FALSIFIKASI KARL POPPER
A.
Pendahuluan
Dalam kaitannya
dengan problem filsafat ilmu, pemikiran Popper, oleh beberapa penulis sering
dikelompokkan dalam tiga tema, yaitu persoalan induksi, persoalan demarkasi,
dan persoalan dunia ketiga. Ia memang tidak sependapat dengan keyakinan
tradisional tentang “induksi”, dan menyatakan bahwa tak ada sejumlah
contoh-contoh khusus yang menjamin prinsip universal. Demikian juga soal
“verifikasi”, sebagaimana diyakini lingkaran wina[1].
Bagi dia, “falsifikasi” atau juga disebut “falsifiabilitas” adalah batas
pemisah (demarkasi) yang tepat, antara ilmu dengan yang bukan ilmu.
B.
Induksi dan Hipotesa
Bagi para praktisi
ilmu, metode induksi sering tidak pernah jadi persoalan, namun bagi pengamat,
teoritisi dan filsuf ilmu, induksi selalu menjadi problem. Persoalan yang
paling mendasar bagi mereka adalah, bahwa metode induksi yang berangkat dari
beberapa kasus particular kemudian dipakai untuk menciptakan hokum umum dan
mutlak perlu.
Misalnya dengan berdasarkan beberapa penelitian kasus
ditemukan bahwa angsa berwarna putih, kemudian disimpulkan bahwa semua angsa
berwarna putih. Atau berdasarkan penelitian, bahwa emas dipanaskan memuai, lalu
disimpulakan bahwa semua logam dipanaskan memuai.
Diantara filsuf
yang mempersoalkan “proses generalisasi” dengan cara induksi adalah Francis
Bacon, meski kemudian ia mengajukan teori “idola”nya. John S. Mill juga
melakukan hal yang sama, konsep yang diajukannya ialah metode kesesuaian,
ketidaksesuaian, dan metode residue[2].
Filsuf yang secara radikal menolak proses generalisasi ini adalah David
Hume. Sementara Popper sendiri, dalam hal ini setuju dengan Hume, bahwa
peralihan dari yang particular ke yang universal itu secara logis tidak sah.
Adapun beberapa gagasan Popper sehubungan dengan penolakannya
terhadap gagasan lingkaran Wina adalah:
·
Popper menentang prinsip demarkasi antara ilmu yang bermakna dan
tidak bermakna berdasarkan metode verifikatif induktif. Dia mengusulkan suatu
demarkasi lain, yaitu demarkasi antara ilmu yang ilmiah dan tidak ilmiah
berdasarkan tolak ukur pengujian deduktif.
·
Metode verifikasi induktif diganti dengan metode falsifikasi
deduktif. Namun tidak seperti Hume yang membuang induksi atau Kant yang
mendudukkan induksi pada tataran sintesis a priori, Popper justru meletakkan
penalaran induktif pada tataran awal, pra ilmiah dalam rangkah pengujian
deduktif.[3]
Secara
khusus, Popper mengkritik pandangan neo-positivisme (Vienna Circle), yang
menerapkan pemberlakuan hukum umum dan menganggapnya sebagai teori ilmiah.
Seperti telah diketahui, mereka memeperkenalkannya dengan sebutan ungkapan
bermakna (meaningful), untuk dibedakannya dari ungkapan yang tidak bermakna
(meaningless) berdasarkan criteria dapat atau tidaknya dibenarkan secara
empiris. Popper berbeda, anggapan mereka bahwa suatu teori umum dapat
dirumuskan dan dibuktikan kebenarannya melalui prinsip verifikasi. Bagi Popper,
suatu teori tidak bersifat ilmiah hanya karena bisa dibuktikan kebenarannya,
melainkan karena dapat diuji (testable), dalam arti dapat diuji dengan
percobaan-percobaan sistematis untuk menyangkalnya. Apabila suatu hipotesa atau
suatau teori dapat bertahan melawan segala penyangkalan, maka kebenaran
hipotesa atau teori tersebut semakin diperkokoh. Makin besar kemungkinan untuk
menyangkal sesuatu teori dan jika teori it uterus bisa bertahan, maka semakin
kokoh pula kebenarannya.
