Pages

Labels

Rabu, 30 Oktober 2013

Falsifikasi Karl Popper

FALSIFIKASI KARL POPPER

A.    Pendahuluan
            Dalam kaitannya dengan problem filsafat ilmu, pemikiran Popper, oleh beberapa penulis sering dikelompokkan dalam tiga tema, yaitu persoalan induksi, persoalan demarkasi, dan persoalan dunia ketiga. Ia memang tidak sependapat dengan keyakinan tradisional tentang “induksi”, dan menyatakan bahwa tak ada sejumlah contoh-contoh khusus yang menjamin prinsip universal. Demikian juga soal “verifikasi”, sebagaimana diyakini lingkaran wina[1]. Bagi dia, “falsifikasi” atau juga disebut “falsifiabilitas” adalah batas pemisah (demarkasi) yang tepat, antara ilmu dengan yang bukan ilmu.
            
B.     Induksi dan Hipotesa
            Bagi para praktisi ilmu, metode induksi sering tidak pernah jadi persoalan, namun bagi pengamat, teoritisi dan filsuf ilmu, induksi selalu menjadi problem. Persoalan yang paling mendasar bagi mereka adalah, bahwa metode induksi yang berangkat dari beberapa kasus particular kemudian dipakai untuk menciptakan hokum umum dan mutlak perlu.
            Misalnya dengan berdasarkan beberapa penelitian kasus ditemukan bahwa angsa berwarna putih, kemudian disimpulkan bahwa semua angsa berwarna putih. Atau berdasarkan penelitian, bahwa emas dipanaskan memuai, lalu disimpulakan bahwa semua logam dipanaskan memuai.
            Diantara filsuf yang mempersoalkan “proses generalisasi” dengan cara induksi adalah Francis Bacon, meski kemudian ia mengajukan teori “idola”nya. John S. Mill juga melakukan hal yang sama, konsep yang diajukannya ialah metode kesesuaian, ketidaksesuaian, dan metode residue[2]. Filsuf yang secara radikal menolak proses generalisasi ini adalah David Hume. Sementara Popper sendiri, dalam hal ini setuju dengan Hume, bahwa peralihan dari yang particular ke yang universal itu secara logis tidak sah.
Adapun beberapa gagasan Popper sehubungan dengan penolakannya terhadap gagasan lingkaran Wina adalah:
·         Popper menentang prinsip demarkasi antara ilmu yang bermakna dan tidak bermakna berdasarkan metode verifikatif induktif. Dia mengusulkan suatu demarkasi lain, yaitu demarkasi antara ilmu yang ilmiah dan tidak ilmiah berdasarkan tolak ukur pengujian deduktif.
·         Metode verifikasi induktif diganti dengan metode falsifikasi deduktif. Namun tidak seperti Hume yang membuang induksi atau Kant yang mendudukkan induksi pada tataran sintesis a priori, Popper justru meletakkan penalaran induktif pada tataran awal, pra ilmiah dalam rangkah pengujian deduktif.[3]
Secara khusus, Popper mengkritik pandangan neo-positivisme (Vienna Circle), yang menerapkan pemberlakuan hukum umum dan menganggapnya sebagai teori ilmiah. Seperti telah diketahui, mereka memeperkenalkannya dengan sebutan ungkapan bermakna (meaningful), untuk dibedakannya dari ungkapan yang tidak bermakna (meaningless) berdasarkan criteria dapat atau tidaknya dibenarkan secara empiris. Popper berbeda, anggapan mereka bahwa suatu teori umum dapat dirumuskan dan dibuktikan kebenarannya melalui prinsip verifikasi. Bagi Popper, suatu teori tidak bersifat ilmiah hanya karena bisa dibuktikan kebenarannya, melainkan karena dapat diuji (testable), dalam arti dapat diuji dengan percobaan-percobaan sistematis untuk menyangkalnya. Apabila suatu hipotesa atau suatau teori dapat bertahan melawan segala penyangkalan, maka kebenaran hipotesa atau teori tersebut semakin diperkokoh. Makin besar kemungkinan untuk menyangkal sesuatu teori dan jika teori it uterus bisa bertahan, maka semakin kokoh pula kebenarannya.
Menurut Popper, teori-teori ilmiah selalu dan hanyalah bersifat hipotesis (dugaan sementara), tak ada kebenaran terakhir. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori yang lebih tepat. Untuk itu Popper lebih suka menggunakan istilah hipotesa, atas dasar kesementaraannya. Upayanya ini, ia sebut dengan The Thesis of Futability: suatu ungkapan atau hipotesa bersifat ilmiah jika secara prinsipil terdapat kemungkinan untuk menjalankan kritik. Ilmuwan yang sejati tidak akan takut pada kritikan, sebaliknya ia sangat mengharapkan kritikan, sebab hanya melalui kritik, ilmu pengetahuan akan terus mengalami kemajuan.

