PSIKOTERAPI MENURUT AL-MUHASIBI
A. LATAR BELAKANG
Setiap zaman membutuhkan psikoterapi karena sulitnya menjauh dari
penyakit-penyakit jiwa yang banyak menimpa manusia. Di antara sebab
penyakit-penyakit tersebut adalah keinginan, angan-angan tinggi yang tidak
tersampaikan karena sudah terbiasa dengan hal-hal yang serba instan. Dan dengan
penyakit-penyakit tersebut kehidupan tidak bisa berjalan lancar seperti yang
diharapkan oleh semua orang pada umumnya.[1] Kemudian,
keadaan tersebut menarik munculnya para ilmuwan jiwa yang menaruh perhatian
terhadap persoalan ini, seperti Sectchenov, Pieron, dan Sigmund Freud. Dengan
teori psikoterapi mereka masing-masing, seperti Psikoanalisis, Psikologi
Behavioristik, dan Psikologi Humanistik, mereka mengobati penyakit-penyakit
jiwa tersebut, dengan tujuan bisa tercipta jiwa yang baik, jiwa yang sehat.[2]
Namun, pada perjalanannya, pengobatan yang mereka tawarkan tidak
bisa menjawab kesulitan para penderita penyakit jiwa karena dalam teori-teori
yang mereka tawarkan terdapat beberapa kekurangan yang seharusnya ada dalam
psikoterapi. Di antara kekurangannya adalah ketidakadaan aspek agama (spiritual)
sebagai salah satu unsur penunjang pengobatan, karena menurut mereka agama
hanyalah kumpulan kebodohan yang tidak mempunyai kepentingan
dalam kehidupan manusia.[3] Padahal,
pada hakikatnya agama sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia dan tidak bisa
terpisahkan. Justru dengan agama seseorang bisa merasakan kenikmatan, dan ketenangan.
karena dengan agama seseorang akan merasa jelas tujuannya, yaitu Sang Pencipta
yang diharapkan seluruh manusia secara sepontan.[4] Maka
dari itu, mereka belum bisa meneliti kejiwaan manusia dengan cara menyeluruh,
sehingga mereka tidak bisa mengetahui hakikat kejiwaan manusia secara utuh. Maka,
dengan masalah di atas, peneliti menawarkan psikoterapi ilmuwan kejiwaan muslim
yang akan menjawab masalah ilmuwan kejiwaan barat.
Bernama Abu Abdullah al-Harits bin Asad al-Muhasibi, terkenal
dengan nama al-Muhasibi. Dia adalah seorang sufi, ilmuwan jiwa muslim, termasuk
dalam umat terbaik karena hidup pada abad ke-2 hijriyah. Lebih terkenal lagi
dengan buku-bukunya yang membahas tentang psikoterapi, di antaranya adalah al-Ri’ayah
Li Huquqillah, Adab al-Nufus, Syarh al-Ma’rifah wa Badzl al-Nashihah, Mu’atabat
al-Nafs, al-Washaya, dan masih banyak buku-bukunya yang membahas tentang
psikoterapi.[5]
B. PSIKOTERAPI MENURUT SUFI
Menurut Imam Ghazali, musuh seluruh manusia adalah al-Nafs
al-Ammarah bi al-Su’. Itu adalah nafsu yang selalu cenderung kepada
kejahatan, yang selalu menghindar dari kebaikan, dan diharuskan untuk seluruh
manusia menjauhinya. Allah telah menyeru seluruh manusia untuk mensucikan nafsu
amarah dan meluruskan jalannya agar tetap beribadah kepada Tuhan sang pencipta
dengan melarangnya untuk menaati kemauan syahwat, menjelek-jelekkan dan
menegurnya, dengan harapan setelah itu bisa sampai kepada al-Nafs
al-Muthmainnah yang diridhai Allah Swt.[6]
Imam Ghazali juga mengatakan dalam bukunya al-Ihya’ bahwa penyakit hati atau jiwa bisa diobati
dengan lawannya. Contoh, kebodohan bisa diobati dengan kepandaian yang
didapatkan dari belajar, penyakit kikir bisa diobati dengan belajar memberi,
penyakit takabur bisa diobati dengan belajar bersikap rendah hati, dan
sebagainya dari macam-macam penyakit hati atau jiwa.[7]
Berbeda dengan al-Ghazali, al-Hakim ingin menata dan mendisiplinkan
nafsu. Karena jika tidak ditata atau diatur maka dia akan menciptakan
kelalaian, keraguan, syirik, ketakutan, kemarahan, dan tingginya syahwat pada
seseorang. Maka, jika di hati seseorang
yang penuh dengan rasa takut dan
mengagungkan Allah, maka akan datang kepadanya hidayah yang menerangi hati
seorang hamba, dan membuatnya bertambah yakin atas keagungan Allah Swt.
Kemudian sebaliknya, jika nafsunya berkuasa maka akan muncullah
penyakit-penyakit jiwa di atas.[8]
Berbeda dengan ulama tasawuf sebelumnya, Ibnu ‘Athaillah
berpendapat bahwa berjihad atas nafsu mempunyai empat tahap yang saling
berkaitan satu sama lainnya. Yang pertama adalah olah rasa (nafsu), untuk
mengganti perbuatan-perbuatan buruk dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik.
Yang kedua, menyendiri dan berdzikir akan mengantar seseorang atau Salik dalam
keadaan wajd, fana’, dan ma’rifatullah. Yang ketiga, mewajibkan kepada nafsu
untuk menata atau mendisiplinkan perilakunya, yaitu perilaku-perilaku yang bisa
merusak perjalanan seorang salik pada ibadah-ibadahnya. Dan yang keempat adalah,
naik atau meningkatnya derajat maqamat, yaitu maqamat yang merupakan tingkatan
usaha-usaha seorang salik dalam ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Dengan itu, sifat beserta akhlaknya menjadi baik, dan juga dia sudah berada
pada derajat maqamat yang tinggi, yaitu derajat orang-orang yang dekat dengan
Allah Swt.[9]
Melalui pernyataan-pernyataan di atas tentang nafsu dan cara
mengobatinya, maka para ulama sufi bersepakat untuk mengawasi nafsu dengan
mendisiplinkannya, menyucikannya, dan mengarahkannya. Dan nafsu yang dimaksud
adalah nafsu madzmumah atau hawa nafsu.
