KRITISISME
IMMANUEL KANT
A. Pendahuluan
Filsafat sebagai’’induk segala ilmu pengetahuan’’ dalam hal ini
adalah ilmu yang mendasari untuk mengembangkan ilmu pengetahuan maupun
penemuan-penemuan baru. Pada dasarnya filsafat adalah suatu usaha untuk
mensistimatisir pemikiran dan menerapkan pemikiran-pemikiran itu pada segala
bidang ilmu pengetahuan.
Makalh ini membahas tentang filsafat
dibarat pada zaman pertengahan atau zaman setelah abad pertengahan yaitu
filsafat modern, dan khususnya membahas tentang filsafat kritisisme Immanuel
Kant. Yang mana pemikiran Immanuel Kant yakni penggabungan dua ajaran yang
saling bertentangan yakni Rasionalisme Jerman dengan Empirisisme Inggris.
Pada masa itu (abad 17) cenderung
menganggap sumber pengetahuan salah satunya atau memberi tekanan pada
akal(rasio) atau hanya melalui pengalaman(empiris) saja, sesuai dengan paha
yang mereka anut.
B.
Akar-akar Pemikiran Kant
Immanuel kant adalah
filsuf yang hidup pada puncak perkembangan “Pencerahan”, yaitu suatu masa
dimana corak pemikiran yang menekankan kedalaman unsur rasionalitas berkembang
dengan pesatnya. Pasa masa itu lahir berbagai temuan dan paradigma baru
dibidang ilmu, dan terutama paradigma ilmu fisika alam. Heliosentris temuan
Nicolaus Copernicus (1473 – 1543) di bidang ilmu astronomi yang membutuhkan
paradigma geosentris, mengharuskan manusia mereinterpretasikan pandangan
duniannya, tidak hanya pandangan dunia ilmu tetapi juga keagamaan.
Selanjutnya ciri kedua adalah
apa yang dikenal dengan deisme, yaitu suatu paham yang
kemudian melahirkan apa yang disebut Natural Religion (Agama
alam) atau agama akal. Deisme adalah suatu ajaran yang mengakui adanya yang
menciptakan alam semesta ini. Akan tetapi setelah dunia diciptakan, Tuhan
menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri. Sebab ia telah memasukkan
hukum-hukum dunia itu ke dalamnya. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan
hukum-hukumnya. Manusia dapat menunaikan tugasnya dalam berbakti kepada Tuhan
dengan hidup sesuai dengan hukum-hukum akalnya. Maksud paham ini adalah
menaklukkan wahyu ilahi beserta degan kesaksian-kesaksiannya, yaitu buku-buku
Alkitab, mukjizat, dan lain-lain kepada kritik akal serta menjabarkan agama
dari pengetahuan yang alamiah, bebas dari pada segala ajaran Gereja.
Singkatnya, yang dipandang sebagai satu-satunya sumber dan patokan kebenaran
adalah akal.
Kant berusaha mencari
prinsip-prinsip yang ada dalam tingkah laku dan kecenderungan manusia. Inilah
yang kemudian menjadi kekhasan pemikiran filsafat Kant, dan terutama
metafisikanya yang – dianggap – benar-benar berbeda sama sekali dengan
metafisikan pra kant.
C.
Pengaruh Leibniz dan Hume
Leibniz-Wolf dan Hume
merupakan wakil dari dua aliran pemikiran filosofis yang kuat melanda Eropa
pada masa Pencerahan. Leibniz tampil sebagai tokoh penting dari aliran
empirisisme.
Di sini jelas, bahwa
epistemologi ‘ala Leibniz bertentangan dengan epistemologi Hume. Leibniz
berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasionya saja, dan bukan
pengalaman. Dari sumber sejati inilah bisa diturunkan kebenaran yang umum dan
mutlak. Sedangkan Hume megnajarkan bahwa pengalamanlah sumber pengetahuan itu.
Pengetahuan rasional mengenai sesuatu terjadi setelah itu dialami terlebih
dahulu.
D.
