah memberikan tuntunan dan contoh dalam menegakkan dan perlindungan
terhadap Ham. Hal ini misalnya terlihat dalam perintah Nabi yang menyuruh untuk
memelihara hak-hak manusia dan hak-hak kemuliaan, walaupun terhadap orang yang
berbeda agama, melalui sabda beliau :[11]
“barang siapa yang menzalimi seseorang mu’ahid (seorang yang telah
dilindungi oleh perjanjian damai) atau mengurangi haknya atau membebaninya di
luar batas kesanggupannya atau mengambil sesuatu dari padanya dengan tidak rela
hatinya, maka aku lawannya di hari kiamat.”
Pengaturan lain
mengenai HAM dapat juga dilihat dalam piagam Madinah dan khutbah Wada’. Kedua
naskah yang berkenaan dengan Nabi ini kemudian menjadi masterpeacenya
HAM dalam perspektif Islam.
Piagam Madinah
adalah suatu kesepakatan antara berbagai golongan di Madinah dalam menegakkan
ikatan kebersamaan dan kemanusiaan. Adapun golongan masyarakat di Madinah pada
masa itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu golongan Islam yang terdiri dari
golongan Anshar dan Muhajirin, golongan Yahudi dan para penyembah berhala. Di
tengah-tengah pluralitas masyarakat seperti itu Nabi saw berusaha membangun tatanan
kehidupan bersama yang dapat menjamin hidup berdampingan secara damai dan
sejahtera. Prakteknya, Nabi saw mempererat persaudaraan Muhajirin dan Anshar
berdasarkan ikatan aqidah. Sedangkan berhadap mereka yang berlainan agama,
beliau mempersatukannya atas ikatan sosial politik dan kemanusiaan. Bukti
konkretnya adalah adanya kesepakatan yang tertuang dalam piagam Madinah
tersebut.
Adapun inti dari
Piagam Madinah ini meliputi prinsip-prinsip persamaan, persaudaraan, persatuan,
kebebasan, toleransi beragama, perdamaian, tolong menolong dan membela yang
teraniaya serta mempertahankan Madinah
dari serangan musuh. Berikut adalah substansi ringkasan dari piagam Madinah :[12]
1.
Monotheisme, yaitu mengakui adanya satu Tuhan. Prinsip ini
terkandung dalam muqaddimah, pasal 22, 23, 42 dan bagian akhir pasal 42.
2.
Persatuan dan kesatuan (pasal 1, 15, 17, 25 dan 37). Dalam
pasal-pasal ini ditegaskan bahwa seluruh penduduk Madianh adalah satu umat.
Hamya ada satu perlindungan, bila orang Yahudi telah mengikuti piagam ini, berarti
berhak atas perlindungan keamanan dan kehormatan. Selain itu, kaum Yahudi dan
orang-orang muslim secara bersama-sama memikul biaya perang.
3.
Persamaan dan keadilan (pasal 1, 12, 15, 16, 19, 22, 23, 24, 37 dan
40). Pasal-pasal ini mengandung prinsip bahwa seluruh warga Madinah berstatus
sama di muka hokum dan harus menegakkan hokum beserta keadilan tanpa pandang
bulu.
4.
Kebebasan beragama (pasal 25). Kaum Yahudi bebas menjalankan ajaran
agama mereka sebagaimana juga umat Islam bebas menunaikan syari’ah Islam.
5.
Bela Negara (pasal 24, 37, 38 dan 44). Setiap penduduk Madinah,
yang mengakui piagam Madinah, mempunyai kewajiban yang sama untuk menjunjung
tinggi dan membela Madinah dari serangan musuh, baik serangan dari luar maupun
serangan dari dalam.
6.
Pengakuan dan pelestarian adat kebiasaan (pasal 2-10). Dalam
pasal-pasal ini disebutkan secara berulang-ulang bahwa seluruh adat kebiasaan
yang baik di kalangan Yahudi harus diakui dan dilestarikan.