C.
PSIKOTERAPI MENURUT AL-MUHASIBI
Seperti yang telah dijelaskan pada halaman sebelumnya bahwa untuk
mendapatkan suatu obat dari sebuah penyakit harus diketahui terlebih dulu
hakikat penyakit tersebut. Maka pada bagian ini akan dibahas terlebih dulu
tentang nafsu untuk mengetahui obat dari
penyakit-penyakit jiwa.
Jiwa Menurut al-Muhasibi
Sudah banyak dalil-dalil dalam al-Qur’an
yang menjelaskan tentang jiwa (nafs). Dan dari petunjuk tersebut Allah menyuruh
seluruh manusia untuk mengendalikan dan menjaga nafsu agar tidak melenceng dan tidak cenderung kepada perbuatan-perbuatan yang
dilarang Allah Swt. Berkaitan dengan itu, al-Muhasibi berkata,
"لم يصلح الإنسان حتي يعرف نفسه، ولا
يعرفها حتي يفتشها وتعرضها إلى الله والموت."[10]
Dalam hal ini al-Muhasibi menyeru kepada manusia untuk mengenal nafsu sehingga setiap orang bermuhasabah kepada nafsu dalam setiap keadaan dan pekerjaan, bahkan jika itu adalah suatu
kebenaran yang dikatakan nafsu, agar terhindar dari tipu dayanya. Karena nafsu selalu menggangu dan mempengaruhi manusia
walau sudah dalam keadaan bertaubat dan tidak ingin melakukan dosa lagi.[11]
Hubungan
Hati, Nafsu dan Akal
Dikatakan oleh sebagian dari ulama tasawuf bahwa hati berfungsi
untuk berfikir atau mengikat, seperti yang telah difirmankan Allah Swt dalam
surat al-A’raf, ayat 179. Yaitu mengikat nafsu yang harus dijaga geraknya, dan
ini seperti yang dikatakan al-Muhasibi bahwa akal berfungsi untuk “melarang”,
maka di sini akal mengikat dan “melarang” nafsu untuk melakukan perbuatan yang
buruk, dikatakan sebagai “nurun bashirun fi al-qalbi.” Kemudian
Ibnu ‘Athaillah menambahkan bahwa akal dan hati adalah alat untuk mengetahui
suatu ilmu pada manusia.[12]
Tetapi menurut al-Hakim bahwa hati adalah alat yang bisa menyingkap suatu
hakikat kebenaran, walau bersifat ghaib. Hal ini berbeda dengan nafsu yang buta
dan tidak bisa untuk menyingkap hakikat kebenaran.[13]
Maka manusia harus menggunakan akalnya untuk mendapat ilmu
pengetahuan. Karena dengan ilmu manusia bisa membedakan antara yang baik dan
buruk, dan dengan itu juga manusia bisa mengetahui hal yang menyebabkan
keingkaran seorang hamba terhadap perintah Allah Swt, yaitu hawa nafsu. Setelah
akal sudah mengikat nafsu, maka perkara akhirat adalah tujuan utamanya dan
tidak memandang penting perkara akhirat. Akhirnya nafsu akan memperbaharui
tujuannya, menentang segala bisikan musuh (hawa nafsu) yang masuk dalam
dirinya, dan akan mengikuti ilmu yang didapatinya dari al-Qur’an dan Sunnah.
Dengan itu, selamatlah nafsu yang telah menjadikan akal sebagai pengawas atau
pengikatnya.[14]
Dalam psikoterapi al-Muhasibi, setelah akal dan hati, ada wahyu
yang memimpin akal dan hati dalam mengarahkan dan mengayomi nafsu yang telah
diberikan Allah Swt untuk seluruh manusia. Apabila seorang hamba tidak
berpedoman kepada wahyu yang diberikan Allah maka dijamin dia tidak akan sampai
kepada tujuannya (kebahagian dunia dan akhirat). Maka dalam hal ini, akal dan
hati harus menjadikan wahyu sebagai pemimpin dalam tugasnya untuk mengawasi
perbuatan-perbuatan nafsu.[15]
Psikoterapi
menurut al-Muhasibi
Pengobatan Ujub
Ujub adalah penyakit tercela pada manusia, ujub adalah bertakabur
dalam hati. Seseorang yang ada sifat ujub dalam dirinya adalah orang yang
timbul rasa bangga dalam dirinya atas kebaikan dan kelebihan nikmat yang
dimilikinya, dan kebaikan itu tidak dimiliki orang lain. Dengan itu hilanglah
rasa syukur yang seharusnya dilakukan atas pemberian kebaikan dan kelebihan
nikmat oleh Allah Swt.[16]
Ada beberapa macam penyakit ujub,
diantaranya adalah mereka yang ujub dengan keindahan badannya. Cara
mengobatinya adalah dengan mengingat bahwa keindahan tubuh yang didapatkannya
adalah nikmat Allah yang harus disyukuri, dengan mengetahui bahwa ujub yang dia
alami telah mengingkari nikmat Allah, dengan pengetahuannya bahwa nikmat atau
kelebihan yang didapatkannya bisa saja hilang dalam sekejap dan diganti dengan
hukuman atau adzab Allah, dengan mengetahui bahwa hakikat dirinya adalah tanah
liat, dari mani yang kotor dan rendah. Sehingga pada akhirnya dia mengetahui
betapa rendah dan lemahnya dirinya.[17]
Kemudian ada juga ujub dengan kekuatan yang
dimilikinya. Dia membesar-besarkan dirinya sehingga lupa bersyukur kepada sang
pemberi kekuatan. Maka dalam mengobatinya seseorang harus ingat bahwa kekuatan
yang didapatkannya adalah nikmat dan ujian dari Allah. Kemudian dengan
mengetahui bahwa Allah sang pemilik kekuatan bisa mengubah kekuatan tersebut
menjadi penyakit dan ketidakberdayaan. Sehingga dengan pengetahuan dan
kesadaran itu, penyakit ujub akan hilang dan dia akan bersyukur atas nikmat
kekuatan yang diberikan kepadanya.
