Pages

Labels

Senin, 22 Juni 2015

RESUME SKRIPSI

PSIKOTERAPI MENURUT AL-MUHASIBI

A.    LATAR BELAKANG
Setiap zaman membutuhkan psikoterapi karena sulitnya menjauh dari penyakit-penyakit jiwa yang banyak menimpa manusia. Di antara sebab penyakit-penyakit tersebut adalah keinginan, angan-angan tinggi yang tidak tersampaikan karena sudah terbiasa dengan hal-hal yang serba instan. Dan dengan penyakit-penyakit tersebut kehidupan tidak bisa berjalan lancar seperti yang diharapkan oleh semua orang pada umumnya.[1] Kemudian, keadaan tersebut menarik munculnya para ilmuwan jiwa yang menaruh perhatian terhadap persoalan ini, seperti Sectchenov, Pieron, dan Sigmund Freud. Dengan teori psikoterapi mereka masing-masing, seperti Psikoanalisis, Psikologi Behavioristik, dan Psikologi Humanistik, mereka mengobati penyakit-penyakit jiwa tersebut, dengan tujuan bisa tercipta jiwa yang baik, jiwa yang sehat.[2]
Namun, pada perjalanannya, pengobatan yang mereka tawarkan tidak bisa menjawab kesulitan para penderita penyakit jiwa karena dalam teori-teori yang mereka tawarkan terdapat beberapa kekurangan yang seharusnya ada dalam psikoterapi. Di antara kekurangannya adalah ketidakadaan aspek agama (spiritual) sebagai salah satu unsur penunjang pengobatan, karena menurut mereka agama hanyalah kumpulan  kebodohan yang tidak mempunyai kepentingan dalam kehidupan manusia.[3] Padahal, pada hakikatnya agama sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia dan tidak bisa terpisahkan. Justru dengan agama seseorang bisa merasakan kenikmatan, dan ketenangan. karena dengan agama seseorang akan merasa jelas tujuannya, yaitu Sang Pencipta yang diharapkan seluruh manusia secara sepontan.[4] Maka dari itu, mereka belum bisa meneliti kejiwaan manusia dengan cara menyeluruh, sehingga mereka tidak bisa mengetahui hakikat kejiwaan manusia secara utuh. Maka, dengan masalah di atas, peneliti menawarkan psikoterapi ilmuwan kejiwaan muslim yang akan menjawab masalah ilmuwan kejiwaan barat.
Bernama Abu Abdullah al-Harits bin Asad al-Muhasibi, terkenal dengan nama al-Muhasibi. Dia adalah seorang sufi, ilmuwan jiwa muslim, termasuk dalam umat terbaik karena hidup pada abad ke-2 hijriyah. Lebih terkenal lagi dengan buku-bukunya yang membahas tentang psikoterapi, di antaranya adalah al-Ri’ayah Li Huquqillah, Adab al-Nufus, Syarh al-Ma’rifah wa Badzl al-Nashihah, Mu’atabat al-Nafs, al-Washaya, dan masih banyak buku-bukunya yang membahas tentang psikoterapi.[5]
B.     PSIKOTERAPI MENURUT SUFI
Menurut Imam Ghazali, musuh seluruh manusia adalah al-Nafs al-Ammarah bi al-Su’. Itu adalah nafsu yang selalu cenderung kepada kejahatan, yang selalu menghindar dari kebaikan, dan diharuskan untuk seluruh manusia menjauhinya. Allah telah menyeru seluruh manusia untuk mensucikan nafsu amarah dan meluruskan jalannya agar tetap beribadah kepada Tuhan sang pencipta dengan melarangnya untuk menaati kemauan syahwat, menjelek-jelekkan dan menegurnya, dengan harapan setelah itu bisa sampai kepada al-Nafs al-Muthmainnah yang diridhai Allah Swt.[6] Imam Ghazali juga mengatakan dalam bukunya al-Ihya’  bahwa penyakit hati atau jiwa bisa diobati dengan lawannya. Contoh, kebodohan bisa diobati dengan kepandaian yang didapatkan dari belajar, penyakit kikir bisa diobati dengan belajar memberi, penyakit takabur bisa diobati dengan belajar bersikap rendah hati, dan sebagainya dari macam-macam penyakit hati atau jiwa.[7]
Berbeda dengan al-Ghazali, al-Hakim ingin menata dan mendisiplinkan nafsu. Karena jika tidak ditata atau diatur maka dia akan menciptakan kelalaian, keraguan, syirik, ketakutan, kemarahan, dan tingginya syahwat pada seseorang. Maka, jika  di hati seseorang yang  penuh dengan rasa takut dan mengagungkan Allah, maka akan datang kepadanya hidayah yang menerangi hati seorang hamba, dan membuatnya bertambah yakin atas keagungan Allah Swt. Kemudian sebaliknya, jika nafsunya berkuasa maka akan muncullah penyakit-penyakit jiwa di atas.[8]
Berbeda dengan ulama tasawuf sebelumnya, Ibnu ‘Athaillah berpendapat bahwa berjihad atas nafsu mempunyai empat tahap yang saling berkaitan satu sama lainnya. Yang pertama adalah olah rasa (nafsu), untuk mengganti perbuatan-perbuatan buruk dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik. Yang kedua, menyendiri dan berdzikir akan mengantar seseorang atau Salik dalam keadaan wajd, fana’, dan ma’rifatullah. Yang ketiga, mewajibkan kepada nafsu untuk menata atau mendisiplinkan perilakunya, yaitu perilaku-perilaku yang bisa merusak perjalanan seorang salik pada ibadah-ibadahnya. Dan yang keempat adalah, naik atau meningkatnya derajat maqamat, yaitu maqamat yang merupakan tingkatan usaha-usaha seorang salik dalam ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dengan itu, sifat beserta akhlaknya menjadi baik, dan juga dia sudah berada pada derajat maqamat yang tinggi, yaitu derajat orang-orang yang dekat dengan Allah Swt.[9]
Melalui pernyataan-pernyataan di atas tentang nafsu dan cara mengobatinya, maka para ulama sufi bersepakat untuk mengawasi nafsu dengan mendisiplinkannya, menyucikannya, dan mengarahkannya. Dan nafsu yang dimaksud adalah nafsu madzmumah atau hawa nafsu.