7.
Supremasi syari’at Islam (pasal 23 dan 24). Inti pokok dari
supremasi ini adalah setiap perselisihan harus diselesaikan menurut ketentuan
Allah swt dan sesuai dengan keputusan Muhammad saw.
8.
Politik damai dan perlindungan internal serta permasalahan
perdamaian eksternal juga mendapat perhatian serius dalam piagam ini (pasal 15,
17, 36, 37, 39, 40, 41 dan 47).
Khutbah Wada’
sampai sekarang sering dikenal sebagai khutbah atau pidato perpisahan Nabi
Muhammad saw dengan umat Islam seluruh dunia dan penegasan kesempurnaan ajaran
Islam yang telah disampaikannya. Padahal sebenarnya lebih dari itu, dalam
khutbah yang bertepatan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah pada tanggal 19
Dzulhijjah 11 Hijriyah itu, terdapat hal lain yang sangat penting bagi
kehidupan umat manusia di muka bumi, yaitu komitmen Islam yang telah menjunjung
tinggi nilai-nilai asasi manusia. Di mana pada saat itu Nabi saw menyerukan :[13]
“saudara-saudara! Bahwasanya darah kamu dan harta benda kamu
sekalian adalah suci bagi kamu, seperti hari dan bulan suci ini, sampai datang
masanya kamu sekalian di hadapan Allah. Dan kamu menghadap Allah, kamu semua
akan dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatan kamu.”
Di samping pengaturan-pengaturan seperti tersebut di atas, dewasa
ini terlihat adanya usaha-usaha dari Negara-negara Islam untuk merumuskan suatu
dokumen mengenai HAM yang islami, artinya mengacu pada al-Qur’an dan sunnah.
Hal ini antara lain dapat dilihat pada :
1.
Deklarasi Islam Universal tentang Hak Asasi Manusia
Deklarasi ini
disusun pada konferensi Islam di Mekkah pada tahun 1981. Deklarasi ini terdiri
dari 23 pasal yang menampung dua kekuatan dasar, yaitu keimanan kepada Tuhan
dan pembentukan tatanan Islam. Dalam pendahuluan deklarasi ini dikemukakan
bahwa hak-hak asasi manusia dalam Islam bersumber dari suatu kepercayaan bahwa
Allah swt, dan hanya Allah sebagai hukum dan sumber dari segala HAM.
Salah satu
kelebihan dari deklarasi ini adalah bahwa teksnya memuat acuan-acuan yang
gambling dan unik dari totalitas peraturan-peraturan yang berasal dari
al-Qur’an dan sunnah serta hokum-hukum lainnya yang ditarik dari kedua sumber
tersebut dengan metode-metode yang dianggap sah menurut hukum Islam.[14]
Dalam deklarasi ini antara lain dijelaskan bahwa :
1.
Penguasa dan rakyat adalah subyek yang sama di depan hukum (pasal
IV a).
2.
Setiap individu wajib berjuang dengan segala cara yang tersedia
untuk melawan pelanggaran dan pencabutan hak ini (pasal IV c dan d).
3.
Setiap orang tidak hanya memiliki hak, melainkan juga mempunyai
kewajiban memprotes ketidakadilan (pasal IV b).
4.
Setiap muslim berhak dan berkewajiban menolak untuk menaati setiap
perintah yang bertentangan dengan hokum, siapa pun yang memerintahkannya (pasal
IV e).
2.
Deklarasi Cairo
Deklarasi ini
dicetuskan oleh menteri-menteri luar negeri dari Negara-negara Organisasi
Konferensi Islam (OKI) pada tahun 1990. Peran sentral syari’at Islam sebagai
kerangka acuan dan juga medoman interpretasi dari deklarasi cairo ini terwujud
pada dokumen itu sendiri, terutama pada dua pasal terakhirnya yang menyatakan
bahwa semua hak asasi dan kemerdekaan yang ditetapkan dalam deklarasi ini
merupakan subyek dari syari’at Islam, syari’at Islam adalah satu-satunya sumber
acuan untuk penjelas dan penjernihan pasal-pasal deklarasi ini (pasal 23 dan
24).[15]
3.