Selanjutnya ada ujub dengan akal yang
sehat. Dia ujub karena memiliki akal yang baik sampai membuat dia lupa bahwa
akal yang dimilikinya adalah nikmat dari Allah untuknya. Sehingga menganggap
bahwa kecerdasan yang ada padanya diperoleh atas usahanya sendiri tanpa ada
sangkut-paut dengan Allah Swt. Maka cara pengobatannya dengan mengetahui dan
mengingat tentang keadaan dimana dia di dalam keadaan bodoh dan tidak tahu
apa-apa karena belum diberikan kecerdasan oleh Allah Swt, dengan mengetahui
bahwa kelebihan kecerdasan yang dimilikinya adalah cobaan dari Allah, dengan
mengetahui bahwa Allah adalah sang pemilik kecerdasan yang memberikan
kecerdasan kepada hamba-Nya, dan apabila Allah menghendaki kecerdasan tersebut
diambil kembali oleh sang pemilik maka seorang hamba tidak akan bisa berbuat
apa-apa. Dan setelah mengetahui hal-hal tersebut maka ia akan sadar bahwa
orang-orang yang tidak diberikan kecerdasan lebih baik dari pada dia karena
lebih ringan ujian hidupnya. Karena menurutnya, semakin banyak memiliki
kelebihan, semakin banyak pula yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan
Allah. Maka pada akhirnya dia tidak lagi sombong dengan kecerdasan yang
dimilikinya dan akan selalu bersyukur atas kenikmatan yang didapatkan dari
Allah Swt.[18]
Selanjutnya ada orang ujub dengan keturunan
yang dimilikinya. Maka berbesar hatilah dia dengan memiliki nenek moyang dan
keturunan yang terhormat, sampai dia lupa bersyukur atas kelebihan tersebut.
Maka cara untuk mengobatinya adalah dengan mengetahui bahwa kemuliaan yang
didapatkan keturunannya berasal dari Allah, dengan mengetahui bahwa pemberian
ganjaran atau pahala dari Allah tidak dilihat dari keturunan yang dimilikinya,
melainkan dari iman, dengan mengetahui bahwa keturunan yang dimilikinya adalah
nikmat dari Allah yang harus disyukuri. Dan pada akhirnya, akan hilang darinya penyakit
ujub yang ditimbulkan karena memiliki keturunan yang terhormat, dan akan
bersyukur dengan itu.[19]
kemudian ada orang ujub karena mempunyai banyak harta. Dia menggantungkan hidupnya kepada harta
yang dimilikinya, dan itu menjadikan dia seorang yang sombong kepada orang yang tidak mempunyai harta. Maka, untuk
mengobatinya yaitu dengan cara mengetahui bahwa seluruh harta yang dimilikinya
adalah sebuah titipan dan ujian dari Allah Swt, kemudian dengan mengetahui dan sadar
bahwa dengan harta yang banyak dia akan mempunyai banyak kewajiban dibandingkan
orang yang tidak memiliki banyak harta. Pada akhirnya, dia takut dengan
kepemilikan harta yang banyak karena takut tidak bisa mempertanggungjawabkannya
di hadapan Allah, dan melihat orang fakir miskin lebih baik dan enak karena
tidak memiliki banyak kewajiban yang dilakukan.[20]
Pengobatan Riya’
Perbuatan manusia yang tanpa didasari keimanan kepada Allah disebut
riya’. Sahal
al-Tustari berkata bahwa riya’ bisa menghilangkan tauhid karena riya’ sama
dengan syirik kecil.[21]
Menurut al-Muhasibi, riya’ terbagi menjadi dua bagian, riya’ besar dan riya’
kecil. Orang yang melakukan riya’ besar adalah orang yang melakukan perintah
Allah untuk dilihat oleh semua orang tanpa mengharapkan balasan pahala dari
Allah Swt. Sedangkan orang yang melakukan riya’ kecil adalah orang yang
melakukan perintah Allah untuk dilihat orang lain, tetapi masih mengharapkan
balasan pahala dari Allah Swt. Namun, keduanya
tetap
merupakan syirik. Riya’ berasal
dari tiga sumber. Pertama, berasal dari cinta kepada pujian. kedua, berasal
dari rasa takut dibenci orang lain. Dan yang ketiga adalah tamak kepada
keduniaan.[22]
Kemudian al-Muhasibi berkata bahwa orang yang ingin menghilangkan
penyakit riya’ dari dirinya maka dia harus mengetahui hakikat dari penyaki
riya’ tersebut, dan dengan pengetahuannya tentang riya’ akan membuatnya merasa
benci terhadap riya’ karena akibatnya yang sangat merugikan seseorang di dunia
dan di akhirat. Dengan hal itu, maka seseorang akan lebih berhati-hati kepada gangguan
syaitan, dan bisa menjaga hatinya dengan penjagaan yang baik. Namun, pada
kenyataannya, dalam kehati-hatian seorang terdapat kesalahan dalam
pengamalannya.[23]
Dan dalam kesalahan itu terbagi dalam beberapa kelompok. Pertama
adalah kelompok yang mengosongkan pikirannya untuk mengingat Allah di
hatinya dan berfokus dalam kehati-hatiannya terhadap gangguan syaitan yang akan
datang. Dan kelompok yang kedua adalah mereka yang fokus dan sibuk untuk
memikirkan Allah semata tanpa memikirkan makhluk-makhluk dalam setiap
pekerjaannya. Dengan itu al-Muhasibi memberikan contoh bahwa orang yang tidak
memikirkan tentang Allah (akhirat) karena berusaha fokus untuk berhati-hati kepada