C.    PSIKOTERAPI MENURUT AL-MUHASIBI
Seperti yang telah dijelaskan pada halaman sebelumnya bahwa untuk mendapatkan suatu obat dari sebuah penyakit harus diketahui terlebih dulu hakikat penyakit tersebut. Maka pada bagian ini akan dibahas terlebih dulu tentang nafsu untuk mengetahui obat dari penyakit-penyakit jiwa.
Jiwa Menurut al-Muhasibi
Sudah banyak dalil-dalil dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang jiwa (nafs). Dan dari petunjuk tersebut Allah menyuruh seluruh manusia untuk mengendalikan dan menjaga nafsu agar tidak melenceng dan tidak cenderung kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah Swt. Berkaitan dengan itu, al-Muhasibi berkata,
"لم يصلح الإنسان حتي يعرف نفسه، ولا يعرفها حتي يفتشها وتعرضها إلى الله والموت."[10]
Dalam hal ini al-Muhasibi menyeru kepada manusia untuk mengenal nafsu sehingga setiap orang bermuhasabah kepada nafsu dalam setiap keadaan dan pekerjaan, bahkan jika itu adalah suatu kebenaran yang dikatakan nafsu, agar terhindar dari tipu dayanya. Karena nafsu selalu menggangu dan mempengaruhi manusia walau sudah dalam keadaan bertaubat dan tidak ingin melakukan dosa lagi.[11]
Hubungan Hati, Nafsu dan Akal
Dikatakan oleh sebagian dari ulama tasawuf bahwa hati berfungsi untuk berfikir atau mengikat, seperti yang telah difirmankan Allah Swt dalam surat al-A’raf, ayat 179. Yaitu mengikat nafsu yang harus dijaga geraknya, dan ini seperti yang dikatakan al-Muhasibi bahwa akal berfungsi untuk “melarang”, maka di sini akal mengikat dan “melarang” nafsu untuk melakukan perbuatan yang buruk, dikatakan sebagai “nurun bashirun fi al-qalbi.” Kemudian Ibnu ‘Athaillah menambahkan bahwa akal dan hati adalah alat untuk mengetahui suatu ilmu pada manusia.[12] Tetapi menurut al-Hakim bahwa hati adalah alat yang bisa menyingkap suatu hakikat kebenaran, walau bersifat ghaib. Hal ini berbeda dengan nafsu yang buta dan tidak bisa untuk menyingkap hakikat kebenaran.[13]
Maka manusia harus menggunakan akalnya untuk mendapat ilmu pengetahuan. Karena dengan ilmu manusia bisa membedakan antara yang baik dan buruk, dan dengan itu juga manusia bisa mengetahui hal yang menyebabkan keingkaran seorang hamba terhadap perintah Allah Swt, yaitu hawa nafsu. Setelah akal sudah mengikat nafsu, maka perkara akhirat adalah tujuan utamanya dan tidak memandang penting perkara akhirat. Akhirnya nafsu akan memperbaharui tujuannya, menentang segala bisikan musuh (hawa nafsu) yang masuk dalam dirinya, dan akan mengikuti ilmu yang didapatinya dari al-Qur’an dan Sunnah. Dengan itu, selamatlah nafsu yang telah menjadikan akal sebagai pengawas atau pengikatnya.[14]
Dalam psikoterapi al-Muhasibi, setelah akal dan hati, ada wahyu yang memimpin akal dan hati dalam mengarahkan dan mengayomi nafsu yang telah diberikan Allah Swt untuk seluruh manusia. Apabila seorang hamba tidak berpedoman kepada wahyu yang diberikan Allah maka dijamin dia tidak akan sampai kepada tujuannya (kebahagian dunia dan akhirat). Maka dalam hal ini, akal dan hati harus menjadikan wahyu sebagai pemimpin dalam tugasnya untuk mengawasi perbuatan-perbuatan nafsu.[15]
Psikoterapi menurut al-Muhasibi
Pengobatan Ujub
Ujub adalah penyakit tercela pada manusia, ujub adalah bertakabur dalam hati. Seseorang yang ada sifat ujub dalam dirinya adalah orang yang timbul rasa bangga dalam dirinya atas kebaikan dan kelebihan nikmat yang dimilikinya, dan kebaikan itu tidak dimiliki orang lain. Dengan itu hilanglah rasa syukur yang seharusnya dilakukan atas pemberian kebaikan dan kelebihan nikmat oleh Allah Swt.[16]
Ada beberapa macam penyakit ujub, diantaranya adalah mereka yang ujub dengan keindahan badannya. Cara mengobatinya adalah dengan mengingat bahwa keindahan tubuh yang didapatkannya adalah nikmat Allah yang harus disyukuri, dengan mengetahui bahwa ujub yang dia alami telah mengingkari nikmat Allah, dengan pengetahuannya bahwa nikmat atau kelebihan yang didapatkannya bisa saja hilang dalam sekejap dan diganti dengan hukuman atau adzab Allah, dengan mengetahui bahwa hakikat dirinya adalah tanah liat, dari mani yang kotor dan rendah. Sehingga pada akhirnya dia mengetahui betapa rendah dan lemahnya dirinya.[17]
Kemudian ada juga ujub dengan kekuatan yang dimilikinya. Dia membesar-besarkan dirinya sehingga lupa bersyukur kepada sang pemberi kekuatan. Maka dalam mengobatinya seseorang harus ingat bahwa kekuatan yang didapatkannya adalah nikmat dan ujian dari Allah. Kemudian dengan mengetahui bahwa Allah sang pemilik kekuatan bisa mengubah kekuatan tersebut menjadi penyakit dan ketidakberdayaan. Sehingga dengan pengetahuan dan kesadaran itu, penyakit ujub akan hilang dan dia akan bersyukur atas nikmat kekuatan yang diberikan kepadanya.