Epistemologi Kant, Membangun dari Bawah
Filsafat Kant berusaha
mengatasi dua aliran tersebut dengan menunjukkan unsur-unsur mana dalam pikiran
manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang terdapat dalam
akal. Kant menyebut perdebatan itu antinomy, seakan kedua
belah pihak merasa benar sendiri, sehingga tidak sempat memberi peluang untuk
munculnya alternatif ketiga yang barangkali lebih menyejukkan dan konstruktif.
Mendapatkan inspirasi dari “Copernican
Revolution”, Kant mengubah wajah filsafat secara radikal, dimana ia
memberikan filsafatnya, Kant tidak mulai dengan penyeledikan atas benda-benda
yang memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai objek. Lahirnya pengetahuan
karena manusia dengan akalnya aktif mengkonstruksi gejala-gejala yang dapat ia
tangkap. Kant mengatakan:
Akal tidak boleh bertindak seperti seroang
mahasiswa yang Cuma puas dengan mendengarkan keterangan-keterangan yang telah
dipilihkan oleh dosennnya, tapi hendaknya ia bertindak seperti hakim yang
bertugas menyelidiki perkara dan memaksa para saksi untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang ia sendiri telah rumuskan dan persiapkan sebelumnya.
Upaya Kant ini dikenal dengan kritisisme
atau filsafat kritis, suatu nama yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah
filsafat yang memulai perjalannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan
kritik atas rasio murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan terakhir adalah
kritik atas daya pertimbangan.
E.
Karya-Karya Immanuel Kant
Karya utama Kant selama periode kritis
meliputi Critique of Pure Reason, di mana dia menguji akal manusia dan
menyimpulkan bahwa manusia mampu membangun ilmu pengetahuan, dan
bukan metafisika. Pada tahun 1783 ia menerbitkan Prolegomenaatau Prologues to any Future Metaphysics, di mana dia menguji hal yang sama dari sudut
pandang yang berbeda. Pada 1785 terbitlah karyanya berjudul Foundation for the Metaphysics of Ethics, di mana ia mendiskusikan masalah moral
berdasarkan prinsip-prinsip kritik transendental. Dalam bukunya Critique of Judgment, ia menguji finalitas dalam alam dan masalah estetika. Ketiga Critique inilah yang menjadi maha karya serta eksposisi definitif
pemikiran seorang Immanuel Kant.
1.
Kritik atas Rasio Murni
Dalam kritik ini, atara
lain kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan
memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih dulu membedakan adanya tiga
macam putusan, yaitu:
a. Putusan analitis apriori;
dimana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah
termuat di dalamnya (msialnya, setiap benda menempati ruang).
b. Putusan sintesis aposteriori,
misalnya pernyataan “meja itu bagus” di sini predikat dihubungkan dengan subjek
berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah (=post, bhs latin)
mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui.
c. Putusan sintesis apriori;
disini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis,
namun bersifat apriori juga. Misalnya, putusan yang berbunyi
“segala kejadian mempunyai sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan mutlak,
namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori. Sebab
di dalam pengertian “sebab”. Maka di sini baik akal maupun pengalaman indrawi
dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika dan ilmu pengetahuan alam disusu atas
putusan sintetis yang bersifat apriori ini.
Rasionalisme dan empirisisme
mengambil alih penyelesaian problem: “Nilai apa yang dikandung oleh pengetahuan
(ide atau impresi) yang aku dapatkan tentang dunia fisikal (material) dan
hubungannya dengan apa yang harus aku lakukan?” Pertanyaan ini mengandung
sekaligus masalah epistemologis dan etis. Untuk mengatasi
kesulitan,rasionalisme—dari Descartes sampai Leibniz—telah mulai dengan asumsi
bahwa pikiran manusia dianugerahi dengan ide-ide bawaan. Memulainya dengan
melakukan deduksi dari ide-ide bawaan ini, rasionalisme membangun pengetahuan
yang dilengkapi dengan universalitas (karena ide-ide bawaan bersifat umum
bagi semua pikiran) dan sesuatu yang dibutuhkan (kualitas yang harus dimiliki
semua pengetahuan ilmiah dan filsafat). Tetapi rasionalisme gagal menunjukkan
keabsahan atau validitas jenis pengetahuan ini dalam rujukannya kepada dunia
alam tanpa jatuh ke panteisme. Selanjutnya, dalam setiap pertimbangan mengenai
Allah yang transenden, orde atau susunan ide-ide tetap terpisah dan berbeda
dari orde atau susunan benda-benda.