Menurut
Popper, teori-teori ilmiah
selalu dan hanyalah bersifat hipotesis (dugaan sementara), tak ada kebenaran
terakhir. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori yang lebih
tepat. Untuk itu Popper lebih suka menggunakan istilah hipotesa, atas dasar
kesementaraannya. Upayanya ini, ia sebut dengan The Thesis of Futability: suatu
ungkapan atau hipotesa bersifat ilmiah jika secara prinsipil terdapat
kemungkinan untuk menjalankan kritik. Ilmuwan yang sejati tidak akan takut pada
kritikan, sebaliknya ia sangat mengharapkan kritikan, sebab hanya melalui
kritik, ilmu pengetahuan akan terus mengalami kemajuan.
Begitulah bagi Popper sebuah hipotesa, hukum, atau teori,
kebenarannya hanya bersifat sementara, yakni sejauh belum ditemukan
kesalahan-kesalahan yang ada di dalamnya. Jika ada pernyataan: “semua angsa itu
berbulu putih”, melalui prinsip refutasi tersebut, hanya dengan ditemukan
seekor angsa yang berbulu selain putih, maka runtuhlah pernyataan semula. Bagi
Popper, ilmu pengetahuan dapat berkembang maju, jika suatu hipotesa telah
dibuktikan salah, sehingga dapat digantikan dengan hipotesa yang baru. Namun
ada kemungkinan lain, yaitu hanya salah satu unsur hipotesa yang dibuktikan
salah untuk digantikan dengan unsur baru yang lain, sehingga hipotesa telah
disempurnakan.
Pandangan Popper ini, sekaligus menunjukkan bahwa proses
pengembangan ilmu bukanlah dengan jalan akumulasi, dalam arti pengumpulan
bukti-bukti positif atau bukti-bukti yang mendukung suatu teori, sebagaimana
pandangan neo-positivisme. Bagi Popper, proses pengembangan ilmu adalah dengan
jalan eliminasi terhadap kemungkinan kekeliruan dan kesalahan (error
elimination). Lebih jauh, untuk membuktikan pandangannya itu, ia
menggunakan bukti-bukti sejarah ilmu, dalam hal ini koreksi (error
elimination) dari Einstein terhadap fisika Newton, dimana setelah diskusi
beberapa waktu, para ahli kemudian sepakat dalam menerima fisika Einstein
sebagai lebih memuaskan dari pada fisika Newton untuk menerangkan gejala-gejala
fisis dalam dunia kita. Sejarah ilmu ini, bagi Popper, merupakan contoh paling
jelas dalam memperlihatkan bagaimana proses pertumbuhan ilmu pengetahuan. Suatu
teori ilmiah tidak pernah benar secara definitif atau mendekati kebenaran,
karena teori-teori kita lihat menjadi lebih terperinci dan bernuansa. Selalu
kita harus rela meninggalkan suatu teori, jika muncul teori yang ternyata lebih
memuaskan untuk menjelaskan fakta-fakta. Bagi Popper, kemajuan ilmiah itu
dicapai lewat “dugaan dan penyanggahan”, dan semangat kritik diri (self-critical)
adalah esensi ilmu.
C.
Problem Demarkasi
Problem
demarkasi dirumuskan oleh Popper sebagai problem mengenai bagaimana menemukan
sebuah kriteria yang bisa membedakan ilmu-ilmu empiris dari matematika, logika dan
system-sistem metafisik.[4]
Solusi Popper terhadap induksi ternyata membangkitkan cara pandang yang baru
terhadap problem awalnya yakni, problem seputar kriteria demarkasi ilmiah yang
tepat.
Kriteria
verifiabilitas bukanlah suatu kriteria demarkasi ilmu, melainkan sebagai
kriteria kemaknaannya. Bermakna tidaknya suatu pernyataan atau hipotesis ilmiah
ditentukan oleh corak empiris positifnya. Logika induktif dan prinsip
verifiabilitas mengakibatkan pengetahuan yang bukan ilmiah (metafisika) tidak
bermakna sama sekali. Kriteria demarkasi dan logika induktif mengakibatkan
terjadinya percampurbauran antara metafisika dan ilmu pengetahuan, yang pada
gilirannya dapat mengaburkan kedua-duanya.[5]
Hal inilah yang membuat Karl Popper menentang gagasan dari lingkaran Wina dan
membuat demarkasi lain dengan kriteria falsifikasi.