Selanjutnya ada ujub dengan akal yang sehat. Dia ujub karena memiliki akal yang baik sampai membuat dia lupa bahwa akal yang dimilikinya adalah nikmat dari Allah untuknya. Sehingga menganggap bahwa kecerdasan yang ada padanya diperoleh atas usahanya sendiri tanpa ada sangkut-paut dengan Allah Swt. Maka cara pengobatannya dengan mengetahui dan mengingat tentang keadaan dimana dia di dalam keadaan bodoh dan tidak tahu apa-apa karena belum diberikan kecerdasan oleh Allah Swt, dengan mengetahui bahwa kelebihan kecerdasan yang dimilikinya adalah cobaan dari Allah, dengan mengetahui bahwa Allah adalah sang pemilik kecerdasan yang memberikan kecerdasan kepada hamba-Nya, dan apabila Allah menghendaki kecerdasan tersebut diambil kembali oleh sang pemilik maka seorang hamba tidak akan bisa berbuat apa-apa. Dan setelah mengetahui hal-hal tersebut maka ia akan sadar bahwa orang-orang yang tidak diberikan kecerdasan lebih baik dari pada dia karena lebih ringan ujian hidupnya. Karena menurutnya, semakin banyak memiliki kelebihan, semakin banyak pula yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Maka pada akhirnya dia tidak lagi sombong dengan kecerdasan yang dimilikinya dan akan selalu bersyukur atas kenikmatan yang didapatkan dari Allah Swt.[18]
Selanjutnya ada orang ujub dengan keturunan yang dimilikinya. Maka berbesar hatilah dia dengan memiliki nenek moyang dan keturunan yang terhormat, sampai dia lupa bersyukur atas kelebihan tersebut. Maka cara untuk mengobatinya adalah dengan mengetahui bahwa kemuliaan yang didapatkan keturunannya berasal dari Allah, dengan mengetahui bahwa pemberian ganjaran atau pahala dari Allah tidak dilihat dari keturunan yang dimilikinya, melainkan dari iman, dengan mengetahui bahwa keturunan yang dimilikinya adalah nikmat dari Allah yang harus disyukuri. Dan pada akhirnya, akan hilang darinya penyakit ujub yang ditimbulkan karena memiliki keturunan yang terhormat, dan akan bersyukur dengan itu.[19]
kemudian ada orang ujub karena mempunyai banyak harta. Dia menggantungkan hidupnya kepada harta yang dimilikinya, dan itu menjadikan dia seorang yang sombong kepada orang yang tidak mempunyai harta. Maka, untuk mengobatinya yaitu dengan cara mengetahui bahwa seluruh harta yang dimilikinya adalah sebuah titipan dan ujian dari Allah Swt, kemudian dengan mengetahui dan sadar bahwa dengan harta yang banyak dia akan mempunyai banyak kewajiban dibandingkan orang yang tidak memiliki banyak harta. Pada akhirnya, dia takut dengan kepemilikan harta yang banyak karena takut tidak bisa mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah, dan melihat orang fakir miskin lebih baik dan enak karena tidak memiliki banyak kewajiban yang dilakukan.[20]
Pengobatan Riya’

Perbuatan manusia yang tanpa didasari keimanan kepada Allah disebut riya’. Sahal al-Tustari berkata bahwa riya’ bisa menghilangkan tauhid karena riya’ sama dengan syirik kecil.[21] Menurut al-Muhasibi, riya’ terbagi menjadi dua bagian, riya’ besar dan riya’ kecil. Orang yang melakukan riya’ besar adalah orang yang melakukan perintah Allah untuk dilihat oleh semua orang tanpa mengharapkan balasan pahala dari Allah Swt. Sedangkan orang yang melakukan riya’ kecil adalah orang yang melakukan perintah Allah untuk dilihat orang lain, tetapi masih mengharapkan balasan pahala dari Allah Swt. Namun, keduanya tetap merupakan syirik. Riya’ berasal dari tiga sumber. Pertama, berasal dari cinta kepada pujian. kedua, berasal dari rasa takut dibenci orang lain. Dan yang ketiga adalah tamak kepada keduniaan.[22]
Kemudian al-Muhasibi berkata bahwa orang yang ingin menghilangkan penyakit riya’ dari dirinya maka dia harus mengetahui hakikat dari penyaki riya’ tersebut, dan dengan pengetahuannya tentang riya’ akan membuatnya merasa benci terhadap riya’ karena akibatnya yang sangat merugikan seseorang di dunia dan di akhirat. Dengan hal itu, maka seseorang akan lebih berhati-hati kepada gangguan syaitan, dan bisa menjaga hatinya dengan penjagaan yang baik. Namun, pada kenyataannya, dalam kehati-hatian seorang terdapat kesalahan dalam pengamalannya.[23]