Di lain pihak, empirisme berusaha menjawab
pertanyaan yang sama dan memulainya dengan impresi inderawi. Dengan cara ini
empirisme mengklaim telah
“menemukan” salinan atau kopi objek yang ditangkap melalui impresi indrawi
tersebut. Meskipun demikian, cara ini tidak mampu menunjukkan aspek
universalitas dari dan keniscayaan pengetahuan tersebut. Empirisme lupa bahwa
setiap persepsi, meskipun bersifat tak-terbatas (ad infinitum), tetap saja
partikular. Kritisisme semacam ini tentu telah terlebih dahulu digagas dan
dikemukakan David Hume dan tak-terbantahkan. Untuk menghindari kesulitan
sebagaimana dihadapi empirisme ini, Hume mengemukakan unsure psikologis yang
lain yang disebut sebagai kebiasaan mengasosiasi (the habit of association) yang
menghubungkan impresi yang satu dengan impresi lainnya dan kemudian memberikan
mereka unsur universalitas dan keniscayaan. Apakah jalan keluar ini memuaskan? Harus
diingat di sini, jika intelek bisa menghubungkan fenomena yang satu dengan
fenomena lainnya dan kemudian menegaskan dimensi universalitas dan keniscayaan
mereka, intelek semacam itu tentu bukanlah “tabula rasa”. Intelek dengan
kemampuan semacam ini pasti memiliki konsep-konsep tertentu dalam dirinya (innate
concept) mengenai universalitas dan keniscayaan, yang kemudian
mengatributkannya kepada fenomena partikular ketika fenomena-fenomena itu
dihubungkan satu sama lain dalam kelompok atau kelas tertentu.
Lihatlah bahwa gagasan yang sangat
tidak memuaskan yang ditawarkan empirisme maupun jalan keluar yang disodorkan
Hume sungguh-sungguh “memaksa” Kant untuk memikirkan cara terbaik
memahami realitas. Kant tertantang untuk menemukan unsur objektif dan nilai
etis dari pengetahuan kita [dua pertanyaan penting yang dijawab Kant adalah (1)
what can I know? yang berhubungan dengan teori pengetahuan dan (2) what should
I do? yang berhubungan dengan masalah etika]. Dalam usahanya menawarkan sebuah
solusi yang konklusif, Kant menulis karya Critiques (disebut demikian karena dimaksudkan
untuk mengkritik dalam pengertian mendiskusikan dan menimbang). Demikianlah,
seluruh karya Immanuel Kant dapat sebut sebagai usaha serius menguji secara
saksama rasionalisme dan empirisme, tentu bukan untuk memberangus sama sekali
keduanya, tetapi untuk menemukan kelemahan-kelemahan mereka seraya tetap
mempertahankan hal-hal esensial dari keduanya.
Menurut Kant, rasionalisme termasuk
jenis “putusan analitis. Disebut demikian karena jenis putusan ini
mengkonstruksi sebuah sistem pengetahuan yang dilengkapi dengan aspek atau
dimensi universalitas dan keniscayaan, tetapi bagi Kant, jenis pengetahuan
semacam ini bersifat tautologis. Jenis pengetahuan ini tidak mampu membantu
kita memahami realitas. Pengetahuan jenis ini tentu tidak andal, karena itu
pengetahuan harus maju selangkah lagi, dan menurut Kant, pengetahuan harus
bersifat “sintetis”. Yang dimaksud adalah jenis pengetahuan yang predikatnya
memperluas pengetahuan kita mengenai subjek. Empirisme tentu bukanlah jenis
putusan “sintetis”, tetapi lebih merupakan putusan a posteriori, di mana
predikatnya tidak lebih dari fakta pengalaman, dan tentu saja mengakibatkan
putusan ini kehilangan unsur universalitas dan keniscayaannya. Jenis putusan
apapun yang tidak memiliki unsur universalitas dan keniscayaan tentu bukanlah
jenis pengetahuan filosofis yang cukup meyakinkan.