gangguan syaitan yang akan datang kepadanya seperti orang yang ingin membersihkan
air kotor dari sebuah kolam, tetapi dalam pembersihannya si pembersih tidak
menutup saluran air yang mengalirkan air kotor ke dalam kolam. Maka dia akan
terus membersihkan sampai menghabiskan waktu yang lama tetapi dengan hasil yang
sama saja, yaitu kolam yang masih kotor oleh aliran air yang kotor. Tetapi
sebaliknya, untuk orang yang fokus kepada Allah (akhirat), al-Muhasibi
memberikan contoh kepadanya bagaikan orang yang ingin membersihkan kolam yang
kotor dan dalam pembersihannya dia menutup aliran air yang kotor terlebih
dahulu lalu membersihkan kolam tersebut dari kotoran, dan hasilnya akan menjadi
kolam yang bersih. Hal itu sama juga dengan orang yang ingin menjauhkan diri
dan berhati-hati terhadap riya. Untuk selamat
dari perbuatan riya’, dia meninggalkan pekerjaan tersebut. Dicontohkan juga dengan orang
kaya yang hendak memberikan sebagian hartanya kepada seorang miskin. Tetapi
pada akhirnya si kaya tidak jadi memberikan hartanya kepada si miskin karena
tidak tahu hakikat dari keikhlasan. Karena dia
takut kalau dia memberikan hartanya kepada si miskin, dia
akan dikatakan pamer dan ingin dipuji oleh semua orang. Padahal pada hakikatnya
itu hanya bisikan syaitan kepada manusia agar dia terjauh dari pahala Allah
Swt. Dengan itu al-Muhasibi berkata, “ikhlas itu jika kamu mengerjakan suatu
perbuatan dan setelah itu kamu hilangkan benih-benih riya’ darinya, bukan
dengan cara meninggalkan perbuatan tersebut.”[24]
Maka inilah yang dikatakan dengan sikap berhati-hati yang jelas
salah. Karena seseorang akan meninggalkan pahala pada suatu pekerjaan dan tidak
mendapatkan pahala amal sedikitpun. Maka inilah yang harus diwaspadai oleh
hamba Allah. yaitu godaan syaitan yang selalu membujuk dan menggoda manusia
untuk tidak melaksanakan amal apapun karena takut melakukan riya’, padahal
itulah ajakan syaitan yang membuat seseorang tidak mendapatkan pahala amalan
sedikitpun.
Pengobatan
Takabur
Orang yang takabur adalah orang yang membesar-besarkan dirinya
(sombong) karena kesempurnaan yang dimilikinya. Di antaranya ada yang sombong
karena kelebihan pada keturunan,
kekuatan, harta, dan ilmu. Menurut al-Muhasibi, penyakit sombong berasal dari
ujub, kebencian, dengki, riya’, dan semuanya berawal dari ketidaktahuan
tentang asal dan kedudukan.[25]
Al-muhasibi telah mengingatkan dalam bukunya al-Washaya
bahwa untuk menghilangkan penyakit takabur bisa dengan cara “muraqabah ila
Allah” yaitu lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dan dengan
kedekatannya kepada Allah, seorang hamba
akan sadar dan tahu kedudukannya di dunia dan di mata Tuhannya. Berkenaan
dengan itu al-Muhasibi berkata dalam bukunya al-Ri’ayah, “sifat takabur
pada seorang hamba akan hilang dengan kesadaran dan pengetahuan tentang
kedudukannya di dunia dan di hadapan Tuhannya.” Maka seorang hamba akan
mengetahui kedudukannya dengan mengetahui dari mana dia bermula, bagaimana dia
hidup, dan bagaimana dia berakhir.[26]
Tentang bagaimana seorang hamba bermula, sesungguhnya Allah telah
menciptakan seorang hamba dari ketidakadaan, yaitu dari “kematian” kepada
“kehidupan”. Dari lemah menjadi kuat, dari bodoh menjadi pintar, dari buta
menjadi melihat, dari tuli menjadi mendengar, dari bisu menjadi berbicara, dari
lapar menjadi kenyang, dari sesat menjadi diberi petunjuk, dari miskin mejadi
kaya. Buktinya adalah saat Dia menciptakan manusia dari debu, kemudian dari
mani, kemudian dari gumpalan darah, kemudian dari segumpal daging, dan kemudian
dijadikannya sebuah tulang, dan tulang itu dibungkus dengan daging. Demikianlah
Allah telah menjadikan manusia dari suatu keadaan yang hina menjadi keaadaan
yang mulia. Maka dia harus tahu bahwa tempatnya bermula adalah
dari suatu yang rendah dan hina, sehingga dia sadar bahwa dia bukanlah sesuatu
yang hebat, tapi dari sesuatu yang lemah, kotor, kurang, dan miskin.[27]
Dengan itu, seorang hamba
telah mendapatkan dua nikmat besar. Pertama adalah
pengetahuannya tentang hakikat dirinya sendiri dan yang kedua adalah pengetahuannya tentang hakikat Tuhannya. Dengan
nikmat yang pertama seorang hamba sadar akan kelemahan dan
kecilnya kekuatan yang dimilikinya. Dan dengan nikmat yang kedua dia sadar
betapa besarnya kekuatan Tuhannya kepada, sampai dia akan tunduk, patuh, dan
bersyukur kepada-Nya karena telah mengangkatnya dari suatu yang kotor dan hina
kepada suatu yang lebih baik.[28] Setelah
itu seorang hamba akan tahu bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan antaranya