Begitulah bagi Popper sebuah hipotesa, hukum, atau teori, kebenarannya hanya bersifat sementara, yakni sejauh belum ditemukan kesalahan-kesalahan yang ada di dalamnya. Jika ada pernyataan: “semua angsa itu berbulu putih”, melalui prinsip refutasi tersebut, hanya dengan ditemukan seekor angsa yang berbulu selain putih, maka runtuhlah pernyataan semula. Bagi Popper, ilmu pengetahuan dapat berkembang maju, jika suatu hipotesa telah dibuktikan salah, sehingga dapat digantikan dengan hipotesa yang baru. Namun ada kemungkinan lain, yaitu hanya salah satu unsur hipotesa yang dibuktikan salah untuk digantikan dengan unsur baru yang lain, sehingga hipotesa telah disempurnakan.
Pandangan Popper ini, sekaligus menunjukkan bahwa proses pengembangan ilmu bukanlah dengan jalan akumulasi, dalam arti pengumpulan bukti-bukti positif atau bukti-bukti yang mendukung suatu teori, sebagaimana pandangan neo-positivisme. Bagi Popper, proses pengembangan ilmu adalah dengan jalan eliminasi terhadap kemungkinan kekeliruan dan kesalahan (error elimination). Lebih jauh, untuk membuktikan pandangannya itu, ia menggunakan bukti-bukti sejarah ilmu, dalam hal ini koreksi (error elimination) dari Einstein terhadap fisika Newton, dimana setelah diskusi beberapa waktu, para ahli kemudian sepakat dalam menerima fisika Einstein sebagai lebih memuaskan dari pada fisika Newton untuk menerangkan gejala-gejala fisis dalam dunia kita. Sejarah ilmu ini, bagi Popper, merupakan contoh paling jelas dalam memperlihatkan bagaimana proses pertumbuhan ilmu pengetahuan. Suatu teori ilmiah tidak pernah benar secara definitif atau mendekati kebenaran, karena teori-teori kita lihat menjadi lebih terperinci dan bernuansa. Selalu kita harus rela meninggalkan suatu teori, jika muncul teori yang ternyata lebih memuaskan untuk menjelaskan fakta-fakta. Bagi Popper, kemajuan ilmiah itu dicapai lewat “dugaan dan penyanggahan”, dan semangat kritik diri (self-critical) adalah esensi ilmu.

C.    Problem Demarkasi
Problem demarkasi dirumuskan oleh Popper sebagai problem mengenai bagaimana menemukan sebuah kriteria yang bisa membedakan ilmu-ilmu empiris dari matematika, logika dan system-sistem metafisik.[4] Solusi Popper terhadap induksi ternyata membangkitkan cara pandang yang baru terhadap problem awalnya yakni, problem seputar kriteria demarkasi ilmiah yang tepat.

Kriteria verifiabilitas bukanlah suatu kriteria demarkasi ilmu, melainkan sebagai kriteria kemaknaannya. Bermakna tidaknya suatu pernyataan atau hipotesis ilmiah ditentukan oleh corak empiris positifnya. Logika induktif dan prinsip verifiabilitas mengakibatkan pengetahuan yang bukan ilmiah (metafisika) tidak bermakna sama sekali. Kriteria demarkasi dan logika induktif mengakibatkan terjadinya percampurbauran antara metafisika dan ilmu pengetahuan, yang pada gilirannya dapat mengaburkan kedua-duanya.[5] Hal inilah yang membuat Karl Popper menentang gagasan dari lingkaran Wina dan membuat demarkasi lain dengan kriteria falsifikasi.