Kant mengajarkan bahwa ada jenis
putusan lain yang disebut putusan sintetis apriori. Bagi Kant, jenis putusan
ini akan mengarah kepada pengetahuan ilmiah yang benar. Jenis putusan ini
disebut sintetis karena memiliki karakter universalitas dan memenuhi criteria
keniscayaan (necessity) tanpa menjadi
tautologis. Selain itu, jenis putusan ini pun memiliki fekunditas putusan
aposteriori tanpa dibatasi pada pengada tertentu yang ada di dunia empiris. Syarat pembentukan setiap putusan
sintetis apriori adalah perlunya putusan memiliki forma (form)
dan materi (matter). (1) Forma diberikan oleh intelek,
independen dari semua pengalaman, a priori, dan menandakan fungsi, cara dan
hukum mengetahui dan bertindak yang eksistensinya mendahului seluruh
pengalaman. (2) Materi tidak lain adalah sensasi subjektif yang kita terima
dari dunia luar.
Melalui kedua unsur inilah manfaat
dari rasionalisme dan empirisme dipersatukan dalam putusan yang sama: forma
mewakili unsur universal dan niscaya, sedangkan materi mewakili data empiris.
Putusan yang dihasilkan (sintetis apriori) adalah universal dan niscaya karena
forma, dan absah bagi dunia
empiris karena materi. Perlu dicatat bahwa kedua elemen ini harus ada dalam
setiap pembentukan putusan sintetis apriori: forma tanpa materi adalah hampa;
materi tanpa bentuk adalah buta.
Jelas, pengetahuan diperoleh melalui
putusan apriorinya Kant adalah jenis pengetahuan yang memiliki hanya nilai
fenomenal. Jenis pengetahuan ini tidak memberikan pemahaman yang valid mengenai
obyek “in se” atau sebagaimana merekaa eksis di alam (noumena), tetapi hanya
sejauh mereka dipikirkan oleh subjek. Ego
berpikir Kant tidak mengasimilasi obyek, sebagaimana dipertahankan filsafat
tradisional, tetapi konstruksinya. Kenyataannya, baik materi dan bentuk
(sensasi) adalah elemen subjektif dan tidak memperlihatkan kenyataan; bahkan
tetap terpisah dan berbeda dari subjek.
Kant menyajikan studinya mengenai putusan
sintetis apriori dalam Critique
of Pure Reason. Karya ini dibagi menjadi tiga bagian:
• Dalam Transcendental Aesthetic (Estetika Transendental), Kant
menyelidiki unsur-unsur pengetahuan yang masuk akal mengacu pada suatu bentuk
apriori ruang dan waktu. Objek penelitian ini adalah untuk membuktikan matematika
sebagai ilmu yang sempurna.
• Karya Transcendental Analytic (Analitika
Transendental) adalah sebuah penyelidikan ke dalam pengetahuan
intelektual. Obyeknya adalah dunia fisik, dan ruang lingkupnya adalah
membuktikan “fisika murni” (mekanik) sebagai ilmu yang sempurna.
• Objek
penelitian dari Transcendental
Dialectic (Dialektika
Transendental) adalah realitas yang melampaui pengalaman kita;
yaitu esensi Allah, manusia dan dunia. Kant mereduksikan objek-objek dari
metafisika tradisional ini kepada “ide-ide,” yang tentangnya berputar-putar
secara sia-sia, tanpa harapan untuk bisa tiba pada sebuah hasil yang pasti. Tiga tingkatan pengetahuan manusia, yaitu:
a. Tingkat
Pencerapan Indrawi (Sinneswahrnehmung)
Unsur apriori, pada
taraf ini, disebut Kant dengan ruang dan waktu. Dengan unsur apriori ini
membuat benda-benda objek pencerapan ini menjadi ‘meruang’ dan ‘mewaktu’.
Pengertian kant mengenai ruang dan waktu ini berbeda dengan ruang dan waktu
dalam pandangan Newton.
Kalau Newton menempatkan
ruang dan waktu ‘di luar’ manusia, kant
megnatakan bahwa keduanya adalah apriori sensibilitas.
Maksud Kant, keduanya sudah berakar di dalam struktur subjek.