Perlindungan Islam terhadap Hak Asasi Manusia
Adapun hak-hak asasi manusia yang dilindungi oleh hokum Islam
antara lain adalah :
1.
Hak hidup
Hak hidup adalah
hak asasi yang paling utama bagi manusia, yang merupakan karunia dari Allah
bagi setiap manusia. Perlindungan hukum Islam terhadap hak hidup manusia dapat
dilihat dari ketentuan-ketentuan syari’ah yang melindungi dan menjunjung tinggi
darah dan nyawa manusia, melalui larangan membunuh, ketentuan qishash dan
larangan bunuh diri.
Membunuh adalah
salah satu dosa besar yang diancam dengan balasan neraka, sebagaimana firman
Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 93 yang artinya sebagai berikut :
“dan barang siapa membunuh seorang muslim denga sengaja maka
balasannya adalah jahannam, kekal dia di dalamnya dan Allah murka atasnya dan
melaknatnya serta menyediakan baginya azab yang berat.”
Setiap tindakan
pembunuhan ataupun perbuatan yang membahayakan orang lain meski memiliki
korelasi, secara langsung maupun tidak, dengan keutuhan hidup di muka bumi.
Pembunuhan terhadap satu orang saja, sama artinya dengan pembunuhan terhadap
seluruh manusia, sebaliknya memelihara kehidupan satu orang saja berarti
memelihara kehidupan manusia seluruhnya, sebagaimana terlihat dalam firman
Allah dalam surat al-Maidah ayat 32, yang berarti :
“barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain atau bukan membuat kerusakan di muka bumi, maka
seakan-akan dia telah membunuh seluruh
manusia. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan semua manusia.”
Adanya ketentuan
qishash merupakan konsekuensi dari larangan membunuh. Qishash adalah sanksi
hokum mengenai kejahatan terhadap diri dan jiwa orang lain. Qishash ini
diwajibkan oleh Allah sebagai tindakan pencegahan, untuk memelihara
kelangsungan hidup umat manusia yang adil, aman dan tentram. Pengaturan
mengenai qishash ini tertuang dalam surat al-Baqarah ayat 178, yang artinya :
“hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu qishash dalam
perkara pembunuhan; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan
hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan.”
Islam mengharamkan
bunuh diri untuk menjamin hak hidup, sebagaimana sabda Nabi saw yang mengatakan
:
“barang siapa menerjunkan dirinya dari suatu bukit, lalu mati, maka
dia kekal di dalam neraka jahannam. Dan barang siapa meneguk racun lalu mati,
maka racunnya tetap berada di tangannya yang akan diteguknya dalam api jahannam,
dia kekal di dalamnya. Dan barang siapa membunuh diri dengan sepotong besi maka
besi itu tetap berada di tangannya, dan akan ditusuk-tusuk perutnya dengan besi
itu dalam neraka jahannam dan dia kekal di dalamnya.”
Bahkan Islam tidak
membenarkan kita memikirkan soal membunuh diri dan mencita-citakan mati.
Mengharap-harap supaya lekas mati tidak dibenarkan dalam Islam, karena kalau
kita terus hidup dapat menambah kebaikan dan memperbaiki kesalahan.[16]
2.
Hak kebebasan beragama
Dalam Islam,
kebebasan dan kemerdekaan merupakan HAM, termasuk di dalamnya kebebasan
menganut agama sesuai dengan keyakinannya. Oleh karena itu, Islam melarang
keras adanya pemaksaan keyakinan agama kepada orang yang telah menganut agama
lain. Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 256, yang
artinya :
“tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam, sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar dan jalan yang salah.”