D.    Solusi Popper tentang Problem Demarkasi
Popper hendak merumuskan sebuah kriteria demarkasi antara ilmu dan non ilmu (metafisika). Kriteria demarkasi yang digunakan oleh Popper adalah kriteria falsifiabilitas (kemampuan dan kemungkinan disalahkan atau disangkal)[6]. Setiap pernyataan ilmiah pada dasarnya mengandung kemampuan disangkal, jadi ilmu pengetahuan empiris harus bisa diuji secara deduktif dan terbuka kepada kemungkinan falsifikasi empiris. Contoh:
(1) Akan terjadi atau tidak terjadi hujan di sini esok
(2) Akan terjadi hujan di sini esok

Pernyataan (1) tidak bersifat empiris oleh karena tidak dapat disangkal. Sedangkan pernyataan (2) bersifat empiris karena dapat disangkal.
Kriteria demarkasi Popper didasarkan pada suatu asimetri logis antara verifiabilitas dan falsifiabilitas.[7] Pernyataan universal tidak bersumber dari pernyataan tunggal, tetapi sebaliknya bisa bertentangan dengannya. Dengan logika deduktif, maka generalisasi empiris atau pernyataan universal dapat diuji dan disangkal secara empiris, tetapi tidak dapat dibenarkan. Hal ini berarti bahwa hokum-hukum ilmiah pada dasarnya dapat diuji, kendatipun tidak dapat dibenarkan atau dibuktikan secara induktif.





E.     Apa itu Falsifikasi ?
Dalam konteks penolakan terhadap induktivisme para pendukung teori falsifikasi menyatakan bahwa setiap penelitian ilmiah dituntun oleh teori tertentu yang mendahuluinya. Karena itu, semua keyakinan bahwa kebenaran teori-teori ilmiah dicapai melalui kepastian hasil observasi, sungguh-sungguh ditolak. Teori merupakan hasil rekayasa intelek manusia yang kreatif dan bebas untuk mengatasi problem-problem yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Teori-teori itu kemudian diuji dengan eksperimen-eksperimen atau observasi-observasi. Terori yang tidak dapat bertahan terhadap suatu eksperimen harus dinyatakan gagal dan digantikan oleh teori spekulatif lain. Itu berarti, ilmu pengetahuan berkembang melalui kesalahan dan kekeliruan, melalui hipotesis dan refutasi.
Menurut teori falsifikasi, ada teori yang dapat dibuktikan salah berdasarkan hasil observasi dan eksperimen. Ilmu pengetahuan tidak lain dari rangkaian hipotesis-hipotesis yang dikemukakan secara tentatif untuk menjelaskan tingkah laku manusia atau kenyataan dalam alam semesta. Tetapi tidak setiap hipotesis dapat begitu saja diklasifikasikan di bawah ilmu pengetahuan. Hipotesis yang layak disebut sebagai teori atau hokum ilmiah harus memenuhi syarat fundamental berikut: hipotesis itu harus terbuka terhadap kemungkinan falsifikasi. Contoh:
1.         Tidak pernah turun hujan pada hari-hari Rabu
2.         Semua substansi akan memuai jika dipanaskan
Pernyataan (1) dapat difalsifikasikan karena dengan suatu observasi kita dapat menunjukkan bahwa pada hari Rabu terntentu ada hujan. Pernyataan (2) pun dapat difalsifikasi karena melalui observasi kita dapat memperlihatkan bahwa ada substansi tertentu tidak memuai jika dipanaskan. Pernyataan berikut ini tidak memenuhi syarat yang dikemukakan oleh Popper dan konsekuensinya tidak dapat difalsifikasikan;
1.         Baik pada hari hujan maupun tidak hujan saya datang
Tidak ada suatu pernyataan observasi yang secara logis dapat menyangkal pernyataan (1). Pernyataan ini benar, bagaimanapun keadaan cuaca. Pernyataan di atas ini tidak dapat difalsifikasikan,[8] sebab semua kemungkinan yang akan terjadi atau diturunkan dari pernyataan di atas, tetap benar.
Falsifikasi merupakan metode yang digunakan oleh Popper untuk menolak gagasan dari lingkaran Wina tentang metode verifikasi induktif. Alasan penolakan Popper ini, karena dalam rangkah membedakan ilmu yang bermakna dan tidak bermakna masih menjunjung tinggi induksi.[9] Beberapa kritik yang dikemukakan Popper terhadap prinsip verifikasi: Pertama, prinsip verifikasi tidak pernah mungkin untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. Menurut Popper, hukum-hukum umum dan ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Karena itu, seluruh ilmu pengetahuan alam (yang sebagian besar terdiri dari hukum-hukum umum tidak bermakna, sama seperti metafisika); kedua, sejarah membuktikan bahwa ilmu pengetahuan juga lahir dari pandangan-pandangan metafisis. Karena itu Popper menegaskan bahwa suatu ucapan metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi dapat benar juga, walaupun baru menjadi ilmiah setelah diuji; ketiga, untuk menyelidiki bermakna atau tidaknya suatu ucapan atau teori, lebih dulu harus kita mengerti ucapan atau teori itu. Solusi yang diberikan oleh Popper terhadap problem induksi ternyata mengarahkan perhatiannya secara lebih serius kepada problem demarkasi, atau problem batas antara pengetahuan yang ilmiah dan pengetahuan yang bukan ilmiah. Untuk itu pada bagain ini, penulis terlebih dahulu mengangkat problem demarkasi ini sebagai titik tolak dari falsifikasi Popper.

