Pages

Labels

Rabu, 30 Oktober 2013

Kritisisme Immanuel Kant

KRITISISME IMMANUEL KANT
A.  Pendahuluan
       Filsafat sebagai’’induk segala ilmu pengetahuan’’ dalam hal ini adalah ilmu yang mendasari untuk mengembangkan ilmu pengetahuan maupun penemuan-penemuan baru. Pada dasarnya filsafat adalah suatu usaha untuk mensistimatisir pemikiran dan menerapkan pemikiran-pemikiran itu pada segala bidang ilmu pengetahuan.
       Makalh ini membahas tentang filsafat dibarat pada zaman pertengahan atau zaman setelah abad pertengahan yaitu filsafat modern, dan khususnya membahas tentang filsafat kritisisme Immanuel Kant. Yang mana pemikiran Immanuel Kant yakni penggabungan dua ajaran yang saling bertentangan yakni Rasionalisme Jerman dengan Empirisisme Inggris.
      Pada masa itu (abad 17) cenderung menganggap sumber pengetahuan salah satunya atau memberi tekanan pada akal(rasio) atau hanya melalui pengalaman(empiris) saja, sesuai dengan paha yang mereka anut.
B.     Akar-akar Pemikiran Kant
     Immanuel kant adalah filsuf yang hidup pada puncak perkembangan “Pencerahan”, yaitu suatu masa dimana corak pemikiran yang menekankan kedalaman unsur rasionalitas berkembang dengan pesatnya. Pasa masa itu lahir berbagai temuan dan paradigma baru dibidang ilmu, dan terutama paradigma ilmu fisika alam. Heliosentris temuan Nicolaus Copernicus (1473 – 1543) di bidang ilmu astronomi yang membutuhkan paradigma geosentris, mengharuskan manusia mereinterpretasikan pandangan duniannya, tidak hanya pandangan dunia ilmu tetapi juga keagamaan.
     Selanjutnya ciri kedua adalah apa yang dikenal dengan deisme, yaitu suatu paham yang kemudian melahirkan apa yang disebut Natural Religion (Agama alam) atau agama akal. Deisme adalah suatu ajaran yang mengakui adanya yang menciptakan alam semesta ini. Akan tetapi setelah dunia diciptakan, Tuhan menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri. Sebab ia telah memasukkan hukum-hukum dunia itu ke dalamnya. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan hukum-hukumnya. Manusia dapat menunaikan tugasnya dalam berbakti kepada Tuhan dengan hidup sesuai dengan hukum-hukum akalnya. Maksud paham ini adalah menaklukkan wahyu ilahi beserta degan kesaksian-kesaksiannya, yaitu buku-buku Alkitab, mukjizat, dan lain-lain kepada kritik akal serta menjabarkan agama dari pengetahuan yang alamiah, bebas dari pada segala ajaran Gereja. Singkatnya, yang dipandang sebagai satu-satunya sumber dan patokan kebenaran adalah akal.
     Kant berusaha mencari prinsip-prinsip yang ada dalam tingkah laku dan kecenderungan manusia. Inilah yang kemudian menjadi kekhasan pemikiran filsafat Kant, dan terutama metafisikanya yang – dianggap – benar-benar berbeda sama sekali dengan metafisikan pra kant.
C.    Pengaruh Leibniz dan Hume
     Leibniz-Wolf dan Hume merupakan wakil dari dua aliran pemikiran filosofis yang kuat melanda Eropa pada masa Pencerahan. Leibniz tampil sebagai tokoh penting dari aliran empirisisme.
     Di sini jelas, bahwa epistemologi ‘ala Leibniz bertentangan dengan epistemologi Hume. Leibniz berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasionya saja, dan bukan pengalaman. Dari sumber sejati inilah bisa diturunkan kebenaran yang umum dan mutlak. Sedangkan Hume megnajarkan bahwa pengalamanlah sumber pengetahuan itu. Pengetahuan rasional mengenai sesuatu terjadi setelah itu dialami terlebih dahulu.