dan kotoran, yaitu sama-sama dari jenis yang hina dan kotor. Dia juga
mengetahui bahwa dia hanyalah hamba yang tidak berhak atas harta yang
dimilikinya di dunia, bahkan juga tidak berhak atas dirinya sendiri. Karena
semua itu hanyalah titipan Allah kepada hamba-Nya yang suatu saat nanti akan diambil kembali oleh Allah Swt, tanpa satupun
yang bisa menolak.[29]
Pengobatan
Dengki (Hasud)
Al-Jurjani menjelaskan bahwa orang yang mempunyai penyakit dengki
adalah orang yang selalu mengharapkan hilangnya nikmat dari seseorang yang
diberi nikmat atau kelebihan oleh Allah Swt.[30]
Penyakit dengki ini adalah penyakit yang paling jelek, al-Muhasibi
menjelaskan dalam bukunya al-Ri’ayah bahwa penyakit hasud atau dengki
ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu dengki yang haram dan dengki yang tidak
haram. Dengki yang haram adalah dengki yang tidak boleh dilakukan oleh manusia
karena sifatnya seperti api yang akan menghabisi semua kayu bakar di
hadapannya. Dan dengki yang tidak haram adalah dengki yang telah tertulis dalam
al-Qur’an, yaitu al-Munafasah.[31]
Jika dilihat dari sumbernya, penyakit hasud bersumber dari berbagai
macam sumber. Diantaranya ada yang berasal dari takabur, ada yang dari ujub,
dari permusuhan, dari riya’, dari kecintaan seseorang terhadap kedudukan. Penyakit
hasud ini harus dihapuskan karena orang yang hasud akan menolak segala macam
nasihat dari orang yang dihasudinya. Maka dengan sifat itu, seorang yang hasud
telah mengikuti sifat iblis dan orang kafir. Seperti bahagianya mereka ketika
melihat nikmat yang ada pada orang mukmin hilang, dan ketidaksukaan mereka
kepada orang mukmin yang diberikan nikmat oleh Allah Swt. Dan dengan
sifat itu juga, maka orang yang hasud telah menentang qadha Allah yang telah
ditentukan kepada setiap hamba-Nya.[32]
Setelah itu semua, seorang hamba akan tahu betapa sangat
membahayakannya penyakit hasud ini, apalagi tidak mendatangkan manfaat
sedikitpun di dunia, maupun di akhirat. Karena kedengkian seorang yang hasud
tidak akan menghilangkan nikmat yang diberikan Allah kepada orang yang
dihasudinya, dan sekalipun nikmat orang yang dihasudi hilang, tidak akan
berpindah kepada orang yang hasud. Seperti yang dikisahkan dalam kisah rasul
dalam jihadnya mengajak orang-orang kafir kepada agama Islam. Dalam kisah ini,
jika Allah menaati orang yang hasud dalam menghilangkan nikmat dari orang yang
dihasudi, maka hilanglah nikmat yang ada pada rasul karena beliau adalah korban
hasud orang-orang kafir. Tetapi pada kenyataannya nikmat yang ada pada rasul
tidak hilang, karena ajakan rasul kepada agama Islam sudah membuahkan hasil
yang memuaskan, dan hasilnya adalah sudah meluasnya agama Islam pada setiap
penjuru dunia. Dan inilah yang dimaksud dengan menetapnya nikmat Allah pada
rasul dan tidak hilang seperti yang diinginkan orang-orang yang hasud
kepadanya, yaitu orang kafir. Demikian juga orang miskin yang hasud kepada
orang kaya tidak akan membawakan manfaat baginya karena keinginannya supaya
orang kaya menjadi miskin tidak akan tercapai sehingga harta orang kaya akan
tetap banyak dan tidak berkurang. Al-Muhasibi
memberikan ibarat mengenai orang hasud dengan orang yang melempar batu kepada
yang dimusuhinya. Ketika dia melemparkan batu itu, batu itu tidak mengenai
orang yang dimusuhinya, tetapi akan kembali kepada yang melempar batu dan tidak
akan mengenai orang yang dimusuhinya.[33]
Kemudian juga diharuskan kepada orang yang hasud tahu bahwa sebelum
datang kepadanya penyakit hasud, dia telah berada pada nikmat Allah yang
diberikan kepadanya. Itulah nikmat keselamatan dari penyakit hasud.[34]
Maka dari itu seorang hamba harus bersyukur dengan keadaannya sehingga bisa
lebih berhati-hati dengan penyakit tersebut dan berusaha untuk menjauhinya. Dan
Allah Swt sudah berfirman tentang kebencian-Nya kepada penyakit hasud dalam
surat Ali Imran, ayat 69.
Pengobatan
Ghirah (Terpedaya)
Menurut al-Muhasibi, orang yang terkena penyakit ghirah adalah
orang yang melihat perbuatan buruk sebagai perbuatan yang terpuji.[35]
Penyakit
ghirah terbagi menjadi dua, ada yang ghirah dengan ilmu dan ada yang ghirah
dengan amal ibadah. Adapun yang ghirah dengan ilmunya mereka terpedaya dengan
riwayat dan hafalannya, mereka terpedaya dengan pengetahuan tentang halal dan
haram, juga ada yang terpedaya dengan pengetahuannya tentang amalan-amalan yang
bisa mendekatkan seorang hamba kepada Tuhannya. Dan untuk yang ghirah dengan
amal ibadahnya, mereka terpedaya dengan uzlah yang mereka kerjakan, terpedaya dengan
zuhud, tawakkal, haji, dan terpedaya karena mereka mengikuti perang bersama Nabi.