Kemerdekaan
beragama terwujud dalam bentuk-bentuk yang meliputi antara lain :
Pertama,
tidak ada paksaan untuk memeluk suatu agama atau kepercayaan tertentu atau
paksaan untuk menanggalkan suatu agama yang diyakininya.
Kedua,
Islam memberikan kekuasaan kepada orang-orang non-Islam (Ahli kitab) untuk
melakukan apa yang menjadi hak dan kewajiban atau apa saja yang dibolehkan,
asal tidak bertentangan dengan hokum Islam.
Ketiga.
Islam menjaga kehormatan Ahli kitab, bahkan lebih dari itu mereka diberi
kemerdekaan untuk mengadakan perdebatan dan bertukar pikiran serta pendapat
dalam batasan-batasan etika perdebatan serta menjauhkan kekerasan dan paksaan.
Islam telah
memberikan respon positif terhadap kebebasan beragama yang tercermin dalam
bentuk kerukunan dan toleransi antara pemeluk agama. Hal ini tercermin dalam
bentuk larangan memaki sembahan penganut agama lain, meskipun menurut pandangan
Islam hal itu termasuk syirik atau menyekutukan Allah, sebagaimana dikatakan
dalam surat al-An’am ayat 108, yang artinya :
“dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan.”
Namun demikian,
kerukunan dan toleransi antar pemeluk agama ini hanya terbatas dalam hal-hal
yang bersifat mu’amalah atau kemasyarakatan, tidak ada toleransi dalam
hal ‘aqidah dan keyakinan, sebagaimana firman Allah dalam surat Yunus ayat 41,
yang artinya :
“bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu terlepas dari apa
yang aku kerjakan dan aku terlepas dari apa yang kamu kerjakan.”
3.
Hak atas keadilan
Keadilan adalah
dasar dari cita-cita Islam dan merupakan disiplin mutlak untuk menegakkan
kehormatan manusia. Dalam hal ini banyak ayat-ayat al-Qur’an maupun sunnah yang
mengajak untuk menegakkan keadilan, di antaranya terlihat dalam surat al-Nahl
ayat 90, yang artinya :
“sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan.”
Keadilan adalah
hak setiap manusia dan menjadi dasar bagi setiap hubungan individu. Oleh karena
itu, merupakan hak setiap orang untuk meminta perlindungan kepada penguasa yang
sah, dan menjadi kewajiban bagi para pemimpin atau penguasa untuk menegakkan
keadilan dan memberikan jaminan keamanan yang cukup bagi warganya.
4.
Hak persamaan
Islam tidak hanya
mengakui prinsip kesamaan derajat mutlak di antara manusia tanpa memandang warna kulit, ras atau
kebangsaan, melainkan menjadikannya realitas yang penting. Ini berarti bahwa
pembagian umat manusia ke dalam bangsa-bangsa, ras-ras, kelompok-kelompok dan
suku-suku adalah demi untuk adanya pembedaan, sehingga rakyat dari satu
ras atau suku dapat bertemu dan
berkenalan dengan rakyat yang berasal dari rasa tau suku lain.
Al-Qur’an
menjelaskan idealisasinya tentang persamaan manusia dalam surat al-Hujurat ayat
13, yang artinya :
“hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kami laki-laki dan
perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang
paling takwa.”
Dengan demikian,
adanya pembagian ras manusia bukan berarti satu bangsa bisa membanggakan
dirinya karena superioritasnya terhadap yang lain, juga bukan dimaksudkan agar
satu bangsa bisa melecehkan bangsa yang lain. Karena pada dasarnya keunggulan
seseorang atas yang lain hanyalah atas dasar keimanan dan ketakwaannya kepada
Allah, bukan warna kulit, ras, bahasa atau kebangsaan. Hal ini juga dijelaskan
oleh Nabi saw melalui sabdanya :
“orang Arab tidak memiliki superioritas terhadap non-Arab, juga
non-Arab tidak memiliki superioritas atas orang kulit hitam, atau orang kulit
hitam tidak superior terhadap orang kulit putih. Kamu semua adalah anak-anak
Adam dan Adam diciptakan dari tanah.”