D.    Epistemologi Kant, Membangun dari Bawah
     Filsafat Kant berusaha mengatasi dua aliran tersebut dengan menunjukkan unsur-unsur mana dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang terdapat dalam akal. Kant menyebut perdebatan itu antinomy, seakan kedua belah pihak merasa benar sendiri, sehingga tidak sempat memberi peluang untuk munculnya alternatif ketiga yang barangkali lebih menyejukkan dan konstruktif.
     Mendapatkan inspirasi dari “Copernican Revolution”, Kant mengubah wajah filsafat secara radikal, dimana ia memberikan filsafatnya, Kant tidak mulai dengan penyeledikan atas benda-benda yang memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai objek. Lahirnya pengetahuan karena manusia dengan akalnya aktif mengkonstruksi gejala-gejala yang dapat ia tangkap. Kant mengatakan:
     Akal tidak boleh bertindak seperti seroang mahasiswa yang Cuma puas dengan mendengarkan keterangan-keterangan yang telah dipilihkan oleh dosennnya, tapi hendaknya ia bertindak seperti hakim yang bertugas menyelidiki perkara dan memaksa para saksi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia sendiri telah rumuskan dan persiapkan sebelumnya.
     Upaya Kant ini dikenal dengan kritisisme atau filsafat kritis, suatu nama yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan kritik atas rasio murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan terakhir adalah kritik atas daya pertimbangan.
E.     Karya-Karya Immanuel Kant
     Karya utama Kant selama periode kritis meliputi Critique of Pure Reason, di mana dia menguji akal manusia dan menyimpulkan bahwa manusia mampu membangun ilmu pengetahuan, dan bukan metafisika. Pada tahun 1783 ia menerbitkan Prolegomenaatau Prologues to any Future Metaphysics, di mana dia menguji hal yang sama dari sudut pandang yang berbeda. Pada 1785 terbitlah karyanya berjudul Foundation for the Metaphysics of Ethics, di mana ia mendiskusikan masalah moral berdasarkan prinsip-prinsip kritik transendental. Dalam bukunya Critique of Judgment, ia menguji finalitas dalam alam dan masalah estetika. Ketiga Critique inilah yang menjadi maha karya serta eksposisi definitif pemikiran seorang Immanuel Kant.



1.      Kritik atas Rasio Murni
            Dalam kritik ini, atara lain kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih dulu membedakan adanya tiga macam putusan, yaitu:
      a. Putusan analitis apriori; dimana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (msialnya, setiap benda menempati ruang).
      b. Putusan sintesis aposteriori, misalnya pernyataan “meja itu bagus” di sini predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah (=post, bhs latin) mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui.
      c. Putusan sintesis apriori; disini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis, namun bersifat apriori juga. Misalnya, putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan mutlak, namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori. Sebab di dalam pengertian “sebab”. Maka di sini baik akal maupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika dan ilmu pengetahuan alam disusu atas putusan sintetis yang bersifat apriori ini.
            Rasionalisme dan empirisisme mengambil alih penyelesaian problem: “Nilai apa yang dikandung oleh pengetahuan (ide atau impresi) yang aku dapatkan tentang dunia fisikal (material) dan hubungannya dengan apa yang harus aku lakukan?” Pertanyaan ini mengandung sekaligus masalah epistemologis dan etis. Untuk mengatasi kesulitan,rasionalisme—dari Descartes sampai Leibniz—telah mulai dengan asumsi bahwa pikiran manusia dianugerahi dengan ide-ide bawaan. Memulainya dengan melakukan deduksi dari ide-ide bawaan ini, rasionalisme membangun pengetahuan yang dilengkapi dengan universalitas (karena ide-ide bawaan bersifat umum bagi semua pikiran) dan sesuatu yang dibutuhkan (kualitas yang harus dimiliki semua pengetahuan ilmiah dan filsafat). Tetapi rasionalisme gagal menunjukkan keabsahan atau validitas jenis pengetahuan ini dalam rujukannya kepada dunia alam tanpa jatuh ke panteisme. Selanjutnya, dalam setiap pertimbangan mengenai Allah yang transenden, orde atau susunan ide-ide tetap terpisah dan berbeda dari orde atau susunan benda-benda.