Mulai dari yang pertama, yaitu orang yang terpedaya dengan ilmu. Untuk
sembuh dari penyakitnya seseorang harus ingat bahwa dengan ilmu dan kemampuan
yang dimilikinya dia telah memikul tanggungjawab yang besar dan berat. Karena
dengan ilmu itu dia akan ditanya tentang ilmunya pada hari kiamat, yaitu untuk
apa saja ilmu itu? Apakah dia infakkan ke jalan Allah, atau tidak? Maka dari
itu dikatakan bahwa ilmu adalah suatu yang berat, yang nanti harus dipertangungjawabkan
di hadapan Allah swt, dan diketahui setelah itu bahwa orang yang alim lebih
besar hukumannya dibandingkan orang yang bodoh karena harus
mempertanggungjawabkan ilmu yang dimiliki.[36]
Dan setelah mengetahui hal-hal itu, seseorang akan sadar dan akan berhati-hati
dengan ilmu yang dimilikinya, dia infakkan dan pergunakan dengan baik di jalan
Allah seperti yang telah diperintahkan Allah kepada semua orang yang berilmu. Dengan
itu dia akan mengetahui Allah dengan ilmunya, menaati perintah-perintah Allah dengan
ilmunya, takut akan hukuman Allah dengan ilmunya, dan mengharapkan pahala Allah
dengan ilmunya pula.[37]
Maka, dialah orang yang mengetahui dan menghafal ilmu sampai
memahami maknanya, sehingga dapat ia aplikasikan kepada perbuatan. Karena perlu
diketahui bahwa ilmu dan hafalan ilmu yang dimiliki tidak akan ada manfaatnya
tanpa pengamalan. Sehingga “keinginan dalam berbuat”
belum bisa dikatakan sebagai “perbuatan” karena belum terlaksana.[38] Dan
para ulama berpendapat bahwa orang yang bodoh lebih baik dari pada mereka yang
terpedaya oleh hafalan dan ilmu yang mereka miliki, sehingga mereka tidak
mengamalkan hafalan dan ilmu mereka. Dan inilah yang dikatakan oleh Ibnu
al-Qayyim dengan “Jahlu al-‘Amal” atau kebodohan dalam berbuat.[39]
Kemudian, yang kedua adalah kelompok yang terpedaya dengan amal
ibadah mereka, seperti terpedaya karena pernah mengikuti perang bersama
rasulullah, terpedaya karena pernah menunaikan haji, terpedaya karena pernah
shalat malam, terpedaya karena puasa yang dilakukannya, dan lain sebagainya.
Ada orang yang terpedaya karena perasaannya telah hidup zuhud dan
wara’, yaitu dengan mengurangi makannya secara berlebihan dan tidak peduli
dengan kebersihan dan kerapian pakaian yang dikenakannya sehari-hari. Maka cara
mengobatinya, dia harus sadar dan memikirkan kembali tentang perbuatannya yang
bisa mengganggu kesehatannya. Yaitu, apakah dengan mengurangi jatah makan
harian akan membuatnya kesakitan atau tidak.? Apakah pengurangan jatah makan tersebut akan
berlawanan dengan kehendak hati.? Maka apabila pengurangan jatah makan itu
membuat sakit dan berlawanan dengan kehendak hati, dia harus meninggalkannya.[40]
Kemudian perlu juga diingat bahwa Allah akan mengadzab mereka yang banyak makan
tanpa ada rasa takut di hatinya. Maka yang bisa diambil untuk dijadikan
pelajaran di sini adalah tidak boleh terlalu sedikit makan yang dengannya bisa
membuat seseorang sakit, dan juga tidak boleh terlalu banyak makan sampai
membuat rasa takutnya kepada Allah hilang, tetapi dalam hal ini, Islam
menganjurkan kepada pemeluknya untuk “bertawassuth”, atau makan dengan
selayaknya saja, sesuai dengan kadar masing-masing. Seperti yang difirmankan
Allah Swt dalam surat al-Baqarah, ayat 143.
Kemudian masih pada terpedaya dengan amal ibadah, yaitu mereka yang
terpedaya dengan amalan ‘uzlahnya. Padahal pada hakikatnya dia hanya ingin
menjauh dari masyarakat dan ingin ketenaran di hadapan manusia. Maka untuk
mengobatinya dengan cara menyadari atau mengetahui bahwa amal uzlah yang
dilakukan akan sia-sia dan tidak akan mendatangkan manfaat sedikitpun.[41]
Maka untuk mengobati orang yang terpedaya karena amalan-amalan di
atas yaitu dengan cara selalu siaga dengan nafsunya, dengan cara mengetahui,
menyadari bahwa dia telah menyibukkan dirinya dengan ibadah yang tidak wajib (nafilah),
dan meninggalkan ibadah yang wajib.[42] Dan
setelah itu dia akan meninggalkan seluruh yang dilarang Allah dan melaksanakan
yang diperintahkan-Nya.
D.
KESIMPULAN
Dari penjelasan-penjelasan di atas mengenai psikoterapi menurut
al-Muhasibi, peneliti mengambil beberapa kesimpulan. Pertama, bahwa al-Muhasibi
telah mengatur dan mengurutkan tingkatan penyakit-penyakit dan obatnya dari
yang paling mudah sampai yang paling sulit untuk diobati. Dalam hal ini
al-Muhasibi meletakkan penyakit ujub sebagai penyakit yang harus diobati
pertama kali. Ujub adalah penyakit yang muncul ketika orang merasa dalam
hatinya bahwa dia lebih baik daripada orang lain karena nikmat yang diberikan
Allah kepadanya, dan pada hakikatnya itu adalah tipu daya setan yang
dihembuskan kepada manusia. Kemudian penyakit kedua yang harus diobati setelah
ujub adalah riya’. Karena setelah seseorang terjangkit penyakit ujub, jika
tidak berhenti maka penyakit tersebut akan terus mengalir kepada riya’. Dalam
hal ini seseorang yang ujub akan tidak rela apabila terdengar berita keburukan
darinya, maka dengan itu dia akan selalu melakukan kebaikan agar semua orang melihatnya
dan dia akan dijuluki sebagai orang yang baik, itulah yang menyebabkan ia
menjadi riya’ kepada semua orang tentang pekerjaan baik yang dilakukannya.
Kemudian setelah penyakit riya’ yang harus diobati setelahnya
adalah penyakit takabur. Karena penyakit riya’ yang tidak bisa dihentikan akan
mengalir kepada ketakaburan seseorang. Hal ini dikarenakan orang yang riya’
tidak ingin mendengar kejelekan tentangnya di hadapan masyarakat, dan dengan
itu ia akan selalu merasa benar dan berpendapat semua keputusannya adalah
adalah suatu kebenaran. Karena orang yang riya’ tidak akan menerima pendapat
atau masukkan dari orang lain walaupun itu benar, karena dia tidak ingin orang
lain lebih darinya karena itu akan menjatuhkan kedudukannya. Maka di sinilah
seorang yang sombong atau takabur akan terkena penyakit dengki (hasud),
jika tidak dapat mencegah penyakit takaburnya itu. Karena seorang yang hasud
akan tidak pernah rela dengan orang lain yang melebihinya, dan tidak akan suka
dengan orang yang mendapat banyak nikmat dari Allah Swt, melainkan selalu ingin
nikmat yang diberikan Allah hilang darinya.