Dan dalam kesalahan itu terbagi dalam beberapa kelompok. Pertama adalah kelompok yang mengosongkan pikirannya untuk mengingat Allah di hatinya dan berfokus dalam kehati-hatiannya terhadap gangguan syaitan yang akan datang. Dan kelompok yang kedua adalah mereka yang fokus dan sibuk untuk memikirkan Allah semata tanpa memikirkan makhluk-makhluk dalam setiap pekerjaannya. Dengan itu al-Muhasibi memberikan contoh bahwa orang yang tidak memikirkan tentang Allah (akhirat) karena berusaha fokus untuk berhati-hati kepada gangguan syaitan yang akan datang kepadanya seperti orang yang ingin membersihkan air kotor dari sebuah kolam, tetapi dalam pembersihannya si pembersih tidak menutup saluran air yang mengalirkan air kotor ke dalam kolam. Maka dia akan terus membersihkan sampai menghabiskan waktu yang lama tetapi dengan hasil yang sama saja, yaitu kolam yang masih kotor oleh aliran air yang kotor. Tetapi sebaliknya, untuk orang yang fokus kepada Allah (akhirat), al-Muhasibi memberikan contoh kepadanya bagaikan orang yang ingin membersihkan kolam yang kotor dan dalam pembersihannya dia menutup aliran air yang kotor terlebih dahulu lalu membersihkan kolam tersebut dari kotoran, dan hasilnya akan menjadi kolam yang bersih. Hal itu sama juga dengan orang yang ingin menjauhkan diri dan berhati-hati terhadap riya. Untuk selamat dari perbuatan riya’, dia meninggalkan pekerjaan tersebut. Dicontohkan juga dengan orang kaya yang hendak memberikan sebagian hartanya kepada seorang miskin. Tetapi pada akhirnya si kaya tidak jadi memberikan hartanya kepada si miskin karena tidak tahu hakikat dari keikhlasan. Karena dia takut kalau dia memberikan hartanya kepada si miskin, dia akan dikatakan pamer dan ingin dipuji oleh semua orang. Padahal pada hakikatnya itu hanya bisikan syaitan kepada manusia agar dia terjauh dari pahala Allah Swt. Dengan itu al-Muhasibi berkata, “ikhlas itu jika kamu mengerjakan suatu perbuatan dan setelah itu kamu hilangkan benih-benih riya’ darinya, bukan dengan cara meninggalkan perbuatan tersebut.”[24]
Maka inilah yang dikatakan dengan sikap berhati-hati yang jelas salah. Karena seseorang akan meninggalkan pahala pada suatu pekerjaan dan tidak mendapatkan pahala amal sedikitpun. Maka inilah yang harus diwaspadai oleh hamba Allah. yaitu godaan syaitan yang selalu membujuk dan menggoda manusia untuk tidak melaksanakan amal apapun karena takut melakukan riya’, padahal itulah ajakan syaitan yang membuat seseorang tidak mendapatkan pahala amalan sedikitpun.
Pengobatan Takabur
Orang yang takabur adalah orang yang membesar-besarkan dirinya (sombong) karena kesempurnaan yang dimilikinya. Di antaranya ada yang sombong karena  kelebihan pada keturunan, kekuatan, harta, dan ilmu. Menurut al-Muhasibi, penyakit sombong berasal dari ujub, kebencian, dengki, riya’, dan semuanya berawal dari ketidaktahuan tentang asal dan kedudukan.[25]
Al-muhasibi telah mengingatkan dalam bukunya al-Washaya bahwa untuk menghilangkan penyakit takabur bisa dengan cara “muraqabah ila Allah” yaitu lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dan dengan kedekatannya kepada Allah, seorang hamba akan sadar dan tahu kedudukannya di dunia dan di mata Tuhannya. Berkenaan dengan itu al-Muhasibi berkata dalam bukunya al-Ri’ayah, “sifat takabur pada seorang hamba akan hilang dengan kesadaran dan pengetahuan tentang kedudukannya di dunia dan di hadapan Tuhannya.” Maka seorang hamba akan mengetahui kedudukannya dengan mengetahui dari mana dia bermula, bagaimana dia hidup, dan bagaimana dia berakhir.[26]
Tentang bagaimana seorang hamba bermula, sesungguhnya Allah telah menciptakan seorang hamba dari ketidakadaan, yaitu dari “kematian” kepada “kehidupan”. Dari lemah menjadi kuat, dari bodoh menjadi pintar, dari buta menjadi melihat, dari tuli menjadi mendengar, dari bisu menjadi berbicara, dari lapar menjadi kenyang, dari sesat menjadi diberi petunjuk, dari miskin mejadi kaya. Buktinya adalah saat Dia menciptakan manusia dari debu, kemudian dari mani, kemudian dari gumpalan darah, kemudian dari segumpal daging, dan kemudian dijadikannya sebuah tulang, dan tulang itu dibungkus dengan daging. Demikianlah Allah telah menjadikan manusia dari suatu keadaan yang hina menjadi keaadaan yang mulia. Maka dia harus tahu bahwa tempatnya bermula adalah dari suatu yang rendah dan hina, sehingga dia sadar bahwa dia bukanlah sesuatu yang hebat, tapi dari sesuatu yang lemah, kotor, kurang, dan miskin.[27]
Dengan itu, seorang hamba telah mendapatkan dua nikmat besar. Pertama adalah pengetahuannya tentang hakikat dirinya sendiri dan yang kedua adalah pengetahuannya tentang hakikat Tuhannya. Dengan nikmat yang pertama seorang hamba sadar akan kelemahan dan kecilnya kekuatan yang dimilikinya. Dan dengan nikmat yang kedua dia sadar betapa besarnya kekuatan Tuhannya kepada, sampai dia akan tunduk, patuh, dan bersyukur kepada-Nya karena telah mengangkatnya dari suatu yang kotor dan hina kepada suatu yang lebih baik.[28] Setelah itu seorang hamba akan tahu bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan antaranya dan kotoran, yaitu sama-sama dari jenis yang hina dan kotor. Dia juga mengetahui bahwa dia hanyalah hamba yang tidak berhak atas harta yang dimilikinya di dunia, bahkan juga tidak berhak atas dirinya sendiri. Karena semua itu hanyalah titipan Allah kepada hamba-Nya yang suatu saat nanti akan diambil kembali oleh Allah Swt, tanpa satupun yang bisa menolak.[29]