Di lain pihak, empirisme berusaha menjawab pertanyaan yang sama dan memulainya dengan impresi inderawi. Dengan cara ini empirisme mengklaim telah “menemukan” salinan atau kopi objek yang ditangkap melalui impresi indrawi tersebut. Meskipun demikian, cara ini tidak mampu menunjukkan aspek universalitas dari dan keniscayaan pengetahuan tersebut. Empirisme lupa bahwa setiap persepsi, meskipun bersifat tak-terbatas (ad infinitum), tetap saja partikular. Kritisisme semacam ini tentu telah terlebih dahulu digagas dan dikemukakan David Hume dan tak-terbantahkan. Untuk menghindari kesulitan sebagaimana dihadapi empirisme ini, Hume mengemukakan unsure psikologis yang lain yang disebut sebagai kebiasaan mengasosiasi (the habit of association) yang menghubungkan impresi yang satu dengan impresi lainnya dan kemudian memberikan mereka unsur universalitas dan keniscayaan.    Apakah jalan keluar ini memuaskan? Harus diingat di sini, jika intelek bisa menghubungkan fenomena yang satu dengan fenomena lainnya dan kemudian menegaskan dimensi universalitas dan keniscayaan mereka, intelek semacam itu tentu bukanlah “tabula rasa”. Intelek dengan kemampuan semacam ini pasti memiliki konsep-konsep tertentu dalam dirinya (innate concept) mengenai universalitas dan keniscayaan, yang kemudian mengatributkannya kepada fenomena partikular ketika fenomena-fenomena itu dihubungkan satu sama lain dalam kelompok atau kelas tertentu.
            Lihatlah bahwa gagasan yang sangat tidak memuaskan yang ditawarkan empirisme maupun jalan keluar yang disodorkan Hume sungguh-sungguh “memaksa” Kant  untuk memikirkan cara terbaik memahami realitas. Kant tertantang untuk menemukan unsur objektif dan nilai etis dari pengetahuan kita [dua pertanyaan penting yang dijawab Kant adalah (1) what can I know? yang berhubungan dengan teori pengetahuan dan (2) what should I do? yang berhubungan dengan masalah etika]. Dalam usahanya menawarkan sebuah solusi yang konklusif, Kant menulis karya Critiques (disebut demikian karena dimaksudkan untuk mengkritik dalam pengertian mendiskusikan dan menimbang). Demikianlah, seluruh karya Immanuel Kant dapat sebut sebagai usaha serius menguji secara saksama rasionalisme dan empirisme, tentu bukan untuk memberangus sama sekali keduanya, tetapi untuk menemukan kelemahan-kelemahan mereka seraya tetap mempertahankan hal-hal esensial dari keduanya.
            Menurut Kant, rasionalisme termasuk jenis “putusan analitis. Disebut demikian  karena jenis putusan ini mengkonstruksi sebuah sistem pengetahuan yang dilengkapi dengan aspek atau dimensi universalitas dan keniscayaan, tetapi bagi Kant, jenis pengetahuan semacam ini bersifat tautologis. Jenis pengetahuan ini tidak mampu membantu kita memahami realitas. Pengetahuan jenis ini tentu tidak andal, karena itu pengetahuan harus maju selangkah lagi, dan menurut Kant, pengetahuan harus bersifat “sintetis”. Yang dimaksud adalah jenis pengetahuan yang predikatnya memperluas pengetahuan kita mengenai subjek. Empirisme tentu bukanlah jenis putusan “sintetis”, tetapi lebih merupakan putusan a posteriori, di mana predikatnya tidak lebih dari fakta pengalaman, dan tentu saja mengakibatkan putusan ini kehilangan unsur universalitas dan keniscayaannya. Jenis putusan apapun yang tidak memiliki unsur universalitas dan keniscayaan tentu bukanlah jenis pengetahuan filosofis yang cukup meyakinkan.