D.
Solusi Popper tentang Problem Demarkasi
Popper
hendak merumuskan sebuah kriteria demarkasi antara ilmu dan non ilmu
(metafisika). Kriteria demarkasi yang digunakan oleh Popper adalah kriteria
falsifiabilitas (kemampuan dan kemungkinan disalahkan atau disangkal)[6].
Setiap pernyataan ilmiah pada dasarnya mengandung kemampuan disangkal, jadi
ilmu pengetahuan empiris harus bisa diuji secara deduktif dan terbuka kepada
kemungkinan falsifikasi empiris. Contoh:
(1) Akan
terjadi atau tidak terjadi hujan di sini esok
(2) Akan
terjadi hujan di sini esok
Pernyataan
(1) tidak bersifat empiris oleh karena tidak dapat disangkal. Sedangkan
pernyataan (2) bersifat empiris karena dapat disangkal.
Kriteria
demarkasi Popper didasarkan pada suatu asimetri logis antara verifiabilitas dan
falsifiabilitas.[7]
Pernyataan universal tidak bersumber dari pernyataan tunggal, tetapi sebaliknya
bisa bertentangan dengannya. Dengan logika deduktif, maka generalisasi empiris
atau pernyataan universal dapat diuji dan disangkal secara empiris, tetapi
tidak dapat dibenarkan. Hal ini berarti bahwa hokum-hukum ilmiah pada dasarnya
dapat diuji, kendatipun tidak dapat dibenarkan atau dibuktikan secara induktif.
E.
Apa itu Falsifikasi ?
Dalam
konteks penolakan terhadap induktivisme para pendukung teori falsifikasi menyatakan
bahwa setiap penelitian ilmiah dituntun oleh teori tertentu yang mendahuluinya.
Karena itu, semua keyakinan bahwa kebenaran teori-teori ilmiah dicapai melalui
kepastian hasil observasi, sungguh-sungguh ditolak. Teori merupakan hasil
rekayasa intelek manusia yang kreatif dan bebas untuk mengatasi problem-problem
yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Teori-teori itu kemudian diuji
dengan eksperimen-eksperimen atau observasi-observasi. Terori yang tidak dapat
bertahan terhadap suatu eksperimen harus dinyatakan gagal dan digantikan oleh
teori spekulatif lain. Itu berarti, ilmu pengetahuan berkembang melalui
kesalahan dan kekeliruan, melalui hipotesis dan refutasi.
Menurut
teori falsifikasi, ada teori yang dapat dibuktikan salah berdasarkan hasil
observasi dan eksperimen. Ilmu pengetahuan tidak lain dari rangkaian
hipotesis-hipotesis yang dikemukakan secara tentatif untuk menjelaskan tingkah
laku manusia atau kenyataan dalam alam semesta. Tetapi tidak setiap hipotesis
dapat begitu saja diklasifikasikan di bawah ilmu pengetahuan. Hipotesis yang
layak disebut sebagai teori atau hokum ilmiah harus memenuhi syarat fundamental
berikut: hipotesis itu harus terbuka terhadap kemungkinan falsifikasi. Contoh:
1. Tidak pernah turun
hujan pada hari-hari Rabu
2. Semua substansi
akan memuai jika dipanaskan
Pernyataan
(1) dapat difalsifikasikan karena dengan suatu observasi kita dapat menunjukkan
bahwa pada hari Rabu terntentu ada hujan. Pernyataan (2) pun dapat
difalsifikasi karena melalui observasi kita dapat memperlihatkan bahwa ada
substansi tertentu tidak memuai jika dipanaskan. Pernyataan berikut ini tidak
memenuhi syarat yang dikemukakan oleh Popper dan konsekuensinya tidak dapat
difalsifikasikan;
1. Baik pada hari
hujan maupun tidak hujan saya datang
Tidak
ada suatu pernyataan observasi yang secara logis dapat menyangkal pernyataan
(1). Pernyataan ini benar, bagaimanapun keadaan cuaca. Pernyataan di atas ini tidak
dapat difalsifikasikan,[8] sebab
semua kemungkinan yang akan terjadi atau diturunkan dari pernyataan di atas,
tetap benar.