Adanya pengakuan terhadap
persamaan dalam Islam juga mencakup persamaan kedudukan di depan hokum. Islam
memberikan kepada umatnya hak atas kedudukan yang di mana seorang pencuri, baik dia laki-laki
maupun perempuan, dikenai hukuman yang sama, yaitu potong tangan, sebagai balasan
dari apa yang telah mereka perbuat. Contoh lainnya dapat dilihat dalam sabda
Nabi saw, yang menyatakan :
“bangsa yang terdahulu menjadi binasa, karena hukum mereka memilih
tempat berlakunya. Apabila bangsawan yang memiliki kedudukan yang bersalah, maka
mereka itu tidaklah menjalankan yang dituntut oleh hokum, tapi apabila rakyat
biasa yang melakukan kesalahan, maka mereka lalu menghukumnya. Demi Allah!
Kaulah anakku, Fatimah yang mencuri, niscaya akan kupotong tangannya.”
5.
Hak mendapatkan pendidikan
Setiap orang
memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Setiap orang berhak
mendapatkan pendidikan sesuai dengan kesanggupan alaminya. Dalam Islam,
mendapat pendidikan bukan hanya merupakan hak, tapi juga merupakan kewajiban
bagi setiap manusia, sebagaimana yang dinyatakan oleh hadits Nabi saw yang
diriwayatkan oleh Bukhari :
“menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.”
Pentingnya
pendidikan ini, karena melalui pendidikan orang akan menyadari harga dirinya
dan martabatnya sebagai manusia, dengan pendidikan dapat membuka akal pikiran
manusia terhadap kenyataan hidup dalam alam semesta ini dan terhadap hubungan
manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesame manusia, dan dengan
pendidikan pula orang dapat menyadari dan memperjuangkan hak-haknya.
Di samping itu,
Allah juga memberikan penghargaan terhadap orang yang berilmu, di mana dalam
surat al-Mujadilah ayat 11 dinyatakan bahwa Allah meninggikan derajat
orang-orang beriman dan orang-orang yang berilmu.
6.
Hak kebebasan berpendapat
Setiap orang
mempunyai hak untuk berpendapat dan menyatakan pendapatnya dalam batas-batas
yang ditentukan hokum dan norma-norma lainnya. Artinya tidak seorangpun
diperbolehkan menyebarkan fitnah dan berita-berita yang mengganggu ketertiban
umum dan mencemarkan nama baik orang lain. Dalam mengemukakan pendapat
hendaklah mengemukakan idea tau gagasan yang dapat menciptakan kebaikan dan
mencegah kemungkaran.
Sejak semula, kebebasan berpendapat
dan menyatakan pendapat telah dikenal dalam Islam. Sudah merupakan tradisi di
kalangan sahabat untuk bertanya kepada Nabi saw tentang beberapa masalah
berkenaan dengan perintah Allah yang diwahyukan kepadanya. Apabila Nabi saw
menyatakan bahwa dirinya tidak mendapat petunjuk dari Allah, maka para sahabat
boleh menyatakan pendapatnya dengan bebas. Hal ini misalnya terlihat dalam
peristiwa perang Badar, di mana Nabi saw memilih suatu tempat khusus yang
dianggapnya pantas untuk menyerang musuh, namun sahabat menyarankan mengambil
tempat lain, dan Nabi saw menyetujuinya, karena tempat tersebut lebih
strategis.
Kebebasan berpendapat dan
mengeluarkan pendapat juga dijamin dengan lembaga syura, lembaga musyawarah
dengan rakyat, yang dijelaskan Allah dalam surat Asy-Syura ayat 38, yang
artinya :
“dan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka.”