            Kant mengajarkan bahwa ada jenis putusan lain yang disebut putusan sintetis apriori. Bagi Kant, jenis putusan ini akan mengarah kepada pengetahuan ilmiah yang benar. Jenis putusan ini disebut sintetis karena memiliki karakter universalitas dan memenuhi criteria keniscayaan (necessity) tanpa menjadi tautologis. Selain itu, jenis putusan ini pun memiliki fekunditas putusan aposteriori tanpa dibatasi pada pengada tertentu yang ada di dunia empiris. Syarat pembentukan setiap putusan sintetis apriori adalah perlunya putusan memiliki forma (form) dan materi (matter). (1) Forma diberikan oleh intelek, independen dari semua pengalaman, a priori, dan menandakan fungsi, cara dan hukum mengetahui dan bertindak yang eksistensinya mendahului seluruh pengalaman. (2) Materi tidak lain adalah sensasi subjektif yang kita terima dari dunia luar.
            Melalui kedua unsur inilah manfaat dari rasionalisme dan empirisme dipersatukan dalam putusan yang sama: forma mewakili unsur universal dan niscaya, sedangkan materi mewakili data empiris. Putusan yang dihasilkan (sintetis apriori) adalah universal dan niscaya karena forma, dan absah bagi dunia empiris karena materi. Perlu dicatat bahwa kedua elemen ini harus ada dalam setiap pembentukan putusan sintetis apriori: forma tanpa materi adalah hampa; materi tanpa bentuk adalah buta.
            Jelas, pengetahuan diperoleh melalui putusan apriorinya Kant adalah jenis pengetahuan yang memiliki hanya nilai fenomenal. Jenis pengetahuan ini tidak memberikan pemahaman yang valid mengenai obyek “in se” atau sebagaimana merekaa eksis di alam (noumena), tetapi hanya sejauh mereka dipikirkan oleh subjek.  Ego berpikir Kant tidak mengasimilasi obyek, sebagaimana dipertahankan filsafat tradisional, tetapi konstruksinya. Kenyataannya, baik materi dan bentuk (sensasi) adalah elemen subjektif dan tidak memperlihatkan kenyataan; bahkan tetap terpisah dan berbeda dari subjek.
Kant menyajikan studinya mengenai putusan sintetis apriori dalam Critique of Pure Reason. Karya ini dibagi menjadi tiga bagian:
 •       Dalam Transcendental Aesthetic (Estetika Transendental), Kant menyelidiki unsur-unsur pengetahuan yang masuk akal mengacu pada suatu bentuk apriori ruang dan waktu. Objek penelitian ini adalah untuk membuktikan matematika sebagai ilmu yang sempurna.
 •       Karya Transcendental Analytic  (Analitika Transendental) adalah sebuah penyelidikan ke dalam pengetahuan intelektual. Obyeknya adalah dunia fisik, dan ruang lingkupnya adalah membuktikan “fisika murni” (mekanik) sebagai ilmu yang sempurna.
 •       Objek penelitian dari Transcendental Dialectic (Dialektika Transendental) adalah realitas yang melampaui pengalaman kita; yaitu esensi Allah, manusia dan dunia. Kant mereduksikan objek-objek dari metafisika tradisional ini kepada “ide-ide,” yang tentangnya berputar-putar secara sia-sia, tanpa harapan untuk bisa tiba pada sebuah hasil yang pasti. Tiga tingkatan pengetahuan manusia, yaitu:
           a. Tingkat Pencerapan Indrawi (Sinneswahrnehmung)
        Unsur apriori, pada taraf ini, disebut Kant dengan ruang dan waktu. Dengan unsur apriori ini membuat benda-benda objek pencerapan ini menjadi ‘meruang’ dan ‘mewaktu’. Pengertian kant mengenai ruang dan waktu ini berbeda dengan ruang dan waktu dalam pandangan Newton.