Pengobatan Dengki (Hasud)
Al-Jurjani menjelaskan bahwa orang yang mempunyai penyakit dengki adalah orang yang selalu mengharapkan hilangnya nikmat dari seseorang yang diberi nikmat atau kelebihan oleh Allah Swt.[30]
Penyakit dengki ini adalah penyakit yang paling jelek, al-Muhasibi menjelaskan dalam bukunya al-Ri’ayah bahwa penyakit hasud atau dengki ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu dengki yang haram dan dengki yang tidak haram. Dengki yang haram adalah dengki yang tidak boleh dilakukan oleh manusia karena sifatnya seperti api yang akan menghabisi semua kayu bakar di hadapannya. Dan dengki yang tidak haram adalah dengki yang telah tertulis dalam al-Qur’an, yaitu al-Munafasah.[31]
Jika dilihat dari sumbernya, penyakit hasud bersumber dari berbagai macam sumber. Diantaranya ada yang berasal dari takabur, ada yang dari ujub, dari permusuhan, dari riya’, dari kecintaan seseorang terhadap kedudukan. Penyakit hasud ini harus dihapuskan karena orang yang hasud akan menolak segala macam nasihat dari orang yang dihasudinya. Maka dengan sifat itu, seorang yang hasud telah mengikuti sifat iblis dan orang kafir. Seperti bahagianya mereka ketika melihat nikmat yang ada pada orang mukmin hilang, dan ketidaksukaan mereka kepada orang mukmin yang diberikan nikmat oleh Allah Swt. Dan dengan sifat itu juga, maka orang yang hasud telah menentang qadha Allah yang telah ditentukan kepada setiap hamba-Nya.[32]
Setelah itu semua, seorang hamba akan tahu betapa sangat membahayakannya penyakit hasud ini, apalagi tidak mendatangkan manfaat sedikitpun di dunia, maupun di akhirat. Karena kedengkian seorang yang hasud tidak akan menghilangkan nikmat yang diberikan Allah kepada orang yang dihasudinya, dan sekalipun nikmat orang yang dihasudi hilang, tidak akan berpindah kepada orang yang hasud. Seperti yang dikisahkan dalam kisah rasul dalam jihadnya mengajak orang-orang kafir kepada agama Islam. Dalam kisah ini, jika Allah menaati orang yang hasud dalam menghilangkan nikmat dari orang yang dihasudi, maka hilanglah nikmat yang ada pada rasul karena beliau adalah korban hasud orang-orang kafir. Tetapi pada kenyataannya nikmat yang ada pada rasul tidak hilang, karena ajakan rasul kepada agama Islam sudah membuahkan hasil yang memuaskan, dan hasilnya adalah sudah meluasnya agama Islam pada setiap penjuru dunia. Dan inilah yang dimaksud dengan menetapnya nikmat Allah pada rasul dan tidak hilang seperti yang diinginkan orang-orang yang hasud kepadanya, yaitu orang kafir. Demikian juga orang miskin yang hasud kepada orang kaya tidak akan membawakan manfaat baginya karena keinginannya supaya orang kaya menjadi miskin tidak akan tercapai sehingga harta orang kaya akan tetap banyak dan tidak berkurang. Al-Muhasibi memberikan ibarat mengenai orang hasud dengan orang yang melempar batu kepada yang dimusuhinya. Ketika dia melemparkan batu itu, batu itu tidak mengenai orang yang dimusuhinya, tetapi akan kembali kepada yang melempar batu dan tidak akan mengenai orang yang dimusuhinya.[33]

Kemudian juga diharuskan kepada orang yang hasud tahu bahwa sebelum datang kepadanya penyakit hasud, dia telah berada pada nikmat Allah yang diberikan kepadanya. Itulah nikmat keselamatan dari penyakit hasud.[34] Maka dari itu seorang hamba harus bersyukur dengan keadaannya sehingga bisa lebih berhati-hati dengan penyakit tersebut dan berusaha untuk menjauhinya. Dan Allah Swt sudah berfirman tentang kebencian-Nya kepada penyakit hasud dalam surat Ali Imran, ayat 69.
Pengobatan Ghirah (Terpedaya)
Menurut al-Muhasibi, orang yang terkena penyakit ghirah adalah orang yang melihat perbuatan buruk sebagai perbuatan yang terpuji.[35]
Penyakit ghirah terbagi menjadi dua, ada yang ghirah dengan ilmu dan ada yang ghirah dengan amal ibadah. Adapun yang ghirah dengan ilmunya mereka terpedaya dengan riwayat dan hafalannya, mereka terpedaya dengan pengetahuan tentang halal dan haram, juga ada yang terpedaya dengan pengetahuannya tentang amalan-amalan yang bisa mendekatkan seorang hamba kepada Tuhannya. Dan untuk yang ghirah dengan amal ibadahnya, mereka terpedaya dengan uzlah yang mereka kerjakan, terpedaya dengan zuhud, tawakkal, haji, dan terpedaya karena mereka mengikuti perang bersama Nabi.