Ruang bukanlah ruang kosong, ke dalamnya suatu benda bisa ditempatkan; ruang
bukan merupakan “ruang pada dirinya sendiri” (Raum an sich). Dan
waktu bukanlah arus tetap, dimana pengindraan-pengindraan berlangsung, tetapi
ia merupakan kndisi formal dari fenomena apapun, dan bersifat apriori.
Yang bisa diamati dan
diselidiki hanyalah fenomena-fenomena atau penampakan-penampakannya saja, yang
tak lain merupakan sintesis antara unsur-unsur yang datang dari luar sebagai
materi dengan bentuk-bentuk apriori ruang dan waktu di dalam struktur pemikiran
manusia.
b. Tingkat Akal Budi (Verstand)
Bersamaan dengan
pengamatan indrawi, bekerjalah akal budi secara spontan. Tugas akal budi adalah
menyusun dan menghubungkan data-data indrawi, sehingga menghasilkan
putusan-putusan. Dalam hal ini
akal budi bekerja dengan bantuan fantasinya (Einbildungskarft).
Pengetahuan akal budi baru
diperoleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi tadi dengan
bentuk-bentuk apriori yang dinamai Kant dengan ‘kategori’, yakni ide-ide bawaan yang
mempunyai fungsi epistemologis dalam diri manusia.
Kant
mengatakan bahwa kegiatan akal budi (Verstand)
muncul dalam putusan. Akal budi itu sendiri adalah kemampuan membuat putusan.
Dalam putusan ini terjadi sintesis antara data-indrawi dan unsur-unsur a priori akal budi. Unsur-unsur a priori akal budi ini disebut Kant
sebagai ”kategori-kategori”. Tanpa sintesis ini, kita bisa mengindrai
penampakan, tapi tidak bisa mengetahuinya. Atau dapat dikatakan,
kategori-kategori itu merupakan syarat a
priori pengetahuan kita.
Menurut Kant,
ada 12 kategori, yaitu:
Kuantitas
1. Kesatuan / Unitas
2. Kemajemukan / Pluralitas
3. Keseluruhan / Totalitas
Kualitas
1. Realitas
2. Negasi
3. Limitasi
Relasi
1. Substansi
2. Kausalitas
3. Komunitas
Modalitas
1. Kemungkinan-kemustahilan
2. Eksistensi-Non-eksistensi
3. Keniscayaan-Kotingensi
c. Tingkat intelek /
Rasio (Versnunft)
Ide ini sifatnya semacam
‘indikasi-indikasi kabur’, petunjuk-petunjuk buat pemikiran (seperti juga kata
‘barat’ dan ‘timur’ merupakan petunjuk-petunjuk; ‘timur’ an sich tidak pernah
bisa diamati). Tugas intelek adalah menarik kesimpulan dari
pernyataan-pernyataan pada tingkat dibawahnya, yakni akal budi(Verstand) dan
tingkat pencerapan indrawi (Senneswahnehmung). Dengan kata
lain, intelek dengan idea-idea argumentatif.
Kendati Kant menerima
ketiga ide itu, ia berpendapat bahwa mereka tidak bisa diketahui lewat
pengalaman. Karena pengalaman itu, menurut kant, hanya terjadi di dalam dunia
fenomenal, padahal ketiga Idea itu berada di dunia noumenal (dari noumenan
= “yang dipikirkan”, “yang tidak tampak”, bhs. Yunani), dunia gagasan,
dunia batiniah. Idea mengenai jiwa, dunia dan Tuhan bukanlah
pengertian-pengertian tentang kenyataan indrawi, bukan “benda pada dirinya
sendiri” (das Ding an Sich). Ketiganya merupakan postulat atau
aksioma-aksioma epistemologis yang berada di luar jangkauan pembuktian
teoretis-empiris.