        Kalau Newton menempatkan ruang dan waktu ‘di luar’ manusia, kant megnatakan bahwa keduanya adalah apriori sensibilitas. Maksud Kant, keduanya sudah berakar di dalam struktur subjek. Ruang bukanlah ruang kosong, ke dalamnya suatu benda bisa ditempatkan; ruang bukan merupakan “ruang pada dirinya sendiri” (Raum an sich). Dan waktu bukanlah arus tetap, dimana pengindraan-pengindraan berlangsung, tetapi ia merupakan kndisi formal dari fenomena apapun, dan bersifat apriori.
        Yang bisa diamati dan diselidiki hanyalah fenomena-fenomena atau penampakan-penampakannya saja, yang tak lain merupakan sintesis antara unsur-unsur yang datang dari luar sebagai materi dengan bentuk-bentuk apriori ruang dan waktu di dalam struktur pemikiran manusia.


      b. Tingkat Akal Budi (Verstand)
        Bersamaan dengan pengamatan indrawi, bekerjalah akal budi secara spontan. Tugas akal budi adalah menyusun dan menghubungkan data-data indrawi, sehingga menghasilkan putusan-putusan. Dalam hal ini akal budi bekerja dengan bantuan fantasinya (Einbildungskarft). 
        Pengetahuan akal budi baru diperoleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi tadi dengan bentuk-bentuk apriori yang dinamai Kant dengan ‘kategori’,  yakni ide-ide bawaan yang mempunyai fungsi epistemologis dalam diri manusia.
        Kant mengatakan bahwa kegiatan akal budi (Verstand) muncul dalam putusan. Akal budi itu sendiri adalah kemampuan membuat putusan. Dalam putusan ini terjadi sintesis antara data-indrawi dan unsur-unsur a priori akal budi. Unsur-unsur a priori akal budi ini disebut Kant sebagai ”kategori-kategori”. Tanpa sintesis ini, kita bisa mengindrai penampakan, tapi tidak bisa mengetahuinya. Atau dapat dikatakan, kategori-kategori itu merupakan syarat a priori pengetahuan kita.
Menurut Kant, ada 12 kategori, yaitu:
Kuantitas
1.      Kesatuan / Unitas
2.      Kemajemukan / Pluralitas
3.      Keseluruhan / Totalitas
Kualitas
1.      Realitas
2.      Negasi
3.      Limitasi

Relasi
1.      Substansi
2.      Kausalitas
3.      Komunitas
Modalitas
1.      Kemungkinan-kemustahilan
2.      Eksistensi-Non-eksistensi
3.      Keniscayaan-Kotingensi
      c. Tingkat intelek / Rasio (Versnunft)
        Ide ini sifatnya semacam ‘indikasi-indikasi kabur’, petunjuk-petunjuk buat pemikiran (seperti juga kata ‘barat’ dan ‘timur’ merupakan petunjuk-petunjuk; ‘timur’ an sich tidak pernah bisa diamati). Tugas intelek adalah menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada tingkat dibawahnya, yakni akal budi(Verstand) dan tingkat pencerapan indrawi (Senneswahnehmung). Dengan kata lain, intelek dengan idea-idea argumentatif.
        Kendati Kant menerima ketiga ide itu, ia berpendapat bahwa mereka tidak bisa diketahui lewat pengalaman. Karena pengalaman itu, menurut kant, hanya terjadi di dalam dunia fenomenal, padahal ketiga Idea itu berada di dunia noumenal (dari noumenan = “yang dipikirkan”, “yang tidak tampak”, bhs. Yunani), dunia gagasan, dunia batiniah. Idea mengenai jiwa, dunia dan Tuhan bukanlah pengertian-pengertian tentang kenyataan indrawi, bukan “benda pada dirinya sendiri” (das Ding an Sich). Ketiganya merupakan postulat atau aksioma-aksioma epistemologis yang berada di luar jangkauan pembuktian teoretis-empiris.