Mulai dari yang pertama, yaitu orang yang terpedaya dengan ilmu. Untuk sembuh dari penyakitnya seseorang harus ingat bahwa dengan ilmu dan kemampuan yang dimilikinya dia telah memikul tanggungjawab yang besar dan berat. Karena dengan ilmu itu dia akan ditanya tentang ilmunya pada hari kiamat, yaitu untuk apa saja ilmu itu? Apakah dia infakkan ke jalan Allah, atau tidak? Maka dari itu dikatakan bahwa ilmu adalah suatu yang berat, yang nanti harus dipertangungjawabkan di hadapan Allah swt, dan diketahui setelah itu bahwa orang yang alim lebih besar hukumannya dibandingkan orang yang bodoh karena harus mempertanggungjawabkan ilmu yang dimiliki.[36] Dan setelah mengetahui hal-hal itu, seseorang akan sadar dan akan berhati-hati dengan ilmu yang dimilikinya, dia infakkan dan pergunakan dengan baik di jalan Allah seperti yang telah diperintahkan Allah kepada semua orang yang berilmu. Dengan itu dia akan mengetahui Allah dengan ilmunya, menaati perintah-perintah Allah dengan ilmunya, takut akan hukuman Allah dengan ilmunya, dan mengharapkan pahala Allah dengan ilmunya pula.[37]
Maka, dialah orang yang mengetahui dan menghafal ilmu sampai memahami maknanya, sehingga dapat ia aplikasikan kepada perbuatan. Karena perlu diketahui bahwa ilmu dan hafalan ilmu yang dimiliki tidak akan ada manfaatnya tanpa pengamalan. Sehingga “keinginan dalam berbuat” belum bisa dikatakan sebagai “perbuatan” karena belum terlaksana.[38] Dan para ulama berpendapat bahwa orang yang bodoh lebih baik dari pada mereka yang terpedaya oleh hafalan dan ilmu yang mereka miliki, sehingga mereka tidak mengamalkan hafalan dan ilmu mereka. Dan inilah yang dikatakan oleh Ibnu al-Qayyim dengan “Jahlu al-‘Amal” atau kebodohan dalam berbuat.[39]
Kemudian, yang kedua adalah kelompok yang terpedaya dengan amal ibadah mereka, seperti terpedaya karena pernah mengikuti perang bersama rasulullah, terpedaya karena pernah menunaikan haji, terpedaya karena pernah shalat malam, terpedaya karena puasa yang dilakukannya, dan lain sebagainya.
Ada orang yang terpedaya karena perasaannya telah hidup zuhud dan wara’, yaitu dengan mengurangi makannya secara berlebihan dan tidak peduli dengan kebersihan dan kerapian pakaian yang dikenakannya sehari-hari. Maka cara mengobatinya, dia harus sadar dan memikirkan kembali tentang perbuatannya yang bisa mengganggu kesehatannya. Yaitu, apakah dengan mengurangi jatah makan harian akan membuatnya kesakitan atau tidak.? Apakah  pengurangan jatah makan tersebut akan berlawanan dengan kehendak hati.? Maka apabila pengurangan jatah makan itu membuat sakit dan berlawanan dengan kehendak hati, dia harus meninggalkannya.[40] Kemudian perlu juga diingat bahwa Allah akan mengadzab mereka yang banyak makan tanpa ada rasa takut di hatinya. Maka yang bisa diambil untuk dijadikan pelajaran di sini adalah tidak boleh terlalu sedikit makan yang dengannya bisa membuat seseorang sakit, dan juga tidak boleh terlalu banyak makan sampai membuat rasa takutnya kepada Allah hilang, tetapi dalam hal ini, Islam menganjurkan kepada pemeluknya untuk “bertawassuth”, atau makan dengan selayaknya saja, sesuai dengan kadar masing-masing. Seperti yang difirmankan Allah Swt dalam surat al-Baqarah, ayat 143.
Kemudian masih pada terpedaya dengan amal ibadah, yaitu mereka yang terpedaya dengan amalan ‘uzlahnya. Padahal pada hakikatnya dia hanya ingin menjauh dari masyarakat dan ingin ketenaran di hadapan manusia. Maka untuk mengobatinya dengan cara menyadari atau mengetahui bahwa amal uzlah yang dilakukan akan sia-sia dan tidak akan mendatangkan manfaat sedikitpun.[41]
Maka untuk mengobati orang yang terpedaya karena amalan-amalan di atas yaitu dengan cara selalu siaga dengan nafsunya, dengan cara mengetahui, menyadari bahwa dia telah menyibukkan dirinya dengan ibadah yang tidak wajib (nafilah), dan meninggalkan ibadah yang wajib.[42] Dan setelah itu dia akan meninggalkan seluruh yang dilarang Allah dan melaksanakan yang diperintahkan-Nya.
D.    KESIMPULAN
Dari penjelasan-penjelasan di atas mengenai psikoterapi menurut al-Muhasibi, peneliti mengambil beberapa kesimpulan. Pertama, bahwa al-Muhasibi telah mengatur dan mengurutkan tingkatan penyakit-penyakit dan obatnya dari yang paling mudah sampai yang paling sulit untuk diobati. Dalam hal ini al-Muhasibi meletakkan penyakit ujub sebagai penyakit yang harus diobati pertama kali. Ujub adalah penyakit yang muncul ketika orang merasa dalam hatinya bahwa dia lebih baik daripada orang lain karena nikmat yang diberikan Allah kepadanya, dan pada hakikatnya itu adalah tipu daya setan yang dihembuskan kepada manusia. Kemudian penyakit kedua yang harus diobati setelah ujub adalah riya’. Karena setelah seseorang terjangkit penyakit ujub, jika tidak berhenti maka penyakit tersebut akan terus mengalir kepada riya’. Dalam hal ini seseorang yang ujub akan tidak rela apabila terdengar berita keburukan darinya, maka dengan itu dia akan selalu melakukan kebaikan agar semua orang melihatnya dan dia akan dijuluki sebagai orang yang baik, itulah yang menyebabkan ia menjadi riya’ kepada semua orang tentang pekerjaan baik yang dilakukannya.
Kemudian setelah penyakit riya’ yang harus diobati setelahnya adalah penyakit takabur. Karena penyakit riya’ yang tidak bisa dihentikan akan mengalir kepada ketakaburan seseorang. Hal ini dikarenakan orang yang riya’ tidak ingin mendengar kejelekan tentangnya di hadapan masyarakat, dan dengan itu ia akan selalu merasa benar dan berpendapat semua keputusannya adalah adalah suatu kebenaran. Karena orang yang riya’ tidak akan menerima pendapat atau masukkan dari orang lain walaupun itu benar, karena dia tidak ingin orang lain lebih darinya karena itu akan menjatuhkan kedudukannya. Maka di sinilah seorang yang sombong atau takabur akan terkena penyakit dengki (hasud), jika tidak dapat mencegah penyakit takaburnya itu. Karena seorang yang hasud akan tidak pernah rela dengan orang lain yang melebihinya, dan tidak akan suka dengan orang yang mendapat banyak nikmat dari Allah Swt, melainkan selalu ingin nikmat yang diberikan Allah hilang darinya.