F.     Pandangan Popper tentang 3 Dunia
Popper membedakan tiga dunia:
a. Dunia 1 (world I), yaitu kenyataan fisis dunia.
b. Dunia 2 (world II), yaitu segala kejadian dan kenyataan psikis dalam diri manusia
c. Dunia 3 (World III), yaitu segala hipotesa, hukum, dan teori ciptaan manusia dan hasil kerja sama antara dunia 1 dan dunia 2 serta seluruh bidang kebudayaan, seni, metafisik, agama, dan lain sebagainya.
Dunia 3 ini hanya ada selama dihayati, yaitu dalam karya dan penelitian ilmiah, dalam studi yang sedang berlangsung, membaca buku, dalam ilham yang mengalir dalam diri para seniman, dan penggemar seni yang mengandaikan adanya suatu kerangka. Sesudah penghayatan itu, semuanya langsung ‘mengendap’ dalam bentuk fisik alat-alat ilmiah, buku-buku, karya seni, kitab-kitab suci, dan lain sebagainya, yang semuanya merupakan bagian dari dunia 1. Dalam pergaulan manusia dengan sisa-sisa dunia 3 dalam dunia 1 itu, dunia 2-lah yang membuat manusia bisa membangkitkan kembali dan mengembangkan dunia 3 tersebut.[10] menurut Popper, dunia 3 itu mempunyai kedudukan sendiri. Dunia 3 bedaulat, artinya tidak semata-mata begitu saja terikat pada dunia 1, tetapi sekaligus tidak terikat juga pada subjek tertentu. Maksudnya tidak terikat pada dunia 2, yaitu pada orang tertentu, pada suatu lingkungan masyarakat, maupun pada periode sejarah tertentu.

G.    Kritik Popper terhadap Positivisme Logis
Popper menentang beberapa gagasan dasar Lingkaran Wina (pandangan yang dikembangkan oleh kelompok ini disebut neopositivisme atau kerap juga dinamakan positivisme logus atau empirisme logis). Pertama-tama ia menentang pembedaan antara ungkapan yang disebut bermakna (meaningfull) dari yang tidak bermakna berdasarkan kriterium dapat tidaknya dibenarkan secara empiris. Pembedaan ini digantinya dengan ‘garis batas’ (demarkasi) antara ungkapan ilmiah dan tidak ilmiah. Pokok demarkasi terletak pada ada tidaknya dasar empiris bagi ungkapan bersangkutan. Ungkapan yang tidak bersifat ilmiah mungkin sekali amat bermakna (meaningful). Apakah suatu ungkapan bersifat empiris atau tidak, atau dimanakah letak ungkapan itu dari garis batas – menurut Popper tidak dapat ditentukan berdasarkan asas pembenaran yang dianut positivisme logis yakni melalui proses induksi. Dalam hal ini Popper setuju dengan Hume, bahwa peralihan dari yang partikular ke yang universal tidak sah.
Kemudian Popper mengajukan prinsip falsifiabilitas, bahwa ciri khas pengetahuan ilmiah adalah sesuatu yang dapat dibuktikan salah (it can falsified). Untuk mencapai pandangan ini Popper menggunakan kebenaran logis yang sederhana. Dia memberikan contoh: “dengan observasi terhadap angsa-angsa putih, betapun besar jumlahnya, orang tidak dapat sampai pada kesimpulan bahwa semua angsa bewarna putih, tetapi sementara itu cukup satu kali observasi terhadap seekor angsa hitam untuk menyangkal pendapat tadi.”
Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus diji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena elemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.
Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab benar secara mutlak.