2. Kritik atas Rasio Praktis
Maxime (aturan pokok) adalah
pedoman subyektif bagi perbuatan orang perseorangan (individu), sedangkan imperative (perintah) merupakan azas
kesadaran obyektif yang mendorong kehendak untuk melakukan perbuatan. Imperatif
berlaku umum dan niscaya, meskipun ia dapat berlaku dengan bersyarat (hypothetical)atau
dapat juga tanpa syarat (categorical). Imperatif kategorik tidak
mempunyai isi tertentu apapun, ia merupakan kelayakan formal (=solen). Menurut
kant, perbuatan susila adalah perbuatan yang bersumber paa kewajiban dengan
penuh keinsyafan. Keinsyafan terhadap kewajiban merupakan sikap hormat (achtung).Sikap
inilah penggerak sesungguhnya perbuatan manusia.
Kant, ada akhirnya ingin
menunjukkan bahwa kenyataan adanya kesadaran susila mengandung adanya
praanggapan dasar. Praanggapan dasar ini oleh Kant disebut “postulat rasio
praktis”, yaitu kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan adanya Tuhan.
Pemikiran etika ini,
menjadikan Kant dikenal sebagai pelopor lahirnya apa yang disebut dengan
“argumen moral” tentang adanya Tuhan. Sebenarnya, Tuhan dimaksudkan sebagai
postulat. Sama dengan pada rasio murni, dengan Tuhan, rasio praktis ‘bekerja’
melahirkan perbuatan susila.
3. Kritik atas Daya
Pertimbangan
Kritik atas daya
pertimbangan, dimaksudkan oleh Kant adalah mengerti persesuaian kedua kawasan
itu. Hal itu terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas
bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas bersifat subjektif,
manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah yang terjadi dalam
pengalaman estetis (kesenian). Dengan finalitas yang bersifat objektif
dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.
Idealisme Transedental :
Sebuah Konsekuensi
Tidak mudah memahami kant,
terutama ketika sampai pada teorinya: realisme empirikal (Empirical
realism)dan Idealisme transendental (transendental idealism), apalagi
jika mencoba mempertemukan bagian-bagian dari teorinya itu. Istilah
“transenden” berhadapan dengan istilah ‘empiris’, dimana keduanya sama-sama
merupakan term epistemologis, namun sudah tentu mengandung
maksud yang berbeda; yang pertama berartiindependent dari pengalaman (dalam
arti transenden), sedang yang terakhir disebut berarti imanen dalam
pengalaman. Begitu saja “realisme” yang berlawanan dengan “idealisme”,
adalah dua istilah ontologis yang masing-masing bermakna: “lepas dari
eksistensi subyek” (independet of my existance) dan
“bergantung pada eksistensi subyek” (dependent of my existence).
Teori Kant ini mengingatkan kita kepada filsuf Berkeley dan Descartes. Berkeley
sduah tentu seorang empirisis, tetapi ia sekaligus muncul sebagai seroang
idealis. Sementara Descartes bisa disebut seorang realis karena ia percaya
bahwa eksistensi obyek itu, secara umum, independen dari kita, tetapi ia juga
memahami bahwa kita hanya mengetahui esensinya melalui idea bawaaninnate
ideas) secara “clear and distinct”, bukan melalui pengalaman. Inilah
yang kemudian membuat Descartes sebagai seorang “realis transendental”.
F.
Penutup
Filsafat
Immanuel Kant yakni kritisisme adalah penggabungan antara aliran filsafat
sebelumnya yakni Rasionalisme yng dipelopori oleh Rene Descrates-Leibniz dan
empirisime yang dipelopori oleh David
Hume. Kant mempunyai tiga karya yang sangat penting yakni kritik atas rasio
murni, kritik atas rasio praktis, dan kritik atas pertimbangan. Ketiga karyanya
inilah yang sangat mempengaruhi pemikiran filosof sesudahnya, yang mau tak mau menggunakan pemikiran kant. Karena pemikiran
kritisisme mengandung patikan-patokan berfikir yang rasional dan empiris.
DAFTAR
PUSTAKA
Muslih, Mohammad.2008.’’Filsafat ilmu: Kajian Atas
Asumsi Dasar Paradigma
.
dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan’’, Cetakan kelima.
Yogyakarta:Belukar
Mudhofir,Ali.2001.’’ Kamus Filsafat
Barat’’,cetakan 1, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Bagus,Lorenz. 2005.’’Kamus Filsafat’’. Cetakan
keempat, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
0 komentar:
Posting Komentar