Seterusnya, apabila seseorang telah mengalami semua penyakit di atas, tanpa adanya pencegahan, maka dia telah jatuh kepada penyakit yang bernama ghirah (terpedaya). Penyakit ghirah adalah penyakit yang muncul karena seseorang merasa bahwa dia termasuk orang-orang yang takut adzab Allah, padahal pada hakikatnya dia adalah orang-orang yang merasa aman dan tidak takut dengan adzab Allah. Dia merasa berada dalam golongan orang-orang yang ikhlas, padahal pada hakikatnya dia masihlah seorang yang suka berbuat riya’, dalam hal ini mereka melihat perbuatan yang menyebabkan hukuman Allah turun kepada mereka sebagai rahmat yang diberikan kepada mereka, karena itu semua adalah tipu daya setan yang terkutuk.
Kedua, al-Muhasibi menggabungkan kerja wahyu (al-Qur’an), hati, akal dalam menjaga nafsu. Dan dalam penggabungan ini wahyu (al-Qur’an) difungsikan sebagai pemimpin atau pedoman bagi hati dan akal, sedangkan hati dan akal berfungsi sebagai pengikat dan pengawas nafsu.
Ketiga, Konsep psikoterapi al-Muhasibi lebih baik, lebih lengkap, dan sangat berbeda dengan konsep psikoterapi Barat. Karena psikoterapi al-Muhasibi memasukkan unsur spiritual (agama) dalam metode psikoterapinya, dan sangat cocok sekali untuk digunakan pada zaman modern ini, yaitu pada zaman yang di dalamnya sudah tercampur antara nilai Barat dan Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Al-Muhasibi, al-Harits bin Asad, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun)
_________, Al-‘Aqlu wa Fahmu al-Qur’an, t: Dr. Husaini al-Qutily, Cet.1, (al-Qahirah: Dar al-Fikri, 1971)
_________, Al-Makasib wa al-Wara’ wa al-Syubhat wa Bayani Mabahitsiha wa Mahzhuriha wa Ikhtilafi al-Nas fi Thalabiha wa al-Radd ‘ala al-Ghalithina Fihi, (Askandariyah: Daru Ibnu Khaldun, tanpa tahun)
_________, Al-Taubah, (al-Qahirah: Dar al-Fadhilah, tanpa tahun)
_________, Al-Washaya, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun)
_________, Kitab al-‘Ilmi, t: Muhammad al-‘Abid Mazali, (Dar al-Tunisiyah Li al-Nasyr, 1975)
_________, Mu’atabatu al-Nafs, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun)
‘Ali bin Muhammad, al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, Cet. 2, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1992)
Al-‘Afani, Sayid bin Husain, Zahru al-Basatini Min Mawaqif al-‘Ulama’ wa al-Rabbaniyyin, Jilid 6, (al-Qahirah: Dar al-‘Afani, tanpa tahun)
Al-Ghazzali, Abu Hamid, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3, (Semarang: Karya Toha Putra, tanpa tahun)
Al-Hifni, ‘Abdul Mun’im, Mausu’at al-Thib al-Nafsy, Jilid 2, Cet. 2, (al-Qahirah: Maktabah Madbuli, 1995)
Al-Maqdisi, Imam Abi al-Fadhl Muhammad bin Thahir bin ‘Ali bin Ahmad, Shafwatu al-Tashawwuf, cet. 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2006)
Al-Mawardi, Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashari, Adab al-Dunia wa al-Din, (al-Qahirah: Dar al-Fikri, tanpa tahun)
Al-Najar, ‘Amir, al-Tashawwuf al-Nafsi, (al-Qahirah: Dar al-Ma’arif, 1119)
Al-Qathariji, ‘Ali Farid Duhruj ‘Adnan, al-Akhlaq: Dirasah Tarikhiyah Fikriyah wa Islamiyah, Cet. 1, (Beirut: Dar al-Mahrusat, 1429)
Al-Sakandari, Ibnu ‘Athaillah, Taju al-‘Urus al-Hawi Li Tahdzibi al-Nufus, (al-Qahirah: Dar Jawami’u al-Kalam, tanpa tahun)
Al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimy, Ibnu ‘Athaillah al-Sakandary wa Tashawwufuhu, cet. 1, (al-Qahirah: Maktabat al-Anjlu al-Mishriyah, 1958)
Al-Turmudzi, al-Hakim, Bayanu al-Firaqi Bayna al-Shadr wa al-Qalbi wa al-Fuadi wa al-Lubb, (tanpa tahun)
Ja’far, Muhammad Kamal Ibrahim, Turatsu al-Tustari al-Sufy, Jilid 2, (al-Munirat: Maktabat al-Syabab, tanpa tahun)
Kosnier, Jack, Muqaddimat fi ‘Ilmi al-Nafsi, cet. 1, (Beirut: al-Muassasat al-Jami’ah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1982)
Mahmud, ‘Abdu al-Qadir, Falsafat al-Shufiyah fi al-Islam: Mashadiruha wa Nazhariyyatuha wa Makanuha Min al-Din wa al-Hayat, Cet. 1, (al-Qahirah: Dar al-Fikri, 1966)


[1]  Al-Harits bin Asad al-Muhasibi, Al-Washaya, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 69
[2] Jack Kusnh, Muqaddimat fi ‘Ilmi al-Nafsi, cet. 1, (Beirut: al-Muassasat al-Jami’ah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1982), p. 28, lihat juga: Dr. ‘Abdul Mun’im al-Hifni, Mausu’at al-Thib al-Nafsy, Jilid 2, Cet. 2, (al-Qahirah: Maktabah Madbuli, 1995), p. 1095
[3]  ‘Amir al-Najar, al-Tashawwuf al-Nafsi, (al-Qahirah: Dar al-Ma’arif, 1119), p. 352
[4] Ibid, p. 352
[5] Al-Harits bin Asad al-Muhasibi, Mu’atabatu al-Nafs, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 22-23, Al-Harits bin Asad al-Muhasibi, Al-Washaya, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 38, Al-Harits bin Asad al-Muhasibi, Al-Taubah, (al-Qahirah: Dar al-Fadhilah, tanpa tahun), p. 17-19, Al-Harits bin Asad al-Muhasibi, Al-Makasib wa al-Wara’ wa al-Syubhat wa Bayani Mabahitsiha wa Mahzhuriha wa Ikhtilafi al-Nas fi Thalabiha wa al-Radd ‘ala al-Ghalithina Fihi, (Askandariyah: Daru Ibnu Khaldun, tanpa tahun), p. 31-32, Al-Harits bin Asad al-Muhasibi, Kitab al-‘Ilmi, t: Muhammad al-‘Abid Mazali, (Dar al-Tunisiyah Li al-Nasyr, 1975), p. 17-38.