Falsifikasi
merupakan metode yang digunakan oleh Popper untuk menolak gagasan dari
lingkaran Wina tentang metode verifikasi induktif. Alasan penolakan Popper ini,
karena dalam rangkah membedakan ilmu yang bermakna dan tidak bermakna masih
menjunjung tinggi induksi.[9]
Beberapa kritik yang dikemukakan Popper terhadap prinsip verifikasi: Pertama,
prinsip verifikasi tidak pernah mungkin untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum
umum. Menurut Popper, hukum-hukum umum dan ilmu pengetahuan tidak pernah dapat
diverifikasi. Karena itu, seluruh ilmu pengetahuan alam (yang sebagian besar
terdiri dari hukum-hukum umum tidak bermakna, sama seperti metafisika); kedua,
sejarah membuktikan bahwa ilmu pengetahuan juga lahir dari pandangan-pandangan metafisis.
Karena itu Popper menegaskan bahwa suatu ucapan metafisis bukan saja dapat
bermakna tetapi dapat benar juga, walaupun baru menjadi ilmiah setelah diuji;
ketiga, untuk menyelidiki bermakna atau tidaknya suatu ucapan atau teori, lebih
dulu harus kita mengerti ucapan atau teori itu. Solusi yang diberikan oleh
Popper terhadap problem induksi ternyata mengarahkan perhatiannya secara lebih
serius kepada problem demarkasi, atau problem batas antara pengetahuan yang
ilmiah dan pengetahuan yang bukan ilmiah. Untuk itu pada bagain ini, penulis
terlebih dahulu mengangkat problem demarkasi ini sebagai titik tolak dari
falsifikasi Popper.
F.
Pandangan Popper tentang 3 Dunia
Popper membedakan tiga dunia:
a.
Dunia 1 (world I), yaitu kenyataan fisis dunia.
b.
Dunia 2 (world II), yaitu segala kejadian dan kenyataan psikis dalam diri
manusia
c.
Dunia 3 (World III), yaitu segala hipotesa, hukum, dan teori ciptaan manusia
dan hasil kerja sama antara dunia 1 dan dunia 2 serta seluruh bidang
kebudayaan, seni, metafisik, agama, dan lain sebagainya.
Dunia
3 ini hanya ada selama dihayati, yaitu dalam karya dan penelitian ilmiah, dalam
studi yang sedang berlangsung, membaca buku, dalam ilham yang mengalir dalam
diri para seniman, dan penggemar seni yang mengandaikan adanya suatu kerangka.
Sesudah penghayatan itu, semuanya langsung ‘mengendap’ dalam bentuk fisik
alat-alat ilmiah, buku-buku, karya seni, kitab-kitab suci, dan lain sebagainya,
yang semuanya merupakan bagian dari dunia 1. Dalam pergaulan manusia dengan
sisa-sisa dunia 3 dalam dunia 1 itu, dunia 2-lah yang membuat manusia bisa
membangkitkan kembali dan mengembangkan dunia 3 tersebut.[10]
menurut Popper, dunia 3 itu mempunyai kedudukan sendiri. Dunia 3 bedaulat,
artinya tidak semata-mata begitu saja terikat pada dunia 1, tetapi sekaligus
tidak terikat juga pada subjek tertentu. Maksudnya tidak terikat pada dunia 2,
yaitu pada orang tertentu, pada suatu lingkungan masyarakat, maupun pada
periode sejarah tertentu.
G.
Kritik Popper terhadap Positivisme Logis
Popper
menentang beberapa gagasan dasar Lingkaran Wina (pandangan yang dikembangkan
oleh kelompok ini disebut neopositivisme atau kerap juga dinamakan positivisme
logus atau empirisme logis). Pertama-tama ia menentang pembedaan antara
ungkapan yang disebut bermakna (meaningfull) dari yang tidak bermakna
berdasarkan kriterium dapat tidaknya dibenarkan secara empiris. Pembedaan ini
digantinya dengan ‘garis batas’ (demarkasi) antara ungkapan ilmiah dan tidak
ilmiah. Pokok demarkasi terletak pada ada tidaknya dasar empiris bagi ungkapan
bersangkutan. Ungkapan yang tidak bersifat ilmiah mungkin sekali amat bermakna
(meaningful). Apakah suatu ungkapan bersifat empiris atau tidak, atau dimanakah
letak ungkapan itu dari garis batas – menurut Popper tidak dapat ditentukan
berdasarkan asas pembenaran yang dianut positivisme logis yakni melalui proses
induksi. Dalam hal ini Popper setuju dengan Hume, bahwa peralihan dari yang
partikular ke yang universal tidak sah.