       2.  Kritik atas Rasio Praktis
          Maxime (aturan pokok) adalah pedoman subyektif bagi perbuatan orang perseorangan (individu), sedangkan imperative (perintah) merupakan azas kesadaran obyektif yang mendorong kehendak untuk melakukan perbuatan. Imperatif berlaku umum dan niscaya, meskipun ia dapat berlaku dengan bersyarat (hypothetical)atau dapat juga tanpa syarat (categorical). Imperatif kategorik tidak mempunyai isi tertentu apapun, ia merupakan kelayakan formal (=solen). Menurut kant, perbuatan susila adalah perbuatan yang bersumber paa kewajiban dengan penuh keinsyafan. Keinsyafan terhadap kewajiban merupakan sikap hormat (achtung).Sikap inilah penggerak sesungguhnya perbuatan manusia.
          Kant, ada akhirnya ingin menunjukkan bahwa kenyataan adanya kesadaran susila mengandung adanya praanggapan dasar. Praanggapan dasar ini oleh Kant disebut “postulat rasio praktis”, yaitu kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan adanya Tuhan.
          Pemikiran etika ini, menjadikan Kant dikenal sebagai pelopor lahirnya apa yang disebut dengan “argumen moral” tentang adanya Tuhan. Sebenarnya, Tuhan dimaksudkan sebagai postulat. Sama dengan pada rasio murni, dengan Tuhan, rasio praktis ‘bekerja’ melahirkan perbuatan susila.
        3.  Kritik atas Daya Pertimbangan
          Kritik atas daya pertimbangan, dimaksudkan oleh Kant adalah mengerti persesuaian kedua kawasan itu. Hal itu terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.
        Idealisme Transedental : Sebuah Konsekuensi
          Tidak mudah memahami kant, terutama ketika sampai pada teorinya: realisme empirikal (Empirical realism)dan Idealisme transendental (transendental idealism), apalagi jika mencoba mempertemukan bagian-bagian dari teorinya itu. Istilah “transenden” berhadapan dengan istilah ‘empiris’, dimana keduanya sama-sama merupakan term epistemologis, namun sudah tentu mengandung maksud yang berbeda; yang pertama berartiindependent dari pengalaman (dalam arti transenden), sedang yang terakhir disebut berarti imanen dalam pengalaman. Begitu saja “realisme” yang berlawanan dengan “idealisme”, adalah dua istilah ontologis yang masing-masing bermakna: “lepas dari eksistensi subyek” (independet of my existance) dan “bergantung pada eksistensi subyek” (dependent of my existence). Teori Kant ini mengingatkan kita kepada filsuf Berkeley dan Descartes. Berkeley sduah tentu seorang empirisis, tetapi ia sekaligus muncul sebagai seroang idealis. Sementara Descartes bisa disebut seorang realis karena ia percaya bahwa eksistensi obyek itu, secara umum, independen dari kita, tetapi ia juga memahami bahwa kita hanya mengetahui esensinya melalui idea bawaaninnate ideas) secara “clear and distinct”, bukan melalui pengalaman. Inilah yang kemudian membuat Descartes sebagai seorang “realis transendental”.

F.     Penutup
            Filsafat Immanuel Kant yakni kritisisme adalah penggabungan antara aliran filsafat sebelumnya yakni Rasionalisme yng dipelopori oleh Rene Descrates-Leibniz dan empirisime  yang dipelopori oleh David Hume. Kant mempunyai tiga karya yang sangat penting yakni kritik atas rasio murni, kritik atas rasio praktis, dan kritik atas pertimbangan. Ketiga karyanya inilah yang sangat mempengaruhi pemikiran filosof sesudahnya, yang mau  tak mau menggunakan pemikiran kant. Karena pemikiran kritisisme mengandung patikan-patokan berfikir yang rasional dan empiris. 

DAFTAR PUSTAKA
Muslih, Mohammad.2008.’’Filsafat ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma  
         . dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan’’, Cetakan kelima.  
         Yogyakarta:Belukar
Mudhofir,Ali.2001.’’ Kamus Filsafat Barat’’,cetakan 1, Yogyakarta: Pustaka
         Pelajar.
Bagus,Lorenz. 2005.’’Kamus Filsafat’’. Cetakan keempat, Jakarta: Gramedia
         Pustaka Utama


0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About