H.    Penutup
Karl Popper adalah Seorang Pemikir yang menguasai banyak bidang; sejarah, sastra, psikologi, politik dan filsafat. The Logic of Scientific Discovery menjadikannya terkenal sebagai seorang filusuf. Ia banyak berhubungan dengan anggota-anggota lingkaran wina dan melontarkan banyak kritikan soal metode induktif yang berdasarkan fakta. Ia mempertanyakan, berapa pun jumlah fakta yang dikumpulkan tidak dapat menjamin sebagai sebuah kebenaran umum.
            Menurut Popper, suatu teori dikategorikan ilmiah tidak cukup dengan adanya pembuktian, tetapi ia harus dapat diuji (testable). Jika teori tersebut tidak lolos dari ujian maka teori tersebut tidak benar dan harus diganti dengan teori yang lebih tepat. Sebaliknya, jika teori tersebut bertahan dalam ujian maka kebenarannya ilmiahnya akan semakin kokoh dan terpercaya
           
            Menurut Popper, metode empirik ini sangat berkaitan erat dengan kriteria demarkasi. Dimana Popper juga mengajukannya untuk menggunakan sebagai aturan-aturan untuk menentukan ketahanan daya uji pernyataan ilmiah, yang disebut juga sebagai falsifiability.
            Jika teori tersebut tidak lolos dari ujian maka teori tersebut tidak benar dan harus diganti dengan teori yang lebih tepat. Sebaliknya, jika teori tersebut bertahan dalam ujian maka kebenarannya ilmiahnya akan semakin kokoh dan terpecaya


















DAFTAR PUSTAKA
Bdk. Joseph Antonius Ufi, “Metodologi Problem Solving dalam Pandangan Karl R. Popper
Bdk. Prasetya T.W., “Anarkisme Dalam Ilmu Pengetahuan P.K Feyerabend,” dalam Hakikat Pengetahuan Dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu, diedit oleh R. Bambang Rudianto (Jakarta: Gramedia, 1993)
K.R. Popper, “The Logic of Scientific Discovery” (New York: Basic Books, 1959)
Muslih, Muhammad, “Filsafat Ilmu”, (Yogyakarta: Belukar, 2010)
R. Henre, “Philosophy of Science”, History of”, dalam Paul Edward (ed.), The Ensyclopedia of Philosophy, vol. VI, (289-296)



                [1] Kelompok Lingkaran Wina (Austria) concern terhadap ilmu pengetahuan, filsafat, matematika dan politik dengan
pendekatan teori Verifikatif. Nama-nama Alfred Ayer, Viktor Kraft , Herbeert Feigl Morre ,Rusell William Berkson,
Psikologi Belajar Karl Popper, Terj, Ali Noer Zaman (Yogjakarta: Qalam, 2003),
                [2] Lihat buku filsafat Ilmu, Mohammad Muslih pada BAB John S. Mill
                [3] Bdk. Joseph Antonius Ufi, “Metodologi Problem Solving dalam Pandangan Karl R. Popper”, hlm 35.
                [4] K.R. Popper, “The Logic of Scientific Discovery” (New York: Basic Books, 1959), hlm 34.
                [5] Ibid, hlm 36-37
                [6] R. Henre, “Philosophy of Science, History of”, dalam Paul Edward (ed.), The Ensyclopedia of Philosophy, vol. VI, (289-296), p. 294
                [7] K.R. Popper, “The Logic of Scientific Discovery” (New York: Basic Books, 1959), hlm 35
                [8] K.R. Popper, “The Logic of Scientific Discovery” (New York: Basic Books, 1959) hlm 41.
                [9] Bdk. Prasetya T.W., “Anarkisme Dalam Ilmu Pengetahuan P.K Feyerabend,” dalam Hakikat Pengetahuan Dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu,diedit oleh R. Bambang Rudianto (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm 50.
                [10] Lihat buku Filsafat Ilmu Mohammad Muslih tentang Dunia Tiga, hal. 125

1 komentar:

  1. thanks ya, manfaat banget tulisannya. lagi bikin tugas tentang falsifikasi hipotesisnya Popper ^_^

    BalasHapus

 

Blogger news

Blogroll

About