Prinsip musyawarah ini sangat
penting dalam Islam, karena menurut al-Qur’an, setiap orang diperintahkan untuk
mengadakan musyawarah dalam menyelesaikan berbagai urusan duniawi yang
dihadapinya.
7.
Hak kepemilikan
Islam menjamin hak kepemilikan yang
sah dan mengharamkan penggunaan cara apapun untuk mendapatkan harta orang lain
yang bukan haknya, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 188,
yang artinya :
“dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di
antara kamu dengan jalan bathil dan janganlah kamu bawa urusan harta itu kepada
hakim agar kamu dapat memakan harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat
dosa padahal kamu mengetahuinya.”
Oleh karena itu, Islam melarang riba
dan setiap usaha yang merugikan hajat manusia. Islam juga melarang penipuan
dalam perniagaan. Di samping itu, Islam juga melarang pencabutan hak milik yang
didapatkan dari usaha yang halal, kecuali untuk kemashlahatan umum dan
mewajibkan pembayaran ganti rugi yang setimpal bagi pemiliknya.
8.
Hak mendapatkan pekerjaan
Islam tidak hanya menempatkan
bekerja sebagai hak, tetapi juga sebagai kewajiban. Bekerja merupakan
kehormatan yang perlu dijamin, sebagaimana sabda Nabi saw :
“tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang dari pada
makanan yang dihasilkan dari tangannya sendiri.” (HR. Ibnu Majah)
Adapun konsepsi Islam tentang hak bekerja adalah :[17]
Pertama, bekerja dan berusaha dalam Islam adalah wajib, maka setiap orang
muslim dituntut bekerja dan berusaha dalam memakmurkan hidupnya. Sebaliknya
Islam tidak menyukai orang yang malas bekerja (pengangguran). Islam juga
memandang rendah kepada orang yang mengemis, yang menggantungkan hidupnya
kepada orang lain dengan meminta-minta.
Kedua, Islam menganjurkan kebebasan dalam mencari rezeki dan kebebasan
untuk mengumpulkan kekayaan, dan setiap muslim bebas memilih pekerjaan yang
hendak dikerjakannya, sepanjang pekerjaan itu dalam jalan yang diridhai oleh
syari’at Islam.
Ketiga, Islam menetapkan bahwa tiap-tiap pekerjaan itu adalah ibadah
C.
PENUTUP
Dari pembahasan mengenai HAM di atas
dapatlah kita tarik kesimpukan bahwa Islam itu adalah agama yang asy-Syumul
(lengkap). Ajaran Islam meliputi seluruh aspek dan sisi kehidupan manusa. Islam
memberikan pengaturan dan tuntunan pada manusia, mulai dari urusan yang paling
kecil hingga urusan manusia yang berskala besar. Dan tentu saja telah tercakup
di dalamnya aturan dan penghargaan yang tinggi terhadap HAM. Memang tidak dalam
suatu dokumen yang terstruktur, tetapi tersebar dalam ayat suci al-Qur’an dan
sunnah Nabi saw.
Daftar Pustaka
T. Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Islam
dan Hak Asasi Manusia, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1999
Harun Nasution dan Bahtiar Effendi
(ed), Hak Asasi Manusia dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 1987
Abdan Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi
Ilmu-ilmu Sosial, Jilid 1, Rajawali Pers, Jakarta, 2000
Abdul Azis Dahlan (et.al), Ensiklopedi
Hukum Islam, Ictiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1996
Dalizar Putra, Hak Asasi
Manusia menurut Al-Qur’an, PT. Al-Husna Zikra, Jakarta, 1995
Eggi Sujana, HAM dalam
Perspektif Islam,Nuansa Madani, Jakarta, 2002
M. Luqman Hakim (ed), Deklarasi
Islam tentang HAM, Risalah Gusti, Surabaya, 1993
Hak Asasi
Manusia dalam Islam, http://www.angelfire.com
Wacana, Edisi
8, Tahun II/2001
Buletin Jum’at,
No. 14/28 Juli 2000
0 komentar:
Posting Komentar