Kemudian
Popper mengajukan prinsip falsifiabilitas, bahwa ciri khas pengetahuan ilmiah
adalah sesuatu yang dapat dibuktikan salah (it can falsified). Untuk mencapai
pandangan ini Popper menggunakan kebenaran logis yang sederhana. Dia memberikan
contoh: “dengan observasi terhadap angsa-angsa putih, betapun besar jumlahnya,
orang tidak dapat sampai pada kesimpulan bahwa semua angsa bewarna putih,
tetapi sementara itu cukup satu kali observasi terhadap seekor angsa hitam
untuk menyangkal pendapat tadi.”
Asumsi
pokok teorinya adalah satu teori harus diji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta
yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu
pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang
beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa
generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan
logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah
menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal
yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi,
ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil
dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan
adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai
tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh
positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran
ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku,
karena elemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan,
dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga
kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan
menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran
yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.
Penolakan
lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang
berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta
keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau
pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai
landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa
dikatakab benar secara mutlak.
H. Penutup
Karl Popper adalah Seorang Pemikir yang menguasai banyak bidang; sejarah, sastra, psikologi, politik dan
filsafat. The Logic of Scientific Discovery menjadikannya terkenal sebagai
seorang filusuf. Ia banyak berhubungan dengan anggota-anggota
lingkaran wina dan melontarkan banyak kritikan soal
metode induktif yang berdasarkan fakta. Ia mempertanyakan,
berapa pun jumlah fakta yang dikumpulkan tidak dapat menjamin sebagai sebuah
kebenaran umum.
Menurut Popper,
suatu teori dikategorikan ilmiah tidak cukup dengan adanya pembuktian, tetapi
ia harus dapat diuji (testable). Jika teori tersebut tidak lolos dari ujian
maka teori tersebut tidak benar dan harus diganti dengan teori yang lebih
tepat. Sebaliknya, jika teori tersebut bertahan dalam ujian maka kebenarannya
ilmiahnya akan semakin kokoh dan terpercaya
Menurut Popper, metode empirik ini sangat berkaitan erat dengan
kriteria demarkasi. Dimana Popper juga mengajukannya untuk menggunakan sebagai
aturan-aturan untuk menentukan ketahanan
daya uji pernyataan ilmiah, yang disebut juga sebagai falsifiability.
Jika
teori tersebut tidak lolos dari ujian maka teori tersebut tidak benar dan harus
diganti dengan teori yang lebih tepat. Sebaliknya, jika teori tersebut bertahan
dalam ujian maka kebenarannya ilmiahnya akan semakin kokoh dan terpecaya
DAFTAR PUSTAKA
Bdk. Joseph
Antonius Ufi, “Metodologi Problem Solving dalam Pandangan Karl R. Popper”
Bdk. Prasetya
T.W., “Anarkisme Dalam Ilmu Pengetahuan P.K Feyerabend,” dalam Hakikat
Pengetahuan Dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu, diedit oleh R. Bambang Rudianto (Jakarta:
Gramedia, 1993)
K.R. Popper, “The
Logic of Scientific Discovery” (New York: Basic Books, 1959)
Muslih,
Muhammad, “Filsafat Ilmu”, (Yogyakarta: Belukar, 2010)
R. Henre, “Philosophy
of Science”, History of”, dalam Paul Edward (ed.), The Ensyclopedia of
Philosophy, vol. VI, (289-296)
[1]
Kelompok Lingkaran Wina (Austria) concern terhadap ilmu pengetahuan, filsafat,
matematika dan politik dengan
pendekatan teori Verifikatif.
Nama-nama Alfred Ayer, Viktor Kraft , Herbeert Feigl Morre ,Rusell William
Berkson,
Psikologi Belajar Karl Popper, Terj,
Ali Noer Zaman (Yogjakarta: Qalam, 2003),
thanks ya, manfaat banget tulisannya. lagi bikin tugas tentang falsifikasi hipotesisnya Popper ^_^
BalasHapus