Seterusnya, apabila seseorang telah mengalami semua penyakit di
atas, tanpa adanya pencegahan, maka dia telah jatuh kepada penyakit yang
bernama ghirah (terpedaya). Penyakit ghirah adalah penyakit yang muncul
karena seseorang merasa bahwa dia termasuk orang-orang yang takut adzab Allah,
padahal pada hakikatnya dia adalah orang-orang yang merasa aman dan tidak takut
dengan adzab Allah. Dia merasa berada dalam golongan orang-orang yang ikhlas,
padahal pada hakikatnya dia masihlah seorang yang suka berbuat riya’, dalam hal
ini mereka melihat perbuatan yang menyebabkan hukuman Allah turun kepada mereka
sebagai rahmat yang diberikan kepada mereka, karena itu semua adalah tipu daya
setan yang terkutuk.
Kedua, al-Muhasibi menggabungkan kerja wahyu (al-Qur’an), hati,
akal dalam menjaga nafsu. Dan dalam penggabungan ini wahyu (al-Qur’an)
difungsikan sebagai pemimpin atau pedoman bagi hati dan akal, sedangkan hati
dan akal berfungsi sebagai pengikat dan pengawas nafsu.
Ketiga, Konsep psikoterapi al-Muhasibi lebih baik, lebih lengkap,
dan sangat berbeda dengan konsep psikoterapi Barat. Karena psikoterapi
al-Muhasibi memasukkan unsur spiritual (agama) dalam metode psikoterapinya, dan
sangat cocok sekali untuk digunakan pada zaman modern ini, yaitu pada zaman
yang di dalamnya sudah tercampur antara nilai Barat dan Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Al-Muhasibi, al-Harits bin Asad, Al-Ri’ayah Li Huquqillah,
t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun)
_________, Al-‘Aqlu wa Fahmu al-Qur’an, t: Dr. Husaini
al-Qutily, Cet.1, (al-Qahirah: Dar al-Fikri, 1971)
_________, Al-Makasib wa al-Wara’ wa al-Syubhat wa Bayani
Mabahitsiha wa Mahzhuriha wa Ikhtilafi al-Nas fi Thalabiha wa al-Radd ‘ala
al-Ghalithina Fihi, (Askandariyah: Daru Ibnu Khaldun, tanpa tahun)
_________, Al-Taubah, (al-Qahirah: Dar al-Fadhilah, tanpa
tahun)
_________, Al-Washaya, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun)
_________, Kitab al-‘Ilmi, t: Muhammad al-‘Abid Mazali, (Dar
al-Tunisiyah Li al-Nasyr, 1975)
_________, Mu’atabatu al-Nafs, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun)
‘Ali bin Muhammad, al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, Cet. 2,
(Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1992)
Al-‘Afani, Sayid bin Husain, Zahru al-Basatini Min Mawaqif
al-‘Ulama’ wa al-Rabbaniyyin, Jilid 6, (al-Qahirah: Dar al-‘Afani, tanpa tahun)
Al-Ghazzali, Abu Hamid, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3,
(Semarang: Karya Toha Putra, tanpa tahun)
Al-Hifni, ‘Abdul Mun’im, Mausu’at al-Thib al-Nafsy, Jilid 2,
Cet. 2, (al-Qahirah: Maktabah Madbuli, 1995)
Al-Maqdisi, Imam Abi al-Fadhl Muhammad bin Thahir bin ‘Ali bin
Ahmad, Shafwatu al-Tashawwuf, cet. 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
2006)
Al-Mawardi, Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashari, Adab
al-Dunia wa al-Din, (al-Qahirah: Dar al-Fikri, tanpa tahun)
Al-Najar, ‘Amir, al-Tashawwuf al-Nafsi, (al-Qahirah: Dar
al-Ma’arif, 1119)
Al-Qathariji, ‘Ali Farid Duhruj ‘Adnan, al-Akhlaq: Dirasah
Tarikhiyah Fikriyah wa Islamiyah, Cet. 1, (Beirut: Dar al-Mahrusat, 1429)
Al-Sakandari, Ibnu ‘Athaillah, Taju al-‘Urus al-Hawi Li Tahdzibi
al-Nufus, (al-Qahirah: Dar Jawami’u al-Kalam, tanpa tahun)
Al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimy, Ibnu ‘Athaillah
al-Sakandary wa Tashawwufuhu, cet. 1, (al-Qahirah: Maktabat al-Anjlu
al-Mishriyah, 1958)
Al-Turmudzi, al-Hakim, Bayanu al-Firaqi Bayna al-Shadr wa
al-Qalbi wa al-Fuadi wa al-Lubb, (tanpa tahun)
Ja’far, Muhammad Kamal Ibrahim, Turatsu al-Tustari al-Sufy,
Jilid 2, (al-Munirat: Maktabat al-Syabab, tanpa tahun)
Kosnier, Jack, Muqaddimat fi ‘Ilmi al-Nafsi, cet. 1,
(Beirut: al-Muassasat al-Jami’ah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1982)
Mahmud, ‘Abdu al-Qadir, Falsafat al-Shufiyah fi al-Islam:
Mashadiruha wa Nazhariyyatuha wa Makanuha Min al-Din wa al-Hayat, Cet. 1,
(al-Qahirah: Dar al-Fikri, 1966)
[1] Al-Harits bin Asad
al-Muhasibi, Al-Washaya, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 69
[2]
Jack Kusnh,
Muqaddimat fi ‘Ilmi al-Nafsi, cet. 1, (Beirut: al-Muassasat al-Jami’ah li
al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1982), p. 28, lihat juga: Dr. ‘Abdul
Mun’im al-Hifni, Mausu’at al-Thib al-Nafsy, Jilid 2, Cet. 2, (al-Qahirah:
Maktabah Madbuli, 1995), p. 1095
[5] Al-Harits bin
Asad al-Muhasibi, Mu’atabatu al-Nafs, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 22-23, Al-Harits bin Asad
al-Muhasibi, Al-Washaya, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 38, Al-Harits bin Asad al-Muhasibi, Al-Taubah,
(al-Qahirah: Dar al-Fadhilah, tanpa tahun), p. 17-19, Al-Harits bin Asad
al-Muhasibi, Al-Makasib wa al-Wara’ wa al-Syubhat wa Bayani Mabahitsiha wa
Mahzhuriha wa Ikhtilafi al-Nas fi Thalabiha wa al-Radd ‘ala al-Ghalithina Fihi,
(Askandariyah: Daru Ibnu Khaldun, tanpa tahun), p. 31-32, Al-Harits bin Asad
al-Muhasibi, Kitab al-‘Ilmi, t: Muhammad al-‘Abid Mazali, (Dar
al-Tunisiyah Li al-Nasyr, 1975), p. 17-38.