[6]  Al-Harits bin Asad al-Muhasibi, Mu’atabatu al-Nafs, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 85
[7]  Al-Ghazzali, Abu Hamid, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Juz 3, (Semarang: Karya Toha Putra, tanpa tahun), p. 59
[8]  ‘Amir al-Najar, al-Tashawwuf al-Nafsi, (al-Qahirah: Dar al-Ma’arif, 1119), p. 332
[9] Ibnu ‘Athaillah Al-Sakandari, Taju al-‘Urus al-Hawi Li Tahdzibi al-Nufus, (al-Qahirah: Dar Jawami’u al-Kalam, tanpa tahun), p. 169
[10] al-Harits bin Asad Al-Muhasibi, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 327
[11] Ibid, p. 21
[12] Abu al-Wafa al-Ghanimy Al-Taftazani, Ibnu ‘Athaillah al-Sakandary wa Tashawwufuhu, cet. 1, (al-Qahirah: Maktabat al-Anjlu al-Mishriyah, 1958), p. 229
[13] al-Hakim Al-Turmudzi, Bayanu al-Firaqi Bayna al-Shadr wa al-Qalbi wa al-Fuadi wa al-Lubb, (tanpa tahun), p. 23
[14] ‘Amir Al-Najar, al-Tashawwuf al-Nafsi, (al-Qahirah: Dar al-Ma’arif, 1119), p. 218, al-Harits bin Asad Al-Muhasibi, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 68, 33, ‘Abdu al-Qadir Mahmud, Falsafat al-Shufiyah fi al-Islam: Mashadiruha wa Nazhariyyatuha wa Makanuha Min al-Din wa al-Hayat, Cet. 1, (al-Qahirah: Dar al-Fikri, 1966), p. 172

[15] Al-Harits bin Asad al-Muhasibi, Al-‘Aqlu wa Fahmu al-Qur’an, t: Dr. Husaini al-Qutily, Cet.1, (al-Qahirah: Dar al-Fikri, 1971), p. 136
[16]  ‘Ali Farid Duhruj ‘Adnan Al-Qathariji, al-Akhlaq: Dirasah Tarikhiyah Fikriyah wa Islamiyah, Cet. 1, (Beirut: Dar al-Mahrusat, 1429), p. 250, Imam Abi al-Fadhl Muhammad bin Thahir bin ‘Ali bin Ahmad Al-Maqdisi, Shafwatu al-Tashawwuf, cet. 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2006), p. 247
[17] al-Harits bin Asad Al-Muhasibi, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 359
[18] Ibid, p. 360
[19] Ibid, p. 363
[20] Ibid, p. 369
[21] Muhammad Kamal Ibrahim Ja’far, Turatsu al-Tustari al-Sufy, Juz 2, (al-Munirat: Maktabat al-Syabab, tanpa tahun), p. 144
[22] al-Harits bin Asad Al-Muhasibi, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 163-164, 172
[23] Ibid, p. 185, lihat juga: Muhammad Kamal Ibrahim Ja’far, Turatsu al-Tustari al-Sufy, Juz 2, (al-Munirat: Maktabat al-Syabab, tanpa tahun), p. 144

[24] Ibid., p. 206
[25] Ibid., p. 377
[26] Ibid., p. 396
[27] al-Harits bin Asad Al-Muhasibi, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 396, lihat juga: kata pengantar buku Makasib milik al-Muhasibi
[28] Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashari Al-Mawardi, Adab al-Dunia wa al-Din, (al-Qahirah: Dar al-Fikri, tanpa tahun), p. 236
[29] Ibid, p. 236
[30] al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad, Kitab al-Ta’rifat, Cet. 2, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1992), p. 117
[31] QS. Al-Muthaffifin: 26
[32] al-Harits bin Asad Al-Muhasibi, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 483-490
[33]  QS. Yunus: 23
[34] al-Harits bin Asad Al-Muhasibi, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 492
[35] Al-Harits bin Asad al-Muhasibi, Al-Washaya, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 291
[36] al-Harits bin Asad Al-Muhasibi, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 442
[37]  QS. Al-Fathir: 28
[38] Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 471-472
[39] Dr. Sayid bin Husain al-‘Afani, Zahru al-Basatini Min Mawaqif al-‘Ulama’ wa al-Rabbaniyyin, Jilid 6, (al-Qahirah: Dar al-‘Afani, tanpa tahun), p. 362
[40] Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 463

[41] QS. Al-Hujurat: 28
[42] Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi, Al-Ri’ayah Li Huquqillah, t: Abdu al-Qadir Ahmad ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), p. 468

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About