[6] Al-Harits
bin Asad al-Muhasibi, Mu’atabatu al-Nafs, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 85
[7] Al-Ghazzali,
Abu Hamid, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Juz 3, (Semarang: Karya Toha Putra, tanpa
tahun), p. 59
[8] ‘Amir al-Najar, al-Tashawwuf al-Nafsi,
(al-Qahirah: Dar al-Ma’arif, 1119), p. 332
[9] Ibnu
‘Athaillah Al-Sakandari, Taju al-‘Urus al-Hawi Li Tahdzibi al-Nufus,
(al-Qahirah: Dar Jawami’u al-Kalam, tanpa tahun), p. 169
[10] al-Harits bin
Asad Al-Muhasibi, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu al-Qadir Ahmad
‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 327
[12] Abu al-Wafa
al-Ghanimy Al-Taftazani, Ibnu ‘Athaillah al-Sakandary wa Tashawwufuhu,
cet. 1, (al-Qahirah: Maktabat al-Anjlu al-Mishriyah, 1958), p. 229
[13] al-Hakim Al-Turmudzi,
Bayanu al-Firaqi Bayna al-Shadr wa al-Qalbi wa al-Fuadi wa al-Lubb,
(tanpa tahun), p. 23
[14] ‘Amir Al-Najar,
al-Tashawwuf al-Nafsi, (al-Qahirah: Dar al-Ma’arif, 1119), p. 218,
al-Harits bin Asad Al-Muhasibi, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu
al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 68,
33, ‘Abdu al-Qadir Mahmud, Falsafat al-Shufiyah fi al-Islam: Mashadiruha wa
Nazhariyyatuha wa Makanuha Min al-Din wa al-Hayat, Cet. 1, (al-Qahirah: Dar
al-Fikri, 1966), p. 172
[15] Al-Harits bin
Asad al-Muhasibi, Al-‘Aqlu wa Fahmu al-Qur’an, t: Dr. Husaini al-Qutily,
Cet.1, (al-Qahirah: Dar al-Fikri, 1971), p. 136
[16] ‘Ali Farid Duhruj ‘Adnan Al-Qathariji, al-Akhlaq:
Dirasah Tarikhiyah Fikriyah wa Islamiyah, Cet. 1, (Beirut: Dar al-Mahrusat,
1429), p. 250, Imam Abi al-Fadhl Muhammad bin Thahir bin ‘Ali bin Ahmad Al-Maqdisi,
Shafwatu al-Tashawwuf, cet. 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2006),
p. 247
[17] al-Harits bin
Asad Al-Muhasibi, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu al-Qadir Ahmad
‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 359
[18] Ibid,
p. 360
[19] Ibid,
p. 363
[20] Ibid,
p. 369
[21] Muhammad Kamal
Ibrahim Ja’far, Turatsu al-Tustari al-Sufy, Juz 2, (al-Munirat: Maktabat
al-Syabab, tanpa tahun), p. 144
[22] al-Harits bin
Asad Al-Muhasibi, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu al-Qadir Ahmad
‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 163-164, 172
[23]
Ibid, p. 185, lihat
juga: Muhammad
Kamal Ibrahim Ja’far, Turatsu al-Tustari al-Sufy, Juz 2, (al-Munirat:
Maktabat al-Syabab, tanpa tahun), p. 144
[24] Ibid.,
p. 206
[25] Ibid.,
p. 377
[26] Ibid.,
p. 396
[27] al-Harits bin
Asad Al-Muhasibi, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu al-Qadir Ahmad
‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 396, lihat juga:
kata pengantar buku Makasib milik al-Muhasibi
[28] Abu al-Hasan
‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashari Al-Mawardi, Adab al-Dunia wa al-Din,
(al-Qahirah: Dar al-Fikri, tanpa tahun), p. 236
[29] Ibid,
p. 236
[30] al-Jurjani ‘Ali
bin Muhammad, Kitab al-Ta’rifat, Cet. 2, (Beirut: Dar al-Kitab
al-‘Arabi, 1992), p. 117
[31] QS.
Al-Muthaffifin: 26
[32] al-Harits bin
Asad Al-Muhasibi, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu al-Qadir Ahmad
‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 483-490
[33] QS.
Yunus: 23
[34]
al-Harits bin
Asad Al-Muhasibi, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu al-Qadir Ahmad
‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 492
[35] Al-Harits bin
Asad al-Muhasibi, Al-Washaya, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 291
[36]
al-Harits bin
Asad Al-Muhasibi, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu al-Qadir Ahmad
‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 442
[37] QS.
Al-Fathir: 28
[38]
Al-Harits bin
Asad Al-Muhasibi, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu al-Qadir Ahmad
‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 471-472
[39]
Dr. Sayid bin
Husain al-‘Afani, Zahru al-Basatini Min Mawaqif al-‘Ulama’ wa al-Rabbaniyyin,
Jilid 6, (al-Qahirah: Dar al-‘Afani, tanpa tahun), p. 362
[40]
Al-Harits bin
Asad Al-Muhasibi, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu al-Qadir Ahmad
‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 463
[41] QS.
Al-Hujurat: 28
[42]
Al-Harits bin
Asad Al-Muhasibi, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu al-Qadir Ahmad
‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 468
0 komentar:
Posting Komentar